Bagian 4
“Bukan, Bun. Tapi, Bunda kelewatan.” Ermin berjalan dan melepas kemejanya untuk dipakaikan ke Vini.
“Kelewatan gimana? Coba kamu jelaskan!”
Vini hanya tertunduk dan menerima kemeja yang diberikan Ermin. “Nggak apa-apa, Er.”
“Denger, ‘kan? Kalo dia nggak kenapa-kenapa. Kurangi rasa khawatirmu untuk dia Ermin!” Vini menatap Erita. Ia tidak menyangka jika Erita masih tidak merestui hubungannya dengan Ermin.
“Tanpa mengurangi rasa hormat dan kurang ajar ke Bunda. Sebenarnya apa salah saya ke Bunda?” pelupuk matanya tergenang air. Ia pun menahannya agar tidak jatuh, hingga hidungnya memerah. “Apa salah saya ke Bunda sampe Bunda tega berbuat begini ke saya, dari awal kita ketemu, Bun?” ringisnya dengan suara serak.
Suara Vini berubah menjadi seperti tersangkut di tenggorokan. Bukan karena gatal, bukan. Ini karena ia tidak menyangka jika ke rumah Ermin akan mendapat sambutan seperti maling ketahuan pemiliknya yang telah mengambil barangnya.
Sebenarnya, Vini tidak tahu apa yang membuat Erita membencinya. Dari awal pertemuan saat baru berpacaran dengan Ermin, Erita sudah tidak menyukainya. Bahkan, dia mengucapkan jika dirinya tidak merestui hubungannya dengan Ermin.
Vini masih berlapang dada, ia berharap jika suatu saat nanti akan terbuka hati Erita untuknya menjadi menjadi menantu.
“Jawabannya cuma, saya nggak sudi punya mantu seperti kamu.” Erita masih berdiri beberapa langkah di depan Vini dengan tangan masih menggenggam gelas.
Ruang tamu yang memiliki luas seperti arena Voli itu mendadak sempit bagi Vini. Pandangannya mengabur, air di pelupuk matanya sudah jebol menerjang pembatas bulu mata bawah. Dengan sigap, ia menghapusnya. Tidak ingin terlihat lemah di depan orang yang sudah dua kali mempermalukan dirinya.
“Lepas, Er!” Vini melepaskan tangan Ermin yang memegang pundaknya, dan maju dua langkah. “Saya tidak akan berhenti sampai Bunda mau merestui saya dengan Ermin. Saya akan berusaha.”
“Itu hanya akan sia-sia dan menyakiti dirimu sendiri nantinya.” Setelah mengucap kata itu, Erita meninggalkan Vini dan Ermin berdua.
“Bunda!” Ermin menyusul Erita hingga pintu kamarnya.
Sedangkan Vini terduduk mendengar ucapan Erita. Mengusap air matanya, ia pun berdiri. Tidak mengharapkan apapun untuk hari ini. Vini berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan berusaha sekuat tenaga, berusaha tidak membuang air mata berharganya hanya karena penolakan.
Kamar yang terletak dekat ruang tamu membuat Ermin menyusulnya. Ia tidak mau hubungan ibunya dengan pacarnya tidak berjalan baik. Ermin menginginkan kedua membaik.
“Bun,” panggil Ermin dengan suara sedikit tinggi. Ia mengetuk pintu kamar Erita.
Tidak ada tanggapan, apalagi tanda-tanda akan dibuka. Vini akhirnya melangkah keluar.
Ermin tiba di ruang tamu, melihat Vini tidak ada di sana membuat Ermin berlari keluar, berharap Vini masih ada di sekitar rumahnya. Namun, kenyataannya Ermin tidak menemukan Vini. Dia sudah menjauh dari rumahnya.
Ermin mengambil ponselnya di saku, memencet tombol panggilan untuk menelepon pacarnya.
Di halaman depan rumah, angin malam menyapa pori-pori kulit membuat Ermin mengusap-usap kulitnya. Panggilan terhubung. Hingga beberapa kali panggilan masih terhubung, tapi tidak diangkat.
Menghela napas panjang, Ermin meremas ponselnya, dan berteriak sekuat tenaga untuk mengeluarkan emosinya. “Arrgghh....” Ia pun terduduk dengan tangan satunya meremas rambut.
Vini terus berlari, menjauh dari rumah Ermin. Ia tidak peduli jika sebagian bajunya basah. Toh, masih ada kemeja Ermin untuk menutupi.
Ponselnya terus bergetar. Tidak ada niat untuk membukanya, terlebih mengangkat panggilannya. Sudah bisa dipastikan jika itu dari pacarnya, Ermin.
Saat melihat ke jalanan, Vini mengayunkan tangannya untuk memberhentikan taksi yang lewat.
Hingga empat taksi tidak ada yang mau berhenti, hingga taksi ke lima.
“Lurus aja, Pak!” ucap Vini setelah mendudukkan pantatnya di kursi penumpang. Sopir taksi itu pun menjalankan mobilnya tanpa bertanya lagi.
