Bab 4. Empat Hari Absen

Halo, jangan lupa vote dan komentar ya biar semangat nextnya hihi

SELAMAT MEMBACA
_____________________________________

Bab 4. Empat Hari Absen

Kebanyakan orang bertanya hanya untuk memberi makan penasarannya. Bukan perasaannya.

***

"RIN, Nirbita masih belum masuk sekolah? Udah 4 hari loh dia absen."

Garin memutar matanya malas. Dengan sebelah tangan, ia membuka loker dan meletakkan seragam olahraganya di sana. "Belum. Garin yang larang Nirbita masuk. Biar dia tenang dulu. Lagian dari kemarin anaknya juga masih nggak baik-baik aja."

"Jangan dibiasain gitu!" Lalu, embusan napas di seberang terdengar jelas. "Coba kamu bilangin dia untuk angkat telfon tante. Tante mau ngomong. Masa dari kemarin nggak bisa dihubungi."

Sepertinya, terlibat obrolan dengan mama Nirbita adalah sebuah kesialan bagi Garin. Jika disuruh memilih antara menghadapi pelajaran matematika atau menghadapi mama Nirbita usai olahraga seperti sekarang, ia lebih memilih opsi pertama.

Karena kenyataannya, Garin memang lebih suka mengerjakan latihan soal statistika dibanding berbicara dengan manusia menyebalkan di seberang.

Garin tidak pernah menyukai mama Nirbita, lebih tepatnya kedua orang tua Nirbita. Baginya, mereka hanyalah anak-anak yang terjebak dalam tubuh orang-orang dewasa. Menyebalkan dan selalu susah mengenal kalah. Kata kasarnya, egois. Dan sialnya, mereka tidak pernah mau menyadari itu.

Dengan decakan malas, Garin menutup pintu loker, menguncinya perlahan, lalu menahan dirinya agar tidak terbawa emosi. Gadis itu berbalik dan menyandarkan tubuhnya.

Garin tersekat begitu melihat seseorang berdiri di depannya. Tepat 5 meter di sana, Raiden menatapnya lurus, seolah menunggunya selesai berbicara. Hal itu membuat Garin menaikkan sebelah alis bingung.

"Rin?"

Sadar akan lamunan, Garin kembali fokus pada telepon tadi. Ia sampai lupa untuk menjawab karena sibuk dengan pemikirannya. Gadis itu menghela napas.

"Coba deh tante samperin Nirbita langsung di apartemen aku. Ajak ngobrol baik-baik. Kalau gini terus ya nggak bakal selesai-selesai masalahnya."

"Kamu tahu kan jadwal tante tuh-"

"Udah dulu ya, Tan. Garin mau masuk kelas, soalnya udah bell," potong Garin cepat. Menanggalkan sopan santunnya, ia memutus sambungan telepon sepihak kemudian memasukkan ponselnya ke saku. Ia sudah muak dengan alasan klise itu.

Garin sudah akan beranjak pergi ketika Raiden mencegat jalannya. "Nirbita mana?" tanya lelaki itu.

Garin mendengus. Pertanyaan retoris dan basi. "Nggak masuk."

"Di apartemen lo kan?"

"Kalau udah tahu kenapa masih nanya?"

"Mastiin aja," jawab Raiden singkat.

Ada jeda di antara keduanya. Mereka hanya saling diam dan menatap satu sama lain. Bising yang tercipta oleh teriakan penonton sepak bola di lapangan seakan digerus hening. Hingga akhirnya, Raiden yang lebih dulu membuka suara.

"Udah 4 hari dia nggak masuk, nggak kayak biasanya. Sakit?"

"Menurut lo?"

Raiden mengedikkan bahunya, ia tidak tahu dan itu kenyataannya. "Dia juga nggak bisa dihubungi."

"Kenapa nggak datang ke apartemen gue dan jenguk dia langsung kalau emang nggak bisa dihubungi?"

"Gue kan baru tahu kalau dia di apartemen lo."

"Alasan. Bilang aja lo malas nemuin dia," cibir Garin.

"Gue beneran baru tahu dari obrolan lo sama nyokap Nirbita barusan."

