Bab 32. Julius Pringles dan Nirbita
Masih ada yang bangun??? Vote dulu, baca besok yaaaakk<3
Btw, siapa yang udah baca hidden story dari sudut pandang Raiden???!!
(tuh spoilernya, kalian bisa baca di Karyakarsa, akun Yupitawdr yaa)
OKE DEH. SELAMAT MEMBACA
-----------------------------------------------------
Bab 32. Julius Pringles dan Nirbita
Tuhan tidak pernah menciptakan hari buruk. Sebab, setiap harinya adalah berkah.
***
SAAT Garin dan teman-temannya yang lain mengajak untuk menghabiskan jam istirahat kedua di kantin, Nirbita menolak halus dan menjadikan hafalan bahasa inggris nanti sebagai dalih. Padahal, yang dilakukanya sekarang adalah berdiri di depan loker kelas usai meremat dan menyembunyikan lembar hasil ujian kimianya di sana. Sebab, ada angka 65 yang tertera dengan tinta merah tepat di sebelah namanya. Dan itu berarti, ia harus menjauhkannya dari jangkauan mama.
Mungkin, sebagian orang setuju dengan pendapat klasik "nilai itu cuma sekedar angka" tapi tidak bagi Nirbita yang sejak kecil semua pencapaiannya ditarget dengan angka. Ia masih ingat ketika nilainya pertama kali anjlok menyentuh KKM, mama bilang ; semakin kecil angkanya, semakin kecil juga kesempatan kamu buat dapatin apa yang kamu butuh dan pengen. Setelah itu, mama memberinya uang saku jauh di bawah sebelumnya, 8.000. Bersekolah di swasta, mengantongi uang segitu hanya cukup membeli teh kotak dan roti isi. Makanya, ia jadi terbiasa makan roti hingga sekarang.
Beranjak dewasa, Nirbita jadi mengerti bahwa nilai memang salah-satu aspek penentu kehidupan. Semakin tinggi angkanya, semakin tinggi juga value kita di mata orang-orang. Entah itu angka di lembar soal ujian, rapor, ijazah, bahkan slip gaji.
"Bengong aja, Ta. Ngapain?"
Nirbita menoleh. Di belakangnya, Sekala berdiri dengan kedua alis terangkat. Lalu, lelaki itu mengulurkan tangan, melewati wajah Nirbita untuk membuka pintu loker miliknya. Praktis hal itu membuat Nirbita menyingkir dan memberi ruang agar Sekala maju. "Nggak capek berdiri terus? Lo udah dari tadi loh di sini. Sekitar..., 8 menit."
Nirbita meringis. "Emang iya?!"
Sekala terkekeh kecil lalu mengangguk. Kemudian, lelaki itu mengangkat dua kaleng pringles di tangannya. "Mau ini nggak?" Belum sempat dijawab, Sekala sudah menarik kursi kosong terdekat dan mempersilakan Nirbita duduk.
Kelas di jam istirahat kedua bisa dikatakan lebih sepi dari sebelumnya. Sebab, sebagian murid memilih menghabiskan waktu dengan main futsal di lapangan atau ngibrit ke kantin. Hanya ada beberapa murid yang tinggal untuk makan bekal siang, hafalan, dan ngerumpi.
"Mending buka satu aja, jangan semua," ujar Nirbita saat Sekala akan membuka kaleng kemasan keduanya. Alih-alih menurut, lelaki itu justru tetap melanjutkan.
"Ini isinya dikit banget, Ta. Kalau satu berdua mana cukup," katanya.
Setelah itu, mereka melewati detik-detik menuju pelajaran selanjutnya dengan makan chips bersama di sudut kelas paling belakang, di kursi yang jelas bukan milik Sekala ataupun Nirbita.
Dalam waktu yang terus berjalan itu, Sekala mengajari Nirbita cara makan pringles yang benar. Dengan memasukkan dua chips sekaligus ke dalam mulut hingga membentuk paruh bebek lalu menggigitnya dalam sekali hap. Sekala bilang, jika ditelaah lebih dalam, cara makan seperti itu justru termasuk filosofi yang mengaitkan makanan tersebut dengan maskotnya. Pria berkumis lentik di dua sisi, mirip paruh bebek. Sungguh info yang sebenarnya tidak penting, tapi Sekala menyampaikannya seperti sedang menceritakan sebuah riddle yang membuat Nirbita jadi bertanya-tanya.
