Bab 27. Langit untuk Bintang dan Lautan
Hallo, masih nunggu cerita ini??
Ayo absen dari kota mana aja nih, mau tauuuu kali aja ada yang sekota hehe
Btw, jangan lupa vote dan komentar ya, ramaikan per-paragraf<3
Aku pikir chapter ini bakal bawang banget, ternyata enggaaak. Cuma bikin hati angett aja dikit wkwkw
Ya udah
SELAMAT MEMBACA YA
-------------------------------------------------------
Bab 27. Langit untuk Bintang dan Lautan
Life begins with an empty slate. Fragile left in the hands of fate. Driven by love and crushed by hate. [This Is the Life — Dream Theater]
***
SETELAH pertengkaran semalam, mama bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Paginya, perempuan itu membangunkan Nirbita, memaksanya untuk sekolah padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Alhasil, Nirbita kesiangan dan berangkat dengan mata bengkak serta lebam kebiruan yang tidak bisa ditutupi masker.
Selama perjalanan, gadis itu hanya memandangi kotak bekal berisi roti selai di dalamnya. Hari ini pakai selai pisang. Di artikel yang pernah ia baca, katanya buah pisang bisa membuat mood membaik karena dapat merangsang produksi hormon serotonin. Namun, saat memakannya, bukannya lega, isakannya justru lolos begitu saja.
Mendapati fakta bahwa selama ini ia anak yang tidak diinginkan dan pembawa sial seperti yang papa katakan jelas sangat menikam hatinya. 18 tahun hidup.. dan ia baru tahu sekarang.
Semalaman Nirbita tidak berhenti menangis dan baru terlelap ketika adzan subuh berkumandang. Saat terbangun, ia berharap semua hanya sebuah mimpi buruk tapi nyatanya, ketika berhadapan dengan cermin meja rias, luka itu terpampang nyata. Sakitnya juga terasa saat disentuh.
“Mau saya antar ke tempat lain aja, non? Nggak usah sekolah dulu. Saya Nggak akan bilang ke ibu kok.” Pak Darman menatap prihatin Nirbita melalui kaca spion tengah.
Nirbita menggeleng pelan.“Nggak usah, pak. Lanjut aja,” jawabnya sembari melanjutkan makan dalam kepedihan.
Perjalanan itu diisi oleh suara radio serta rintik hujan yang semakin padat. Tidak ada matahari yang biasa menyembul di bahu pencakar langit. Jakarta hari ini redup dan dingin, menciptakan simfoni sejuk yang Nirbita nikmati hingga mobil berhenti di depan sekolah yang gerbangnya sudah tertutup rapat.
Nirbita membuka payung yang disodorkan sopirnya lalu berlari secepat mungkin agar sepatunya tidak banyak terisi air. Meskipun usahanya akan sia-sia, gadis itu tetap berteriak, meminta pak Hasta membukakan gerbang. Dengan tergopoh-gopoh, lelaki paruh baya itu mendekat menggunakan mantel. Nirbita pernah sekali telat dan pak Hasta pasti hanya datang untuk memarahinya, terlihat dari raut wajah yang ditekuk serta sorot tajam yang dibuat-buat ketika menatapnya. "Ini sudah jam setengah 8, upacara juga sudah bubar, dan—" Pak Hasta tidak melanjutkan omelannya ketika tatapan mereka bertemu. Perlahan, lelaki itu merogoh gembok di sakunya dan di luar dugaan membuka gerbang seukuran tubuhnya. “Masuk, neng. Nanti, kalau ditanya guru piket bilang aja ada insiden di jalan,” katanya.
Meskipun bingung, Nirbita tersenyum kecil dan mengucapkan terimakasih. Ia bergegas menuju gedung sekolah. Beruntungnya, guru piket sudah tidak ada. Yang tersisa hanya sepi di sepanjang koridor sebab jam pelajaran sudah dimulai. Ia menuju lantai 3 dengan keadaan mengenaskan. Di anak tangga terakhir, langkahnya terhenti karena seseorang hampir menabraknya dengan tumpukan buku di tangan. Mata mereka bertemu beberapa saat hingga Nirbita memutus kontak terlebih dahulu dan melanjutkan jalannya.
Orang itu Raiden.
Dan Raiden tidak boleh melihat lukanya.
Raiden tidak boleh berbalik arah hanya karena rasa kasihan.
