#24 . Dear Dean
Dean, apa kabarmu? Adakah kamu masih sama seperti dulu, mencoba untuk memeluk bulan dan menggapai bintang? Adakah bulan yang kau peluk dan bintang yang kau gapai masih milikmu sendiri saja? Atau sudah kau bagi dengan orang lain, gadis impianmu itu?
Sudah terlalu lama aku terpuruk pada perasaan ini. Kebodohan yang kusokong sendirian. Detak jam di hidupku terus bergerak, ragaku terus bertumbuh, sayang sekali, memori yang membekas di sini harus berhenti pada titik dimana tubuh ini masih terbalut si putih abu-abu.
Hari itu hujan Dean, kamu baru selesai berkutat dengan labu-labu elenmeyer dan tabung-tabung reaksi di laboratorium sekolah. Aku ingat sekali hari itu adalah jadwalmu untuk mengikuti ekskul kelompok ilmiah remaja, namun kurasa teman-temanmu satu ekskul sudah pulang sejak tadi, jauh sebelum langit mengabu dan menurunkan tangisannya.
Kutanyakan itu padamu dan kau hanya tertawa tanpa menjawab. Aku jadi bingung. Apa yang salah dengan pertanyaan itu? Aku hanya terlalu tertarik padamu, Dean. Salahkah itu?
"Kamu tidak salah kok, hanya saja kita baru pertama bertemu dan kamu menanyakan itu?" kamu menjawab pertanyaanku dengan senyum hangat yang melebihi kehangatan sinar radiasi manapun di dunia ini.
Ah ya.. itu memang pertama kalinya kau bertemu denganku, melihatku, dan menyadari kehadiranku. Sebenarnya aku sudah lama melihatmu, menyadari kehadiranmu dan begitu tergila dengan pesonamu. Sayangnya, aku memang tak pernah terlihat dan dilihat. Aku ini kasat mata. Sulit sekali bagi orang-orang baru untuk memfokuskan sepasang mata mereka pada seorang dari kelompok buangan sepertiku ini.
"Oh iya.." aku tertawa tak jelas menanggapimu. Hal itu justru membuat tawamu menjadi semakin lebar. Aku senang mendengarkan tawamu. Bagiku, itu terdengar seperti alunan musik dari Tchaikovsky yang biasa menggubah lagu-lagu romantis untuk opera ballet. Suara tawamu mampu membuat ribuan dendrit-dendrit di syarafku mengantarkan impuls lebih cepat dari biasanya dan merangsangku untuk terus dan terus menari dalam angan.
"Aku Dean..." kamu memperkenalkan diri padaku. Aku hanya bisa menyembunyikan tawa yang hampir meledak keluar. Untuk apa lagi memperkenalkan diri Dean? Bisa kau tanya satu persatu penghuni sekolah ini, tidak ada yang tidak mengenal dirimu.
Bagaimana bisa manusia unik sepertimu tak dikenal Dean?
Kamu begitu berbeda bahkan sejak kita baru saja menjadi murid baru di sekolah. Deandra Nugraha, siswa kelahiran Amerika namun seratus persen berdarah Indonesia, keturunan Jawa dan Sumatera. Dean, anak laki-laki yang sejak kelas empat SD pindah ke Indonesia, namun hingga memasuki bangku SMA masih juga belum bisa berbicara bahasa Indonesia dengan normal. Dean yang tidak mampu mengucapkan frasa lo-gue dan hanya bisa menggunakan aku-kamu-saya.
Oh Dean.. sejauh itu sudah aku mengetahui segala hal tentangmu dan kamu bahkan belum tahu namaku?
"Aku Lana..." kusodorkan tangan kananku untuk menyambut jabat tanganmu. Genggamanmu kala itu sehangat senyum di bibirmu.
"Kamu anak kelas sepuluh yang baru masuk? Aku baru melihat kamu di sekolah ini..." kata-kata itu keluar dari mulutmu. Kalau saja kamu bisa menembuskan pandanganmu jauh ke dalam hatiku, maka kamu akan menemukan hati itu sudah tidak berbentuk lagi, Dean. Patah sudah karena kau hancurkan.
"Aku kelas tiga.. satu angkatan denganmu. Aku dari kelas bahasa, jadi mungkin kamu jarang melihatku," aku paksakan bibirku tetap melempar senyum. Aku tidak mungkin membuat mukjizat takdir yang kudapati saat ini tersia-sia begitu saja. Kesempatan berbicara denganmu tentu tak akan pernah datang dua kali kan?
"Betulkah? Heran sekali aku tidak pernah melihatmu sebelumnya, bahkan hingga kita sudah kelas tiga?" raut mukamu yang menjadi begitu terheran-heran mendapati kenyataan itu membuat rasa sakitku sedikit terobati. Kau.. terlihat begitu peduli padaku. Kamu saat itu seperti seseorang yang akhirnya menemukan sahabat lamanya kembali.