"Terus, lo tahu nggak kenapa maskot pringles bentuknya berubah-ubah tapi namanya nggak pernah berubah. Tetep Julius Pringles?" Nirbita mulai ikutan random.
Sekala terkekeh. Cahaya tipis matahari yang melewati kaca jendela berhenti tepat pada rambut kecoklatannya. Merambat jatuh ke bulu mata lentik lelaki itu -yang ternyata juga berwarna coklat. "Ya.., karena tahun udah berganti. Mungkin pemiliknya pengen si maskot merepresentasikan manusia. Yang setiap waktu ke waktu pasti berbuah. Entah itu dari fisik, cara berpakaian, bahkan kepribadiannya. Kayak ini." Sekala menunjuk gambar Julius Pringles di kaleng kemasan. "Yang awalnya digambarin malu-malu, berambut coklat, dan nggak punya alis, sekarang jadi serba hitam, punya alis dan.. botak?" Sekala jadi bertanya-tanya sendiri, meneliti gambarnya sekali lagi untuk memastikan apakah maskot pringles tersebut botak atau tidak. Hal itu membuat Nirbita melakukan yang sama.
"Ini bukan botak!" seru gadis itu sambil memasukkan satu chips ke mulut, mengunyahnya pelan untuk meyakinkan diri atas sanggahannya.
"Terus? Nggak ada rambutnya? Sama aja lah."
Nirbita bergumam. "Ish, ini alisnya aja ngambang, nggak jelas struktur mukanya, gimana mau punya rambut kayak yang dulu," katanya. Gadis itu mendongak. Begitu pun Sekala. Dan tatapan mereka bertemu. Lalu, gelak tawa pecah setelahnya.
Mereka kenapa sih? Seharusnya mereka cukup duduk. Makan pringles seperti orang normal tanpa perlu membahas remeh-temeh di dalamnya. Memangnya, siapa yang bakal peduli soal maskot Julius Pringles? Tidak ada. Ya.., pengecualian bagi Sekala dan Nirbita.
Lagipula, mereka sampai lupa kalau di kelas juga ada yang lain sehingga sekarang semua mata mengarah ke satu titik. Apalagi, bel pertanda jam istirahat usai telah berbunyi. Sebagian murid yang tadinya di luar kini sudah masuk dan langsung tersenyum jahil saat melihat target ceng-cengan di bangku belakang.
"Gerah banget ya di bumi. Padahal suhu normal!!" teriak gadis berambut hitam legam. Tidak lupa bracelet warna-warni di tangannya. Siapa lagi kalau bukan si biang gosip Serena. "Oh pantesan, matahari sama bulan lagi nangkring di pojok belakang!!" lanjutnya yang disambut langsung oleh kelakar tawa teman-temannya.
"Sampe nggak jadian, gue gulung nih bumi. Udah bikin panas, nggak ngehasilin apa-apa lagi," celetuk Tenggara ikut-ikutan.
"Sekelas udah bantuin masak mangkrak gitu aja proyeknya. Kan sayang ya bro," timpal yang lain.
"Apaan sih. Nggak jelas lo pada." Nada suara Sekala jelas menyiratkan kekesalan. Lelaki itu mendorong meja sedikit kasar lalu berdiri membuat Nirbita berjegit. Namun, seperti biasa, gadis itu handal menguasai diri. Ia meraih tangan Sekala, bermaksud menenangkan, dan ia menemukan sorot mata hangat itu kembali. "Nyebelin banget sih mereka. Ke kantin aja yuk!"
"Udah bel kali, La," jawab Nirbita.
Hening. Satu kelas berbalik membelakangi, menahan tawa serta pura-pura tidak mendengar. Sementara Sekala wajahnya makin merah padam. "Ya.. udah." Terlanjur malu, ia mendekatkan wajahnya, membuat Nirbita mundur tapi tangannya lebih dulu menahan.
