Bab 40. Sebuah Lagu dari Peri Bumi
Karena aku ngaret, aku kasih chapter ini panjaaaangggg rekkk!! Semoga suka yaaaa💗
SELAMAT MEMBACA
JANGAN LUPA VOTE DULU, ABIS ITU KOMENTAR
SAMA SATU LAGIII, minta tolong tandai typo hehehe
----------------------------------------------
Bab 40. Sebuah Lagu dari Peri Bumi
Dia pernah bilang; untuk menemukan sebuah kekuatan yang tersembunyi di dalam diri, kamu harus harus mau bertemu dengan ketakutan dan luka terlebih dahulu.
***
"COWOK kaya Kak Raiden tuh emang nggak pantas buat Kak Nirbita. Bahkan aku sekalipun."
Raiden mengetatkan rahang. Gumpalan emosi yang sejak tadi ditahannya semakin membesar, hampir tak terbendung. Jika Aruna sekali lagi melempar kalimat sebagai bentuk penyerangan, mungkin ia tidak bisa meredamnya lagi.
"Kak Raiden nggak pernah ngerasa cukup dan bersyukur sama apa yang kakak punya." Nada bicara Aruna begitu sinis. Gadis itu berdecih. "Seharusnya aku nggak perlu kaget sih. Karena, udah turun temurun dari keluarga kakak."
Raiden mencengkram stir kemudi untuk menyalurkan emosi. Ia melirik Aruna sekilas. "Diem, Na. Atau, aku bakal turunin kamu di sini."
"Aku cuma lagi ngomongin fakta." Aruna menyandarkan tubuhnya ke kursi, kemudian bersedekap. "Papa Kak Raiden kan begitu. Nggak pernah bersyukur," katanya. Ia terkekeh. "Kelihatannya doang adem, padahal suka main uang panas."
"Na!!" Bentak Raiden. Napasnya memburu, sebab amarah mengepul, naik hingga berhenti ubun-ubun. Ia menepikan mobilnya di tempat yang sedikit sepi lalu menatap Aruna tajam. "Turun!"
"Nggak mau."
Raiden memejamkan mata. Ia mengepalkan tangan, menahan agar tidak melayangkan pukulan pada Aruna. "Kamu ... berhenti, Na." Lelaki itu mengusap wajahnya kasar dan mengembuskan napas lelah. "Kamu kalau mau marah, marah ke aku! Jangan bawa-bawa keluarga!! Kamu keterlaluan tahu nggak!"
"Nggak tuh," jawab Aruna santai. Kontras sekali dengan Raiden yang wajah hingga telinganya memerah karena emosi. "Aku nggak ngerasa keterlaluan. Lebay deh." Tanpa dosa, ia membuka sun visor mobil dan bercermin di sana untuk membetulkan tatanan rambutnya yang mulai berantakan. "Yang keterlaluan justru Kak Raiden. Bisa-bisanya ganjen nyamperin Kak Nirbita ke rumahnya. Padahal kakak udah punya pacar."
"Harus berapa kali aku bilang, Na. Aku ke rumah dia cuma buat minta maaf. Nggak lebih. Kenapa kamu sampe sebegininya sih?!"
"Penting banget ya maaf dari dia?"
"Penting."
Aruna menatap Raiden, sedikit mencebik. "Ah, ternyata dia masih jadi bagian penting Kak Raiden ya," katanya. Gadis itu membuka seatbeltnya dan mencondongkan tubuhnya untuk memainkan kancing teratas kemeja Raiden. "Udah lupa kah kalau aku pegang rahasia-rahasia besar kakak?"
Raiden berdecih. Ia menaikkan tangannya melingkar ke leher Aruna, mencoba mengikuti gerak seduktif gadis itu. Saat mendapatkan satu ciuman, ia mendorongnya kasar. "Kalau kamu mau, silahkan bocorin semuanya. Kamu kasih tahu kalau kita suka having sex, clubbing, ciuman, atau apapun itu. Terserah. Aku nggak peduli," ucapnya dengan keyakinan setengah. Tapi, alih-alih memikirkan ulang, ia justru melanjutkan. "Semua konsekuensinya udah aku perhitungkan. Dan sekarang, aku nggak takut sama kemarahan atau cacian yang bakal aku dapat setelah ini."
