#27 . Den-Ja-Ka


Bimo tersenyum manis pada gadis di depannya yang kini tengah melahap semangkuk mie ayam terlezat yang paling terkenal seantero daerah Way Ratai. Dia tidak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk membantu bisnis ayahnya di daerah Lampung, gugus terdepan pulau Sumatra, justru membawanya berkenalan dengan gadis paling baik, cantik, dan ramah yang berhasil mencuri hatinya.

"Sudah selesai Han?" tanya Bimo pada gadis itu.

Hani, gadis berambut hitam legam panjang itu mengangguk menjawab pertanyaan Bimo. Beberapa sisa potongan mie seukuran butir nasi tertinggal di sudut kanan bibirnya membuat Bimo tak bisa menahan tawa. Hani hanya melongo melihat orang yang mengajaknya makan siang hari ini tertawa keras tanpa henti di sampingnya.

"Ada apa ya Bimo? Ada yang salah?" Hani bertanya ketus karena Bimo tak jua menghentikan tawanya yang mulai membuat perhatian beberapa orang dalam kedai kecil itu terarah pada mereka. Jelas bahwa Hani bukanlah orang yang suka menjadi pusat perhatian dan sekali ini Bimo sudah membawanya pada keadaan yang paling dibencinya.

"Bimo... berhenti! Kalau kamu nggak berhenti juga, saya keluar sendiri biar kamu yang bayar semua ini...."

Bimo akhirnya sadar kalau Hani marah dan menghentikan tawanya. Wajahnya menjadi kaku dan dengan serius dia mendekatkan wajahnya ke telinga Hani. Pergerakan ini terjadi begitu lama bagi Hani hingga dia merasa bahwa cardionya bekerja semakin cepat setiap sepersepuluh detik dan alveolusnya gagal menukar karbon dioksida dengan oksigen sehingga dia gagal melakukan kegiatan bernama respirasi yang merupakan kunci seseorang untuk bisa bertahan hidup.

Akhirnya wajah Bimo berhasil mencapai daun telinga Hani, karena dia bisa merasakan hembusan nafas Bimo yang membuat bulu kuduknya berdiri. "Kenapa harus marah, Hani?" Bimo berbisik pelan dan kemudian tangannya dengan cepat menyapu sisa-sisa makanan yang menempel di ujung bibir Hani. Hani bersumpah bahwa dia tidak akan mengijinkan Bimo melakukan hal itu lagi karena dia akan mati sesak napas jika seandainya Bimo mengulanginya untuk kedua kali lain waktu nanti.

"Ayo pulang..." Hani langsung berdiri dari duduknya berusaha menyembunyikan pipinya yang merona merah akibat ulah usil Bimo tadi.

Bimo bukan laki-laki bau kencur yang tidak tahu bahwa saat ini Hani sedang ingin mengalihkan perhatiannya dari hal-hal mengenai kemungkinan bahwa Hani memiliki perasaan pada pria itu. Bimo senang mendapati kenyataan tersebut, karena itu berarti perasaannya mulai berbalas.

Selama ini mudah bagi Bimo mendaratkan hati dari satu wanita ke wanita lain. Bukan sekali dua kali dia berhubungan dengan dua atau lebih perempuan di waktu yang bersamaan. Bodohnya, tak ada satupun dari mereka yang marah mendapati fakta bahwa Bimo telah menduakan, menigakan, atau memberapapapunkan mereka semua.

Bimo bisa melakukan hal itu di Jakarta, kota kelahirannya, tapi tidak di tanah lampung. Hati Bimo langsung terpaut saat setahun yang lalu dia bertemu dengan Hani, perempuan perantauan dari Malang yang berkuliah di Bandung dan akhirnya memilih bekerja sebagai guru bahasa Jerman di Way Ratai, wilayah pusat pelatihan marinir di Lampung.

Mereka tanpa sengaja bertemu di pantai Kiluan saat Bimo sedang berkutat dengan kameranya membidik berbagai spot menarik di pantai indah namun sepi pengunjung itu. Kala itu lensa kamera Bimo tanpa sengaja menangkap pergerakan tangan Hani yang sedang duduk membungkuk dengan serius di atas batu karang besar dan sibuk membuat sketsa matahari yang seakan ingin tenggelam ke bawah laut di ufuk barat sana.

Hani dengan rambut panjang hitam yang bergerak melambai tertiup angin dan goresan gesit pensil lukisnya serta baju terusan panjang dari katun berwarna kuning yang terkena gaya gravitasi jatuh ke bawah menyetuh pasir masih melekat di benak Bimo bahkan hingga saat ini ketika sudah lewat setahun setelah kejadian itu. Efek kehadiran Hani begitu besar terasa dalam hidup Bimo. Perlahan namun pasti Bimo mendekati Hani, namun tidak secuilpun celah untuk mengambil hati pernah Hani berikan padanya.

Ribuan mangkuk mie ayam sudah mereka habiskan bersama selama setahun ini. Ratusan sketsa dan foto mereka buat bersama di pantai Kiluan. Puluhan cerita telah mereka bagi bersama. Beberapa ciuman Bimo pernah mendarat di pipi Hani. Sayang, tidak sekalipun gadis itu mau membalas perasaan Bimo yang bahkan sudah pernah dia deklarasikan sebelumnya.

Bimo sang Cassanova sekarang sudah terjerat. Bimo si penakluk wanita akhirnya berhasil ditaklukan dengan skak-mat oleh gadis lugu macam Hani.

