#2 . Dan Jujur ...
Dan Jujur .....
terakhir kutatap mata indahmu
dibawah bintang bintang
Pernah mendengar pepatah yang menyebutkan bahwa kenyataan itu menyakitkan dan bahwa kejujuran terkadang bisa balik melukai kita? Saat ini aku baru mengerti bahwa ada batas yang buram antara kejujuran yang melukai dan menyembuhkan. Setidaknya pernah sekali dalam hidupku aku merasa lega sudah jujur pada segalanya.
Malam itu berbintang, seperti malam-malam biasanya. Hanya saja kali itu aku merasa bahwa bulan dan bintang bersama-sama menghujaniku dengan sinar mereka agar aku semakin yakin bahwa keputusan yang kuambil sudah benar.
Kutarik napas dalam-dalam kala itu. "Tus, gue suka sama elu...."
Titus Pandji. Berdiri membeku di sampingku. Awalnya kami hanya ingin melihat bintang sambil menunggu gerimis reda dan kami bisa segera kembali ke kosan setelah sebelumnya bersama-sama mengerjakan beberapa tugas kampus.
"Jangan ngelawak lah, Tita! Apaan sih! Gak lucu." Dia tergelak kaku. Canggung. Kami tahu sama tahu aku tidak sedang bercanda.
"Tus. Kenapa elu sama Aneke dan gak sama gua?" aku meracau lagi.
"Tita, elu lagi sakit ya? Atau kenapa sih? Capek abis ngerjain tugas tadi?" Titus masih berdiri menatap bintang, enggan melihat ke arahku.
"Kalau gua bilang gua lebih cinta dan sayang sama lu dibanding apa yang Neke rasain buat lu, apa lu percaya?"
"TITA!" akhirnya Titus berteriak dan mengguncang tubuhku.
Aku terlonjak kaget. Belum pernah ada dalam sejarah Titus berteriak kepadaku. Tidak pernah. Dia pasti benar-benar kesal dan marah. Sayangnya aku tidak kuat lagi harus menahan perasaan ini. Titus yang kukenal sejak awal kami masuk kuliah tiga tahun lalu, yang kemudian dekat denganku, yang kemudian .... tanpa kusadari mendekati sahabatku – Aneke, yang kemudian menjadi kekasih sahabatku, yang kemudian mengoyak hatiku. Titus yang tanpa permisi ternyata sudah mengambil separuh napas, hidup, dan jiwaku.
Bayangkan bagaimana aku bisa tahan lagi menahan perasaan sayang pada kekasih sahabatku sendiri.
Aku benci menyakiti mereka.
Tapi aku benci berdusta.
Jadi kemudian ketika aku berkata jujur tanpa dusta, aku dibenci mereka?
"Tita. You'd better not tell Aneke about this. I will pretend I don't hear anything this night. Gua jalan duluan, hati-hati jalan ke kosan..." kemudian dia berjalan pergi dari trotoar tempat kami memandang bintang dengan khusyuk sebelumnya.
Aku benci menyakitu mereka.
Tapi aku benci berdusta.
Dan sekarang aku lebih benci lagi menyakiti diriku sendiri.
Aku benci diriku.
Kejujuran adalah hal yang selalu aku tawarkan pada setiap orang yang mampir dalam kehidupanku, tidak terkecuali Aneke yang sudah bersamaku sejak sekolah menengah. Esoknya dia datang ke kamarku menangkap basah mataku yang sembap. Masih dengan keibuan menanyakan apa yang membuatku menangis.
"Kamu," jawabku. "Dan Titus ..."
"Ta?" tatapannya bingung dan kosong.
"Aku suka Titus, Ne"
"... ..."
"Aku cinta Titus..."
"... ..." aku tahu Aneke kaget mendengarnya. Perlahan Aneke keluar dari kamar kosku.
"dan aku sayang kamu, Aneke..." bisiku setelah yakin dia sudah jauh.
***
jangan kau pilih dia
pilihlah aku
yang mampu mencinta mu
lebih dari dia
Dan kejujuran memang menyakitkan. Tetapi kebohongan memakan kebahagiaan. Lebih baik sakit lalu sembuh dari pada semakin lama tidak bahagia bukan?
Aku tidak pernah menyesali pernah berkata jujur pada Aneke dan Titus. Tidak dulu dan tidak sekarang. Meski tidak ada hal yang benar-benar kembali seperti dulu dan meski aku kehilangan teman laki-laki serta sahabat terbaikku secara bersamaan, aku lega. Lega karena tidak memakan kebahagiaanku sendiri secara perlahan. Serta lega karena walaupun menyakitkan tetapi segalanya menjadi lebih menenangkan.
Aku dan Aneke tidak pernah lagi bicara sejak hari itu. Dia menganggapku tidak ada. Aku dan Titus? Kami tidak pernah bertemu. Aku tidak berusaha mencari dia dan dia tidak merasa perlu mencariku –sepertinya. Hanya aku dan ruang pojok dekat jendela besar di perpustakaan yang tahu bahwa diam-diam aku masih memandangi Titus dari kejauhan.
Titus dengan jeep birunya.
Titus dengan tas ransel hitamnya.
Titus dengan kaos bertuliskan kata-kata provokasinya.
Titus tanpa Aneke.
Titus tanpa wanita.
.
.
.
Titus yang entah bagaimana ceritanya menemukan bahwa tidak ada yang bisa menggantikan Aneke. Atau tidak ada yang bisa menggantikanku?
Ah.
Tidakkah mereka berdua berpikir aku penghancur segalanya.
Bukan begitu, manusia. Karena kejujuran menyakitkan, tetapi kejujuran menenangkan. Dan jujur ....
Pilihanku.
bukan ku ingin merebutmu
dari sahabat ku
namun kau tahu
cinta tak bisa
tak bisa kau salahkan
***
2015, Oktober
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top