"Brengsek!!"
"Yes, i am." Raiden menyeringai. "Mau aku tunjukin sisi brengsek lainnya?" Tanpa perlu menunggu jawaban. Aruna, Raiden turun dari mobil. Sedikit berlari memutar hingga akhirnya meraih pintu penumpang. Dengan paksa, ia menarik Aruna keluar.
"Bisa nggak jangan kasar??!! Aku bisa turun sendiri!!" Aruna mengamuk. Tidak peduli kelakuannya akan menarik atensi orang-orang, ia berteriak lantang.
Raiden menutup kembali pintu mobilnya dengan keras. "Sekarang, pulang sendiri sana."
Aruna melongo. Pikirnya, Raiden butuh udara segar makanya akan membicarakan sesuatu di luar. Ternyata.."Aku bakal kasih tahu kelakukan Kak Raiden kek Tante Galina!! Aku-"
"Terserah," pangkas Raiden. "Aku nggak peduli."
"Jangan karena aku banyak memohon, kakak jadi seenaknya ya!!" teriak Aruna. Tidak peduli kelakuannya akan menarik atensi orang-orang, ia menahan lengan Raiden dan menatapnya tajam. "Aku ... deketin kakak tuh bukan karena cinta. Jadi, jangan besar kepala deh," ujarnya. Ia tersenyum penuh kemenangan melihat raut kebingungan dari wajah lelaki itu. "Aku narik kakak masuk ke hidup aku, memohon biar kakak ninggalin Kak Nirbita, dan kasih semuanya, itu cuma karena untuk balas dendam. Nggak lebih."
Raiden menyipit. "Maksud lo apa?" tanyanya penuh selidik. "Balas dendam?"
Aruna mengangguk. Ia memainkan kukunya sejenak. Menikmati setiap detik yang ia gunakan untuk mempermainkan emosi Raiden. "Aku cinta Kak Sekala," katanya. Dan fakta itu berhasil mencekik Raiden. "Dan aku benci ketika tahu bahwa Kak Sekala suka ke Kak Nirbita. Makanya, kalau Kak Nirbita bisa ambil hati orang yang aku cintai, aku pun bisa melakukan hal yang sama."
Mendengar penuturan itu, Raiden terkesiap. "Gila ya lo!!" umpatnya.
"Don't we match?" Aruna membulatkan wajahnya, berpura-pura antusias. "You're a bastard and i am crazy."
Raiden meraih dagu Aruna, mencengkram sekuat yang ia bisa. Api dalam dirinya terus berkobar seiring tawa yang Aruna justru udarakan. "Lo ... mengerikan, Na!! Lo-"
Cuih
"Bangsat, Na!!"
Aruna meludahinya. Reflek, Raiden menampar gadis itu hingga tersungkur ke trotoar.
"Lo yang bangsat, anjing!!"
Belum sempat menoleh ke arah sumber suara, sebuah pukulan lebih dulu mendarat di rahangnya. Satu kali dan disusul pukulan lainnya. Sampai-sampai, ia terhuyung menabrak badan mobil. Ketika menaikkan pandangan, ia menemukan wajah penuh amarah Sekala di depan matanya.
"Punya jasa sebesar apa lo di hidup Aruna sampai-sampai berani nampar dia?"
Entah karena emosi atas penghakiman Sekala yang menurutnya terlalu memihak satu sisi, atau karena ia tahu bahwa titik dari kehancurannya adalah lelaki itu, ia berdiri dan membalas setiap pukulan tadi. Emosinya meluap, menjadi titik-titik keringat yang panas di tengah pertikaian itu.
Satu pukulan di rahang, ia balas tendangan di perut. Sekala tersungkur, hampir tertabrak motor yang melintas, memancing pekikan orang-orang. Lalu, ia mendengar derap langkah mendekat. Tubuhnya ditarik beberapa orang, begitupun Sekala.
"Kalau sampai lo nyakitin Aruna lagi, gue bakal habisin lo!!!"
