Bab 37. Setelah Hujan Reda dan Matahari Turun Kembali
Yay!! Karena udah target, akhirnya aku updateee!!!
SELAMAT MEMBACA
Tolong tandai typo karena ini tanpa revisi ya..
--------------------------------------------------
Bab 37. Setelah Hujan Reda dan Matahari Turun Kembali
***
"KAMU yakin nggak mau coba daftar beasiswa ini, La?" Bu Giya memastikan sekali lagi. Raut penuh harap terpancar di wajahnya. "Peluang kamu untuk lolos cukup besar loh. Atau... kamu mau yang sama Nirbita aja? Di Auckland?"
Dengan sopan Sekala menggeleng. Ia tersenyum penuh permohonan maaf karena pada akhirnya kembali menolak. "Dari dulu, saya sudah berencana kuliah di UI. Sekalian nemenin nenek," katanya. Sama sekali tidak berbohong.
Setelah lulus, ia memang ingin tinggal bersama sang Nenek. Sebab, sejak kakeknya meninggal, Nenek hanya sendiri di Depok. Bukan karena anak-anaknya tidak ada yang peduli. Mereka sudah berusaha keras mengajak Nenek keluar dari sana, tapi perempuan itu tidak pernah mau. Ia memilih menikmati sisa usia di bawah naungan rumah sederhana yang catnya perlahan memudar digerus waktu. Katanya; kalau aku pergi, semua kenangan di rumah ini tidak ada yang merengkuhnya dengan baik. Kehangatan yang sudah aku rajut sejak pertama kali rumah ini dibangun, akan terurai begitu saja. Jadi, biarkan aku di sini. Aku tidak sendiri. Aku masih dapat merasakan kehadiran kalian di sudut-sudut ruangan. Lagipula, kalau aku tidak ada, siapa yang akan membukakan pintu untuk kakek dan Sadewa ketika mereka pulang.
Makanya, Sekala akan mengabdikan diri untuk menebas sepi dan membukakan pintu setiap kakek dan papanya 'pulang' ke rumah itu. Pulang yang tidak sebenar-benarnya pulang.
"Oke. Kalau itu memang keputusan terbaik kamu, ibu nggak akan memaksa lagi." Suara Bu Giya terdengar menyatu dengan rinai hujan yang menghantam atap. "Toh, UI juga bagus. Ibu berharap, suatu saat nanti kamu bisa mengepakkan sayap lebih hebat lagi dan bisa terbang kemanapun kamu mau."
Sore itu, Sekala keluar dari ruang guru mengantongi nasihat dan do'a-do'a baik. Ia melintasi koridor diiringi rintik hujan yang semakin lebat. Dingin mendekapnya, menenggelamkan dalam pikiran yang justru bertubrukan. Jika menuruti ego, besar keinginannya bersama Nirbita. Membayangkan mereka kuliah bersama, menghabiskan waktu berburu senja, atau bahkan iseng mengikuti festival Wanderlust 108 agar lebih sehat di negeri orang. Tapi, rasanya terlalu kekanakan memilih jalan hanya karena mengejar jejak orang yang kita cintai.
Nirbita mungkin akan lebih nyaman tanpanya. Dan ia, mungkin juga butuh ruang agar tidak terlalu bergantung pada presensi Nirbita. Sebab, perjalanan seorang remaja seperti mereka jelas masih panjang sekali.
Sekala menghela napas. Berharap segala angan tentang Nirbita ikut hilang bersama udara. Ia melanjutkan langkah menuju gedung kelas 10 yang bersisian dengan parkiran. Ia baru ingat, hari ini teman-temannya sedang merencanakan kejutan untuk Nirbita. Seharusnya, mereka merayakan tepat tahun baru kemarin-kemarin, tapi berhubung target tidak bisa dihubungi, semua gagal dan sepakat diundur sampai hari ini.