"Hah..." Bimo mendesah ketika pantatnya berhasil mendarat di jok mobil. Hani yang duduk di sebelahnya sempat mendengar desahan itu dan akhirnya jadi tertarik untuk bertanya, "Ada apa sih Bim?"

Bimo menghentikan aktifitasnya memasang kunci untuk menyalakan mobil. Kepalanya kini menoleh kepada Hani dan matanya memandang lurus pada dua bola mata besar Hani yang ternyata juga berwarna hitam pekat seperti rambutnya. Mata itu begitu dalam pikir Bimo. Bimo selalu ingin menyelami mata itu namun Hani tidak pernah sekalipun membiarkan mata hitamnya terbaca oleh siapapun, tidak juga Bimo.

"Hani..." Bimo memulai perkataannya yang mungkin akan menjadi another love proposal yang akan dia ucapkan pada Hani. "Kamu tahu sudah hampir setahun kita kenal satu sama lain. Selain itu juga sudah hampir tiga bulan sejak saya bilang ke kamu kalau saya punya perasaan lebih untuk kamu. Saya tidak tahu apa yang salah karena kita tetap dekat seperti biasa, kamu tetap menjadi Hani yang saya kenal, hubungan kita tetap sedekat yang saya tahu.... tapi kamu bahkan belum pernah membahas lagi tentang pernyataan saya tiga bulan yang lalu. Should I bold it? Saya suka sama kamu, saya cinta sama kamu dan saya butuh kamu..."

"Cukup ...." Hani merintih pelan. Hatinya terkoyak kembali. Inilah alasan dia selalu merutuki kebodohannya sampai bisa tertarik pada pesona pria dengan wajah keras dan mata coklat bernama Bimo. Seharusnya sejak awal Hani bisa menjaga perasaannya dan memposisikan diri di luar garis yang sudah dia tetapkan sebelumnya.

"Hani..." Bimo bingung karena detik kemudian tangis Hani pecah dan anak sungai airmata mengalir di pipinya. Direngkuhnya tubuh Hani untuk menenangkannya. Bimo mulai berpikir mencari penjelasan akan semua ini.

Setelah beberapa menit Hani mengurai pelukan itu dan mulai menenangkan diri. Bimo hanya berdiam menunggu sampai Hani bersuara kembali.

"Kalau kamu mau sama saya, kamu harus buat kita berdua mati hari ini...."

Bimo tersentak kaget dan wajahnya membeku pucat. Dia tidak bisa mengerti maksud ucapan Hani. Hani sadar dia sudah membuat pilihan yang berisiko, tapi inilah hidup, ajang menentukan pilihan hati masing-masing.

Hani mengambil sebuah benda dari dalam tas jinjingnya lalu lekas memberikan benda itu pada Bimo. Lencana. Hani memberi Bimo sebuah lencana dan hal itu membuat Bimo semakin memucat. Bimo tahu itu lencana apa karena dia sudah akrab sekali dengan benda itu. Bedanya kali ini di lencana itu terukir nama Hanifa Pratiwi, nama wanita pujaannya.

"Saya sebenarnya seorang denjaka. Tugas saya memata-matai kamu selama setahun ini dan saya harus membunuh kamu besok pagi pukul sepuluh di pantai Kiluan. Bisnis senjata dan narkotika keluargamu sudah mengancam negara ini, Bim. Saya tidak tahu harus memilih negara ini atau memilih kamu. Jadi kalau kamu mau bersama saya, kamu harus membuat kita berdua mati hari ini...."

Bimo tidak habis pikir dengan kenyataan ini. Wanita yang dicintainya ternyata adalah pasukan khusus tentara Indonesia yang bertugas menghabisi nyawanya. Bahkan jika ini adalah lelucon, Bimo tidak bisa tertawa karenanya. Hal ini terlalu fiksi, tidak mungkin nyata.

"Kamu bercanda..." kilah Bimo dengan suara bergetar.

"Ich macht dich... Ich liebe dich...."

Cukup itu saja. Cukup bagi Bimo mendengar ucapan lirih dari Hani yang merupakan ungkapan sayang dan cinta dalam bahasa Jerman. Cukup dengan dua frasa itu Bimo bulat menentukan pilihannya.

Bimo melempar lencana milik Hani ke bahu jalan yang berbatasan dengan kebun coklat. Tiga detik kemudian mobil SUV hitam itu dikemudikannya bak roket Apolo yang hendak terbang ke bulan. Bimo tidak lagi berpikir dengan otak dan logika. Hatinya memerintah dia untuk melaju membawa nyawanya dan nyawa orang yang dicintainya berpacu dengan takdir.

El Maut selalu hinggap kala diundang dan kali ini Bimo sedang mengadakan pesta untuk mengundang kehadiran sang dewa kematian. Tak perlu pikir panjang dibantingnya stir mobil ke kanan dan dibiarkannya mobil itu ditarik oleh ratusan gaya di bawah jurang sana.

Bimo dan Hani sudah memilih jalan hidup mereka. Bersatu dalam dekap Cupid, anak Eross dan El Maut , raja kematian. Tanpa perlu bernapas lagi mereka saling menyatu satu sama lain.

"Saya cinta kamu dan itu cukup Hani...."

"Saya menyayangi kamu selalu Bimo... terimakasih...."

El Maut tertawa bahagia.  

***

Denjaka : Detasemen Jala Mengkara, satuan elit gabungan antara personel Kopaska dan Taifib Korps Marinir TNI-AL yang ditugaskan untuk menjaga wilayah kelautan Indonesia dari ancaman-ancaman sejenis terorisme dan lain-lain. 

2012, Cerita Pendek Pertama yang saya buat. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top