Bab 31. Sunter Lake
Hallo, apa kabar??
Apakah kalian datang dari
Tiktok?
Facebook?
Instagram?
Twitter?
atau rekomendasi temen?
Dari manapun kalian, pokoknya selamat membaca ya💗
------------------------------------------------------
Bab 31. Sunter Lake
Yang pergi memang belum tentu akan kembali, tapi yang pergi akan selalu menyisakan tempat untuk yang datang sebagai pengganti.
***
SUNTER Lake yang dimaksud Sekala adalah sebuah danau buatan yang terletak di bagian utara Jakarta. Dulunya, kawasan tersebut merupakan lahan yang dikeruk menyisakan sebuah pulau kecil -di danau bagian barat- yang kata Sekala disebut-sebut sebagai istana gaib Si Mariam Jembatan Ancol. Sepanjang mengayuh sepeda air, lelaki itu tidak berhenti menceritakan asal-usulnya membuat perjalanan mereka tak habis bahan obrolan.
"Gue pikir bakal gampang bawa nih bebek, ternyata lumayan butuh effort ya. Nggak sesuai ekspektasi gue."
Nirbita terkekeh kecil. Lantas ia menoleh, menatap Sekala dengan mata memicing karena silau. Dari samping, lelaki itu seperti objek paling mencolok diantara yang lain. Rambut kecoklatan dan kulit putih pucatnya berkilau diterpa cahaya matahari. "Tapi seru kok. Gue suka," jawabnya meskipun ia sendiri ketar-ketir terjebak di tengah-tengah danau sejak beberapa menit yang lalu. Sebab, beberapa kali sepeda air yang mereka tumpangi tidak bisa berbelok dan sulit bergerak.
Untuk mengalihkan rasa khawatir, gadis itu bersenandung pelan, mengikuti alunan lagu The Spirit Carries On -dari airpods yang dibagi Sekala. Pandangannya tertuju pada perairan yang terhampar di sekitar. Begitu tenang, menyusupkan sebuah kesejukan meskipun tiba-tiba pikirannya mendadak liar. Ia bergidik begitu scene film Megalodon melintas di kepala. Membayangkan ikan raksasa itu muncul dari dalam air dengan taring-taring mengerikan, Nirbita segera menatap Sekala. "Lo suka Dream Theater ya?" tembaknya.
Sekala mengangguk. Lelaki itu tersenyum di sela-sela usaha kerasnya membelokkan sepeda air mereka kembali ke dermaga. "Iya. Kenapa? Mau ganti playlist? Bentar.." Lelaki itu merogoh ponselnya di saku kemudian mengutak-atiknya. "Lo suka lagu apa? Sorry dari tadi lagunya itu-itu aja," ucapnya tidak enak hati
Nirbita menggeleng. "Nggak usah diganti. Gue juga lumayan suka Dream Theater kok. Dari kecil gue biasa dengerin lagu-lagunya."
Sekala berhenti mengayuh, begitupun Nirbita. "Oh ya?? Dari kecil?"
"Iya. Nenek gue suka Dream Theater."
"Eh, serius?!! Mau dong lain kali ketemu sama nenek lo. Pasti bakal seru banget!" Sekala nampak excited. Binar mata itu tidak dapat ditutupi meskipun senyum lebarnya tertutup masker.
"Nenek gue udah meninggal."
Sekala langsung terdiam. Sementara lagu itu terus berputar mengiringi kecanggungan yang berhasil diciptakannya. "Sorry.. Gue nggak tahu."
"Santai aja kali," ucap Nirbita. Gadis itu kembali mengayuh sepeda airnya diikuti Sekala. Semilir angin berembus mengantarkan kesejukan yang mengikat. "Nenek gue juga suka koleksi vinyl. Di rumah banyak tapi nggak kepake, cuma dipajang aja. Nanti gue kasih lo deh beberapa. Soalnya sayang kalau dibiarin gitu aja," lanjutnya begitu ingat Sekala membawa pulang vinyl antik waktu ke Blok M dulu.
