Bab 41. Senja-senja Yang Kembali Pulang
4000 kata nih. Sebagai permintaan maaf karena aku ngaret 🤧🙏🏻
Jadi, chapter ini panjaaaanggggg banget . Baca baik-baik yaaa.
Tinggalin komentar, tandai typo, jangan lupa vote, dan ... SELAMAT MEMBACA!!
(Sengaja update pas sore, karena chapter ini spesial😬😬)
----------------------------------------------
Bab 41. Senja-senja Yang Kembali Pulang
***
SABTU terakhir di bulan Februari, Nirbita memutuskan untuk pergi ke toko bunga yang biasa ia kunjungi ketika akan ziarah ke makam sang nenek. Tempatnya berada di bagian timur kota, mendekati perbatasan, beberapa meter sebelum memasuki gerbang tol.
Gerimis yang semula turun di sela sinar matahari mulai bergantikan rinai padat. Nirbita perlu sedikit berlari untuk mencapai pintu hingga lonceng di atas berbunyi. Begitu masuk, aroma floral langsung menyergap indera.
"Selamat datang di Spring Beez Flower." Seorang gadis —yang semula sibuk memasukkan bunga-bunga ke dalam showcase flower— tersenyum ramah ketika tatapan mereka bertemu. Lalu, gadis itu berjalan menghampiri. "Ada yang bisa dibantu?"
Sejenak, Nirbita tertegun dengan kecantikan orang di hadapannya. Ia merasa seperti melihat dirinya di masa lalu. Kulit putih pucat, rambut panjang hitam legam, dan sorot netra yang teduh.
"Eung...." Tidak ingin dianggap aneh, Nirbita cepat-cepat mengalihkan pandangan pada penjuru ruang. Segala jenis bunga menampakkan presensi dan value masing-masing melalui aroma manis serta warna yang cantik. Tapi, ia tidak kunjung menemukan yang dicarinya di sana. "Aku lagi cari calla lily putih. Apakah ada?"
"Wah, baru setengah jam yang lalu seseorang datang membeli tangkai terakhir," ucap gadis itu dengan senyum yang terus terpatri di bibir. "Sejak bulan kemarin, import calla lily memang mengalami penurunan karena musim dingin. Jadi stoknya terbatas."
Nirbita manggut-manggut. Sekarang, ia beralih pada ember-ember berisi segala jenis bunga di bawah kakinya. Dalam hati ia mulai menimbang-nimbang bunga apa yang akan dibawanya hari ini, ia sedikit kebingungan karena sudah terbiasa membawa calla lily dari tahun ke tahun, sebab Nenek menyukainya.
Dulu, untuk membuatnya terlelap, Nenek sering menceritakan sebuah dongeng. Entah itu berasal dari majalah Bobo atau buku lain yang tidak ia mengerti. Namun, ada satu cerita yang masih membekas hingga kini, karena Nenek menceritakannya secara berulang.
Kisah itu bermula di sebuah keluarga suku Afrika yang tidak memiliki apa-apa selain gadis cantiknya. Suatu hari, pemimpin suku seberang yang terkenal jahat tertarik dan berniat untuk mempersunting gadis itu. Namun, bukannya penerimaan, ia justru mendapat sebuah penolakan yang menggores telak harga dirinya sebagai lelaki.
Oleh karenanya, ia kembali datang untuk membantai habis seluruh penduduk desa, dan menyisakan gadis itu seorang. Karena paksaan, juga tidak tahu lagi mau berlindung kepada siapa, akhirnya gadis itu menyerah dan pernikahan pun digelar.
Hari itu, si gadis memakai gaun berwarna putih yang nampak indah sekali di tubuhnya. Namun, tidak ada raut kebahagiaan yang terpancar, tatapannya kosong ketika berjalan menghampiri sang calon suami. Ia ... tidak bahagia. Ia bahkan tidak mau sekedar menerima uluran tangan pemimpin jahat yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.
Maka, ketika matanya melihat kobaran api di bawah tungku masak, gadis itu memilih berlari dan mengakhiri hidupnya dengan menjadi debu. Menyisakan teriakan dan tangis yang meraung panjang. Sementara jauh di atas sana, para Dewa yang menduduki surga melihat seluruh kejadian itu. Dan untuk mengabadikan keberanian yang tertanam di hati gadis cantik itu, mereka menyelamatkannya lalu mengubahnya menjadi bunga putih yang begitu cantik. Calla Lily.
Bunga yang pada awalnya memang ditemukan di Ethiopia, Afrika Selatan. Mereka tumbuh liar di tepian danau dan sungai, lalu menyebar ke wilayah basah lainnya. Hingga sampai di sini, dan merebak legendanya ke telinga Nirbita.
"Untuk ziarah kan?"