Garin tersenyum sinis, ia menatap remeh Raiden. "Oh berarti selama beberapa hari ini lo nggak ada usaha dong buat nyariin Nirbita?"

Alih-alih menjawab, Raiden justru diam. Ia menatap lurus ke arah Garin hingga menyadari bahwa ada yang berubah. Gadis di depannya itu tidak seperti biasanya. Garin terkesan ketus dan... terlihat tidak menyukai keberadaanya?

"Lo sibuk sama selingkuhan lo, kan?"

Raiden kaget dan Garin menyukai itu. Ia yakin bahwa, jika sedikit saja ia membuka celah dan melempar percikan api di sana, lelaki itu akan terbakar. "Jaga omongan lo! Lo mulai ngaco tahu nggak?!"

"Ngaco lo bilang?" Garin mendekat. Ia menatap Raiden menantang. Saat jarak keduanya begitu tipis, gadis itu mendekatkan bibirnya ke telinga Raiden. Ia berbisik, "gue lihat lo dan dia hampir ciuman di halte GBK kemarin-kemarin."

Garin tersenyum penuh kemenangan usai mengatakan hal tersebut, gadis itu kembali menjauh. "Sorry bikin kissing kalian gagal karena suara klakson mobil gue," ucapnya tanpa dosa. "Namanya Aruna Inka Abimana kan? Anak X IPA 3, anggota OSIS dan klub musik. Salah-satu keturunan pengusaha real estate terbesar di Indonesia. Apa lagi yang bisa mendeskripsikan selingkuhan lo? Kuaci? Murah dan nyampah?"

Raiden mengepalkan tangannya, ia menatap tajam Garin, "dia bukan selingkuhan gue. Sekalipun hubungan gue dan Nirbita memburuk, itu bukan karena dia!"

Garin mengibaskan tangannya. "Omongan lo tuh udah kayak nasi yang didiemin berhari-hari. Basi."

Setelah mengatakan itu, Garin melenggang pergi meninggalkan Raiden seorang diri. Ia tidak peduli pada tatapan orang-orang yang mulai teralih padanya. Toh, ia sudah terbiasa jadi pusat perhatian.

***

SEKALA Diwangkara adalah manusia paling menyenangkan dan menenangkan. Makanya, sejak kelas X hingga sekarang, ia diutus menjadi ketua kelas untuk menuntun teman-temannya ke jalan yang lurus.

Bercanda, pernyataan di atas tidak sepenuhnya benar. Sekala juga bisa tengil dan menyebalkan. Seringkali ia jahil dan marah pada teman-temannya. Lagipula, kalau diadakan pencarian ketua kelas untuk XII IPA 1, Sekala yakin tidak akan ada yang mau mendaftar. Alasannya sudah pasti karena tidak mempunyai cukup sabar dan kekuatan untuk memimpin murid-murid di dalamnya.

Cukup menunjukkan sampul buku siksa neraka untuk menggambarkan kelas itu. Auranya panas, letakknya tidak strategis karena berada di ujung lorong lantai tiga membuatnya jauh dari kantin beserta ruang penunjang lainnya. Dan yang paling membuat muak adalah kelas ini diisi oleh orang-orang tidak beradab -pengecualian untuk Sekala dan... Nirbita, karena gadis itu baik, bagi Sekala.

Kenapa dibilang tidak beradab? Ya contohnya saja sekarang. Usai pelajaran olahraga, hampir separuh kelas ngaret untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Hal itu membuat Bu Axel yang notabene guru matematika, ngambek tidak mau mengajar.

Jika teman sekelasnya sumringah dan menyambut hal tersebut dengan cengiran tanpa dosa, Sekala justru sebaliknya. Lelaki itu harus drama menyusul Bu Axel ke ruang guru lalu mati-matian membujuknya agar kembali ke kelas. Meskipun hasilnya nihil dan mereka semua berakhir jam kosong seperti sekarang.

Jadi, sampai sini paham kan kenapa sampul buku siksa neraka cukup untuk menggambarkan kelas XII IPA 1?

Sekala menguap, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lalu menatap lurus ke depan. Pada bangku kosong yang sudah beberapa hari tidak berpenghuni. Letaknya di ruas kiri kelas, tepat di depan meja guru.

