Bagian 6
Selama tiga hari Vini diam di kamar. Tidak ingin diganggu siapapun, termasuk Ninis. Bahkan saat Dita datang berkunjung, Vini juga tidak mau membuka pintu kamarnya.
Ini adalah hari ke empat Vini tidak masuk kerja. Dita datang lagi berkunjung, Vini masih tidak membukakan pintu kamarnya.
Dita memanggil Vini melalui panggilan telepon, tapi tidak diangkat. Ia pun menyandarkan tubuhnya di pintu, memerosotkan hingga terduduk di sana sambil mengirim pesan pada pemilik kamar agar membukakan pintu.
Gue bakal nunggu di depan pintu sampe lo buka
Dita langsung mengirim pesan itu. Baru beberapa detik, pesan telah terbaca dan Vini terlihat online di pesannya. “Setidaknya dengan cara begini, lo mau ngebuka pintu, Vin. Gue selalu ada buat lo kapan pun lo butuh.”
“Mbak Dita kenapa duduk di bawah, sini, ke sofa!” ucap Mbak Yam membawakan minum.
“Iya, Mbak, di sini aja.”
Mbak Yam pun menaruh minumnya di meja dan kembali ke dapur untuk memasak makan malam. Tidak lama setelah Mbak Yam turun, suara pintu terbuka terdengar di telinga Dita. Ia pun membalik badan, dan menampilkan Vini dalam keadaan mata sedikit cekung dan tanda hitam melingkari matanya.
Dita lantas berdiri, langsung memeluk sahabatnya. Saat kedua tangannya ingin menyentuh bahu, Vini langsung memundurkan badannya.
“Masuk dulu, Dit!”
Dita yang tersenyum sumringah langsung meluruskan bibirnya. Terlihat agak kaku dan canggung dengan perlakuan Vini.
“Okey,” jawab Dita pelan. Ia pun memasuki kamar yang luasnya dua kali lebih luas dari tempat latihan tenis meja.
Sebelah kiri terdapat lemari panjang berwarna cokelat kayu, Dita berjalan ke sofa yang berada di depan ranjang.
Menghela napas panjang dan menggelengkan kepala, Dita memutuskan untuk menyusul Vini yang terduduk di lantai depan televisi.
“Sini!” Dita menarik pundak Vini, lalu memeluknya erat. Menepuk-nepuk punggung Vini pelan, Dita berucap, ”Semua bakal baik-baik aja, Vin. Percaya, deh! Cowok lo bakal nyari orang itu sampe ketemu.”
Tubuh Vini bergetar, terdengar tarikan napas yang berat dan dalam, Dita juga mendengar suara hidung mampet. Ia yakin jika saat ini sahabatnya itu menumpahkan segala rasa takutnya yang selalu dipendam sendiri.
Tanpa ada tanda-tanda tanggapan dari Vini, Dita berucap lagi. “Mungkin gue nggak bisa ngehibur lo, nggak bisa juga jadi temen yang bisa ngilangin rasa takut lo dari si brengsek peneror itu, tapi gue bisa jadi temen lo yang selalu siap dengerin keluh kesah lo, yang selalu ada buat lo dalam keadaan apapun elo, Vin.”
Dalam keadaan berpelukan, Vini meraih tisu yang berada di sebelahnya. “Sorry,” Vini melepaskan pelukan Dita. “Gue nggak tau harus gimana. Nyokap belum tau soal ini. Soal bundanya Ermin nggak setuju sama hubungan kami juga belum tau.”
“Are you serious? Lo gila? Kalian udah jalan selama setahun dan nyokap lo belum tau? Belum lagi masalah teror ini. Ini, ‘kan, udah lama, Vin?”
“Iya, gue tau udah lama. Gue nggak mau nyokap bakal memperlakukan gue kayak bocah lagi. Lo tau sendiri nyokap gue gimana?”
“Setidaknya seorang ibu tau apa yang terbaik buat anaknya. Gue yakin, kalo lo cerita pasti bakal ada jalan. Gue nggak bisa ngasih solusi atas masalah lo karena solusinya ada di diri lo sendiri.”
Vini malah semakin menumpahkan air matanya. Bak air terjun yang terus mengalir, hal itu membuat Dita langsung memeluknya erat. Dita tahu, ini pasti berat buat Vini.
“Gue nggak mau ngomong banyak-banyak, karena lo pasti juga bakal bosen dengernya. Gue nggak mau nyuruh lo ini itu, lo pasti tau yang terbaik buat diri lo sendiri.” Tangannya masih mengelus punggung Vini.
“Makasih, Dit. Gue nggak butuh omelan atau nasehat, yang gue butuhin cuma kehadiran lo di sini.” Vini menarik diri, menghapus air matanya.
“Tadi aja dikunci pintunya,” canda Dita sambil mengerucutkan bibirnya.