Raiden tidak boleh memanggilnya atas rasa penasaran.
“Ta.”
Tapi, lelaki itu melakukannya. Nirbita mengepalkan tangan untuk menghalau gemuruh di dada. Ia mempercepat langkah menuju kelas tanpa menghiraukannya lagi. Ketika sampai di ambang pintu, kelas 12 IPA 1 senyap. Seluruh pasang mata tertuju padanya, termasuk tatapan garang guru kimia yang sedang mengajar.
“Maaf, bu. Tadi hujan dan macet jadi saya terlambat,” ucap Nirbita usai menurunkan maskernya.
Alis Bu Giya bertaut. Guru itu mendekat dan mengamati wajah Nirbita lekat. Ia mengulurkan tangan menyibak anak rambut Nirbita yang terjuntai ke depan, lalu tatapannya pada Nirbita berubah lembut. “Duduk,” katanya.
Nirbita mengangguk sopan lalu berjalan ke arah kursinya. Di sana, Garin sudah menunggu dengan tanda tanya besar di atas kepalanya. Gadis itu memberi jalan untuk Nirbita, setelah itu menoleh. “You okay? Mau ijin ke UKS?”
Bibir Nirbita berkedut, tapi ia memaksakan senyumnya agar air matanya tidak luruh. Sekarang, ia terlihat benar-benar mengenaskan dengan luka yang terpampang nyata di hadapan orang lain.
“Nggak usah. Gue nggak apa-apa kok.”
***
BEGITU bel istirahat berbunyi, tempat duduk Nirbita dikerumuni teman-temannya. Mereka mencecar gadis itu dengan banyak pertanyaan yang membuat tangis Nirbita pecah kembali. dari tempatnya duduk, Sekala dapat melihat gadis itu menenggelamkan wajahnya di meja. Lalu, dengan teriakan khasnya, Garin mengumpat dan mengusir kaum-kaum kepo itu.
Sekala yang sudah lebih dulu menolak ajakan ketiga temannya ke kantin memantapkan diri sejenak kemudian berjalan ke arah kursi Nirbita. Ketika sampai, pelototan Garin langsung menyambut tidak ramah. Bintang satu.
Sebelum api yang tersulut semakin membesar, ia lebih dulu meredamnya dengan mengeluarkan selembar uang dari dompet. “Lo istirahat dulu sana. Nih jajan. Sekalian beliin Nirbita makan,” kata Sekala pelan agar tidak membuat keributan yang menggangu Nirbita. Namun, Garin melengos, tetap mempertahankan benteng perlindungan untuk sahabatnya. “Abis ini ulangan loh, Rin. Lo mau ngisi soal matematika sambil keroncongan?”
Garin berdecak. Beberapa saat setelah berpikir, gadis itu memutar matanya dan mengambil uang Sekala dengan tarikan kasar. Kemudian, gadis itu berdiri membuat Sekala tersenyum lebar. “Gue nggak mintain lo duit ya. Lo yang ngasih ke gue suka rela dan tanpa paksaan,” ucap Garin dengan wajah songongnya.
“Iya. Udah sana. Keburu bel," ucap Sekala.
Garin melewati Sekala dan keluar bersama beberapa temannya yang lain. Saat ia duduk, tanpa disangka satu-persatu penghuni kelas juga beranjak pergi. Bahkan gerombolan anak belakang yang setiap istirahat biasanya lebih suka menghabiskan waktu main game di kelas kini ikutan, seolah memberi ruang untuknya dan Nirbita.
Sekala tersenyum serta mengacungkan jempolnya saat orang terakhir yang keluar menutup tirai dan pintu. Patut diakui, meskipun kelasnya dikenal sebagai nerakanya dunia, para murid di dalamnya terkenal loyal dan solid. Mereka saling mengerti satu sama lain walau rata-rata memiliki sifat dan karakter yang jauh berbeda.
Tangisan Nirbita terdengar jelas seiring hilangnya bising di ruangan itu. Sekala menoleh, melihat gadis itu yang masih menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan. Bertahun-tahun, baru hari ini ia melihat Nirbita menangis. Mungkin teman-temannya juga demikian, makanya kaget. Sebab, selama ini Nirbita selalu tertutup soal dirinya sehingga tidak ada yang bisa menerka bagaimana dan apa yang telah terjadi di hidup gadis itu. Meskipun, beberapa kali Sekala ingin tahu lebih ketika menemukan luka di sudut-sudut tubuhnya.
