Bab 33. Monumen Lapangan Banteng
HAI, kayaknya ini bakal jadi chapter terpanjang wkwk. Btw, Nirbita upload something di instagramnya. GEMESHHH BANGET. Aku juga upload sedikit tentang Raiden di TikTok. Bisa cek akun Yupitawdr yaa.
Oh, untuk akun instagram Nirbita, kalian cek aja di @nirbitaasteria
BTW, VOTE AJA DULU. BACANYA BESOK YAAAH💗
SELAMAT MEMBACA
--------------------------------------------------
Bab 33. Monumen Lapangan Banteng
You are stronger than your struggle
***
SEJAK adegan memeluk Sekala beberapa waktu yang lalu, Nirbita jadi sedikit canggung. Wajahnya akan memanas hanya karena mengingat hal itu. Ia tidak berani menatap mata Sekala saat bercakap, sebab ingatannya akan kembali terbawa ke saat-saat dimana ia merangsek ke dalam dekapan itu, terisak seperti anak kecil kehilangan sesuatu, dan berakhir sesenggukan dengan keadaan berantakan. Oh, jangan lupakan ketika ia berhasil membuat kemeja sekolah Sekala basah karena air mata dan..., ingusnya.
Tapi, Nirbita beruntung karena setelahnya, mereka sama-sama sibuk untuk persiapan ujian semester genap. Intensitas pertemuan itu tidak lagi padat dan perburuan senja ditunda sementara. Meskipun, Sekala masih datang di sela-sela waktunya. Entah mampir ke tempat duduknya, menyelip di antrean kantin, berdiri di depan pintu kelas setiap pagi – selama ujian berlangsung— hanya untuk memberinya card affirmation. Biar semangat katanya.
Perlahan, ia merasa lebih baik. Api dalam dirinya kembali terpantik membuatnya bisa melihat jalan-jalan lain di depan. Keberanian untuk memilih pun sedikit meningkat. Suatu saat, ia akan berterimakasih kepada Sekala meskipun sebagain besar perubahannya memang karena diri sendiri. Sekala telah memberinya banyak insight positif yang meskipun kadang-kadang kedengaran konyol di waktu bersamaan.
“Hai, Ta.”
Nirbita berjegit. Gadis itu menoleh ke samping, pada Raiden yang kini tersenyum tipis ke arahnya. “Oh.., hai.” Ia memang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tapi ia bisa menyembunyikan degup jantung yang masih berlomba-lomba kala di samping lelaki itu. Makanya, Nirbita tersenyum. Seolah menunjukkan bahwa ia sudah baik-baik saja.
“Habis dari mana?”
“Ruang BK,” jawab Nirbita.
Raiden mengangguk-angguk paham. Mereka sama-sama berbelok di ujung koridor, menaiki tangga menuju lantai 3 sementara pandangan Raiden tidak lepas dari map yang dibawa Nirbita. ia berdeham. Cukup aneh sebenarnya mereka berjalan beriringan tapi saling diam. Padahal, dulu tidak begini..
“Lo mau lanjut kuliah di sana ya?” tanya Raiden tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Nirbita mengernyit. Ia mengikuti arah pandang Raiden dan berhenti pada brosurnya. “Oh.., iya," katanya dengan senyum di ujung.
“Mau ambil jurusan apa?”
Pertanyaan itu teredam begitu saja ketika mata Nirbita tidak sengaja menangkap sosok Sekala di depan kelas. Lelaki itu tengah bersender di balkon dengan tatapan lurus ke arahnya. Meskipun, begitu mata mereka bertemu, cepat-cepat Sekala mengalihkan pandangan.
Nirbita merasa tidak enak hati. Mungkin, ia tidak memiliki perasaan apapun. Mereka juga tidak berada dalam satu ikatan yang mengharuskan salah satunya harus saling menjaga perasaan. Tapi, Sekala mencintainya. Itu yang Nirbita tahu.
Sebenarnya, ia bebas melakukan apapun karena tidak punya kewajiban menyenangkan Sekala. Namun, lelaki itu sudah begitu baik padanya. Sangat baik. Maka, Nirbita menoleh ke arah Raiden dan tersenyum sekali lagi. “Duluan ya!” Pamitnya. Setelah itu, ia menjauh.
Nirbita menggigit bibir dalamnya begitu melewati Sekala. Tidak ada sapaan atau sesuatu yang menghentikan langkahnya. Ia melewati pintu dan duduk. Dari ekor matanya, ia dapat melihat Sekala masih di luar. Berbincang dengan teman-temannya.
