Episode Empat: Cerminan
Kaki Zara sudah pegal sejak satu jam lalu berkeliling menemani ibunya menyapa kolega di aula hotel bintang lima ini. Zara harus tersenyum, terlibat percakapan interaktif, dan harus tanggap bila seseorang menanyakan pendapatnya mengenai suatu hal umum. Zara telah dibekali orangtuanya untuk mengikuti banyak info terkini mengenai dunia bisnis dan politik, jadi ia bisa menjawab semua itu semudah menyelesaikan soal aljabar.
Zara yakin sebentar lagi semua akan berakhir hingga tiba-tiba Ibu mendekatkan diri pada teman satu arisannya, Tante Sofia. Arisan itu terdiri dari para istri pemilik perusahaan yang tersebar di Jabodetabek.
"Zara, makin cantik aja, ya!" seru Tante Sofia kelewat bersemangat ketika Zara salim padanya.
Zara tersenyum tipis. "Tante juga cantik banget hari ini pakai gaun warna peach. Ini gaun yang waktu itu Tante beli di Milan, kan?"
"Panggil Mama aja, Sayang," sahut Tante Sofia dengan senyum penuh arti. Tante Sofia kemudian menarik lengan anak lelakinya yang berada di sebelah. "Ini Esa. Anak pertama Mama. Kalian pernah ketemu waktu main ke rumah Mama."
Lelaki di samping Tante Sofia itu mengenakan tuxedo warna cokelat. Rambutnya disugar ke belakang, menampilkan garis wajahnya yang tegas. Alisnya tebal dengan sorot mata tajam. Ada senyum tipis terbingkai di wajahnya. Zara tahu senyum formal itu, karena ia pun sering memasangnya, seperti sekarang.
Zara mengangguk sopan, begitu pula Esa. Zara paham arti tatapan antara Ibu dan Tante Sofia, juga senyum yang saling mereka lemparkan.
"Ini sudah malam banget. Ibu masih ada urusan, tapi kamu harus segera pulang karena besok masih sekolah, kan?" tanya Ibu seraya menoleh pada Zara. "Gimana, ya?"
Tante Sofia segera menyahut. "Oh, Esa bisa kok, antar Zara pulang. Iya, kan, Sa?"
Esa menatap Tante Sofia beberapa detik sebelum ia mengangguk. "Bisa. Esa senang kalau bisa membuat kebingungan Tante Ayu teratasi."
"Benar gak apa-apa?" tanya Ibu.
"Dengan senang hati, Tante."
"Panggil Ibu saja," sahut Ibu dengan tawa ringan. "Iya kan, Sofia?"
"Iya. Panggil Ibu saja, Esa."
Esa tetap menahan senyumnya. "Iya, Ibu."
Ibu dan Tante Sofia tampak kelihatan jelas betapa senangnya, sementara Zara hanya bisa menahan senyum seperti Esa. Tahu-tahu saja, setelah obrolan singkat, kini clutch Zara sudah berada di genggaman Esa, sementara tangan kanan Zara berada di pegangan Esa seiring mereka melangkah menuju lobi. Tahu-tahu saja, mobil Esa sudah dibawa valet menuju lobi, Esa membukakan pintu untuknya, dan kini Zara berada di mobil yang benar-benar asing.
"Sepertinya Ibu kita ingin kita bersama," cetus Esa seraya membawa mobil membelah keramaian malam. "Aku setuju-setuju saja, mengingat banyak keuntungan yang akan kita dapatkan. Kamu masih SMA dan aku masih kuliah. Mungkin mereka ingin kita bertunangan dahulu, dan setelah kamu lulus kuliah, baru kita menikah. Bagaimana menurut kamu?"
Zara menatap figur di sampingnya. Esa seperti cerminan Zara. Patuh, dari keluarga terpandang, dan memiliki masa depan yang terarah. Mungkin tidak buruk bila ia membersamai Esa? Lagipula, cinta tidak ada dalam kamus Zara. Memiliki pasangan hidup bukan tentang cinta, bukan?
"Cinta itu tidak ada. Yang paling penting di dunia ini adalah uang dan kekuasaan."