Lelaki itu berbisik. "Tapi, nanti balik sama gue. Lanjut makan pringles sama berburu senja."
***
NIRBITA menyingkir ke sisi dalam kios penjual ayam penyet ketika orang-orang mengerumuni Sekala untuk berfoto. Meskipun beberapa tangan lancang menggamit bahkan memeluk lelaki itu, senyum tulusnya tidak luntur. Sekala dengan sabar melayani. Termasuk ketika seorang ibu-ibu datang dari seberang, meminta foto dengan begitu antusias dan berakhir mencubit pipi Sekala gemas.
"MasyaAllah, ganteng banget loh aslinya! Tunggu sebentar boleh nggak, Mas Sekala? Anakku fans beratmu tapi masih beli makan di depan. Ibu panggil dulu buat foto ya!!"
Lalu, ibu tersebut sudah tergopoh-gopoh menyerobot orang-orang untuk memanggil anaknya. Nirbita hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihat potongan gambar dinamika kehidupan di depannya. Apalagi, Sekala menatapnya dengan bibir merengut. Lucu sekali.
Beberapa saat kemudian, ibu tadi datang bersama seorang anak gadis ber-almamater salah-satu SMP swasta terkenal. Ada sekitar 6 kali foto, Nirbita menghitungnya dalam hati sambil menikmati aroma ayam bumbu yang berhasil membuat cacing-cacing di perutnya bergolak. Apalagi, saat ini ia berdiri di samping sebuah wajan penggorengan. Panas sih, tapi lumayan memberi makan laparnya.
Sepulang sekolah tadi, Sekala membawanya ke street food yang terletak di belakang Grand Indonesia. Tanpa henti lelaki itu menariknya ke stand-stand yang katanya recommended. Karena lengah dan tidak sengaja membuka masker, jadilah mereka berakhir seperti sekarang.
"Boleh foto sama kakak juga nggak?" Gadis itu tiba-tiba menatap ke arah Nirbita.
Kaget, Nirbita praktis menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan. "Ya? Saya?"
Gadis bermata belo itu mengangguk semangat membuat Nirbita menatap Sekala, seolah meminta pendapat. Namun, sepertinya lelaki itu juga bingung harus bersikap bagaimana. Akhirnya, Nirbita mendekat dan mereka pun foto bertiga dengan sang ibu sebagai fotografernya.
"Makasih banyak, kak," ucapnya dengan senyum lebar menghias wajah. Terlihat bahagia sekali hanya karena hal yang menurut Nirbita sederhana. Ah, ia lupa. Bahagia kan sebenarnya relatif. Tergantung siapa yang merasakan..
"Minta tolong, buat foto yang terakhir jangan diupload di sosial media ya," pinta Sekala hati-hati.
"Iya. Janji."
Dan percakapan itu berakhir dengan Sekala mentraktir beberapa orang - termasuk ibu dan anak tadi- ayam penyet serta es jeruk di depannya. Mereka lanjut menjelajahi satu-persatu kios dagangan. Dari cireng, dimsum sampai bakwan pontianak. Aromanya segala jenis makanan merebak dibawa angin sore, bercampur dengan bau-bau keringat juga asap dari knalpot kendaraan. Sesekali, mereka mendengar bisikan-bisikan ketika berjalan.
"Eh eh, itu.. cewek yang kemarin viral itu. Temennya Sekala kan? Tapi kok deket banget ya.."
"Sekelas mereka aja nggak gengsi beli makanan di sini. Merakyat banget. Lucu ya sederhana."
Tidak ingin membuat Nirbita semakin diekspose, Sekala memasangkan snapbacknya ke kepala gadis itu. Satu gerakan reflek yang sedikit membuat Nirbita terkejut namun ia kembali menguasai diri. "Sorry ya, Ta. Jadi ribet hari ini. Nggak sesuai ekspektasi lagi deh," ucap Sekala begitu mereka menuju mobil. Ia mengambil alih beberapa kresek di tangan Nirbita, menggeser tubuh gadis itu ke sebelah kanan lalu menukar posisi saat lalu lalang kendaraan dari arah berlawanan terlihat amburadul.