Teriakan itu berdenging di telinga Raiden. Fokusnya kemana-mana saat sadar akan ekspresi kaget orang-orang di dekatnya. Ia tahu, mereka semua sudah sadar siapa yang mereka lerai saat ini.
Mantan publik figur terkenal dan anak pejabat Pemkot.
Tidak ingin semakin menjadi tonton, ia melepas cekalan di tangannya dan masuk mobil, meninggalkan segala kekacauan yang diperbuatnya barusan.
***
AKHIR-AKHIR ini, Nirbita menekuni rutinitas baru selepas bimbingan belajar. Seperti pulang naik angkutan umum, menepi di taman kota hingga larut, atau yang paling sering adalah makan malam di warung pinggiran -sebab ia sudah tidak lagi memperhitungkan berapa kalori dalam setiap harinya- lalu, ia akan sampai rumah ketika bintang-bintang sudah kalah beradu cahaya dengan lampu kota. Sementara di tengahnya, purnama menggantung, mengamati lalu-lalang Jakarta dari atas.
Rasanya ... melegakan.
Nirbita percaya pada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa di beberapa waktu, biasanya manusia ingin keluar dari lingkaran aman dan nyamannya untuk menjadi orang asing yang tidak dikenal siapapun. Yang tidak akan saling menyapa ketika bersitatap, yang tidak akan mengajak berhenti dan bercengkrama ketika terlanjur menyapa.
"Manusia itu memiliki sekat tipis antara dirinya untuk diri sendiri dan dirinya untuk ditunjukkan pada orang lain, Ta." Suara Sekala 12 hari yang lalu masih melekat di ingatan. Bahkan, senyum hangat beserta seleret cahaya yang melintang di atas kelopak matanya itu juga masih terekam jelas. "Di sekat itulah kadang manusia menepi, mengasingkan diri agar lebih dekat dengan jiwa, raga, dan Tuhannya."
"Lo sering mengasingkan diri?"
Waktu itu Sekala mengangguk tanpa ragu. Kepulan teh miliknya mulai menipis, sebab hangatnya dibawa angin yang sedang membantu hujan membasahi bumi. "Biasanya di kamar, dengerin musik, bengong, atau main sama Soang."
"Lo pelihara soang di rumah?"
"Soang itu kucing," jelas lelaki itu kemudian menyesap minumnya.
Dan cerita tentang latar belakang nama super aneh untuk kucing kesayangan Sekala itu pun terurai begitu saja. Sekala bilang, ia menemukan Soang kecil di komplek pemukiman managernya dua tahun yang lalu. Saat itu, tubuhnya kecil, ringkih, dan jalannya tertatih-tatih mengikuti gerombolan soang di depannya. Sekali, dua kali, hingga tujuh kali pertemuan, Sekala baru tertarik dan memilih untuk mengadopsi kucing itu dari induk soang yang selalu diikutinya. Demi mengenang jasa soang yang sebelumnya sudah merawat dan berbagi makanan dengan kucing itu, Sekala menamainya Soang.
"Tapi, ini artinya lebih masuk akal dibanding anjing peliharaan Tenggara yang dikasih nama Strawberry," bela Sekala begitu Nirbita menertawakan keanehannya. "Satu tahun dia biarin anjing kembarnya tanpa nama. Terus, cuma perkara Troye Sivan release single dan booming, dia langsung sematkan Strawberry dan Cigarettes. Seminggu kemudian, Cigarette meninggal."
"Karena?"
Sekala mengangkat bahunya. "Mungkin karena cigarette emang nggak baik buat kesehatan."
Sore itu, gelak tawa Nirbita meledak dan berhasil membuat Sekala tersenyum hangat. Dari tangkapan matanya, Nirbita dapat melihat cinta yang begitu besar di sana. Sesuatu yang membuat tawanya surut karena takut, takut tidak bisa memberi apa-apa untuk membayar perasaan itu. Sekalipun lelaki itu mengatakan tidak perlu membalasnya. Tapi, bukankah beberapa manusia dititipi perasaan 'sungkan' dan tidak enakan?