Suara Ibu terngiang. Zara tidak ingat kapan ia mendengarnya. Mungkin saat ia pertama kali melihat ayahnya dengan wanita yang bukan ibunya, mungkin juga tiap kali Ibu menjumpai adegan romantis di saat Ibu menimbrung Zara menonton di layar kaca pesawat. Terkait cinta, Ibu selalu bilang bahwa itu tidak ada.
Zara hendak bersuara ketika head unit Esa menampilkan satu nama: Syahrul Customer Service. Alis Zara mengerut. Memang Esa tidak meminta asisten untuk pengurusan seperti ini? Benak Zara bertanya-tanya.
"Halo, Sayang," sahut Esa setelah menerima panggilan tersebut. Suara perempuan yang jauh berbeda dari bayangan Zara tentang nama Syahrul balas menyahut manja.
"Kamu di mana? Kenapa nggak ke kos? Aku kangen banget sama kamu."
"Aku lagi jemput anak teman Mama, Sayang. Abis dari sini, aku ke sana, ya? Tenang aja. Aku sayang kamu."
Zara menatap Esa dengan tatapan kosong dan tak percaya. Ternyata, kehidupan pernikahannya nanti juga cerminan orangtuanya.
————— S A T U • S A M A —————
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tapi Zara baru selesai mengeringkan rambut panjang bergelombangnya. Badannya terasa remuk walau tadi ia berendam air hangat. Zara ingin sekali beristirahat di rumah, tapi tidak mungkin ia tidak masuk sekolah. Pelajaran yang tertinggal malah akan membuat beban pikirannya bertambah.
Zara mengambil ponsel seraya duduk di tempat tidur. Dirinya sudah mengenakan gaun tidur satin semata kaki warna merah muda pastel. Sementara rambutnya ia gelung dan dijepit satu. Notifikasi pertama yang ia buka tentu saja grup kelasnya.
Justin: Besok ada pertandingan persahabatan di SMA Budi Darma. Yang mau ikut kabarin, ya
Rafael: Gas. Siapa tau dapet jodoh di sana
Safa: Idih najis
Rafael: Nggak suka bgt looo
Caca: Mana ada yang mau sama orang yang bayar uang kas aja telat 🙏🏻
Abel: Minimal jangan langsung ulti
Rafael: Apa salah dan dosaku, apa salah ibuku, hidupku dirundung pilu
Zara terkekeh kecil. Sejak mengenalnya dari umur tujuh tahun, Rafael memang mudah sekali bergurau dan membuatnya tertawa. Sayang sekali ibu keduanya tidak tahan dengan dinamika keluarga Zara dan memilih melepaskan diri. Tentu saja Zara terluka ketika Mama Kinara pergi, tetapi Zara tidak bisa menahannya. Rafael juga sudah membujuk mamanya, tapi umur pernikahan lima tahun itu tetap tidak bisa dilanjutkan.
Tapi setidaknya, selama bersama Mama Kinara, Zara tahu rasanya ditanya sudah makan apa belum oleh seorang ibu.
Zara mengetikkan pesan di grup kelas.
Zara: Yuk, yang bisa dateng ke pertandingan, besok dateng
Zara telah menaruh kembali ponselnya ke nakas tempat tidur. Namun getaran ponsel membuat Zara kembali memanjangkan tangan untuk mengambil ponsel. Satu notifikasi dari ....
Linggar.
Mata Zara melebar. Terkejut.
Linggar: Tidur, Ra. Sudah malam.
Zara terduduk di tengah tempat tidur dengan bantal di pangkuan. Ia teringat kebaikan Linggar tadi siang. Segera ia membalas pesan pribadi lelaki itu.
Zara: Iya, ini aku mau tidur, kok. Oh iya, Linggar, buat tadi siang, terima kasih banyak, ya ☺️. Aku terbantu banget sama makanan dan obat yang kamu kasih ke aku. Aku sekarang udah nggak begitu demam dan besok semoga bisa tetep ke sekolah. Makasih banyak ya, Linggar. Kamu baik banget.
Linggar: Iya, sama-sama. Kalau bangun pagi, langsung minum air hangat, ya. Jangan lupa makan buah-buahan dan sayur. Kalau lagi belajar, jangan lupa istirahat. Ibarat elektronik, mesinnya juga harus dijaga. Jangan lalai.