"Lo jangan keseringan minta maaf ke gue apalagi bukan karena kesalahan lo-" Nirbita menahan napas saat Sekala menggenggam tangannya untuk menyebrang. "Gue tuh sebenernya nggak apa-apa."
"Tapi, kalau misalnya lo ngerasa nggak nyaman bilang ya," ucap Sekala sambil membukakan pintu mobil.
"Iya."
"Jangan disimpan sendiri cuma karena nggak enak yang mau ngomong ke gue."
Nirbita berdecak pelan. "Iya, Sekala. Gue bakal ngomong. Jadi, lo nggak perlu.. Astaga lo perlu baca buku self improvement deh biar nggak keseringan overthinking dan ngerasa bersalah gini," katanya.
Sekala tertawa lalu menutup pintu. Lelaki berlari memutari mobil hanya untuk mengeluh ketika sudah duduk di balik kemudi. "Panas banget ya ternyata di luar." Ia meletakkan jajannya di dashboard, menurunkan suhu air conditioner mobil, lalu melepas hoodienya.
"Minum dulu." Nirbita menyodorkan es jeruk yang dibelinya tadi. Dua kali sedotan langsung tandas begitu saja. "Habis ini mau kemana lagi?"
"JPO Sudirman mau nggak? Lihat sunset sambil makan ini," tanyanya tanpa menoleh seba sibuk memindah-mindah jajanan guna mencari kresek kosong untuk tempat sampah.
"Ngemper?"
"Iya. Sambil bawa kaleng sekalian. Aishhh tumpah.." Saus telur gulung merembes ke tangan, kursi, lalu celana Sekala ketika lelaki itu masih sibuk menyatukan jajanan tadi hanya demi sebuah kresek. Padahal, kalau Sekala mau gerak, ia bisa buka pintu kembali dan jeng jeng jeng... tempat sampah sudah berada di depan mukanya.
Atau paling simple taruh aja dulu di door trim. Semudah itu tapi Sekala memang ribet di beberapa waktu. Apalagi ketika gugup, ia pasti sering bertindak impulsif agar tangannya tidak kelihatan shaking.
Dengan sabar Nirbita menarik tisu dan membersihkan kekacauan itu lalu menyodorkan beberapa lembar pada Sekala. "Di siku lo tuh juga kena saus. Nah. Ya Allah, La.. jadi makin kemana-mana."
Sekala meringis. Ia masih berusaha membersihkan kotoran di bajunya, dibantu Nirbita. "Udah bersih kan?" tanyanya sambil membolak-balikkan badan.
Nirbita mengangguk. Gadis itu meletakkan mengepal-ngepal tisunya dan menyelipkan di kantung kresek. "Jadi ke JPO nih?"
Sekala mengangguk antusias.
"Mau parkir dimana emang? Ntar mobil lo dikempesin sama Satpol PP kalau parkir sembarangan di trotoar."
"Numpang parkir di gedung terdekat aja, kan boleh," jawab Sekala kemudian mulai menyalakan mobil.
Dan Nirbita menyetujui sebab tidak ada alasan yang layak untuk menolaknya. Sambil memakan telur gulung yang tersisa, ia mengamati cara Sekala menyetir dari samping. Lelaki itu tidak banyak bicara, pandangannya fokus ke arah jalanan di depannya, terlihat begitu serius seperti dihadapkan dengan pilihan surga atau neraka. Apalagi jika ada kendaraan lain menyalip dengan kecepatan tinggi. Raut wajahnya berubah tegang.
"By the way, tumben banget lo bawa mobil."
Sudut bibir Sekala terangkat, ia menoleh sekilas dengan tangan mengusap tengkuknya canggung. "Iya. Ini test drive. Gue baru belajar nyetir soalnya."
Jawaban itu sukses membuat Nirbita curiga. "Kapan belajarnya?"
"Eung.., lupa. Kapan ya?" Sekala nampak berpikir. "Minggu lalu deh kayaknya."