Akhirnya kita terlibat dalam pembicaraan yang hangat dan seru. Hal itu terjadi seolah-olah sudah lama sekali kita ingin bicara satu sama lain namun tertahan. Semua tumpah ruah begitu saja saat itu.
Hujan berhenti sudah dan kita harus segera mengakhiri pertemuan yang begitu singkat itu. Jelas sekali aku enggan mengakhirinya. Namun aku sadar diri, Sang Cupid, anak Eros, sudah terlalu berbaik hati menghadirkanmu kepadaku kala itu dan aku tak ingin meminta lebih. Begitu saja sudah cukup. Semua sudah terjadi begitu indah.
Kita berpisah dan berjalan ke rumah masing-masing. Aku pikir setelah itu tidak akan ada lagi memori yang bisa terlukis antara kita berdua. Ternyata, Cupid itu begitu baiknya, dia memberikan lebih banyak lagi memori untuku bersamamu.
Aku percaya tidak seorangpun di antara kita yang saling mencari. Semua adalah takdir. Kita selalu dipertemukan. Bagaikan matahari yang terbit di timur dan tenggelam di barat, seperti itulah pertemuan kita terjadi. Pasti akan ada waktunya untuk kita dipertemukan. Aku bahagia, belum pernah sebahagia itu.
Setelah itu, rasanya bangunan sekolah menjadi begitu sempit untuk kita. Dimanapun itu, rasanya kita selalu saja bertemu.
Saat mengunjungi perpustakaan, kau ada di sana dan melihatku. Kitapun langsung terlibat pembicaraan seru tentang naskah-naskah Tohari dan Pramoedya yang tidak pernah bisa kau mengerti. Ketika perutku berteriak-teriak minta asupan dan aku berjalan menuju kantin, kembali kita bertemu karena kau ternyata juga akan menuju ke sana. Lagi, kita terlibat diskusi yang begitu hangat dan seru, bak kawan lama. Selalu bertemu denganmu, bercakap-cakap lagi dan lagi.
Seperti heroin, hal itu begitu adiktif. Sehari saja tidak bicara denganmu dan semuanya terasa begitu menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan daripada saat aku hanya bisa mengagumi dari jauh. Aku menyesal tapi juga bahagia. Jadi aku menyesal atau bahagia? Aku tidak pernah tahu.
Semakin lama, kita semakin dekat. Tak terhitung sudah berapa pesan singkat yang terkirim darimu untuku dan dariku untukmu. Sudah berjam-jam waktu kita habiskan di bangku kantin, perpustakaan, laboratorium sekolah, lapangan basket, dan lain-lain hanya untuk berdiskusi mengenai banyak hal.
Aku bilang aku suka memeluk bulan dan menggapai bintang. Kamu bingung dan bertanya bagaimana bisa manusia memeluk bulan yang diameternya saja mencapai 3474 km. Aku kelepasan tertawa mendengar pertanyaanmu. Kau semakin menatapku dengan tatapan bingung yang tak lagi tersembunyikan.
Aku baru sadar dan ingat bahwa kau adalah Dean, si anak rasional yang sulit menggunakan otak kananmu itu untuk berimajinasi dengan kata-kata kiasan barang sedetik saja. Jelas saja kau tidak mengerti maksud perkataanku.
"Dean, aku tidak benar-benar suka memeluk bulan dan menggapai bintang..."
"Lalu?" kedua matamu bercahaya memantulkan jingganya matahari sore itu di lapangan basket sekolah.
"Bagimu kata-kataku itu tadi seperti apa?"
"Ehm..." matamu langsung terpejam dan keningmu berkerut seolah kau sedang menyelesaikan teorema fisika terbaru yang mematahkan teori relativitas milik Einstein yang sangat terkenal itu.
Tak berapa lama kemudian, bola mata hitam legammu tampak kembali dan memantul di bola mataku yang kecil. Bibirmu terbuka perlahan dan menjawab pertanyaanku itu, "Ehm... seperti mimpi..."
"Itu dia..." kataku antusias. "Itu semua mimpi, Dean. Aku suka sekali bermimpi. Mimpi itu bebas, mimpi itu sesuatu yang boleh kita gapai dan boleh juga kita simpan saja sebagai bunga tidur semata. Mimpi itu adalah bentuk nyata kebebasan.."
"Aku juga selalu bermimpi tiap malam, tetapi tidak pernah sepertimu yang susah-susah berpikir untuk menjadikan mimpi itu sebagai sebuah kesukaan, apalagi hobi..."
"Ayolah Dean, cobalah sekali-sekali bermimpi dalam arti yang lebih luas. Bayangkanlah akan jadi apa kau sepuluh tahun lagi, duapuluh tahun lagi, tigapuluh tahun lagi, dan seterusnya. Kau akan menemukan indahnya bermimpi, Dean..."
"Akan kucoba.." kau tersenyum simpul dan aku membalasnya dengan tulus.
