Bab 3. Hujan dan Sebuah Luka

Bab 3. Hujan dan Sebuah Luka

Dan di suatu hujan kamu pernah berjanji untuk tidak pergi. Lantas, ketika kita menginjak hujan yang ke seribu kali, kamu bilang jenuh. Lalu, kamu pergi, melebur bersama hujan itu.

***

"PEREMPUAN MURAHAN!! PERGI KAMU DARI RUMAH SAYA!!"

Nirbita yang baru saja pulang sekolah dibuat kaget dengan keributan di beranda rumah. Terlihat mama sedang menyeret seorang perempuan dan melemparnya ke halaman. Hal itu membuat Nirbita memberi kode agar sopirnya berhenti.

"Aku turun disini aja, Pak. Pak Niman langsung masukin aja mobilnya ke carport," ucapnya. Kemudian, gadis itu turun membuat kegaduhan itu semakin jelas terdengar.

"KALAU SAMPAI KAMU MENGINJAKKAN KAKI LAGI DI RUMAH INI, SAYA BERSUMPAH AKAN BUNUH KAMU!!!"

"Haira, behenti!! Keterlaluan kamu!!"

Itu suara papa. Papa muncul di balik pintu dengan kemeja yang sedikit berantakan. Ia menarik mama agar menjauh dari perempuan tadi.

"Dengar ya mas Adrian yang terhormat. Aku udah nggak peduli kamu mau selingkuh, pacaran bahkan tidur sama perempuan lain. Tapi, jangan pernah kamu bawa perempuan itu ke rumah! Apalagi sampai having sex di kamar pribadi kita!!" teriak mama.

Alih-alih merasa bersalah dan minta maaf, papa justru menatap mama tajam seolah menantang. "Kenapa?! Ini rumah aku! Kalau kamu keberatan, pergi! Bawa itu anak kamu."

Nirbita mengerjapkan matanya agar air matanya tidak luruh. Ia mengembuskan napas pelan. Sekuat hati melanjutkan langkahnya melewati mereka dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Ia tidak peduli pada mama yang memanggilnya, ia tidak peduli pada pandangan papa yang mengikuti kepergiannya. Nirbita berlari menaiki tangga menuju kamar. Belum sempat menutup pintu, tangisnya pecah seketika.

Nirbita melempar tasnya ke sembarang arah. Ia meraih ponselnya mencoba menghubungi seseorang, beberapa kali tapi panggilan tidak kunjung diangkat. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Ia memejamkan mata.

Sayup-sayup suara teriakan kembali terdengar. Ia menutupi telinganya dengan bantal agar ia tidak mendengar apapun yang membuatnya sakit hati. Tubuhnya bergetar hebat karena isakan.

Nyatanya, mereka tidak pernah berubah.

Sebenarnya, hal seperti tadi sudah lumrah terjadi. Pemicunya tak lain adalah papa yang suka selingkuh dan mama yang super hectic. Mereka sering menyalahkan satu sama lain lalu ujung-ujungnya berimbas pada Nirbita. Rumah yang biasanya menjadi tempat pulang paling nyaman mendadak hilang fungsi.

Mirisnya, orang-orang selalu beranggapan bahwa Nirbita adalah manusia paling beruntung dalam hidup. Cantik, berprestasi, lahir di keluarga kaya raya, dan punya pacar idaman seperti Raiden. Tapi, mereka tidak pernah tahu bahwa selama ini ia hidup di bawah tekanan yang semakin lama semakin menenggelamkannya.

Ia memang punya orang tua yang mencukupi kehidupannya secara materi, tapi tidak untuk yang lain. Papa adalah CEO salah-satu perusahaan produksi pangan terbesar di Indonesia. Sedangkan mama founder dari brand kosmetik ternama. Mereka sibuk satu sama lain dan sering kali menuntutnya untuk sempurna, penurut dan wajib membanggakan orang tua sebab, sebagai anak tunggal, ujung tombak keluarga ada padanya.

Sampai di titik itu, ia mengerti mengapa orang-orang mengutuk ketika dilahirkan menjadi anak semata wayang. Harapan yang besar, mimpi yang belum tersentuh, serta segala kegagalan di masa lalu harus dirampungkan seorang diri.

Jika ada sedikit saja celah keburukan, gadis itu harus siap dicaci. Bahkan hal sepele pun akan dibesar-besarkan. Terlebih, jika papa dan mama baru selesai bertengkar. Ada saja bahan untuk mereka memarahinya.