Nirbita sudah hendak membaca isi dokumen yang dibawanya tadi ketika ponsel di sakunya bergetar. Ia tersenyum mendapati notifikasi pesan di sana. Dari Sekala.
Sekala Diwangkara
Mau ikut ke perpustakaan gak? Mumpung bel masuk masih lama. Gue mau cari buku.
Tanpa perlu membalasnya terlebih dahulu, Nirbita berdiri. Ia menghampiri Sekala, membuat lelaki itu menegakkan tubuh. "Mau?" tanyanya.
Nirbita mengangguk. Menghindari lebih banyak olokan teman-temannya, Sekala cepat membawa Nirbita pergi ke perpustakaan. Ruangan itu berada di ujung tangga gedung seberang. Tepat di sebelah Laboratorium IPA.
Begitu masuk, instrumental Still Waters-nya Maksim Mrvica membelai telinga. Bau-bau buku yang menyatu dengan pengharum ruangan langsung menubruk penciuman. Dingin dan sepi, hanya ada dua orang murid yang sedang membaca di meja tengah-tengah ruangan juga satu penjaga perpustakaan dekat pintu. Nirbita tersenyum ketika penjaga perpustakaan itu menyapa ramah.
“Mau pinjem buku apa?” tanya Nirbita saat Sekala fokus menyisiri rak-rak buku pelajaran. Sementara ia hanya mengikuti di belakang tanpa tahu gunanya ikut.
“Apa ya..” Sekala bergumam.
“Kok apa ya??”
Sekala berbalik lalu berjalan mundur, pandangannya tidak lepas dari Nirbita. Seperti ada air yang mengalir di matanya. Berwarna biru pekat tapi tidak kemana-mana. Seperti denting piano yang terus mengalun. Begitu tenang namun menghanyutkan. Sesuai judulnya, Still Water. “Tadinya mau pinjem buku latihan soal ujian nasional, terus nggak jadi deh.”
"Loh.. aneh."
"Emang aneh."
"Makanya kita nyambung," ucap Nirbita sebagai penengah, takut-takut perkataannya tadi menyinggung Sekala.
Lelaki di depannya itu tertawa, lantas melirik jam di pergelangan tangannya. Kurang dari 10 menit lagi bel masuk untuk ujian selanjutnya akan berbunyi, tapi ia tidak ingin menyia-nyiakan waktunya bersama Nirbita. Jadi, ia berjalan ke meja panjang dekat jendela dan duduk di sana. Begitu pun Nirbita.
"Biasanya, kalau sore langit di sini juga bagus, Ta. Tapi, di beberapa moment aja sih. Nggak setiap hari."
"Kok tahu?" tanya Nirbita.
"Dulu, pas masih jadi OSIS, gue kan sering balik malem. Jadi, sering mampir ke sini."
"Cuma buat lihat matahari terbenam?"
Sekala menoleh, ia tersenyum lembut. "Ngunci pintu. Anak SekBid sering numpang ngeprint di sini," katanya. Ia menumpukan wajahnya dengan sebelah tangan dan menatap Nirbita dalam. "Gimana ujiannya? Lancar?"
"Iya. Gue udah nggak belajar sampe larut malam lagi loh."
"Oh ya? Bagus dong," ucap Sekala. Dinginnya ruangan semakin terasa sebab mereka berada tepat di bawah air conditioner.
"Gue belajarnya jadi lebih teratur. Kayak yang lo saranin."
"Pinternya.."
Selain memberi card affirmation selama ujian, Sekala juga beberapa kali menghubunginya hanya untuk mengingatkan untuk tidak belajar sampai malam. Sekala mengeluarkan segala petuahnya sambil sesekali menguap. Nirbita dapat mendengarnya dari seberang jika mereka sedang telfonan.
"Belajar tuh sampe jam 9 aja, Ta. Abis itu tidur. Besoknya, sebelum bel baru belajar lagi buat mengingat-ingat kembali. Karena, kalau dipaksa, sama halnya kayak ketika lo siram air ke pot tanaman secara terus menerus. Airnya bakal meluap dan tanamannya bakal membusuk. Tapi, kalau dikasih jeda, porsinya bakal pas dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik."