“Mau ke UKS nggak?” tanya Sekala. Sedikit gugup karena ia terlalu bingung memulai percakapan. Takut kalau perkataannya justru membuat suasana hati Nirbita semakin memburuk. “Lo bisa lihat matahari di sana dan gue bakal nemenin sambil cerita tentang kenapa hujan turun hari ini.”
Sekala merasakan tangannya dingin, ia berdeham. Ayo Sekala, permalukan diri lo sekali lagi.
“Tapi, kalau lo nggak mau, gue bakal nemenin lo di sini biar Garin duduk sama Arshaka.” Sekala memutar tubuhnya hingga benar-benar menghadap Nirbita. Bahu gadis itu sedikit berguncang karena isakan. “Lo bisa bayangin kan gimana kalau Garin murka terus narik-narik gue biar pindah? Kepalanya bakal lepas dan jadi kuyang yang nyeremin banget.“ Kini, ia merutuk dalam hati. Seharusnya ia membiarkan Nirbita sendiri untuk mendistrack semua lukanya, bukan mengganggunya dengan pemikiran random yang tidak masuk akal. Namun, Sekala justru kembali berkata, “Habis itu, satu kelas bacain dia ayat kursi sampe kepalanya balik lagi ke badannya. Terus, dia bakal nurut dan duduk bareng Arshaka deh selama pelajaran agama berlangsung. Mereka cocok nggak sih? Menurut lo gimana?”
Bodoh. Tapi, Sekala hanya tidak mau melewati awal minggu dengan hujan dimana-mana, termasuk hujan dalam diri Nirbita. Tidak apa-apa ia terlihat konyol atau apapun yang terlintas di kepala gadis itu asal tangisan itu berhenti dan kesedihannya lenyap.
Meskipun Nirbita tetap tidak menggubris celotehannya. Sekala menarik napas untuk menghirup segala keberanian yang tercecer ke lantai dan mengembuskan rasa malunya perlahan.
Bagi Kalingga, ia terlalu terburu-buru mendekati Nirbita, memberikan kesan aneh yang disetujui langsung oleh Arshaka. Terlebih, melihat track record adiknya, Aruna, yang disebut-sebut sebagai penghancur hubungan Nirbita dan Raiden. Tapi, bagi Tenggara, Sekala harus bergerak cepat tanpa harus memikirkan resiko penolakan atau hal-hal yang akan membuatnya sakit hati.
Sebab, lelaki memang harus begitu. Katanya; patah hati akan cinta bertepuk sebelah tangan sakitnya tidak seberapa dibanding cinta yang dibiarkan terus-menerus terpendam dan disimpan sendiri saat kita punya kesempatan untuk mengungkapkannya. Lelaki itu gentle, harus berani mempertanggungjawabkan perasaannya. Toh, diantara presentase penolakan yang tinggi, pasti ada secercah harapan yang bisa dijadikan pegangan.
“Tapi, kalau Nirbita kan udah jelas nggak suka sama gue. Apalagi dia baru putus,” katanya waktu itu menimpali pendapat Tenggara. Lalu, temannya itu menghentikan kocokan kartu uno dan menatapnya serius.
“Ya seenggaknya dia tahu sama perasaan lo dan alasan lo deketin dia. Lagian aneh banget tiba-tiba deketin tanpa alasan yang jelas. Cewek itu butuh kejelasan kali,” balas Tenggara. “Emang Nirbita nggak pernah nanyain itu?”
Sekala terdiam. Ia hanya memperhatikan ketika Tenggara membagikan kartu uno ke dua temannya yang lain.
“Urusan ditolak mah belakangan, yang penting lo jujur aja dulu. Hari ini Nirbita mungkin nggak suka atau cinta ke lo, tapi besok, lusa, tiga hari lagi, atau hari-hari setelahnya kan nggak ada yang menjamin perasaanya bakal terusan sama. Kalau kata Viera tuh, cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan. Jadi, pepet aja terus. Jangan kasih celah buat yang lain masuk.” ujar Tenggara panjang lebar yang otomatis disanggah habis-habisan oleh Arshaka si manusia super realistis.