Ia sampai hafal kalimat-kalimat yang biasa dilontarkan kedua orang tuanya ketika marah. Semuanya bersarang di kepala dan selalu mengganggunya ketika hendak terlelap. Dari tahun ke tahun, setiap hari..

"Kamu itu harapan satu-satunya keluarga! Belajar yang bener. Jangan main terus. Lihat tuh rangking kamu turun!!"

Padahal, waktu itu ia hanya turun 2 rangking. Dari 1 ke 3. Dan ia dimaki habis-habisan bahkan tidak diperbolehkan keluar rumah selama seminggu, kecuali untuk sekolah.

"Jadi runner up doang kan?! Itu tuh hasil dari kamu keseringan bolos syam modelling. Padahal ekspektasi mama tuh kamu juara! Nerusin prestasi mama!"

Nirbita harus selalu jadi yang nomor satu. Ia masih ingat ketika mama memaksanya sekolah model dan mendaftarkan namanya di ajang Gadis Sampul dua tahun yang lalu. Meskipun bukan bidang yang disuka, ia berusaha keras agar tidak mengecewakan. Walaupun hasilnya tetap sia-sia dan tidak berarti apa-apa di mata mama.

Nirbita mengusap air matanya kasar. Ia mendudukkan tubuhnya karena dadanya sesak. Sembari menenangkan diri, ia mencoba kembali menghubungi seseorang tadi.

"Rai, dimana?" tanyanya begitu panggilan dijawab.

"Rumah. Kenapa?"

"Kamu bisa nggak jemput aku sekarang?"

"Emang kamu dimana?"

"Rumah."

"Terus?"

"Aku mau quality time sama kamu."

"Aku capek, Ta."

Nirbita menggigit bibirnya menahan isakan. Ia ingin sekali menceritakan banyak hal pada Raiden. Mengeluh dan membiarkan lelaki itu membawanya dalam dekapan untuk sekadar menenangkan tapi, mendengar jawaban Raiden tadi membuatnya kecewa. "Capek banget ya?"

Raiden bergumam. "Lagian, disini hujan. Aku males keluar."

Nirbita tidak kuasa menahan isakannya lagi. Bukannya meredakan sakit, Raiden justru menambahkan rasa itu. "Disini juga hujan, Rai," lirihnya.

Hujan yang beda. Hujan yang nggak akan pernah kamu rasain di keluarga kamu.

Terdengar embusan napas kasar di seberang. "Kamu nangis? Kenapa lagi?"

"Nggak apa-apa."

"Jangan drama ah. Aku lagi males ladenin kamu."

Lalu sambungan telepon diputus sepihak. Nirbita tersenyum sumir. Nyatanya, Raiden bukan lagi obat untuknya, bukan lagi penenang saat kalut, bukan lagi tempat berteduh saat ia kehujanan seperti sekarang.

Mungkin benar kata orang-orang. Terlalu lama bersama akan membawa kita pada titik luka. Yang analoginya mungkin begini ; dia obat ketika kamu sakit, dia rumah ketika kamu pulang. Tapi, ketika kamu meminum obat itu terus-menerus tanpa jeda, bukannya sembuh, kondisimu malah semakin parah dan ruang gerakmu akan jadi sempit. Kamu hanya bisa diam di rumah dalam waktu yang lama. Dan pilihanmu cuma dua, berusaha pergi dari rumah itu lalu mencari obat yang baru atau tetap disana dan... mati perlahan.

Terlebih jika obat dan rumah itu justru membuatmu semakin menderita dengan menciptakan rasa sakit yang baru.

Dengan tangan bergetar, Nirbita mengirim pesan pada seseorang.

Rin, malam ini gue nginep apartemen lo ya.

***

SAMA halnya dengan perasaan, cuaca juga begitu dinamis dan sulit ditebak. Pagi sampai siang langit begitu cerah, namun, menjelang sore hujan malah turun dengan tiba-tiba. Hal itu membuat manusia-manusia di bawah kelimpungan.

Ada yang grusak-grusuk mengangkat jemuran, ada yang memilih bersembunyi karena takut dengan suara hujan, ada pejalan kaki dan pengendara motor yang terpaksa berteduh karena rinainya membuat mereka basah kuyup. Seperti Raiden misalnya.