"Astaga!!" pekik Nirbita. Sementara Sekala menaikkan kedua alisnya bingung. "Lo tuh ya!!"
"Kenapa?"
"Nanti gue yang nyetir!!"
***
BUMI terus berotasi, dan kali ini berhasil meninggalkan matahari untuk sebuah malam panjang penuh bintang-bintang nantinya. Warna jingga, kuning, serta kemerahan mulai membias langit. Dilihat dari tempatnya duduk, potret itu seperti lukisan api di atas gedung-gedung kota. Namun, fokus Sekala bukan pada senja. Melainkan pada gadis di sampingnya. Pada Nirbita yang sejak tadi menikmati makannya sambil melihat prosesi perpisahan Jakarta dengan bintang raksasa itu.
"Ini baru berburu senja," ujar Nirbita.
"Emang kemarin-kemarin nggak?"
Nirbita menoleh. Ia menelengkan kepalanya. "Lo banyakan ngajak gue berburu makanan bukan senja."
Sekala tertawa mendengarnya. "Loh. Lo tahu arti senja yang gue maksud nggak sih?"
"Hah? Emang senja yang lo maksud apa? Langit waktu matahari mau terbenam kan?"
"Bukan lah."
"Terus?"
"Semangkuk jajanan," jawab Sekala enteng yang berhasil membuat tangan Nirbita terayun memukul bahunya. "Salah gue sih nggak jelasin di awal. Bikin lo terjebak deh jadinya."
"Lo harus refund waktu gue ya!"
"Mana bisa? Gue ganti pakai waktu gue aja gimana."
Meladeni candaan ngalur-ngidul itu, Nirbita pura-pura berpikir sambil menyuapkan dimsum ke mulutnya. "Oke. Nanti gue rekap pengeluaran waktu gue selama kulineran sama lo."
Angin berembus pelan, memberi kesejukan bagi jiwa-jiwa yang gersang. Termasuk Nirbita. Makanya, gadis itu terlihat begitu menikmati makannya, tanpa beban, tanpa perduli sudah berapa kalori yang masuk ke tubuhnya hari ini.
"Ta," panggil Sekala.
"Ya?"
"Kalau udah dewasa nanti, lo mau jadi apa?"
"Tiba-tiba banget nanya begituan."
Sekala tersenyum. Ia meminum air mineralnya lalu kembali melihat cahaya langit yang semakin merekah merah. "Emang obrolan apa yang biasa dibahas sama anak kelas 12 SMA selain cinta, hobi, kesukaan, dan masa depan?"
"Gue nggak tahu," jawaban itu seperti bercabang bagi Sekala. Makanya, ia menunggu Nirbita melanjutkan. "Gue nggak tahu mau jadi apa, hobinya apa, kesukaannya apa, bahkan bakat dan minat sendiri pun gue nggak tahu."
Sekala melihat Nirbita menatap kosong ke kejauhan. Yang mungkin, gadis itu sedang menerka-nerka tentang jawaban atas semua pertanyaan di kepalanya. "Krisis identitas?"
"Nggak punya identitas."
Kepala Nirbita seperti berdenging. Sebenernya, pertanyaan Sekala tadi adalah hal yang mudah untuk dijawab tapi ia tidak mempunyai jawabannya. Ia tidak punya hobi yang pasti, ia tidak punya kesukaan yang jelas, ia juga tidak tahu mau jadi seperti apa nantinya. Sebab, selama ini ia hidup dengan segala aturan yang sudah dibuat oleh papa dan mama.
Sejak kecil, ia sudah diberi jalan hidup yang dibuat oleh orang tuanya tanpa boleh memilih jalan yang lain. Bahkan, jika ia tidak sanggup menyusuri sekalipun. Seperti misalnya, ia tidak suka membaca tapi ia dituntut untuk membaca banyak buku sebagai bahan belajar. Ia tidak suka modelling, tapi ia dipaksa ikut lomba-lomba dan berujung jadi model katalog produk mama.