Lamunan Nirbita lebur seketika. Ia menaikkan pandangan untuk menemukan gadis tadi sudah berdiri dengan setangkai bunga berwarna putih di tangannya.
"Mungkin, kamu bisa bawa bunga eustoma untuk mengiri do'a-do'a yang kamu hantarkan pada ... dia." Gadis itu mengulurkan bunga di tangannya pada Nirbita. "Perasaan cinta, kedamaian, dan kasih yang tulus tumbuh di dalam kelopaknya. Tapi, jangan terlalu digenggam ya. Dia rapuh."
Nirbita mengamati bunga yang bentuknya menyerupai mawar itu lalu kembali menatap gadis di hadapannya. Sejak awal, ia curiga gadis itu bisa membaca segala hal yang ada di kepala. Mulai dari tujuannya ziarah, juga bunga untuk si dia, neneknya.
Nirbita ingin mengulik lebih dalam dan bertanya-tanya dari mana gadis itu tahu, tapi waktu menuntutnya agar bergerak cepat.
"12 tangkai, ada?"
"Ada." Gadis itu kemudian membawa Nirbita ke bagian dekat jendela. Di sana, sebuah ember berisikan bunga yang sama terletak di bagian bawah rak panjang. "Eustoma juga memiliki banyak warna. Putih, peach, ungu, dan ... kamu mau warna apa?"
"Putih."
Lalu, gadis itu mengambil satu genggaman bunga tersebut dan berjalan ke meja panjang untuk merangkainya sesuai permintaan.
Selagi menunggu, pandangan Nirbita menyusuri setiap lekuk ruangan yang beberapa telah berubah. Ada lampu gantung di tengah-tengah ceiling, cermin berbingkai emas di atas etalase, juga tirai-tirai kristal yang menghias kaca depan. Nyatanya, sekitarnya telah banyak berubah bersama waktu. Seharusnya, ia juga demikian. Bukan memilih di tempat yang sama tanpa melakukan apa-apa.
Nirbita menghela napas. Ia memilih kembali, mengamati cara gadis di depannya merangkai yang masih terkesan kaku. Rambut hitam legamnya yang panjang terjuntai menyentuh lengan atasnya, berkali-kali harus gadis itu singkirkan hingga pekerjaannya selesai dan menyerahkan pada Nirbita.
Usai membayar, Nirbita bergegas keluar. Namun, belum sempat mendorong pintu, gadis karyawan toko itu memanggilnya dan memberikan satu tangkai peony berwarna merah muda.
"Namaku Violet, karyawan baru di sini, setiap shift sore," katanya. Hal itu membuat kedua alis Nirbita terangkat. "Sebagai pengenalan dan permintaan maaf karena rangkaian bunga pertamaku kurang bagus, aku ... mau kasih kamu ini." Nirbita menerimanya, lantas ia menghidu wanginya ragu-ragu. "Kalau kamu nggak suka, kamu bisa kasih bunga ini ke dia yang lain."
"Dia yang lain?"
Violet mengangguk. "Dia yang pantas mendapatkannya."
Nirbita hanya tersenyum saat mendengar penuturan tersebut. Sebelum benar-benar pergi, lebih dulu menghibur gadis itu, memuji bouquet buatannya, lalu mengucapkan terimakasih.
Sepanjang perjalanan, pikirannya seperti tertinggal di sana, di hadapan gadis bernama Violet tadi. Teringat kalimat terkahir yang gadis itu ucapkan, ia mengamati bunga pemberiannya, memainkan kelopaknya sebentar.
"Kamu bisa cari arti bunga ini di website Hanakotoba, nanti kamu pasti tahu siapa dia yang aku maksud."
Karena penasaran, ia membuka ponselnya untuk mencari tahu info tentang bunga peony tersebut. Ada banyak sekali artikel yang memuat tentang bunga ini, sehingga artiannya tidak lagi utuh, legendanya pun bermacam-macam.
Kemudian, ia beralih pada website yang dimaksud. Hanakotoba.
Menyandarkan tubuh, Nirbita menghabiskan waktu membaca cerita panjang tentang bunga tersebut. Seharusnya, memindai tulisan di dalam mobil membuatnya mual, tapi kali ini ia justru tersenyum kecil ketika mulai mengerti kepada siapa subjek 'dia' akan berhenti.
"Sudah sampai, Non. Saya tunggu di sini ya," ucap Pak Darman.