Pandangan Nirbita jatuh pada pepohonan dan rumah-rumah yang terlewati begitu cepat. Alunan lagu dari band Jepang terdengar menghentak ruang lengang bus yang sedang ia tumpangi. Sebenarnya, naik bus begini hanya memperlambat waktunya untuk pulang karena rute yang ditempuh akan semakin jauh, namun entah kenapa hal itu justru mampu meredakan penat yang bersarang di kepala.
Belakangan ini, ia disibukkan oleh try out, progress, diskusi, kuis, dan tambahan tugas dari tempat bimbelnya. Belum lagi tugas sekolah dan pelatihan yang dilakukan untuk persiapan UTBK. Rasanya, ia ingin berdiri di tepian tebing dan berteriak kencang untuk menumpahkan keluh kesah. Ia bisa menangis di sana, atau yang paling buruk adalah terjun ke bawah agar semuanya berakhir dengan cepat.
Nirbita menghela napas pelan. Mengingat-ingat kapan terakhir kali ia bernapas lega karena Haira memberinya kebebasan dari kewajiban bimbel. Terhitung sejak SMP, ia sudah dibiasakan masuk bimbel. Sampai akhirnya, sang mama memberinya keringanan karena padatnya jadwal sekolah. Sayangnya tidak bertahan lama. Hanya setengah tahun dan sekarang ia kembali ke kubangan penuh manusia-manusia ambisius karena rankingnya yang merosot parah.
Lima belas kemudian, Nirbita sampai di pemberhentian terakhir. Untuk menuju rumah, biasanya ia harus meminta jemput sopirnya atau kadang Sekala menawarkan diri tanpa diminta. Seperti malam ini, lelaki itu sudah berdiri di halte dengan senyum lebar menyambutnya.
"Capek banget kelihatannya? Padat materi kah di Inten hari ini?" tanya Sekala. Sebelah tangannya terjulur membenahi tali tas Nirbita yang melorot ke bahu. "Atau ... ada hal menyebalkan yang bikin lo kesal?"
Nirbita menggeleng. Ia membiarkan ketika tangan Sekala meraih jemarinya, menggenggam erat, dan membawanya ke tempat motornya terparkir. "Terus kenapa mukanya ditekuk gitu?"
"Mau dibikin origami," jawab Nirbita asal. Lalu, ia melihat kerutan di dahi Sekala sekilas sebelum akhirnya lelaki terkekeh pelan dan melontarkan tanya.
"Origami yang apa? Bangau? Pesawat? Dinosaurus atau hati?
Nirbita tidak tahu kenapa Sekala selalu mengerti arah pembicaraannya sejauh apapun ia keluar dari konteks awal. Mungkin benar, bahwa ada bagian rahasia di kepala lelaki itu yang berisi tentang segala hal di dunia ini.
"Perahu kertas." Dua kata itu meluncur begitu saja dari bibir Nirbita.
"Oh.." Sekala manggut-manggut. Ada hangat yang menyusup ke dada, membungkamnya dengan perasaan membuncah kala ingatannya justru kembali pada detik-detik ketika ia menyanyikan lagu Perahu Kertas dua tahun silam. "Bagus tuh. Nanti, kepala lo jadi kayak perahu, terus menjelajahi lautan deh," katanya mulai terdengar asal. Ia mundur, mengambil helm yang berada di atas stang dan memasangkan pada Nirbita dengan tangan bergetar. "Lo bakal ketemu lumba-lumba pemintal, berlayar jauh terus ke tengah ditemani kawanan camar, dan pastinya berhenti di tempat baru dengan pijakan tetap di air laut. Karena pada akhirnya, sejauh apapun perahu pergi, pulangnya ya tetap ke lautan." Berkali-kali klip meleset saat Sekala hendak menyatukannya hingga Nirbita mengambil alih dan merekatkan sendiri.
"You're the ocean, right?" Pertanyaan itu berhasil membuat bibir Sekala terkatup rapat. Ia baru sadar terjebak omongannya sendiri. "And i am a ship?" Nirbita membenahi helmnya yang melorot tepat ketika mendapatkan kembali mata kelabu lelaki keturunan Belanda itu. "Tapi, gue lebih suka ketika lo bilang gue langit. Lo tahu, ada lag-"
"Karena laut dan langit nggak akan pernah saling bertaut?" Seperti ada bongkahan batu besar di tenggorokannya, Sekala menelan ludahnya susah payah. "Keduanya cuma nampak menyatu kalau dilihat dari jauh. Padahal, kenyataannya ... terbentang jarak ribuan mil." Suaranya terdengar parau. Namun, lelaki itu tersenyum hangat dan Nirbita tahu bahwa senyum itu tidak setabah lengkungan bibirnya.