Zara membaca ulang pesan Linggar untuk yang ketiga kali sebelum senyum terulas di bibirnya. Kali ini ia banyak tersenyum di depan kolega Ibu, tapi baru tengah malam ini ia benar-benar tersenyum.
Zara: Makasih banyak perhatiannya ya, Linggar ☺️🙏🏻 Aku mau tidur dulu
Linggar: Iya, Zara. Selamat tidur, ya.
Zara: Selamat tidur juga 🤗
Zara kini kembali pada posisi tidur semula. Ponsel telah ditaruh kembali di nakas. Lalu lintas pikirannya tadi begitu semrawut, namun setelah notifikasi Linggar hadir, lalu lintas itu jadi lebih tenang. Suara-suara berisik itu teredam.
Dan mata Zara kini memejam.
————— S A T U • S A M A —————
Zara memiliki satu keanehan. Mau selarut apa pun ia tidur, Zara akan bangun di jam yang sama: 04:15. Ketika bangun, Zara langsung merapikan tempat tidur, menunaikan salat Subuh, dan membaca buku. Setelah kelelahan yang ia rasakan semalam, Zara tetap membaca hingga sekitar jam 04:45. Barulah setelah itu ia siap-siap ke sekolah. Sekolahnya mulai jam 07:30, tetapi ia sudah sampai di sekitar jam 06:45. Kelas tentu saja masih lengang. Waktu tersebut Zara gunakan untuk belajar materi yang masih belum ia pahami atau materi yang nanti akan dipelajari di kelas.
Tapi, kali ini, Linggar menjadi yang pertama berada di kelas, mengalahkan Zara.
Zara termangu sesaat mendapati Linggar sudah ada di tempat. Ia mengecek jam. 6:34. Padahal, Zara sudah sepagi ini, tapi ia tetap kalah juga, sama seperti peringkat di angkatan. Zara tidak bisa mengalahkan Linggar si pemegang peringkat pertama dari semester satu. Zara mengerucutkan bibir sedikit kesal, lalu berjalan ke arah mejanya. Zara sebenarnya tidak masalah bukan dia yang jadi pertama, tetapi kesal saja kalau rupanya usahanya menjadi orang yang pertama datang ke kelas bisa dipatahkan Linggar, sama seperti soal peringkat.
"Ra," panggil Linggar ketika Zara sudah duduk nyaman di tempatnya.
Zara menoleh ke belakang. Linggar memang duduk berjarak dua meja darinya di belakang, di baris sebelah kiri Zara. "Kenapa, Linggar?"
"Udah mendingan?"
Kekesalan itu menguap, terganti hati Zara yang menghangat mengingat kebaikan Linggar di UKS kemarin. Zara hendak meminta kotak makan Linggar ia bawa untuk dicuci dan akan Zara isi dengan makanan lagi, tapi Linggar menolak keras dan mengatakan ia tidak melakukan itu untuk mendapat balasan. Jadi, Zara bingung. Ia tidak terbiasa memiliki utang budi dengan orang lain.
"Udah," jawab Zara kelewat pelan.
Merasa canggung karena tadi sempat kesal, Zara kemudian bangkit untuk melakukan ritualnya di pagi hari; merapikan taplak meja, membersihkan papan tulis, menuliskan hari dan tanggal di sudut atas kanan panan tulis, dan memastikan spidol berfungsi.
Sementara itu, Linggar mengamati kesibukan Zara seraya membaca buku pelajaran. Bukannya Linggar tidak berniat membantu, tapi Zara selalu menolak karena baginya itu merupakan tugas sekretaris.
Karena penolakan itu, Linggar jadi tidak ada peluang untuk mendekatinya. Itu yang Zara tidak sadari dan mungkin tidak akan ia sadari kecuali Linggar mengatakannya secara blak-blakan. Namun, memang Linggar siap bila ia juga ditolak seperti laki-laki yang mengagumi perempuan itu? Kadang, Linggar berharap jadi ilmu pengetahuan saja agar Zara tertarik mempelajarinya.