Mendengar itu, Nirbita menoleh ke sekitar. Begitu menyadari sudah tiba di tujuan, ia dan bergegas turun. Setelah melewati petak demi petak makam, gadis itu bersimpuh di sebelah gundukan tanah yang ditumbuhi rumput teki. Ia meletakkan bunga eustoma dan mulai berd'oa diiringi tangis yang terdengar menyesakkan. Entah berapa lama tenggelam bersama kesedihannya, Nirbita sampai tidak menyadari keberadaan seseorang yang memperhatikannya dari jauh. Gadis itu terlalu fokus pada kerinduan dan sakit yang menghantamnya bertubi-tubi. Ia bahkan baru selesai ketika suaranya hampir habis. Itu pun karena ponselnya bergetar oleh sebuah pesan beruntun.
Sekala Diwangkara
Ta, dimana?
Hari ini jadi kan?
Gue udah di depan rumah
Bibi bilang lo keluar
Kemana atuh?
Kemana?☹️
☹️
Tataa
Nirbiiw
Ta?
Nirbita mengusap air matanya. Ia menenangkan diri sejenak, mengatur napas agar isakannya redam. Setelah dirasa lebih baik, ia menghubungi nomor lelaki itu.
"Dimana?" tanya Sekala begitu panggilan tersambung.
"Gue lagi di San Diego Hills." Nirbita berdeham sebab suaranya terdengar serak. Ia menggurat rumput sambil menerawang jauh ke bentangan air Danau Lake Angels di sana. Angin yang menubruk ranting-ranting albizia menciptakan gemersik menenangkan setelah hujan reda. "Ini ... abis nyekar. Bisa ketemuan di JI Expo nggak? Mau jemput Mama dulu soalnya."
"Loh. Lo ke Karawang sama siapa?? Sendiri?"
"Nggak. Gue sama sopir."
"Eung...."
"Kenapa?"
"Nggak boleh gue jemput langsung ya?"
"Jangan aneh-aneh deh. Udah diem di situ. Bentar lagi gue pulang. Oke?"
"Huuu ... tadi nggak bilang."
"Dadakan, La."
"Gue berarti harus ke Kemayoran nih? Bukan Karawang? Yakin?"
"Iya. Jangan nekat loh. Gue bakal tinggal."
"Nggak boleh jemput beneran ya?"
Nirbita tersenyum kecil akan tingkah Sekala. Apakah orang-orang tahu kalau lelaki itu ternyata memiliki sifat persuasif yang menuntut di awal, namun menyerah di akhir?
"Jauh. Nanti lo capek nyetirnya. Abis ini masih mau jalan lagi kan?"
"Huu.."
"Serius, ih," ujar Nirbita. Gadis itu mengusap sisa air matanya yang mulai terasa lengket di pipi. "Nanti gue hubungi kalau udah berangkat. Ya?"
"Huu ... padahal—" ucapan di seberang terpotong oleh gebrakan serta grasak-grusuk setelahnya. Hal itu membuat Nirbita mengerutkan dahi. Ia panik saat tidak mendengar suara Sekala lagi.
"Kala?"
Sedetik kemudian, "barusan HP gue jatuh. Kaget, kayaknya, ban mobil gue pecah deh, Ta."
Seakan melupakan fakta bahwa ia terisak hebat beberapa menit yang lalu, kini Nirbita dibuat tertawa oleh tingkah Sekala. "Kualat kan?" cibirnya.
Dengusan Sekala terdengar samar. Suara pintu tertutup mengikuti setelahnya. "Tuh kan bener."
"Ada bengkel nggak di sekitar situ?" tanya Nirbita.
"Nggak tahu." Sekala nampaknya panik. "Duh, bentar ya. Gue mau telfon Papa dulu. Nanti, kabarin aja kalau udah berangkat."
Saat panggilan sudah terputus, Nirbita memasukkan ponselnya ke sling bag. Ia kembali memandangi nisan neneknya dan mengusapnya pelan. "Namanya Sekala Diwangkara." Nirbita tidak tahu kenapa harus menceritakan Sekala, tapi setidaknya itu lebih baik jika harus menceritakan kesedihannya belakangan ini. "Ibu dan ayahnya udah meninggal waktu dia masih umur setahun. Nenek tahu? Mendiang ibunya artis terkenal. Itu ... yang lagunya biasa Mama dengerin."
Cerita tentang Sekala mengalir, menggantikan topik Raiden yang biasa ia sampaikan setiap berkunjung. Senyumannya perlahan terbit, ketenangan perlahan memeluknya hangat, dan kalimat Garin yang akhir-akhir ini menggerayangi kepala kembali menunjukkan presensinya.
"Udah hampir setengah tahun kedekatan lo sama Sekala, masa nggak ada peningkatan sih, Ta?"
Iya. Sudah setengah tahun. Kedengarannya, waktu bergulir dengan sangat cepat. Tapi, untuk seseorang yang hidupnya tidak stabil, cara kerja waktu menjadi dinamis sesuai lonjakan grafiknya. Kadang cepat dan merasa ditinggal, kadang lambat dan ingin segala pahit yang dirasa segera berlalu.