Meski sempat terperangah sekilas, Nirbita terkekeh pelan, ia mendekat. "Lo emang suka berasumsi dan menyimpulkan sesuatu yang belum pasti ya? Ia tersenyum, menatap sepasang mata Sekala bergantian. "Padahal gue mau bilang soal lagu Nadin Amizah yang baru release," ujar Nirbita, praktis menghentikan gerakan Sekala yang hendak memakai helm. "Bait pertamanya bercerita tentang langit dan laut yang nggak pernah seirama. Tapi.." Gadis itu kembali mendapat tatap Sekala Ia mengamati sisi wajah Sekala yang terdapat lebam. "Nadin bilang, ketika dunia saling membantu, cinta mana yang nggak bisa jadi satu?"
Nirbita mengatakannya dengan sangat tenang, tanpa perlu repot-repot memperhitungkan efeknya untuk Sekala. Bahkan, tangannya kini terulur menyentuh sisi wajah lelaki itu, mengusap sebuah luka di sudut bibir, ringis kesakitan terdengar.
Sementara Sekala, ia ingin mengatakan sesuatu tapi suaranya tertahan di tenggorokan, seperti ada jaring yang merangkum kata-katanya dan menariknya agar kembali tertelan. Jadi, lelaki itu memilih untuk menurunkan tangan Nirbita, menatap telapak dengan salah-satu ruas yang terkena darahnya.
"Langit dan laut akan terus saling menatap dan menetap sekalipun terbentang jarak yang jauh. Selagi dunia masih utuh, mereka akan selalu bersama, menjalani hari dengan cinta yang lebih sederhana." Nirbita tersenyum, melepas genggaman Sekala lalu beralih mengambil sesuatu di tasnya. "Dan gue harap, kita juga bisa seperti mereka. Meski suatu saat nanti bakal terpisah jarak ribuan kilometer, kita masih bisa saling bersisian untuk hal yang sama." Sekali lagi, tangan Nirbita menyentuh wajah Sekala. Dengan telaten, ia membersihkan sisa-sisa darah menggunakan tisu basah.
"Untuk menjalani hari dengan cinta sederhana yang lo maksud?"
"Iya." Nirbita beranjak membuang bekas tisunya ke tempat sampah terdekat. Sejenak, ia mengamati sekitar yang masih padat kendaraan sebelum akhirnya kembali kepada Sekala yang masih mematung di tempat. "We can be friends to love in a simple way."
--
Langit dan laut saling membantu
Mencipta awan hujan pun turun
Ketika dunia saling membantu
Lihat cinta mana yang tak jadi satu
[Sorai by Nadin Amizah]
***
TENANG yang sejak tadi memeluknya ketika bersama Sekala kini tersapu angin dan memilih mengikuti kemana arah lelaki itu pergi. Yang tersisa untuk Nirbita hanya takut serta perasaan cemas saat Bi Laksmi mengatakan mamanya pingsan usai kedatangan sang papa dan Jenna, istri barunya.
Tidak peduli akan sebuah penolakan, ia bergegas masuk ke dalam kamar mamanya. Begitu sampai, ruangan gelap menyambut bersama isakan yang terdengar samar. Tanpa perlu repot-repot menekan saklar, ia mengayunkan langkah ke arah ranjang tempat Haira meringkuk seperti janin.
Cahaya remang dari lampu tidur menampakkan jejak air mata yang mengalir membasahi sprei. Gaun tidur yang dikenakan perempuan itu menampakkan tulang selangka yang menonjol, menjadi bukti bahwa tubuh itu semakin kurus dari hari ke hari.