Sekala sudah akan berbelok ke lorong menuju tangga kelas, namun ricuh di kejauhan membuatnya mengurungkan niat. Nyanyian ulang tahun, gelak tawa, dan teriakan terdengar bersahutan. Sekala bergegas ke sumber suara yang ternyata dari arah lapangan. Begitu sampai, ia langsung terperangah melihat pemandangan di tengah-tengah sanaa.
Tidak hanya teman sekelasnya, murid-murid yang lain juga mengerumuni Nirbita, bermain air hujan sambil menyanyikan lagu ulang tahun.
Mungkin ... mungkin tambahan pelajaran untuk persiapan ujian nasional membuat kepala mereka panas, tapi meredakannya dengan cara bermain hujan-hujanan adalah hal paling tidak efektif dilakukan.
"Sekala!!! Sini!!!"
Sekala hanya geleng-geleng kepala saat Acacia melambai ke arahnya. Ia mundur, memilih bersandar ke tembok sembari terus memperhatikan.
Seingatnya, Nirbita tidak begitu suka hujan. Gadis itu tidak suka ketika sepatunya terisi air, rambutnya basah, sekujur tubuhnya lembab. Tapi, hari ini ia menemukan Nirbita menyatu dengan hujan. Tawa serta lompatan-lompatan kecilnya menyelipkan kehangatan dalam dada. Sudut bibir Sekala perlahan terangkat. Terlebih, ketika Nirbita berlari menepi, menuju ke arahnya.
Namun, alih-alih menyapa, Nirbita malah bergegas menuju tasnya yang tergeletak di lantai. Tangan gadis itu nampak bergetar saat membuka dan mencari-cari sesuatu di sana. Bahunya naik turun dengan ritme tidak teratur, kentara sekali kalau sedang sesak napas. Melihat itu, Sekala bergegas menghampiri, memblokade tampias air sebab posisi mereka di tepian koridor.
"Reliever atau inhaler?"
Nirbita jelas tidak sanggup menjawab, bernapas saja ia kesulitan. Dadanya sesak seakan semua oksigen di sekitarnya habis. Ia membiarkan ketika Sekala mengambil alih tasnya.
"Jangan panik, Ta.. Atur napas. Biar gue yang cari," ujar Sekala meskipun tidak benar-benar tahu apa yang harus ia cari. Lelaki itu membuka setiap bagian tas dengan tergesa. Begitu menemukan inhaler di kotak pensil, cepat-cepat ia menyerahkan pada Nirbita. Sekala memperhatikan setiap gerak dan hela napas Nirbita. Sudut mata yang berair berair, bibir kebiruan yang bergetar, Sekala mengusap bahunya menenangkan. "Harusnya tadi nggak usah ikut main hujan-hujanan."
"Habisnya seru.."
"Iya tahu. Tapi serunya cuma sebentar. Kalau habis ini sakit gimana?"
"Minum obat."
Sekala mengalah. Lekaki itu membereskan kembali isi tas Nirbita yang sempat ia tumpahkan tadi kemudian berdiri. "Ayo pindah dulu." Ia mengangsurkan telapak tangan dan Nirbita meletakkan miliknya di sana. Melengkapi setiap celah jemari untuk beranjak dari lantai koridor yang kotor.
Mereka duduk di kursi panjang yang terletak di bagian depan kelas. Melalui genggaman tangan itu, Sekala dapat merasakan dinginnya Nirbita. Ia tidak bisa melakukan apa-apa selain mengeratkan genggaman untuk menghantarkan hangat.
"Loh, Nirbita kenapa?" Kalingga datang dalam keadaan basah kuyup. Lelaki itu mengambil tasnya lalu berdiri di hadapan Sekala dan Nirbita. "Sakit?"
"Nggak kok," jawab Nirbita. Ia tersenyum kecil. "Gue nggak apa-apa."