Waktu itu, Nirbita hanya bergumam menanggapi. Suara Sekala terdengar lebih rendah dan itu menularkan kantuk. Makanya, beberapa lama kemudian ia ketiduran di meja belajar. Meninggalkan Sekala yang masih setia memberi banyak nasihat. Besoknya, ia terbangun dengan keadaan ponsel masih menyala sebab sambungan telepon tidak terputus. Ia mengucek mata, mencoba menajamkan pendengaran tapi tidak ada suara Sekala. Hal itu membuatnya sadar, mereka sama-sama ketiduran tadi malam.
"Ta, karena hari ini ujian terakhir. Gue mau kasih ini buat lo," ucap Sekala sambil menyodorkan satu pack card affirmation yang tersisa. "Lo bisa baca tanpa nunggu gue kasih setiap hari di ujian sekolah."
Nirbita menerimanya dengan senyum lebar. Selain pintar dan mempunyai bakat mumpuni, kelebihan Sekala yang lain adalah jago membuat hal-hal kecil menjadi berarti. Ia membuka satu persatu kartunya.
You are stronger than your struggle
If you feel overwhelmed, it’s ok to take a break and ask for help
You are so worthy of a everything you desire
Ada tulisan ; untuk Nirbita di setiap cardnya. Yang menunjukkan bahwa benda ini memang khusus untuknya. Nirbita menyusunnya kembali, memasukkan ke dalam pack dan menatap Sekala. "Makasih ya, La udah baik banget ke gue."
"Sama-sama."
"Padahal, dua tahun lebih sekelas, gue baru hafal suara lo."
"Nggak apa-apa. Udah biasa," canda Sekala.
Nirbita tertawa. Ia memutar-mutar pack kartu di tangannya, mengetuk ke meja dengan pelan, sementara tatapannya masih pada Sekala. "Jadi, habis ini mau berbaik hati ngasih pengalaman seru yang gimana?"
***
USAI membantu Nirbita menggelar alas, Sekala langsung melepas sepatunya dan meletakkan paper bag berisi makanan di sana. Pengap, ia menurunkan sejenak maskernya. Apalagi, posisinya menguntungkan. Di sudut taman yang sepi, tepat di bawah pohon tabebuya —yang kebetulan sedang berbunga.
Untuk merayakan hari terakhir ujian sekolah, Sekala membawa Nirbita piknik ke Lapangan Banteng. Tempatnya terletak di daerah Sawah Besar, berdekatan dengan Katedral dan Istiqlal. Butuh satu jam perjalanan untuk sampai karena macet, apalagi ia membawa mobil. Jadi, tidak bisa nyerobot sana-sini.
Sebenernya, tidak ada rencana matang ketika mengajak Nirbita piknik begini. Bekal yang mereka bawa pun hanya alas, satu paket bento plus salad, dan minuman.
"Bisa nggak?" tanya Sekala saat melihat Nirbita kesusahan menusuk minumannya. "Sini." Ia mengulurkan tangan, mengambil alih lalu menusuk menggunakan sedotan miliknya.
"Makasih," ucap Nirbita saat minumannya kembali.
"My pleasure."
Angin yang berembus membuat Sekala menyipitkan mata. Selain beef yakiniku yang dimakannya kini, Sekala juga begitu menikmati pemandangan sekitar. Tidak ada lautan biru atau bunga warna-warni yang menyegarkan mata. Hanya hamparan padang rumput berlatarkan gedung-gedung di belakangnya. Lalu, diantara itu anak kecil berlarian, tertawa sambil mengejar balon-balon sabun yang ditiup sang papa. Sebuah pemandangan hangat untuk kota yang biasanya padat dan panas.
Matahari belum sepenuhnya tenggelam, tapi Sekala sudah tenggelam jauh pada pesona Nirbita sore ini.
Cahaya tipis berhenti di pelipis gadis itu. Ia terlihat menunduk, mengaduk-aduk saladnya tanpa selera dan ketika tatapan mereka bertemu, Sekala tidak lagi menemukan binar yang biasa terpancar ketika sedang makan. "Kenapa? Nggak enak?" tanyanya.
Nirbita tersenyum lalu menyuapkan salad ke mulutnya. "Enak kok."
Tidak ada yang benar-benar bisa menebak isi hati perempuan, begitupun Sekala. Jadi, ia menyodorkan egg chicken roll miliknya ke depan wajah Nirbita. Cukup membuat gadis itu terkesiap. "Cobain deh. Enak banget."
Nirbita menggeleng dan kembali memakan saladnya. "Gue bukan tipikal orang yang berat badannya tetep stabil meskipun makan banyak," katanya. Berhasil membuat Sekala menurunkan tangannya. "Makanya, akhir-akhir ini berat badan gue naik. 3 kilo. Dan gue harus menahan diri biar nggak kelepasan lagi."