"Nek, aku pulang dulu ya. Nanti, kalau Sekala udah bisa nyetir yang benar. Aku bakal ajak dia ke sini."
Usai mengusap nisan neneknya sekali lagi, Nirbita berdiri. Gadis itu mengayunkan langkah ke arah mobilnya terparkir untuk melanjutkan perjalanan hari ini. Ia pergi meninggalkan jejak sepatu yang basah, juga seseorang yang hingga kini masih memilih bersembunyi di salah-satu kavling pemakaman yang lain.
Selama menuju Kemayoran, ia menghubungi Sekala dan membiarkan sambungannya tidak terputus. Lelaki itu mengatakan mobilnya sudah di bengkel berkat pertolongan sang papa. Namun karena antrean cukup panjang, saat ini Sekala sedang berada di dalam taksi menuju apartemen untuk mengambil motornya. Maka, begitu sampai JI Expo, Nirbita lah yang perlu menunggu. Tetapi, belum sampai lima belas menit, ia sudah melihat motor yang sangat familier itu berhenti di depannya. Padahal, barusan Sekala mengatakan jika baru menginjak lobi.
"Kok cepet banget. Ngebut ya?"
Tanpa menjawab, Sekala membuka helmnya lalu turun dari motor. Ia menghampiri Nirbita, memejamkan mata ketika tangan gadis itu terulur membenahi rambutnya yang berantakan.
"Kalau nyetir tuh jangan ugal-ugalan."
"Iya. Tadi gue pake motor kan, jadi nggak kejebak macet. Bisa nyelap-nyelip deh, makanya cepet," bela Sekala.
"Nyelap-nyelip apa nyalip-nyalip?"
"Sama aja sih."
Nirbita reflek memukul dada Sekala dengan bunga peony di tangannya. "Kebiasaan." Gadis itu menatap kelopak yang jatuh. Teringat akan sesuatu, ia meraih lengan Sekala dan meletakkan bunga itu di telapaknya.
Sekala sontak mengernyit bingung. "Buat gue? Dalam rangka apa?"
Nirbita mengangkat kedua bahunya. "Tadi gue baca, menurut mitologi Yunani, bunga ini jelmaan tabib Paean yang berhasil menyembuhkan sakit Dewa Hades. Makanya, gue kasih bunga ini ke seseorang yang ... sama."
"Oh.. wow." Hanya itu. Sekala kehilangan kata-kata. Ia menggaruk tengkuknya dan memilih menunduk mengamati bunga itu karena tidak dapat menyembunyikan pipi serta telinganya yang memerah.
"Nggak suka ya?"
Suka lah, anjrit. Cuma...
"Lo ... mau nyetir motornya?
Nirbita menelengkan kepalanya, lalu mengerjap beberapa kali. "Kenapa?"
"Gue udah nggak karuan dari tadi."
***
NYANYIAN ulang tahun mengudara, dibawa angin laut lalu merayap di telinga Nirbita dan Sekala. Pandangan keduanya fokus pada gerombolan anak pesisir yang sedang merayakan hari lahir salah-satu temannya. Mereka tertawa, saling melempar candaan, kemudian bersama-sama menceburkan diri ke laut —berenang di bawah kapal-kapal yang dijangkar— dengan tubuh setengah telanjang.
Sekala menoleh ke samping, pada Nirbita yang wajahnya dibias cahaya keemasan matahari. Perhatian gadis itu masih terpaku pada anak-anak pesisir tadi. Sudut bibirnya sedikit terangkat, memancarkan sebuah sihir yang membuat Sekala berani merangkum rambut yang mulai memanjang itu dan meletakkan di belakang bahu.
Kini, lengkungan indah di wajah Nirbita nampak lebih jelas ketika mata mereka bertemu.
"Kalau lo jadi teman kecil gue, dan hidup di pesisir kayak mereka, setiap ulang tahun gue bakal kasih kado perjalanan menjelajahi lautan," ucap Nirbita. Sebuah pemikiran yang tidak masuk akal mengingat perumpamaan itu bertokohkan figur kecil mereka. Namun, Sekala tetap mendengarkan. Ia menunggu suara lembut itu mengetuk lagi telinganya untuk sebuah kalimat acak dan tiba-tiba. "Ceritanya, Papa gue seorang nelayan, gue akan maksa dia untuk ijinin kita ikut berlayar. Dan kita ... kita bakal ngelihat lumba-lumba, berhadapan sama ombak tengah laut, terus nyanyi lagu ulang tahun sambil jagain ikan-ikan hasil tangkapan."
"Setelah itu?"
"Pulang." Nirbita menyelipkan bagian dress bawah lutut agar tidak tersingkap angin. "Karena, Mama udah nungguin di rumah. Dia udah siap sama sapu lidi buat pukul gue dan omelin Papa."