Kalingga itu mengerutkan dahi. "Nggak apa-apa gimana? Muka lo pucat banget." Ia beralih menatap Sekala, seakan meminta persetujuan ia mengangkat jaketnya. Begitu Sekala mengangguk, Kalingga menyodorkan pada Nirbita. "Pake nih. Biar nggak makin kedinginan."
"Eh, nggak usah. Gue beneran nggak apa-apa." Nirbita kaget. Ia berusaha mengembalikan, tapi Kalingga lebih dulu menahannya, pergi dan duduk di sebelah Sekala. "Makasih, Ling."
Tak lama, satu-persatu dari temannya yang lain mulai berdatangan. Termasuk Tenggara yang langsung menggeser Nirbita hanya demi memeluk Sekala.
"Anjing! Basah, Gar! Ah!"
"Kamu kok tega bentak aku sih? Aku kedinginan, butuhnya dipeluk bukan dipisui," ujar Tenggara dengan nada dibuat-buat.
Sekala mendengus. Tidak mood meladeni, ia kembali memperhatikan Nirbita yang kini tengah direcoki teman-teman perempuannya. Ada yang sibuk membaluri tubuh Nirbita dengan minyak kayu putih. Ada yang heboh memasangkan jaket setelahnya.
"Waduh, Nirbita kok pake jaket Kalingga ya?" celetuk Tenggara. Ia menyipitkan mata serius saat gadis itu menoleh, menaikkan sebelah alisnya bingung. "Sekala pasti cemburu."
"Apaan sih," protes Sekala. Ia menyikut tubuh Tenggara yang semakin menempel kepadanya. "Jauh-jauh nggak lo!"
"Kalau gue jauh, lo mau minta saran tentang percintaan lo dan Nirbita ke siapa?"
"Oh, pantesan nggak jadi-jadi. Bergurunya ke orang yang salah sih," timpal Serena.
Wajah Sekala memanas. Ia kehilangan kata-kata untuk membalas ocehan itu. Ia menyerah, membiarkan dirinya menjadi bahan lelucon hingga hujan reda sementara Nirbita tidak merespon apa-apa. Gadis itu lebih banyak diam, sesekali akan menjawab jika diajak bicara oleh Garin dan yang lain.
Cahaya tipis matahari menyentuh ranting-ranting tabebuya yang masih basah. Hujan telah pergi membawa orang-orang yang sebelumnya duduk lesehan di koridor kelas 10 itu. Sekarang, hanya tersisa Sekala beserta ketiga temennya, juga Nirbita dan Garin. Mereka saling menunggu satu sama lain dalam hening sampai akhirnya Kalingga pamit, Arshaka mengikuti, begitupun Tenggara. Lalu...
"Duluan aja, Rin. Udah sore. Biar gue yang nemenin Nirbita."
Garin menyipitkan matanya. "Nggak. Hari ini gue lagi nggak percaya ke lo."
Sekala terkekeh. "Jadi, lo percaya ke gue setiap hari apa?"
"Jum'at," jawab Garin asal.
"Lah, sekarang kan jum'at."
Alis Garin menukik. "Emang iya?" gumamnya lalu mengecek bergegas mengecek. Dan benar saja.. Gadis itu meringis. "Maksud gue malam jum'at. Berarti.. hari kamis. Tadi salah ngomong."
"Banyak alasan lo. Udah sana," usir Sekala. Melalui mata, ia memberi kode agar gadis itu segera pergi.
Garin berdecak. "Iya iya. Tapi, jangan ngelakuin yang aneh-aneh loh," katanya sambil membenahi tali sepatunya yang lepas. "Gue masih inget ya Tenggara pernah bilang soal yang di apartemen itu."
"Eh, itu Nirbita cuma jenguk gue. Nggak ngapa-ngapain!!" protes Sekala.
Mengedikkan bahunya, Garin berdiri. "Gue duluan ya, Ta. Nggak apa-apa kan? Kalau Sekala jahatin lo, segera hubungi gue. Gue bakal penggal kepala dia."
"Buset. Serem amat," kata Sekala.