Lelaki itu menepikan motornya. Ia turun dan menarik tangan gadis di sampingnya untuk berlari ke halte. Keduanya duduk bersisian, menatap lurus pada lalu-lalang kendaraan di depan.

Sore itu Jalan Jenderal Sudirman sangat basah, langit pun redup seiring datangnya malam. Dan di sana, gumpalan awan hitam masih menurunkan hujan beserta gemuruh yang enggan reda.

"Tahu gitu gue bawa mobil tadi, Na."

"Udah terlanjur, kak. Nggak apa-apa."

"Lo kedinginan ya?" tanya Raiden.

Gadis itu menggeleng. "Nggak kok," jawabnya dengan bibir bergetar. Ia menggigil sebab air menyerap hampir ke seluruh pakaiannya.

Mengerti gadis itu berbohong, Raiden meraih tubuhnya mendekat. Lelaki itu menyelipkan jemarinya di sela-sela jemari gadis itu. Dengan gerakan ragu-ragu, ia menggenggamnya erat.

Saat keduanya saling bersitatap, Raiden tersenyum. Ia mendekatkan genggaman itu pada bibir, lalu meniupnya. Membuat rasa hangat perlahan menjalar di permukaan kulit.

"Lo cantik banget, Na," bisik Raiden.

"Hah?"

"Lo cantik banget, Aruna."

Aruna tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia yakin, wajahnya pasti merah padam sekarang. Jantungnya berdegup kencang terlebih ketika Raiden menarik wajahnya mendekat.

Hembusan napas itu terasa hangat menyentuh permukaan wajah. Seharusnya, satu gerakan lagi bibir keduanya akan bertemu. Namun, bunyi klakson lebih dulu menggagalkan itu semua.

Raiden berdeham. Lelaki itu merutuki kelakuannya. Seharusnya, ia tahu tempat dan tidak terbawa suasana seperti tadi. Ia merasakan ketika genggaman tadi dilepas sepihak oleh Aruna dan gadis itu menatapnya takut-takut.

"Kak, aku boleh nggak tanya suatu hal?" tanya Aruna.

Raiden menaikkan sebelah alisnya. "Boleh," jawabnya.

Aruna memilin jemarinya gugup. Ia menggigit bibir dalamnya dan menyakinkan dirinya jika pertanyaan ini adalah suatu hal yang benar. "Eumm... Kapan? Kapan Kak Raiden putusin Kak Nirbita?"

Dan sepertinya, jika Tuhan memberinya pilihan, Raiden lebih memilih terjebak hujan bersama Nirbita dibanding terjebak pertanyaan Aruna barusan.

Raiden tahu, perasaannya pada Aruna sama halnya dengan hujan sore ini. Jatuh di waktu yang tidak tepat dan itu merepotkan banyak orang. Seharusnya, sebelum hujan itu turun, ia lebih dulu menyelesaikan semuanya. Namun, nyatanya tidak semudah itu. Terlebih, ketika Nirbita tidak ingin menyelesaikan apapun.

"Gue udah putusin dia."

"Terus?"

"Dia belum mau."

"Apa kita jujur aja soal hubungan ini? Biar Kak Nirbita pergi?"

***

"YA Tuhan, Ta!! Lo kenapa?!!! Opo'o?!!" pekik Garin begitu membuka pintu dan melihat keadaan Nirbita di luar. Gadis itu terlihat berantakan. Wajahnya sembab dengan mata yang masih memerah. Hal itu jelas membuat Garin kaget. Bahkan, ia sudah tidak peduli jika masker di wajahnya retak akibat pekikannya barusan.

Dengan cekatan, Garin mengambil alih ransel yang dibawa Nirbita dan segera menarik sahabatnya itu untuk masuk. Sesampainya di ruang tengah, mereka duduk di sofa. Garin mematikan televisi -yang tadinya menayangkan liputan selebriti tanah air- membuat suasana hening seketika.

"Kenapa? Lo berantem sama Raiden??!"

Nirbita sudah berusaha keras untuk tidak menangis, tapi gagal. Isakannya lolos begitu saja. Ia menangkup wajahnya dan kembali menangis.

"Ta, jangan bikin gue panik. Lo kenapa? Ya Tuhan!! Tenang dulu, Ta. Take a deep breath, okay. Nanti asma lo kambuh," titah Garin.

