#11 . Sepasang Sepatu

"Kamu udah makan?"

Aku menggeleng sebagai jawabannya. Tidak bersuara. Masih berkutat dengan kumpulan soal persiapan tes masuk PTN. Entah sudah berapa lama aku terjebak dengan soal-soal ini.

"Nih..."

Mendadak sepiring nasi dengan rendang masakan Mama tadi pagi sudah tersaji di depanku. Sebetulnya aku tidak ingin makan dulu karena soal-soal ini masih sepenuhnya menjadi tanda tanya untukku - gelap dan abstrak- Sayangnya rasa lapar dan juga rendang berbumbu ekstra wangi itu menggoda selera dan menghancurkan niatku untuk tetap berkeras belajar dulu.

"Eh, Penyu..." omelku, "singkirin dong makanannya, nanti aja deh gua makannya. Belom selesai nih ngerjain soalnya.."

Si Penyu -pemberi makanku- malah tertawa. Dia lalu menyahut dengan suara baritone khas miliknya, "Kamu tuh ya! Makan dulu! Jangan terlalu maksain belajar, nanti malah stress loh.."

"Ya lo sih enak, otak encer, gampang aja masuk FK dan dapet nilai A bertebaran. Nah gua? Bisa masuk PTN aja udah untung..."

Lagi dia terkekeh. "Kamu tuh ya, dibilangin bandel banget sih. Kalau emang merasa nggak mau masuk FK ya nggak usah dipaksain..."

"NOPE!" aku langsung berteriak. Damn! Harusnya dia tahu kalau dia adalah satu-satunya alasanku memilih FK, di PTN, dan di Jakarta. Cuma dia. Bukan karena demi mengejar gelar anak pintar, atau ciita-cita muluk menyelamatkan Indonesia dari ribuan penyakit. Aku mau jadi dokter hanya karena dia, Penyu, pemilik hatiku berada di sana.

"Aku senang dengan apa yang aku punya sekarang, dan aku tahu mau nggak mau kamu juga ingin punya pencapaian yang sama kayak aku. Tapi aku takut... aku takut kalau kamu malahan melewati batas kemampuanmu..."

Pahit. Sekali lagi kata-kata macam ini. Pahit. Hatiku merasa pahit. Rasanya pahit seakan harus keluar. Muntah. Tumpah ruah.

"Penyu. Gua tahu apa yang gua lakuin. Gua udah memutuskan untuk terus berjalan ngikutin langkah lo, meskipun gua tahu kita nggak akan pernah bisa jalan bersisian...:" aku menarik napas sebentar. Rasanya.... rasanya seperti ada yang panas-panas ingin keluar dari sudut mataku. Yes.. tears. Jenis tangis apalagi ini?

"Penyu, mungkin lo akan takut gua kelelahan, atau kedinginan karena hujan badai yang harus gua tempuh. Tapi itu nggak masalah. Selama gua masih bisa lihat elo.. selama gua tahu elo ada di depan gua, menunjukkan langkah buat gua. Dengan itu aja gua udah senang..."

Tanpa aba-aba, Penyu memelukku. Tanpa peduli kami sedang ada di rumah, di kamarku, dan Mama ada di dapur sehingga bisa sewaktu-waktu menangkap momen menyayat hati ini.

Ah... selalu begini.

"Aku tahu, Inge.." Penyu berbisik. "Mungkin kita ini cuma sepasang sepatu, Inge.. tapi sepatu harus berpasangan baru bisa dipakai, meskipun sebenarnya mereka nggak akan pernah berdampingan. Kalau memang menurut kamu begini sudah cukup.... aku akan coba untuk nggak berlari terlalu kencang, nggak berjalan ke jalan berbatu, dan nggak terus melangkah kalau sedang ada hujan badai. Kamu akan terus setia mengikuti kan?"

Kuurai pelukan dan mengangguk.

"Suatu saat nanti pasti ada jeda kan, nyu? Di mana kaki berhenti melangkah dan akhirnya sepasang sepatu bisa berdiri berdampingan?"

Penyu menggerakkan kepalanya, mejawab iya.

Aku tersenyum. Begini saja sudah baik. Aku dan Penyu, kakak beradik sejak masih SMP, berdampingan selalu, melangkah bersama walau tidak bersisian. Banyak sekali bentuk cinta di dunia. Mungkin kekasih bukan jadi tempat kami bersatu. Tapi persinggahan sebagai saudara tiri nampaknya cukup nyaman.

Cinta memang banyak bentuknya, mungkin tak semua bisa bersatu.

***

November, 2014 

terinspirasi dari lagu fenomenal Tulus, 'Sepatu' . 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top