"Habis itu lo disuruh cepet mandi terus berangkat ngaji," tambah Sekala.
"Nah. Terus kita ketemu lagi deh di musholla komplek."
"Dan gue ngomong; Yah. Lo lagi, lo lagi."
Nirbita tergelak. Suaranya tumpang tindih dengan deru kendaraan-kendaraan besar di belakang. Bersama Sekala, segalanya terasa lebih baik akhir-akhir ini. Luka yang semula mengaga lebar kini mulai mengering. Memang sakitnya masih terasa ketika ditekan ulang, tapi Sekala selalu menenangkannya dalam keadaan apapun.
Lelaki itu selalu ada.
Tidak hanya sekedar membawakan banyak warna, namun juga menyelamatkannya.
Nirbita hampir berakhir sia-sia ketika suatu hari sang mama datang membawa kabar sidang perceraian yang bermuara pada sebuah perpisahan. Lalu, beberapa minggu kemudian, ia mendengar info bahwa dua klinik kecantikan dan pabrik La Asteria bermasalah dalam sengketa karena papanya menuntut hak kepemilikan lahan. Untuk meredam kekacauan itu sekali lagi Haira mengalah dan mencabut laporan KDRT yang sempat dilayangkan.
Tapi, yang membuat Nirbita hampir gila di tengah-tengah stresnya belajar adalah ketika mamanya lebih pemurung, jarang pulang, bahkan pernah hampir kecelakaan karena memaksakan mengemudi dalam keadaan mabuk.
Di saat terpuruk itu, Sekala datang membawakannya satu pack pen colour. Katanya, dibanding cutter atau benda tajam yang lain, lebih baik ia menggurat lengannya dengan benda bertinta warna-warni itu. Sekala bahkan mengajarinya menggambar, di tangan.
Mulai dari bunga, rerumputan, kartun disney, sampai bintang-bintang yang Sekala bilang akan menyala dan kabur ke langit ketika malam.
Mengingat kebaikan itu, hati Nirbita menghangat. Ia menunduk, memilih memperhatikan debur ombak yang menabrak pembatas beton tempatnya sekarang duduk.
"Ta."
Nirbita menaikkan pandangannya. "Ya?"
"Kalau lo jadi pacar gue, setiap ulang tahun gue bakal kasih kado satu kotak senja. Satu kotak senja untuk Nirbita."
"Emang bisa?"
"Bisa lah. Gue bakal nego sama langit," jawab Sekala yakin. Seolah ia telah berteman baik dengan semesta sejak ratusan tahun yang lalu.
"Terus gimana cara ngambilnya?"
Dalam balutan sisa-sisa cahaya matahari, Sekala menunjuk mencusuar yang berdiri di tengah laut. "Gue bakal ke sana dulu," katanya tanpa ragu kemudian menatap Nirbita. "Biasanya, setelah matahari lengser, anak tangga menuju langit muncul dan gue bakal potong satu kotak senja buat lo."
Dari jarak sekian jengkal, Nirbita dapat melihat keseriusan di mata penuh misteri milik Sekala. Tapi, ia bukan anak kecil yang percaya begitu saja. Meskipun ia tahu, lelaki itu sedang menjabarkan suatu hal dengan sebuah analogi 'satu kotak senja'. Satu kotak senja yang katanya untuk dirinya, Nirbita. "Gimana kalau misalnya, sampai kapanpun lo nggak bakal bisa dapetin itu? Karena ... mustahil."
Sekala tersenyum lagi. Ia mengulurkan tangan lalu menyelipkan rambut Nirbita di belakang telinga. "Gue bakal cari satu kotak senja yang lebih mudah untuk digapai."
"Emang ada?"
"Nggak tahu. Kan belum dicari."
Pelabuhan Sunda Kelapa mulai meredup. Matahari perlahan turun membuat cahayanya menyatu dengan riak air laut. Di depan sana, kapal-kapal pinisi mulai menepi. Lajunya berhenti dan para awak kapal mulai menurunkan logistik.
Dengan latar senja dan jejeran gedung pencakar langit, landscape pelabuhan sore itu terlihat begitu cantik.
"Lo serius mau kasih gue satu kotak senja?" tanya Nirbita.
"Serius. Gue nggak pernah bercanda kalau soal lo."
"Ya udah."
"Ya udah apa?"
"Ya udah. Kalau lo beneran mau nepatin janji itu, gue mau jadi pacar lo."
"Lo serius??"
Nirbita tersenyum. Gadis itu mengangguk dengan binar mata yang lebih hidup dari sebelumnya. "Gue bakal nerima segala bentuk senja yang bakal lo kasih nantinya."