“Apa kejadian ini karma buat gue, ya?” Vini menatap kosong layar televisi. “Gue dulu pembully. Suka banget jailin orang yang menurut gue lucu, tapi enggak menurut orang lain. Bahkan malah bisa dibilang kelakuan gue hina. Temen-temen nggak ada yang nasehatin gue, mereka malah enjoy dan ketawa gue ngelakuin itu. Gue pikir, ya, itu emang sebuah candaan doang.”
Dita menatap serius, tak disangka jika sahabatnya ini akan menceritakan detail semasa putih abu-abunya. Menarik telapak tangan Vini, Dita menggenggamnya pelan untuk memberi kekuatan.
Memang butuh kekuatan untuk menceritakan aib sendiri, terlebih itu kejadian yang memalukan menurutnya.
Vini menatap Dita sebentar, kemudian menatap depan lagi. “Gue dulu jahat banget, Dit. Tapi gue nggak sadar kalo apa yang gue lakuin itu jahat. Bego banget, ya, gue?” tanyanya menatap Dita yang serius menatapnya.
“Lo nggak jahat, Vin. Lo cuman nggak tau menempatkan candaan yang emang candaan atau bukan. Terus, lo sadarnya gimana?”
“Pas kuliah, ada temen sekolah yang satu kampus sama gue, tapi beda fakultas. Dia manggil gue dengan sebutan pembully. Gue kaget, dan gue tanya-tanya ke dia yang saat itu sama-sama lagi nggak ada jam kuliah, dia ngejelasin semuanya dengan tatapan kayak merendahkan gue.”
Vini jadi ingat saat bertemu dengan temannya dulu. Ia pun mengenang saat di depan fakultas hukum yang temannya ambil.
Vini sedang menuju kantin, tempatnya melewati fakultas kedokteran sebelah kiri, sedangkan sebelah kanan ada fakultas hukum. Bertiga dengan Ara dan Tita, Vini berceloteh layaknya seorang ibu mendongengkan cerita untuk kedua temannya.
Saat itu, dirinya dipanggil dengan sebutan pembully oleh teman beda kelasnya dulu saat masa putih abu-abu.
“Lo yang suka ngebully Lely, ‘kan? Kuliah di sini juga ternyata?” gadis itu menunjuk Vini dan berbicara dengan temannya. “Dia dulu suka becanda yang kelewatan sama temen sekelasnya, gaes.”
Vini yang saat itu akan ke kantin menyuruh kedua temannya untuk pergi duluan, dan Vini mengajak teman sekolahnya ke taman belakang fakultas kampus.
“Kenapa ngajak ke sini? Takut yang lain denger kalo lo pembully? Atau lo malu dengan sebutan itu?”
Keduanya duduk di bangku taman yang terbuat dari semen memanjang, seperti kursi yang bisa diduduki berempat. Rindang daun bergantung membuat tempat duduknya tidak kepanasan.
“Sumpah, gue nggak tau apa yang lo omongin. Gue nggak ngebully Lely, Shei. Perlu lo tau, gue cuma becandaan sama dia. Toh, orang lain juga pada enjoy dengan becandaan gue itu.”
“Anjiiiirrr ... enjoy, gaes!” Sheira berdiri dari tempat duduknya. Berjalan beberapa langkah, kemudian berbalik menghadap Vini. “Apa lo tau? Lely selalu nangis, dia tanya ke gue apa salah dia sampe lo begitu ke dia. Di depan lo aja dia ketawa biar nggak terasa betapa buruknya dia di depan mata lo.”
Tak hanya itu, Sheira juga menambahkan, “Apa pun yang lo lakuin ke Lely, itu nggak ada akhlak, tau, nggak! Jangan mentang-mentang lo pinter dan keluarga berada, tapi inget, di atas langit masih ada langit, Anjiiiing! Keluarga Lely lebih kaya dari pada lo.”
Setelah mengatakan itu, Sheira berlalu begitu saja. Tanpa memedulikan bagaimana reaksi dan keadaan Vini saat itu.
“Sedih banget, ya, jadi gue?” Selesai menceritakan pada Dita, air matanya mengalir bak air hujan dikala musim gersang.
Dita memajukan duduknya, menarik lengan Vini, lalu memeluknya dengan erat.
“Nggak gampang buat cerita kelemahan kita ke orang lain. Lo hebat banget udah mau berbagi sama gue. Setidaknya, gue orang yang lo percaya buat nampung cerita-cerita masa lalu lo. Gue yakin, suatu saat lo bakal ketemu sama Lely dan bisa minta maaf sama dia.” Dita menepuk-nepuk pelan punggung Vini.
“Thanks, ya, Dit. Gue nggak tau harus cerita ke siapa lagi. Nyokap belum tau. Gue nggak mau ntar malah diceramahin kek luas kolam renang.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top