Iseng, Sekala beranjak dari duduknya. Hanya butuh sepersekian detik untuknya sampai dan mendarat sempurna di bangku itu. Decitan kaki kursi yang beradu dengan lantai membuat seseorang di sebelah reflek menoleh dan melotot seketika.

"Kala!! Lo ngagetin gue tahu nggak!" pekik Garin.

Sekala cengengesan, "sorry. Lagian lo bengong mulu gue liat-liat. Daripada kesurupan kan mending gue temenin."

Garin mendengus, gadis itu meraih ipad -yang tadinya tergeletak di meja- lalu menunjukkannya pada Sekala. Di sana terpampang sketsa sebuah kanal. Lengkap dengan kapal dan gedung-gedung tinggi sebagai latarnya. Di sudut bawah sebelah kiri terdapat tulisan ; Venesia, Italia.

"Nggak ada bengong-bengongan, orang gue lagi gambar!" katanya. Alisnya menukik, menunjukkan kekesalan. "Udah ah sana pergi, gue jelek nge-gambarnya kalau dilihatin!" usir Garin.

Bukannya pergi, Sekala justru tertawa dan itu semakin membuat Garin kesal. "Gue baru tahu kalau lo suka gambar," kata Sekala usai tawanya reda.

"Ya masa gue harus koar-koar biar lo dan satu dunia tahu."

"Nggak gitu juga, maksudnya tuh sesekali lo show off lah. Biar anak-anak tahu kalau lo jago gambar"

"Anak-anak kelas?"

Sekala mengangguk. "Iya. Emang anak-anak mana lagi?"

Garin melengos, "ogah. Ntar pada minta digambarin gratis. Gue udah hafal tabiat anak sini."

Sekala melongo. Benar kata teman-temannya, berbicara dengan Garin memang butuh kesabaran extra. Garin adalah contoh nyata manusia tidak beradab lainnya di kelas ini.

Dengan perasaan sedikit dongkol, Sekala menyandarkan tubuhnya. "Gue juga suka gambar loh," katanya tiba-tiba.

"Nggak nanya."

"Makanya gue kasih tahu."

"Nggak penting dan nggak pengin tahu."

"Sensian banget sih, Rin."

Garin menutup ipad-nya, meletakkannya dalam tas lalu menatap penuh ke arah Sekala. Gadis itu bersedekap. "Terus kenapa kalau gue sensian? Masalah buat lo? Kalau masalah, ya udah sana pergi!!"

Sekala mendengus, "dzalim banget lo ke yatim piatu kayak gue."

"Lo mah yatim piatu kaya raya!" Balas Garin.

"Terus kenapa kalau kaya raya?"

"Ya ngapain di kasihani."

"Kan nggak punya orang tua."

"Tapi, dibalik itu semua lo jadi makin populer kan? Aksesnya gampang. Cari duit juga tinggal nongol di layar kaca! Mending lo banyak-banyak bersyukur deh, La!"

Tidak hanya Sekala, ucapan Garin sukses membuat satu kelas diam. Suasana mendadak hening dan seluruh atensi mengarah penuh padanya.

Sadar akan kesalahannya, Garin spontan menutup mulutnya. Gadis itu merutuki kebiasaannya yang suka ceplas-ceplos. Dengan tidak enak hati, ia menatap Sekala penuh penyesalan.

"Sorry.."

Sekala berdeham. "Nggak apa-apa, santai aja," ucapnya menenangkan. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan menoleh ke belakang. Memperhatikan seantero kelas.

Tidak butuh waktu lama untuk suasana kembali normal. Semuanya kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Main game di pojokan, nail art, bahkan tidur.

"Lagian lo aneh tiba-tiba deketin gue. Mending pergi sana! Gue aduin pacar gue nih, mau?!" ancam Garin.

Sekala terkekeh pelan. Garin cepat sekali berubah. Padahal, beberapa detik yang lalu minta maaf dengan wajah penuh penyesalan, sekarang malah berubah jadi monster lagi. "Sebenarnya, tujuan awal gue tuh cuma mau nanya-nanya sih ke lo."

"Nanya apaan?"

"Nirbita."