Sekala terhenyak. Kedua matanya membulat sempurna karena jawaban Nirbita barusan. Tapi, tidak ingin terburu-buru menyimpulkan, ia kembali memastikan. "Apapun?"
"Apapun."
"Ini ... gimana?" Sekala mendadak gagap. Nirbita berhasil membuat cara kerja otaknya lumpuh seketika. "Lo mau jadi pacar gue??"
"Iya. Mau."
Jantung Sekala berdegup kencang. Saking kencangnya, ia sampai merasakan sakit dan sesak. Tangannya bergetar hebat. Mungkin akan terus begitu jika Nirbita tidak menggenggam telapaknya.
"Ta, ini beneran? Lo mau jadi pacar gue?" Sekala memastikan sekali lagi. Ia janji, ini yang terakhir. "Kita sekarang pacaran gitu kan?"
"Iya, La. Kita pacaran." Nirbita mengusap punggung tangan Sekala yang dingin menggunakan ibu jari. "Jadi, jangan lupa kado satu kotak senjanya setiap tanggal 31 Desember nantinya."
Sekala menelan ludahnya susah payah. Ia menatap mata Nirbita bergantian, menelisik setiap raut wajah yang terpancar untuk menemukan kebohongan tapi ia tidak menemukan apa-apa selain kecantikan Nirbita dan rasa cintanya yang semakin membuncah.
"Boleh peluk nggak? Biar tahu, ini nyata atau nggak."
Nirbita merentangkan tangannya, menyambut Sekala yang saat itu langsung menghambur, mendekapnya erat. "How lucky i am," gumam Sekala, terdengar serak. Dua tahunnya ... dua tahunnya tidak berakhir sia-sia. Cinta itu bersambut, segala usahanya berbalik memeluk erat. "Ini beneran kan, Ta?"
"Iya."
"I love you."
"Hm.." Nirbita mengusap pelan bahu yang sedikit bergetar itu. "I feel the same way."
***
HUJAN lebat selepas sore itu menggiring Nirbita ke apartemen Sekala. Tubuhnya yang menggigil membuatnya berakhir meminjam kaus kebesaran lelaki itu, melapisinya dengan sweater, lalu menimpanya lagi menggunakan jaket tebal agar dingin dari dalamannya yang basah sedikit teratasi.
Selagi Sekala mandi, ia bermain-main dengan Soang di ruang tengah sembari menonton televisi yang menyiarkan berita terkini. Gadis itu bergelung selimut, menenggelamkan tubuhnya di sofa dengan tangan tidak berhenti mengelus bulu halus kucing di gendongannya.
"Kamu mau ikut aku aja nggak? Nanti aku kasih makan Orijen. Biar kamu tambah gendut. Gimana?" Diangkatnya tubuh bulat yang meronta itu tinggi-tinggi, lalu ia daratkan ciuman serta pelukan erat. Mengabaikan erangan serta keinginan Soang untuk melepaskan diri. "Nggak mau ya? Kenapa?"
Meong..
"Aku nggak punya temen di rumah. Kalau kamu ikut, aku pasti nggak akan kesepian lagi." Nirbita merentangkan kedua kaki Soang lalu menepuk-nepuknya dengan gemas. "Aku janji kasih kamu makan yang banyak banget. Kamu lucu sih.."
Meong..
"Aww! Jangan digigit dong," pekik Nirbita ketika ujung ibu jarinya berhasil diterkam Soang. "Kamu galak ya, suka nyosor kayak soang," katanya sambil menyesap sedikit darah yang keluar. Tanpa melepas kucing itu, ia beranjak dari duduknya menuju wastafel dapur untuk mencuci lukanya. Namun, pegangan tangannya yang mengendur membuat Soang menggeliat dan berhasil melepaskan diri. "Eh." Nirbita mematikan kran, mengikuti jejak Soang yang kini bersembunyi di meja kaca dekat jendela. Ia berjongkok, menjulurkan tangan agar mencapai tubuh Soang yang semakin masuk lebih dalam.
"Sini, puss.. Jangan di situ. Nanti kamu kejepit."
Bukannya menurut, Soang justru merasa terancam. Ia mencakar lengan Nirbita, membuat gadis itu memekik dan reflek menegakkan tubuh. Suara benturan kencang antara kepala dan meja terdengar nyaring, vas bunga serta beberapa barang yang semula berada di atasnya ikut terlonjak dan berakhir di lantai. Termasuk bracelet yang semula melingkar indah itu, kini berakhir tercerai berai usai ikut tertarik cakaran.
"AKHH aduh...." Nirbita langsung memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Ia meringis, mencoba meraba-raba bagian yang mungkin saja terluka kemudian menarik dirinya keluar.
"Ta? Kenapa??"