Nirbita tertawa menanggapi. Setelahnya, Garin pergi dan hilang dari pandangan. Dinginnya lantai dan seragam yang basah membuat gadis itu sedikit menggigil ketika angin menyapu lembut tubuhnya. Ia melirik jam di pergelangan tangan yang menunjuk pukul setengah 5 lalu menatap Sekala.
"Hari ini nggak ada jadwal berburu senja kah?"
"Nggak ada. Baju lo basah. Mending pulang daripada ntar sakit," kata Sekala. Netra kelabunya terlihat berkilat akibat tertimpa pendar matahari yang mulai menyentak awan kelabu.
"Pulang kemana?"
"Rumah lah."
"Rumah yang mana?"
"Yang di Bukit Golf."
"Bukit Golf yang mana?"
"Yang rumahnya Nirbita," jawab Sekala dengan sabar. Ia mengerutkan dahi ketika gadis di sampingnya itu menelengkan kepala dan menatapnya lebih lekat.
"Nirbita yang mana?"
"Yang dicintai Sekala."
Nirbita terdiam sesaat sebelum mengalihkan pandang agar semu merah di pipinya tidak terlihat. Tangannya bergerak mengambil sesuatu di dekat tas. "Buat lo," katanya sembari memberikan sepotong kue ulang tahun pada Sekala. Tadi, ia sudah membagikan satu persatu pada teman sekelasnya, dan sengaja menyisakan satu. Untuk Sekala. "Lo nggak makan pakai batasan kalori per hari kan?" Gadis itu tertawa di ujung tanya.
"Nggak," kata Sekala. Jika tangannya mengambil alih kue itu, pandangannya justru tertarik pada bekas luka yang belum sepenuhnya kering di pergelangan Nirbita. Ia mengembuskan napas pelan. "Terimakasih, Nirbita."
"Terimakasih juga, Sekala."
"Untuk?"
"Cintanya."
Sekala tertawa. Ia langsung memakan kuenya. Merasakan manisnya whipcream bercampur selai blueberry yang sedikit asam. Setelahnya, ia membawa Nirbita tenggelam bersama waktu, melupakan sejenak segala penat, menjahit sisa-sisa luka agar pulih sebelum malam menyapa.
Sekolah perlahan sepi. Orang-orang yang semula mengobrol di koridor mulai menuju gerbang, guru-guru juga beranjak dari kursi tugasnya, dan satpam mulai menyatroni setiap kelas untuk dicek.
"Jadi, minta jemput atau naik taksi online aja? Nanti gue ikutin di belakang. Kalau bareng sama gue yang ada lo masuk angin. Gue nggak bawa mobil soalnya," kata Sekala.
"Gue belum mau pulang."
"Kenapa?"
"Gue pengen lihat matahari terbenam di perpustakaan sekolah. Lo bilang, senja di sana bagus."
"Jam segini perpustakaan udah dikunci. Besok deh gue ajak ke tempat yang lebih bagus."
"Dimana?"
"Dimana-mana yang penting bareng gue."
***
HAL pertama yang menarik perhatian Nirbita ketika memasuki kamar adalah sebuah paper bag yang tergeletak di tempat tidur. Mengabaikan tubuhnya yang terasa lembab karena belum berganti baju, ia mendekat dan mengeluarkan isinya.
Sebuah selimut dari brand terkenal. Di bagian lipatannya, terdapat kertas berisi tulisan tangan yang begitu dikenalnya. Ia meletakkan tasnya, mencoba fokus membaca setiap rangkaian kalimat yang tertuang di sana.
Selamat ulang tahun, anakku. Semoga setiap langkah yang kamu jejaki diiringi hal-hal baik yang tidak pernah kamu dapat dari mama. Mama minta maaf ya untuk segala hal yang mama lakukan dan menyakiti kamu selama ini.