Ada banyak hal yang telah Nirbita coba atas kemauan orang lain. Sampai-sampai, ia tidak bisa meraba dirinya sendiri.
Nirbita menarik napas guna menyusutkan kembali air matanya yang mulai mengambang di pelupuk. Gadis menusuk dimsum lalu memakannya dalam perasaan gamang.
Dulu, tidak ada seorang pun yang peduli lalu menanyakan hal-hal remeh seperti tadi makanya ia tidak pernah memikirkan masa depannya karena semua sudah ada di tangan papa dan mama. Jadi, ia tidak perlu khawatir meskipun harus menjalaninya dengan banyak tekanan. Tapi, begitu Sekala bertanya, ada sisi dalam dirinya yang berontak ingin bebas sementara ia tidak punya pegangan apa-apa.
"Gue juga pernah ngerasa gitu terus mama daftarin gue play therapy dan itu ngebantu banget. Kalau lo mau, gue bisa kasih kontaknya."
Nirbita menatap Sekala. Sisa cahaya matari merambat ke sisi wajahnya yang sendu. Gadis itu menggeleng. "Nyokap gue nggak bakal suka gue ngelakuin itu."
"Ta?"
"Hidup gue udah diatur sedemikian rupa dari kecil, La. Makanya, gue nggak bisa mengenal diri gue sendiri." Untuk pertama kalinya, Nirbita bercerita pada seseorang selain Garin. Bahkan, pada Raiden saja ia malu memperlihatkan kelemahan keluarganya mengingat latar belakang lelaki itu terlampau sempurna. "Lo tahu, yang perlu gue lakuin cukup melangkah di jalan yang udah disediain mereka sampai akhir, meskipun kadang gue ngerasa benci ngelakuin itu. Terlebih kalau udah dituntut buat sempurna. Dikira Tuhan kali ya gue.."
Sekala jelas shock dengan pengakuan Nirbita. Matanya memperhatikan ketika gadis itu menusuk-nusuk dimsum tanpa minat lalu satu tetes air mata jatuh di atas boxnya. Ia menegak ludahnya susah payah dan mulai menghubungkan beberapa hal yang menurutnya terasa ganjil selama ini. Nirbita yang murung setiap mendapat peringkat 2, Nirbita yang kerap datang ke sekolah dengan sayatan di tangan dan lebam di sudut mata, Nirbita yang lebih memilih tenggelam di keanggotaan KIR daripada mendongkrak popularitasnya melalui OSIS ataupun cheersleader. Nirbita yang.. katanya sempurna?
Bahu itu berguncang hebat. Isakan tertahan terdengar menyesakkan. Sekala ingin memeluk punggung rapuh itu, menenangkan dengan afirmasi positif, dan menyerap habis kesedihannya.
"Can i hug you?"
Nirbita mendongak. Matanya merah seakan senja telah berpindah tempat ke sana. Alih-alih menjawab, gadis itu sudah lebih dulu menghambur ke dalam pelukan Sekala lalu terisak hebat. Ia membiarkan air matanya jatuh membasahi seragam lelaki itu. Tidak peduli seberapa mengenaskan dirinya sekarang, ia hanya butuh tempat untuk meluapkan emosi.
"Ta, ayo cari. Cari apa yang lo mau. Gue temenin sampai ketemu."
-----------------------------------------------------
Siapa yang nungguin cerita ini terbit??? Bentar lagi nih.. udah menghitung hari insyaAllah
TAPI INI LANJUT DI WATTPAD YA
meskipun bakal beda versi..
SPAM FOR NEXT
2000 VOTE SAMA 1000 SKUY*\0/*
POKOK jangan lupa
juga staytune di Instagram :
@yupitawdr_ (aku sering bikin chit-chat gemesh Sekala dan Nirbita, Raiden jugaaaa, sama grup si Sekala)
@sekaladiwangkara (biasanya dia deeptalk di beberapa malem)
@nirbitaasteria
@raidenantasena
(INI PRINGLES COYY. SOUR CREAM ENAKKK PLS TAPI GAK PENTING SIH BAHAS BEGINIAN😂😂)
(Logo lama)
(Logo baru)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top