"Kenapa sama Nirbita? Lo jangan setengah-setengah kalau ngomong sama orang nggak sabaran kayak gue," kata Garin greget.

Sekala melipat bibirnya. Ia mendokrin agar tetap sabar menghadapi manusia di depannya ini. "Nirbita sakit apa? Kok sampe nggak masuk 4 hari."

Menyipitkan matanya, Garin menatap curiga Sekala, "tumben lo nanyain Nirbita?"

"Sebagai ketua kelas yang baik, gue harus tahu dong keadaan dia," jawab Sekala. "Jadi? Sakit apa?"

"Sakit tipes," jawab Garin asal.

"Hah? Serius?"

Garin mengangguk, "iya. Stress. Banyak pikiran dia masuk kelas ini. Terlebih ketua kelasnya lo."

"Serius dong, Rin."

"Lah, emang gue kelihatan lagi bercanda?"

Sekala menyerah. Lelaki itu angkat tangan dan berdiri. Daripada ia mengamuk karena stok sabarnya habis, lebih baik ia pergi.

Namun belum genap dua langkah, Garin mengatakan sesuatu yang membuatnya kembali menghadap gadis itu.

"Kalau lo mau tahu keadaan Nirbita, ya dihubungin langsung lah. Chat atau telpon. Kan gampang, daripada lo emosi ngomong sama gue."

"Kan gue nggak punya nomornya."

"Ya Tuhan!! Di grup kelas terpampang nyata tuh nomer Nirbita."

Sekala menepuk dahinya. Dari sekian hari kenapa ia baru menyadari hal itu sekarang?

"Gue lupa."

Garin berdecak, "sekarang lo tahu kan kenapa nilai pecahan phi di rumus lingkaran adalah 22/7?"

"Kenapa emang?"

"Karena 24/7 nya udah diambil sama ketololan lo."

Merasa dikerjain, Sekala balik bertanya. "Lo tahu nggak kenapa gue tolol?"

"Kenapa emang?" tantang Garin.

"Karena berhadapan sama lo." Sekala tersenyum hingga matanya menyipit. "Otak gue lumpuh kalau udah lihat kecantikan lo."

***

Halo, Nirbita.
Ini Sekala. Sekala Diwangkara.

Nirbita mengerutkan alisnya bingung, ia baru saja meng-aktifkan kembali ponselnya ketika menemukan pesan itu di roomchat teratas.

Gadis itu memilih turun dari ranjang lalu berjalan ke arah jendela. Ia membuka tirainya, membuat sinar matahari sore itu merangsek masuk. Begitu jendela digeser, angin dari arah barat berembus pelan. Aroma kota Jakarta saat itu terasa lebih pekat seiring dengan kemacetan jalanan Dharmawangsa di bawah.

Saat kakinya memijak lantai balkon, suara notifikasi kembali terdengar. Nirbita melihat layar ponselnya tepat ketika tangannya menyentuh railing. Dari Sekala lagi. Padahal, ia belum membalas pesannya yang tadi.

Btw, gimana keadaan lo sekarang? Udah mendingan?

Karena bingung harus bagaimana, Nirbita memutuskan untuk menjawab pesan itu dengan sederhana. Sederhana sekali karena hanya dengan satu kata.

Udah.

Lalu, yang membuat Nirbita semakin bingung adalah, balasan pesan Sekala setelahnya. Tepat beberapa detik usai ia mengirimkan balasan.

Begini isinya ; Oh syukur deh. Lain kali jangan terlalu stress. Pola makan dijaga juga. Biar gak tipes lagi.

Ini siapa yang sakit tipes?

________________________________________

Kelas Sekala adalah gambaran kelas gue pas sekolah. Panas dan penghuninya bikin guru banyak-banyak istighfar. Terus, ketua kelasnya juga gitu. Pasrahh wkwkw

Kalau kelas kalian gimana???

Btw, gue bawa bonus foto Raiden nih. Alias kang mas Doyoung hehe

;

Raiden Antasena Sandyakala

Untuk info update dll, follow instagram :

@everydaywithyupi

@yupitawdr

@nibirtasteria

@sekaladiwangkara

@raidenantasena

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top