Mendengar itu Sekala melongo. Dalam kepalanya sudah terbayang koleksi yang dimaksud Nirbita pasti terbilang fantastis. "Lo jangan keseringan ngasih gue sesuatu."
"Gue cuma pernah ngasih lo jaket dan buku doang ya."
"Iya. Tapi.. lo udah kasih banyak waktu lo buat gue dan itu lebih dari cukup." Sekala meletakkan ponselnya lalu menoleh sekilas. "Mending lo diem.. Biar gue aja yang gerak."
Mendengar itu, Nirbita langsung menghentikan kayuhannya sesuai instruksi. Hal itu membuat Sekala kembali menatapnya. Kali ini dengan tampang frustasi.
"Kenapa?" tanya Nirbita bingung.
Sekala ingin menjelaskan secara rinci bahwa Nirbita tidak perlu melakukan banyak hal padanya biar ia saja yang berusaha tapi lelaki itu justru menggeleng dan kembali menghadap ke depan. "Lupain."
"Berat ya nggak gue bantuin?"
"Nggak juga."
Saat itu, langit yang semula biru perlahan berubah warna. Ada jingga yang menyelip di arakan awan lalu ungu dan kemerahan mengikuti di belakang. Cahaya matahari redup menyisakan remang-remang menyambut petang. Hari ini, November tidak hujan seharian. "La, hubungan itu sama halnya kayak kita lagi naik sepeda air. Yang menjalani harus bekerja sama agar salah-satunya nggak merasa berat karena berusaha sendiri. Agar salah-satunya merasa dibutuhkan dan bisa diandalkan."
"Hubungan?"
"Iya. Hubungan pertemanan kita." Nirbita agak kaku mengatakannya. "Lo udah baik banget ke gue dan sesekali gue pengen balas itu, biar gue juga bisa kasih timbal balik. Karena, selama ini gue ngerasa lo lebih banyak ngasihnya."
Sekala sudah hendak menjawab, namun bibirnya terkatup kembali saat intro dari sebuah lagu yang sangat familiar terdengar. Tangannya bergerak cepat hendak mengambil ponsel di sampingnya, tapi Nirbita lebih dulu menahan.
"Kenapa sih mau diganti? Gue suka kok lagu lo." Nirbita menyembunyikan ponsel itu di belakang tubuhnya. Dahi gadis itu berkerut, sedikit kesal pembahasan seriusnya teralih karena Sekala mau mengganti lagu, lagi.
Sementara Sekala, lelaki itu menggigit bibirnya, menahan gugup yang membuat tangannya shaking. Pipinya memanas, mungkin sudah merah padam dan untungnya tertutup masker. "Gue suka geli dengerin suara sendiri."
"Udah jangan diganti! Ini beneran bagus kok. Pas baru release gue sering dengerin karena masuk playlist Top 50 di spotify. Terus hafal deh sampai sekarang," kata Nirbita jujur. Dulu, satu sekolah heboh membicarakan single perdana Sekala. Di kantin, lorong sekolah, perpustakaan, hampir semua orang menyenandungkan lagu tersebut. "Katanya, lo nulis sendiri ya liriknya?"
"Iya. Di edit dikit-dikit sih sama produsernya buat nyesuaiin tempo musik," jawab Sekala. Ia masih tidak berani menatap Nirbita. Sementara lagunya terus berputar membuatnya makin salah tingkah dan beberapa kali berdeham. "Eungg tapi, lo beneran hafal lagu gue?"
Nirbita mengangguk. "Untuk yang datang di ujung mimpi.. Kemarilah genggam tanganku.." Gadis itu bernyanyi dengan dengan nada sumbang. Hal itu membuat Sekala menoleh. Bibirnya berkedut karena menahan tawa tapi melihat tatapan malu-malu Nirbita, ia jadi tersenyum untuk menghargai. Nirbita cantik, pintar, dan lembut tutur katanya tapi untuk menyanyi memang harus diakui kalau lebih baik gadis itu bersenandung melalui tutur batin. "Ini pertama kali gue nyanyi di depan orang lain loh.."