Nirbita mendengar derap langkah mendekat. Tidak lama, sebuah rengkuhan dari belakang membuatnya menoleh, merasakan embusan napas hangat membelai sisi wajahnya.
"Kebentur meja."
"Astaga...." Sekala mengambil alih tangan Nirbita dan memeriksa luka di sana dan menemukan garis tipis kemerahan di permukaan kulitnya. "Kok bisa?" tanyanya sambil mengusap-usap kepala Nirbita dengan ujung rambut gadis itu sendiri.
"Tadi ngejar Soang," ucap Nirbita. Sakit, malu, dan kesal bercampur jadi satu. Ia menggigit bibir bawahnya, merasakan nyeri di kepalanya belum enggan reda. "Terus, lihat," ia menunjuk manik bebatuan yang berserakan di kolong meja. "Braceletnya putus." Setelahnya, ia beralih pada tangkai peony yang berada di tengah-tengah pecahan kaca. "Vas bunganya juga pecah. Maaf ya...."
Sekala menatap sekilas-sekilas ke arah yang dimaksud Nirbita kemudian kembali menatap mata gadis itu. "Nggak apa-apa. Tapi lo nggak amnesia kan? Soalnya, renyah banget suaranya tadi," ucap Sekala dengan kekehan di ujung. Nirbita merengut dibuatnya. "Gue siapa?" tanya lelaki itu memastikan. Lebih ke arah menjahili.
"Maung."
Sekala tertawa. Ia berhenti mengusap-usap kepala Nirbita dan meniupnya beberapa kali. "Ya udah. Ayo pulang. Biar nggak kemalaman," katanya seraya membantu Nirbita berdiri.
"Braceletnya?"
"Besok gue beresin. Ini Tante Haira udah nanyain dari tadi," katanya. Bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi. "Bentar, ya." Lelaki itu menjauh untuk mengangkat panggilan dari seberang, sementara Nirbita memilih berinisiatif membereskan kekacauan yang dibuatnya barusan.
Nirbita kembali masuk ke kolong meja untuk memungut butiran braceletnya dan mengumpulkan jadi satu. Ia sudah hendak melakukan hal serupa pada pecahan vas bunga, tapi Sekala mendekat dan menahannya melalui gelengan kepala.
"Iya, Pa. Ini aku mau nganterin Nirbi." Lelaki itu mengulurkan tangan, menyuruh gadis itu kembali berdiri. "Nggak kok? Cek aja kalau nggak percaya. Iya beneran."
Nirbita meletakkan bunga yang diambilnya ke meja. Sambil mencuri dengar sedikit obrolan Sekala, pandangannya tertuju pada sebuah kotak berwarna coklat di atas laci kecil dekat console piano. Ada ukiran dan satu kalimat dalam tangkapan matanya. Ia memicing, membacanya lamat-lamat.
"Habis ini aku langsung ke sana deh. Atau besok aja. Gampang. Aku antar Nirbita dulu ya. Iya janji. Iya, Papa. Hm ... Oke."
Panggilan berakhir, Sekala memasukkan ponselnya kembali ke saku. Ia menaikkan sebelah alisnya melihat Nirbita terus menoleh ke belakang. "Kenapa?"
"Itu ... satu kotak senja untuk Nirbita?"
Sekala mengikuti pandangan Nirbita. Matanya melotot begitu melihat objek yang dimaksud. Saat gadis itu hendak beranjak, ia menahan pinggangnya melalui rangkulan.
"Gue mau lihat."
"Eh, jangan dulu." Sekala panik. Ia segera membawa gadis itu menjauh. "Itu belum selesai."
"Penasaran. Itu apa sih??"
"Senja untuk Nirbita. Tadi kan lo udah baca." Sekala meraih sling bag yang tergeletak di sofa dan menyampirkan ke bahu Nirbita. "Ayo pulang. Kalau malam nanti nggak dibolehin main lagi sama Tante Haira," katanya kemudian mengayunkan langkah menuju pintu keluar.
"Gue mau lihat."
"Tunggu 10 bulan lagi. Kan lo belum ulang tahun," ucap Sekala seraya menyerahkan sepatu Nirbita yang berada di rak. Selagi gadis itu memasangnya, ia memperhatikan dengan seksama. "Kalau pakai flat shoes kasih plester, Ta biar nggak lecet gitu kakinya."
Nirbita meringis. "Lupa. Tadi keburu-buru soalnya."
"Mau pakai sandal gue nggak? Tapi kebesaran."
"Nggak usah."
"Ya udah." Sekala menekan digit-digit angka pintu unit apartemen. Begitu terbuka, lelaki itu menaikkan maskernya "Kenapa murung gitu mukanya?"
Nirbita menggeleng. Ia mengikuti langkah Sekala memasuki lift menuju basement. "Gue belum pamit ke Soang."