Ia mendekat, membawa sahabatnya itu dalam pelukan. Ia membisikan kata-kata menenangkan sembari mengusap-usap pelan punggung Nirbita.

"Gue mau mati aja, Rin..."

"Heh! Lo nggak boleh ngomong gitu. Lo nggak boleh ninggalin gue!!"

"Gue capek banget."

Garin mengeratkan pelukan untuk menguatkan sahabatnya itu. Bertahun-tahun mereka berteman, baru kali ini ia melihat Nirbita menangis sejadi-jadinya. "Kenapa? Raiden ya?"

Nirbita menggeleng. Gadis itu melepaskan pelukannya lalu mengusap air matanya yang luruh. Matanya terasa panas karena terlalu banyak menangis hari ini.

"Masalah papa sama mama."

Garin menatap prihatin. "Bokap lo selingkuh lagi?"

Nirbita mengangguk, "dia bawa selingkuhannya ke rumah."

"Bukannya udah biasa, Ta?"

"Kali ini ketahuan mama."

Garin berdecak. Ia meraih tisu basah dan menghapus maskernya asal. "Ancene asu. Kenapa nggak cerai aja sih mereka," gerutunya. "Oh ayolah, hubungan mereka tuh udah red flag banget. Apa yang mau dipertahankan coba."

Katakan Garin kurang ajar tapi baginya, orang tua Nirbita adalah contoh nyata manusia-manusia naif.

Keduanya memilih bertahan di dalam rumah yang mereka rusak sendiri. Pondasinya dibiarkan setengah hancur, dindingnya hampir ambruk, bahkan atapnya sudah rapuh dan mereka masih berharap akan selamat ketika terjadi pergeseran lempeng bumi, tanpa sedikit pun usaha untuk memperbaiki.

Menurutnya kalau rumah itu mau dirusak, robohkan saja sekalian. Cari rumah yang baru. Kalau mau bertahan, ya setidaknya perbaiki.

Bertahan dengan keadaan rumah rusak, sama saja dengan cari mati.

"Tadi papa ngusir mama. Sama gue."

"What the hell!! Terus??!"

Nirbita mengedikkan bahunya. "Sebelum kabur ke sini, gue lihat mereka udah baik-baik aja. Kayak biasanya."

Garin mendengus. Ia melempar bekas tisunya ke meja. "Jadi bokap nyokap lo nggak tahu kalau lo pergi dari rumah?" tanyanya begitu

Nirbita menggeleng. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Beberapa hari ke depan, gue boleh nggak numpang disini dulu?"

"Boleh lah. Lo kayak yang sama siapa aja," jawab Garin . "Mending besok lo libur dulu. Gue bikinin surat ijin."

"Thank's, Rin."

"Iya. Lo udah makan belum?"

Sebelum Nirbita menjawab, ponsel Garin -yang tergeletak di meja- bergetar. Gadis itu mengerutkan alisnya. Ia meraih benda pipih itu dan melihat nama yang terpampang di layar. Begitu tahu si penelepon, ia mendengus.

"Nyokap lo telfon."

_________________________________________

Catatan :

- Gadis Sampul adalah pemilihan model remaja yang diselenggarakan oleh Majalah Gadis sejak tahun 1987. Nama-nama terkenal yang mencuat dari ajang ini adalah Dian Sastrowardoyo, Nike Ardilla, Jihan Fahira, Lulu Tobing, Krisdayanti, Desy Ratnasari, Acha Septriasa, Annisa Larasati Pohan (mantu Pak SBY wkw), Inneke Koesherawati, dan masih banyak lagi. Kalian bisa search info lengkapnya di Google. Barangkali ada dari kalian yang tertarik di dunia modelling dan mau ikut kontesnya di tahun 2022 nanti.

_________________________________

He's Raiden. Dulu gue mau kasih nama dia Raiden Mas Antasena. Tapi, akhirnya jadi Raiden Antasena Sandyakala. Idk, kayak yang better aja.

And she's Nirbita. Awalnya namanya Asteria, cuma karena panggilannya sulit banget, akhirnya gue putar otak lalu cari nama yang lain. Hingga jadilah Nirbita Asteria Gantari. Cantik banget. Sesuai dengan karakternya. Runner up Gadis Sampul 2016 nih hehe.

Untuk info update dll, follow instagram :

@everydaywithyupi

@yupitawdr

@nibirtasteria

@sekaladiwangkara

@raidenantasena

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top