"Bagus kok," puji Sekala. Kalau ia lancang, mungkin tangannya sudah bergerak mengacak gemas rambut gadis di hadapannya itu. Namun, yang dilakukan justru melanjutkan lirik lagunya. "Meski tak saling mendekap, tak apa.. Aku punya matahari untukmu."
Entah bagaimana nyaman itu datang, memeluk Nirbita dan membuatnya tanpa ragu menyanyikan bait-bait selanjutnya bersama Sekala. Nadanya memang melenceng kesana-kemari karena diselingi gelak tawa, tapi artinya tetap sama. Tetap utuh seperti bagaimana pertama kali tercipta.
"Bagaimana jika kita bersama saja
Selamanya, walau aku terluka
Kan ku beri hati yang utuh
Simpan dimanapun kau mau."
Lagu itu diciptakan dalam keadaan hati patah. Setiap katanya dilimpahi do'a agar suatu saat yang patah itu utuh kembali.
"Setiap angin berbisik kau bukan untukku
Tapi ku selalu tahu dimana arahmu
Karena,
Aroma mimpi tak pernah dusta pada tuannya."
***
"KALAU lo bilang naik sepeda air itu sama kayak sebuah hubungan, gue mau bilang naik sepeda air itu kayak kita lagi jalani hidup," ucap Sekala sembari menggoreskan kuas pada kanvas. Sementara Nirbita hanya bergumam, gadis itu juga sibuk mewarnai gambar di hadapannya.
Menjelang malam, mereka benar-benar menepi. Niat awal mencari makan tertunda begitu atensi Nirbita tertarik pada area mewarnai tempat anak-anak kecil berkumpul. Sekalipun tidak terucap, lewat raut wajah, Sekala mengerti keinginan gadis itu. Makanya, sekarang mereka berada di sini. Di tengah-tengah ibu dan anak-anaknya. Mewarnai karakter Gary dan Plankton dalam serial Spongebob.
"Kenapa gitu?" tanya Nirbita.
"Karena, untuk keluar dari sebuah ketakutan dan kekhawatiran, kita harus terus berjalan. Seberat apapun langkahnya. Apalagi, waktu nggak akan pernah nunggu kita baik-baik aja. Dia akan terus bergerak, menjauh tanpa peduli segala kesulitan kita," ucap Sekala. Berhubung gambarnya sudah rampung, sebelah tangannya membantu Nirbita memegangi palet agar gadis itu tidak kesulitan saat mencampur cat. "Sama halnya kayak kita pas terjebak di tengah-tengah danau tadi. Meskipun sulit, bingung, dan jujur... gue agak panik, tapi mau nggak mau kita terus ngayuh sampai akhirnya berhasil menepi."
Nirbita menghentikan kegiatannya, ia menoleh. "Tapi, kita juga perlu waktu untuk istirahat kan.."
"Iya. Istirahat yang cukup." Sekala tersenyum. Terlihat dari matanya yang membentuk sabit. "Kita bisa ambil napas, sembuhin dulu luka yang tercipta, dan berdamai dengan semua hal yang telah dilewati, sebelum akhirnya melangkah kembali."
"Eum.., gitu ya," gumam Nirbita. "Kalau misalnya emang udah waktunya berhenti gimana? Berhenti untuk menetap di tempat terakhir."
"Ya berhenti aja. Lo bisa tinggal di sana dengan menabur kebahagiaan di setiap sisinya, melengkapi yang kosong, dan menyempurnakan yang rumpang. Begitu pun sebaliknya." Sekala ia mengambil alih kuas di tangan Nirbita. Tanpa melihat raut kebingungan gadis di sampingnya, ia membubuhkan cat ke bagian yang kosong, merapikan warna-warna yang keluar dari garis hingga gambar itu selesai dengan hasil sempurna. "Tempat itu juga harus menjadi benteng perlindungan dan rumah yang nyaman buat lo. Sekiranya lo dan tempat itu udah saling merasa 'cukup' ya.. mau jalan kemana lagi?"