Seharusnya, anak cantik dan sebaik kamu tidak lahir dari perempuan jahat seperti mama. Kadang, takdir memang berbentuk kebalikan untuk menguji pemiliknya. Seperti kamu yang diuji melalui mama.
Nirbita, sekali lagi, selama ulang tahun. Nggak kerasa, kamu sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Kuatkan lagi bahunya ya, nak. Karena, semakin hari, dunia semakin jahat untuk perempuan seperti kita.
Ya memang begitu kenyataannya. Tapi, kamu jangan merasa terbebani, ya. Sebab, kamu nggak perlu memenangkan dunia kok. Kamu cukup memenangkan duniamu sendiri. Kamu nggak boleh kalah. Nggak boleh.. Cukup mama aja.
Banyak, Ta. Banyak banget hal yang pengen mama sampaikan ke kamu. Tapi, baru segini tangan mama udah gemetar nulisnya. Jadi, mending mama cerita tentang hari ini ke kamu..
Hari ini, mama sengaja mengganti aroma reed diffuser kamar kamu. Biar beda dari yang biasa kamu pakai di rumah sebelumnya. Kita harus meninggalkan beberapa kebiasaan yang justru menenggelamkan kita ke masa lalu. Memang terlalu kekanakan. Tapi, sesekali tidak apa memberi makan sisi kekanakan kita. Toh, menjadi dewasa, bukan berarti tidak boleh merajuk.
Mama juga ganti lampu tidur kamu. Kapnya pecah ya? Itu hadiah ulang tahun dari papa waktu kamu 5 tahun kan? Sekarang udah ganti. Kamu nggak perlu khawatir tidur dipeluk mimpi buruk lagi. Mama akan berusaha melindungi kamu. Meskipun, seringkali justru mama yang menyakiti kamu.
Oh iya, mama juga udah suruh bibi susun koleksi majalah bobo kamu di raak dekat lemari. Jadi, nggak tertumpuk asal lagi. Warnanya raknya ungu. Semoga kamu suka ya..
Terus, mama juga ganti bedcover. Ada beberapa bercak darah di sana. Mama tahu kamu sering cutting. Boleh nggak kalau mama minta kamu berhenti? Mama minta maaf. Karena mama, kamu malah jadi begini. Dibanding tangan kamu, lebih baik kamu gores aja ke tangan mama, Ta..
Terakhir, mama bingung mau kasih kado apa. Bahkan, mama nggak tahu anak perempuan mama ini suka apa selain Justin Bieber dan warna ungu. Jadi mama kasih selimut aja deh. Dipakai ya, Ta. Karena, untuk saat ini Mama masih belum bisa menerima dan peluk kamu dengan hati lapang. Mama masih sakit.. Kamu peluk selimutnya dulu ya. Nanti.. nanti mama janji akan peluk kamu. Tapi tunggu mama sembuh.
Belum selesai membaca keseluruhan, mata Nirbita memburam oleh air mata. Ia mencoba meresapi aroma baru dalam ruang kamarnya, memperhatikan sudut-sudut yang berubah, dan melipat surat itu kembali.
Kakinya ingin melangkah keluar kamar, menuruni anak-anak tangga untuk menemui mama yang tadi terlihat di ruang tengah. Tapi, lututnya tak mampu menopang tubuh. Baru dua langkah, ia sudah terjatuh bersama isakan hebat yang membuat dadanya sesak.
"Mama.."
Nirbita menggigit lengannya agar suara tangis itu teredam. Sakit. Hatinya seperti diremat saat sadar bahwa selama ini ia merasa hancur sendiri. Padahal, ada sosok lain yang keadaannya justru lebih parah.
"Nirbita juga sayang mama.. Maafin Nirbi karena belum bisa jadi anak yang membanggakan. Yang pantas untuk mama peluk."
--------------------------------------------------
Gimana perasaan kalian waktu baca chapter ini???
AYO 2000 vote dan 1000 komentar lagi untuk update!!!
SPAM FOR NEXT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top