Sejak itu kau jadi menikmati betapa nyamannya memiliki bulan untuk dipeluk dan bintang untuk digapai. Aku senang bisa memperkenalkan bulan-bintang itu untukmu Dean. Setidaknya jika nanti kau sudah benar-benar berhasil mewujudkannya, kau akan selalu ingat siapa yang sudah mengenalkan mereka semua padamu.
Sebenarnya, aku sungguh ingin tahu mimpi-mimpi apa yang selalu kau bayangkan. Adakah aku menjadi salah satu bagian darinya? Haha.. mimpi... Kau bilang kau tidak ingin membaginya dulu. Kau katakan padaku kalau mimpi itu akan kau bagi suatu saat nanti dengan orang yang tepat. Aku mengartikannya sebagai 'kamu bukanlah orang yang akan kuikutsertakan dalam rencana perwujudan bulan-bintangku'.
Aku tahu aku hanya perantaramu, namun aku bahagia. Begini saja sudah cukup. Ini sudah begitu indah.
Dean, tak lama kemudian kita benar-benar bertemu dengan waktu yang tepat untuk mewujudkan bulan dan bintang yang kita bayangkan selama ini. Kau begitu bersemangat mengikuti ujian demi ujian yang kita jalani. Aku? Aku sudah cukup muak dengan segala hal bernama ujian. Sejak terlahir ke dunia, aku selalu diuji. Miris memang, namun itulah hidup, harus berwarna.
Ucapan selamat dan bahagia kutunjukkan tulus padamu yang hari itu begitu bahagia karena mendapat nilai ujian nasional terbaik di Jakarta dan tertinggi kedua di Indonesia. Aku turut bangga dengan keberhasilanmu itu. Sungguh.
Di hari itu pula kita harus dengan rela melepaskan semua kaitan-kaitan yang pernah kita punya. Kau harus berangkat ke Bandung demi mewujudkan bulan-bintang impianmu. Aku juga harus segera ke Jogjakarta untuk kembali menyusun bayangan baru bulan dan bintang-bintang milikku. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu, yang jelas aku sangat hancur. Sekali lagi aku harus mengalaminya, perpisahan.
-oOo-
Sudah dua tahun berlalu sejak hari itu dan tak satupun dari kita pernah memulai untuk berdiskusi lagi mengenai bulan dan bintang-bintang yang pernah kita bayangkan bersama. Tak ada pesan singkat darimu sejak hari itu, padahal aku sengaja tidak mengganti nomor ponselku. Email-pun takada yang terkirim darimu untuku.
Tentu saja aku sangat sakit, rasa sakit itu menjalar dari hati sampai kepala hingga menembus sendi-sendi tulang ini dan menimbulkan rasa sakit yang begitu hebat disekujur tubuhku. Cinta yang aku miliki ternyata memang hanya satu arah. Kesempatan yang Cupid berikan padaku tak bisa kugunakan untuk merebut hatimu itu.
Aku yang sekarang hanya bisa tergolek lemah dan semakin melemah karena berkuat diri mempertahankan memori yang pernah kau ukir dalam hidupku. Sebisa mungkin aku meyakinkan diri untuk tidak melakukan operasi itu yang kemungkinan besar akan menghapus ingatanku sama sekali tentang kehadiran seorang Dean dalam kehidupanku.
"Lana..." suara lembut Mama menyapu telingaku.
"Iya Ma?" aku menjawab lemah pada sosok wanita yang semakin hari tampak semakin ringkih di sampingku ini.
"Mama mohon Lana, demi Mama... lakukan operasi pengangkatan kanker di otakmu ya sayang. Kamu tentu masih terlalu baik untuk meninggalkan mama sendirian di dunia ini kan?" air mata Mama menetes turun dan membasahi selimut yang menyelimuti diriku dari dinginnya pendingin ruangan di Rumah Sakit Panti Rapih ini.
"Aku nggak ingin, Ma. Aku lebih suka menyusul papa daripada harus merelakan otaku dan segala memori-memori yang ada di sana diangkat bersama dengan kanker itu, Ma..."
Aku mencoba berkuat diri. Papa, mungkinkah ini cara papa menjawab bulan dan bintangku selama ini yang jauh di dalamnya hanya terukir untuk bertemu papa lagi?
Sejak papa pergi sepuluh tahun lalu semuanya berubah. Mama dan aku hidup dalam roda yang stak di bawah dan tak kunjung bergerak dan mejadikan posisi kami setidaknya lebih nyaman dan tidak tertindih.
Mungkin ini yang terbaik untuk Mama sehingga Mama tidak perlu lagi kesusahan menangani anak penyakitan sepertiku. Mungkin ini alasan sang Cupid memberikan Dean untuk kukenang di saat-saat terakhir.
Inikah yang terbaik?
Dean, bisakah sekali ini saja kau membantuku menjawab persoalan ini? Aku berjanji ini adalah yang terakhir Dean. Oh Dean....
***
Februari, 2014
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top