"Lalu, gimana dengan beberapa orang yang menetap di satu tempat dalam waktu yang lama. Sampai-sampai, dikiranya tempat itu adalah pelabuhan terakhirnya, tapi ternyata bukan."
"Karena?"
"Tempatnya udah diambil alih orang. Padahal, kita masih mau di tempat itu."
"Kalau sekiranya bikin nggak nyaman ya pergi aja lah. Masih banyak tempat lain yang perlu dieksplor."
"Tempat yang lebih sempurna?"
"Yang lebih nyaman," tekan Sekala. "Kalau cari yang sempurna ya.. pulang ke tempat dimana kita benar-benar berhenti melangkah. Ke Tuhan."
"Berarti, harus mati dong."
Sekala lekas menjawab. Lelaki itu membereskan peralatan mewarnai mereka, mengambil kanvas dari easel kemudian berdiri. Ia menunduk, menatap Nirbita yang masih setia jongkok. "Kalau sekarang harus makan, Ta, bukan mati. Jadi, ayo cari bakso. Perut gue udah keroncongan nih," katanya sambil mengulurkan tangan.
Kemudian, mereka beranjak ke stan bakso Malang yang kata Sekala enak. Jaraknya hanya beberapa meter dari tempat mewarnai tadi. Sayangnya, begitu sampai mereka tidak kebagian kursi jadi terpaksa keduanya berjalan menyusuri pedestrian untuk mencari tempat duduk yang nyaman dan sepi -mengingat eksistensi Sekala.
Mereka berhenti di salah-satu kursi dan menghadap langsung ke arah danau. Dari tempat itu, Nirbita dapat melihat indahnya cahaya lampu yang terpantul di air.
"Gimana perburuan senja pertama kita?" tanya Sekala begitu melepas maskernya.
"Seru!!" jawab Nirbita. Lalu, ia melahap potongan tahu dengan pendar mata yang cantik sekali dalam tangkapan Sekala. "Akhir-akhir ini gue ngerasa penat banget karena full belajar. Makanya seneng begitu bisa jalan-jalan gini. Kalau lo?"
"Sama. Gue juga ngerasa hari ini seru."
Setelah itu, mereka makan dalam diam. Sebenarnya, Sekala ingin mengajak Nirbita berbicara banyak hal, tapi melihat gadis itu sangat menikmati makannya, ia mengurungkan niat itu.
Sesekali, Sekala hanya melirik dan tersenyum geli melihat Nirbita terlihat menggemaskan saat makan. Ia seperti menemukan sisi lain yang tak pernah terlihat sebelumnya..
"By the way, gue suka baksonya. Enak banget!" kata Nirbita tiba-tiba. "Gue udah dua tahun nggak makan beginian."
Sekala melirik mangkuk bakso Nirbita yang sudah tersisa setengah. "Dua tahun apa dua bulan?"
"Dua tahun."
Di sekolah, Sekala tahu Nirbita selalu makan roti setiap pagi. Makan salad setiap istirahat meskipun Garin atau teman-temannya yang lain makan makanan berat. Bahkan, Sekala juga tahu batasan kalori yang harus dikonsumsi gadis itu. Tapi... dua tahun?
"Ta, kalau lagi sama gue, makan apa aja yang lo mau, yang penting sehat dan nggak bikin lo keracunan. Pokoknya, nggak usah terlalu mikirin diet ya," ucap Sekala. Ia tersenyum ke arah Nirbita. "Lo tuh.. udah cukup segitu."
----------------------------------------------------
Masih nunggu cerita ini nggak?
Gimana part ini? Gimana perburuan senja pertamanya?
Sengaja belum intens ya.. karena kan masih pertama 🤭
SPAM FOR NEXT
2000 vote dan 1000 komentar lagi yaak!!
(Hasil mewarnai Sekala dan Nirbita)
(Nirbita Asteria Gantari)
(Sekala Diwangkara) btw, bentukannya begini yaa. Rambut kecoklatan (tapi lebih gelap dari di gambar), tinggi, dan putih.. Emang visualnya Jungwoo sih wkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top