Linggar sudah mulai tenggelam dalam aktivitasnya ketika tiba-tiba, wangi mawar menghampiri penciumannya. Wangi mawar selalu identik bila Zara mendekat, jadi Linggar tahu bahwa perempuan itu berjalan ke arahnya. Linggar meneguk ludah, kemudian mendongak. Benar saja. Zara berdiri di depan mejanya dengan tangan saling tertaut. Lalu, ketika Linggar menatapnya, Zara segera duduk di depannya. Kedua kaki Zara menghadap luar, sementara pinggangnya memutar untuk bisa menghadap Linggar, sementara kedua tangannya terlipat di depan meja.
"Linggar...."
Bisa nggak, suaranya nggak gitu? Benak Linggar bertanya-tanya, frustasi.
"Kenapa?" tanya Linggar setelah berdeham-deham.
"Kamu kok bisa peringkat satu?" tanya Zara tiba-tiba. "Aku kepikiran dan penasaran. Dari semester satu, kamu selalu jadi yang pertama. Aku berusaha buat di peringkat kedua aja itu udah susah banget, Linggar."
"Jadi peringkat dua juga udah bagus banget, Ra."
Zara mengerucutkan bibir. Sungguh, menggemaskan sekali. "Tapi, aku juga mau tau rasanya jadi peringkat pertama, Linggar.... Aku dari TK belum pernah jadi peringkat pertama. Pasti selalu kedua atau ketiga. Paling buruk peringkat delapan."
Linggar terkekeh kecil. Ada seribu satu masalah kehidupan dan perempuan di hadapannya terganggu masalah peringkat.
"Terus kamu mau gimana?" tanya Linggar lembut.
Zara menatap ragu Linggar, kemudian memendarkan pandangan ke sekitar seperti hendak maling mangga tetangga. "Aku boleh nggak ... berada di sisi Linggar?"
Linggar nyaris saja tersedak. Namun, ia tahu, ucapan Zara tadi ambigu, jadi ia bertanya, "Maksudnya?"
"Gini...." Zara menegakkan punggung. Rambut panjang bergelombangnya tampak cantik terkena sinar matahari pagi yang tembus dari jendela kelas. "Aku mau tau kenapa Linggar bisa peringkat satu. Caranya adalah mengamati cara kamu belajar, keseharian kamu gimana. Biar aku bisa tahu dan meniru. Soalnya, setau aku, Linggar nggak pernah ikut bimbel. Sementara, aku yang udah ikut bimbel dan tutor privat, tetep aja nggak bisa peringkat pertama kayak Linggar."
Tuh, kan, sahut Linggar dalam hatinya. Linggar tersenyum tipis. Ia menaruh telapak tangannya pada rahang kiri, menatap perempuan menggemaskan di hadapannya.
"Hidup aku gini-gini aja, Ra. Aku juga makan nasi, kok."
"Ish," seru Zara, kembali mengerucutkan bibir. "Linggar juga dapat keuntungan, kok. Aku akan bayar ke kamu tiap kali aku perhatiin cara kamu belajar."
Kini, punggung Linggar yang menegak. Senyumnya juga perlahan memudar. "Bayar gimana?"
Zara menatap Linggar tepat di mata, seolah ucapannya tadi wajar-wajar saja ia katakan. "Iya, karena misal kamu udah bersedia jadi mentor aku, ya, aku harus bayar kamu. Ibaratnya kayak tutor privat. Gitu, Linggar. Kalau kamu masih ragu, aku juga bisa buatin surat perjanjian selama aku jadi mentee kamu."
Linggar termangu di tempat. Ucapan Zara, walau dirangkai dengan lembut, tetapi terasa dingin dan jauh. Seperti ada jarak. Seperti ... semua tentang transaksional.
"Nggak semuanya selesai dengan uang." Linggar menghela napas berat.
"Semua pakai uang, Linggar."
"Nggak juga." Linggar menggeleng. "Kamu, tau, Ra, apa yang lebih berharga dari uang?"
Ada kebingungan di wajah Zara. Setelah lama berpikir, Zara menggeleng. Tidak ada suara di antara mereka, hanya terdengar suara petugas kebersihan menyapu daun-daun kering di lapangan.
"Waktu," sahut Linggar pelan. "Nggak kayak uang, waktu nggak bisa kembali, Ra."
Zara membisu.
"Lo boleh liat cara gue belajar, tapi sebagai gantinya, kasih gue waktu lo."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top