"Soang kabur sih. Kayaknya, dia trauma sama lo," canda Sekala. Ia merangkul dan mengusap kepala Nirbita penuh sayang. Dalam hati, ia masih tidak percaya akan perubahan status hubungan mereka hari ini. Semua terasa tiba-tiba. "Lo apain dia, huh?"
"Dia yang gigit sama cakar gue. Nih." Nirbita menunjukkan telapak tangan dan lengannya yang menjadi sasaran empuk Soang. "Harusnya gue yang trauma."
"Kok nggak bilang?!" Sekala meraih tangan Nirbita. Ia menatap lukanya dan mata gadis itu bergantian. "Tau gitu diobatin dulu. Biar nggak infeksi."
"Ih, nggak apa-apa." Pintu lift terbuka, mereka keluar dengan Sekala masih mengamati tangan Nirbita. "Ini tuh nggak seberapa. Gue kan—" Langkah Nirbita berhenti. Tubuhnya menegang saat matanya menangkap sorot tajam seseorang di hadapannya.
Melihat itu, Sekala melakukan hal yang sama. Ia menaikkan pandangan dan merasakan aura dingin menelusup ke bagian belakang tubuhnya, merambat hingga ke tengkuk. Seperti ada pusara angin yang berputar-putar di sana.
"Anak perempuan, pulang malam, dan main ke apartemen cowok. Mau jadi apa kamu? Pelacur?"
Genggaman Nirbita pada Sekala mengerat. Gadis itu berusaha terlihat tenang meskipun degup jantungnya berlomba-lomba menghentak dada. Ia mencoba untuk tidak menggubris. Maka, dengan langkah yang terkesan baik-baik saja, gadis itu berjalan melewati tanpa mengucapkan balasan akan kalimat menyakitkan tadi.
Nirbita pikir segalanya akan membaik ketika Sekala menenangkannya dengan bisikan pelan dan usapan di punggung tangan. Namun, saat merasakan tubuhnya ditarik kencang dari belakang, ia tahu bahwa malam ini akan berakhir buruk.
"Pulang sama Papa!!"
Tangisnya pecah. Bukan. Bukan karena sakit akan cengkraman di lengan atasnya. Tapi, karena satu kata yang terasa asing baginya akhir-akhir ini. Papa. Lelaki itu menyebut dirinya Papa lagi usai menghancurkan segala hal yang sudah ia susun mengenai figur itu dari tahun ke tahun.
"Om, jangan kasar gitu. Tenang, oke.." Meskipun shock akan kejadian di luar dugaan ini, Sekala mencoba mengejar ketika Nirbita diseret paksa untuk masuk ke sebuah mobil. "Kita omongin baik-baik dulu. Semua pemikiran buruk yang ada di kepala Om itu nggak benar. Aku dan Nirbita nggak ngapa-ngapain. Kami juga sudah ijin—"
Adrian menutup pintu mobil dengan bantingan keras dan beralih menatap tajam Sekala yang langsung kehilangan kata-kata.
"Kamu...." Ia menunjuk Sekala tepat di depan wajahnya. "Berhenti deketin Nirbita!!"
"Om...."
"Keluarga kami menutup pintu rapat-rapat untuk kalangan publik figur." Adrian menelisik penampilan Sekala dari bawah hingga atas. "Apalagi yang kontroversial kayak kamu."
---------------------------------------------
Seneng nggak?
Terlalu cepat ya jadiannya?
Iya. Soalnya sebagian chapter ku taruh di novel. Tapi, ini masih nyambung kok hehe
KESEL BANGET NGGAK SIH NJIR, DARI TADI MALEM NIRBITA SAMA SEKALA PAMER DI INSTAGRAM MEREKA PAKE LOVE LOVE SEGALA. PADAHAL GUE BELUM UPDATE😡
Btw, aku mau update chat mereka setelah ini di instagram aku. Stay tune^^
2000 vote dan 1000 komentar lagi
SPAM FOR NEXT
Mau update chat setelah chapter ini di instagram @yupitawdr_
---
Alasan Adrian marah dan ngomong kasar ke Sekala :
- Cuma sebuah tindakan impulsif karena dia trauma sama kejadian pemerkosaan Haira dan takut Nirbita mengalami hal yang sama. Tapi kan Adrian bilang Nirbita bukan anaknya??!!! Ya tapi kan Haira pernah bilang kalau Adrian itu pernah sayang banget sama Nirbita dan menyambut baik kelahirannya. Pasti masih ada sisa rasa mah kalau kata Mahalini.
- Dia bilang keluarganya gak suka orang dari kalangan publik figur, itu bener. Soalnya mereka emang jaga privasi banget. Ya kebanyakan old money emang begini sih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top