Oh, jadi soal itu..
"Habis makan ini kita lari sore buat bakar kalori. Jadi cobain dulu," ujar Sekala kembali menyodorkan.
Nirbita mendengus. "Seragam gue bisa nggak muat kalau lo nyuruh gue makan terus," protesnya. Meskipun sebelah tangannya mengambil chicken egg roll itu dan memakannya.
"Tapi lo seneng nggak?"
"Ya..., seneng."
Sekala tertawa renyah. Ia kembali melanjutkan makan. Mereka mulai membicarakan perihal soal-soal ujian yang mengecoh, jendela kelas yang pecah karena pertikaian Garin dan Arshaka, cuaca yang dingin sepanjang menuju akhir tahun, juga banjir yang sering terjadi di berapa titik kota. Pembahasan itu berujung pada pertujukan dancing fountain yang menarik lebih atensi Nirbita. Binar mata yang semula hilang itu muncul kembali ketika Sekala bercerita.
"Iya. Setiap sabtu sama minggu malam biasanya ada pertujukan dancing fountain gitu di bawah monumen. Lo pengen nonton nggak?"
"Boleh?"
"Loh, kenapa nggak?"
"Tapi nanti pulangnya bakal malem."
"Lo keberatan? Atau gue ijinin ke orang tua lo dulu sini. Kalau lo mau.."
"Konteksnya bukan itu," balas Nirbita. "Emang lo nggak ada acara atau apa gitu nanti malem?"
"Ada sih," jawab Sekala. Sebelah tangannya menyodorkan shrimp roll yang tersisa pada Nirbita dan gadis itu melahapnya begitu saja. "Acara nonton dancing fountain bareng lo."
Nirbita mendengus. Ia kembali mengunyah makanannya, meresapi rasanya, dan sadar kalau ia baru saja disuapi Sekala. Tunggu..
Kunyahannya memelan. Ia mengusap pipinya yang menghangat. Dan untuk menghindari tatapan lelaki itu, Nirbita beralih memungut bunga-bunga tabebuya yang gugur di dekatnya. Mengumpulkan jadi satu dalam genggaman.
"Mau buat apaan, Ta?"
"Oshibana," jawabannya singkat. Ia belum berani bersitatap sebelum menelan habis makanannya. Takur tersedak. Takut ketahuan kalau wajahnya memerah. Takut Sekala salah tangkap akan respon tubuhnya.
***
ALIH-ALIH ikut Sekala untuk ibadah, Nirbita lebih memilih menyusuri dinding pembatas monumen dan zona olahraga yang penuh kutipan. Banyak potongan sejarah berceceran di sini. Seperti isi Trikora, pidato proklamasi, Deklarasi Djuanda, penyerahan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar, serta beberapa hal mengenai Pembebasan Irian Barat.
Nirbita lumayan tahu tempat ini. Beberapa bulan yang lalu media gencar memberitakan sebab baru selesai direvitalisasi dan menuai cibiran simpatisan pemimpin sebelumnya. Karena tertarik, ia membaca beberapa sumber terkait. Yang ditangkap olehnya hanya soal beberapa oknum yang tidak terima karena ide revitalisasi itu digagas pemimpin sebelumnya, namun diresmikan dan diklaim pemimpin berikutnya. Bagi mereka tidak adil. Begitu katanya..
Padahal, kalau saja pemimpin sebelumnya tidak terlibat skandal, mundur dari jabatan, dan masuk penjara, mungkin semua akan berjalan semestinya.
Ya begitu.. Cerita soal Jakarta memang selalu panjang. Kalau dijabarkan tidak cukup hanya dengan dua lembar kertas folio. Tapi, apapun itu, Nirbita suka tempat ini sejak pertama kali melihatnya. Pohon rindang yang menaungi, hamparan rumput segar, playground dan jejak kaki anak kecil, serta langit sore yang membentang di atasnya.
"Sorry, lama. Tadi wudhunya antre." Nirbita menoleh. Sekala datang dengan wajah yang lebih segar dan rambut setengah basah. Tiba-tiba, tangan lelaki itu terulur ke sisi wajahnya, kemudian membenahi maskernya "Miring," katanya enteng. "By the way, lo mau makan dulu nggak?"