Dilihat dari kaca depan, terlihat jika penumpangnya sedang tidak baik-baik saja. Sopir pun tidak berani untuk bertanya, atau pun menanyakan sesuatu.
Vini seperti mengulang kesalahan yang tidak ia perbuat saat berhadapan dengan Erita. Ia tidak tahu apa kesalahannya, tidak tahu dosanya, juga tidak tahu kenapa Erita terlalu membencinya. Bahkan, di awal pertemuan mereka.
Vini jadi mengingat-ingat, apakah dulu pernah dengan Erita sebelumnya? Vini rasa tidak. Ia belum pernah bertegur sapa sebelumnya. Bertemu pun belum.
Vini sedang menyalin kertas untuk laporan rapat nanti. Ia berada di pantri bersama dengan Dita.
“Gila ... Lo bisa bertahan sama Ermin itu udah hal gila yang pernah ada tau, nggak? terus hubungan lo sama Ermin gimana?”
Benar.
Vini telah menceritakan semuanya. Kejadian tidak mengenakkan yang menimpa dirinya, yang dulu dilakukan di tempat umum, tapi semalam di rumahnya.
Dita yang notabene sahabat Vini terkejut dan sangat khawatir menjadi satu itu, menyuruhnya untuk mengambil langkah terbaik untuk keduanya.
Vini masih diam, menatap kertas-kertas yang keluar dari mesin dan mengusapnya pelan.
“Mending lo ngomong baik-baik, deh, sama Ermin. Gue khawatir sama lo.” Dita mendekat, mengusap punggung Vini.
Vini menoleh, menyilangkan kedua tangannya di dada. “Gue juga bingung, Dit. Salah gue apa, ya? Belum lagi, teror yang kejadiannya cuma di malem Minggu, jam sebelas. Pusing gue.”
“Seleseiin satu-satu, Vin. Lo bukan mesin yang bisa ngerjain sekaligus banyak. Lo punya keterbatasan.”
Vini mengambil kertas yang telah selesai disalin, dan kertas aslinya di atas mesin.
“Lo nggak bikin kopi? Tumben?”
Melihat temannya tidak biasa untuk tidak membuat kopi membuat Dita heran. Pasalnya, Vini penggila kopi.
“Nggak mood. Kayak gue kalo ketemu Ermin.”
Mereka hendak keluar dari pantri, tapi seseorang mengejutkan keduanya. Dia menggeseer pintu kayu, dan muncullah Ermin dari balik pintu.
Vini langsung izin untuk duluan, dan Ermin menyusulnya. “Tunggu, Vin!”
“Vin,” panggilnya sambil memegang lengan Vini. Mereka sudah sampai di ruang rapat dan Vini membagikan kertasnya di atas meja.
“Aku sibuk, Er. Ngomongnya nanti aja bisa? Nggak liat aku lagi bagiin kertas ke meja?” Vini masih fokus pada kertas-kertasnya.
“Aku minta maaf atas nama bunda, ya? Bunda sendiri yang minta kamu dateng, bunda bilang kalo dia udah nggak kenapa-kenapa sama hubungan kita. Aku nggak tau kalo kejadian di mal keulang lagi.”
Lagi-lagi, Vini harus mengingat hal pahit dalam hidupnya. Ia tidak pernah dipermalukan di depan umum seperti itu. Dan hebatnya, bersama Erita, semua itu terjadi. Vini dipermalukan. Hal yang belum pernah Vini alami selama hidupnya.
Mengingat zaman sekolah, ia memang selalu membuat ulah dengan mempermalukan teman-teman yang mengganggunya. Namun, itu jika ia diganggu terlebih dulu.
‘Vin?” Ermin memegang lengan Vini, langsung ditepis oleh si pemilik lengan.
“Udah pada masuk. Mending kamu duduk di kursi kamu.” Dengan masih sopan, Vini membalas ucapan Ermin.
Tepat saat itu, Riko, Kepala Bagian masuk dengan sekretarisnya. Membuat keduanya duduk di kursi masing-masing. Riko melirik Ermin sebentar, lalu menatap Vini.
“Vin, ini udah disalin semua?” Riko duduk di kursi paling depan, dan menyeret kursinya untuk mendekat ke arah Vini untuk menunjukkan kertasnya. Mereka terhalang satu kursi.
“Sudah, Pak.”
Satu per satu karyawan telah masuk, dan bergabung. Setelah dibaca-baca dan sedikit penjelasan di depan. Dengan penjualan juga keuntungan yang didapat. Mereka mengalami keuntungan besar untuk bulan ini.
Hal ini membuat Riko tersenyum puas akan hasil penjualannya.
“Tidak percuma kita menggaet artis papan atas seperti Gissele, ya, Pak,” kagum Vini sembari tersenyum ramah.
“Iya. Sebagai imbalannya, gimana kalo kita makan siang bareng?”
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top