Nirbita meletakan tasnya dan memilih duduk di pinggiran ranjang. Sementara tatapannya berlari pada wajah cantik yang semakin terlihat meredup belakangan ini. "Maaf karena tangan Nirbita terlalu kecil untuk menyelamatkan mama dari dunia kita," ucapnya pelan seraya menyeka air mata yang luruh di pipi Haira. "Bahkan, seharusnya aku nggak pernah hadir dan menghancurkan semuanya. Karena pada akhirnya, aku nggak bisa melakukan apapun agar mama nggak terluka." Ia tidak dapat menahan tangisnya lagi. Melihat keadaan yang begitu memprihatinkan di depan mata, sedangkan ia tidak bisa berbuat apa-apa, hanya membuatnya kelihatan tidak berguna.
"Mama nggak suka lihat kamu nangis, Ta. Jadi, berhenti." Haira mengembuskan napas pelan. Pandangannya lurus, menembus mata hitam pekat Nirbita seakan sedang menelanjangi luka satu sama lain. Hingga, perempuan itu meraih tangan Nirbita, menggenggam lebih erat dari Sekala tadi. "Sini, tidur di sebelah Mama."
Meskipun ragu, Nirbita tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia berbaring di sisi kosong dekat Haira dengan isakan yang terus mengudara.
"Setiap lihat mata kamu, Mama selalu kembali terlempar ke masa lalu. Masa di saat hanya ada warna hitam dan abu-abu yang membingungkan. Di sana mencekam, Ta. Mama seperti dicekik oleh angin setiap mau ambil napas." Suara itu terdengar datar, seakan emosi di dalamnya sudah tidak tersisa. "Tapi, entah kenapa malam ini berbeda. Sampai Mama bertanya-tanya kemana memori buruk itu pergi? Kenapa setiap detailnya tidak begitu jelas lagi? Apakah itu berarti Mama memiliki peluang untuk menyelamatkan diri dan kamu dari dunia ini?"
Nirbita menengadah untuk menatap Haira. Setiap tarikan napas yang melewati paru-parunya terasa menyesakkan, ia harus berusaha keras agar derunya kembali normal.
"Lalu, Mama sadar bahwa, selagi kita terbangun dengan jiwa yang masih menempel di raga, kita masih punya kesempatan untuk terus melangkah ke depan, melanjutkan hidup bersama mimpi-mimpi yang terus bergantungan; menanti dijadikan do'a yang terkabul." Usapan lembut di kepala Nirbita seperti mantra ajaib yang dapat menenangkan siapapun. Gadis itu menunggu, menggung sang mama melanjutkan kata-katanya. "Mungkin, akhir-akhir ini kita sudah banyak merasakan kehilangan, sakit yang tak berjeda, juga tangis yang terus menganak sungai. Tapi, kita masih diberi kesempatan untuk hidup, dan itu berarti Tuhan menyuruh kita meraih mimpi-mimpi yang sebelumnya sudah kita gantung di atas kepala dalam keadaan apapun."
Untuk pertama kalinya, Nirbita melihat sorot penuh ketulusan di sana. Berkobar layaknya api, menebar hangat yang membuatnya tertolong dari belenggu dingin garis takdir. Ia merasakan hangat itu semakin besar intensitasnya ketika Haira mendekatkan tubuh dan merengkuhnya dalam dekap yang telah belasan tahun menghilang.
"Terimakasih," bisik perempuan itu. "Terimakasih karena tangan kecil ini tidak berhenti berbuat baik, mengukir banyak prestasi membanggakan, dan tetap merengkuh mama saat dunia kita hampir tidak bisa diselamatkan."
---------------------------------------------
Kalian tahu nggak, lagu Sorai by Nadin Amizah itu release tahun 2019. Semua lagu yang aku rekomendasiin di cerita ini udah ku perhitungan biar sesuai sama alurnyaaa. Termasuk lagu Gfriend, Justin Bieber, atau Dream Theater xixixi.
Oh iya, lagu Sorai pernah muncul di chapter Aroma Mimpi dan Pembawa Warna. Coba dah cek hehe.
Btw, gimana?? Suka tidak chapter ini?? Semoga sukaaa yaaaa💗
2000 vote dan 1000 komentar lagi yaaa..
Nih ku kasih bonus ayang Raiden🥰🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top