"Nggak," jawab Nirbita cepat. Ia menelengkan kepalanya. "Lo beneran mau bikin gue gendut ya? Kenapa topik makan menjadi pertanyaan wajib lo?!" tanyanya dengan mata memicing.
Sekala mengedikkan bahunya. "Gue cuma nggak mau anak orang kelaparan kalau lagi jalan bareng gue."
Lalu, mereka berjalan beriringan menuju amphitheater. Beberapa sisi sudah terisi orang-orang yang ingin menonton pertunjukan. Setelah memperhitungkan beberapa hal, mereka duduk di bagian paling atas. Agar ruang geraknya lebih bebas dan pastinya tidak jadi pusat perhatian.
Nirbita menyelonjorkan kaki, satu tangannya yang lain menyelip di sela-sela railing pembatas. Lalu, ia menyenderkan tubuhnya di sana.
Jika boleh, ia ingin menjadi anak kecil lalu merosot ke bawah, merecoki pengunjung yang lain tanpa khawatir akan dimarahi seperti ketika mama memarahinya.
Nirbita mendongak, pada monumen yang terlihat menakjubkan dalam balutan langit malam. Yang tetap berdiri kokoh sekalipun telah melewati ratusan hujan dan jutaan jam bersama terik.
"La, tadi gue baca kalau monumen itu adalah simbol kebebasan Irian Barat dari cengkraman Netherland puluhan tahun yang silam." Ia menguap kemudian menatap Sekala dengan mata sedikit berair karena kantuk. "Pas bikin patung itu, kira-kira pakai semen merk apa ya?"
Sekala terkekeh. Ia seperti kembali terlempar ke UKS beberapa bulan yang lalu. Orang cantik memang begitu ya? Aneh dan random?
"Patungnya dari perunggu, bukan semen."
"Gitu ya?"
Sekala mengangguk. Lelaki itu melepas jaketnya dan meletakkan di pangkuan Nirbita guna menutupi pahanya yang terekspose. "Tahu nggak, patungnya itu adalah representasi kebebasan yang hakiki."
"Gimana maksudnya?"
"Kalau dilihat lebih teliti, di kedua tangan dan kaki patungnya ada rantai yang berhasil diputus. Itu menggambarkan seseorang yang berhasil melepaskan belenggu penjajahan. Artinya, kita udah merdeka sejak puluhan tahun yang lalu. Jadi, kita jangan mau dijajah lagi," katanya. Nirbita mendengarkan sambil melihat orang-orang di bawah. Mereka asik berbincang, berfoto ria, dan tertawa lepas karena suatu hal yang tidak ia mengerti. "Kita bebas menentukan jalan mana yang mau kita tempuh, kita punya hak melontarkan pendapat ataupun protes kalau merasa dirugikan, kita juga layak makan yang banyak. Dan yang paling penting, kita harus... minum setelahnya."
Nirbita praktis berdecak jengah. Padahal, ia sudah benar-benar serius mendengarkan tadi. "Kalau nggak minum?"
"Nanti choking," jawabnya sambil membuka tutup botol air mineralnya dan minum.
Pertunjukan dancing fountain itu dimulai sekitar jam setengah tujuh malam. Lagu nasional dan daerah bergantian mengiringi tarian air. Nirbita menguap sekali lagi. Angin malam membuat matanya semakin berat.
Mungkin karena kelelahan juga kebanyakan makan, Nirbita kalah oleh rasa kantuk. Gadis itu menyenderkan tubuhnya ke railing, menyerap dingin yang menjalar ke pipi dan memejamkan mata.
Layang-layang terbang melayang
jatuh dipengki diambil orang
Layang-layang yang terbang melayang
hei sayang disayang
Siapa bilang tidak disayang aduh sayang
Lagu itu terdengar samar-samar. Ia masih bisa merasakan keramaian sekitar, juga ketika sisi wajahnya disentuh dan berpindah ke pundak seseorang.
--------------------------------------------------
Meskipun nggak ada scene berarti semoga suka chapter ini yaaa.
Kritik dan sarannya untuk ceritaku. Nggak cuma Nirbita, aku butuh insight 😭
SPAM FOR NEXT
BTW, NEXT BESOK SETUJU NGGAK??
Spoiler : ada yang rankingnya turun
2000 vote dan 1000 komen yuk💗
Btw, untuk penerbitan banyak yang belum tahu ya? Cerita ini akan terbit di ID.SQUAD x ID.AKAD
Jadi, stay tune terus biar nggak ketinggalan info😍😍
Say hi to Sekawa Diwangkawa😍💗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top