Sekala menarik napas dan mengembuskannya sekali lagi. Kali ini lebih pelan. “Ta, nggak apa-apa nangis tapi jangan terlalu lama. Biar nanti malam bintangnya nggak tertutup awan dan gue punya alasan buat ngajak lo pergi lihat mereka. Karena..., dari semua manusia yang pernah gue temui selama 18 tahun hidup, lo itu definisi langit yang sesungguhnya. Lo langit buat seseorang yang lo bilang bintang, lo langit buat seseorang yang mengakui dirinya sebagai lautan. Lo.., langit buat gue.”
Katakan Sekala gila, karena ia sudah banyak menghabiskan waktu bersama si keparat Tenggara dan menelan mentah-mentah semua ucapannya.
Namun, di tengah degup jantungnya yang menggila, ia tidak mendengar isakan Nirbita lagi. Napas gadis itu mulai teratur. Sesaat setelahnya, wajah yang sejak tadi terbenam itu terangkat. Menunjukkan wajah sembab dan luka membiru di sudut mata. Skleranya memerah. Sekarang ia tahu alasan Bu Giya mempersilahkan Nirbita duduk sekalipun terlambat tadi. Gadis itu terluka. Lebih parah dari yang pernah ia lihat sebelumnya. Kalau luka itu karena ia telat datang tadi malam, ia tidak akan memaafkan dirinya.
“Lo langit buat orang-orang di sekitar lo, Ta." Suara Sekala terdengar bergetar. "Kalau sedih, lo boleh turunin hujan. Kalau marah, lo boleh nunjukin itu dengan kilat. Kalau lo ngerasain dua-duanya, lo boleh sesekali lempar badai. Jangan pernah dipendam sendiri apalagi kalau lo sampe terluka gini.” Sekala memperhatikan, menghitung setiap luka yang tergurat di sisi wajah Nirbita. “So..., what happen?”
Nirbita mengusap buliran air mata yang kembali jatuh. Ia menunduk, menatap sepatunya yang basah dengan pandangan mengabur. Kenapa ia mendadak tidak bisa mengendalikan emosi setiap orang menanyakan keadaannya? Apakah karena luka yang tercipta berhasil mengambil seluruh kekuatan hatinya?
“Oke kalau belum mau cerita, ke UKS aja ya. Atau pulang. Daripada lo makin nggak tenang.”
Nirbita menggeleng. Sekala tidak tahu kalau sebenarnya ia tidak pernah punya rumah yang layak untuk memberikan sebuah ketenangan. Ia menatap tangan Sekala yang tiba-tiba terulur kepadanya. Lalu, kedua mata itu bertemu. “Lo pernah nyaranin gue buat sesekali pegang tangan orang-orang di sekitar biar segala pergolakan dan ombak besar yang ada di dalam diri gue lebih tenang. Bahkan, lo nawarin tangan lo waktu itu. Iya kan?"
Nirbita mengangguk pelan.
"Sekarang, gue mau bilang hal yang sama. Pegang tangan orang-orang di sekitar biar gemuruh yang ada di dalam diri lo reda dan langitnya kembali cerah seperti semula," kata Sekala. Lelaki itu tersenyum. "Karena sekarang kita cuma berdua, jadi..., you can hold my hand.”
Nirbita menggigit bibir dalamnya. Ia menatap Sekala dengan mata berkaca-kaca. Meskipun ragu, ia meletakkan tangannya di atas telapak tangan Sekala. Mereka berhadapan, saling menguatkan, dan di luar dugaan Sekala menggenggamnya erat. “Maaf,” katanya. “Maaf gue nggak cepet datang kemarin.”
Nirbita tidak menjawab. Ia merasakan Sekala mengusap pelan jemarinya. Ia menghirup aroma woody yang menguar dari seragam lelaki itu, mirip seperti parfum yang biasa nenek gunakan. Terasa menenangkan dan membuatnya seperti berada dalam jangkauan wanita itu.
"Gue kemarin dateng tapi satpam komplek nggak bolehin masuk karena gue lupa bawa KTP." Sekala bercerita dalam gamang. Ia tidak peduli lagi jika Nirbita merasakan tangannya yang semakin dingin. "Terus gue balik ke rumah buat ambil KTP. Pas udah sampe depan rumah lo, semua udah tutupan. Lampu depan juga udah mati. Gue.., gue udah pencet bel berkali-kali tapi nggak ada orang yang bukain gerbang. Maaf.."
Nirbita tersenyum."Nggak apa-apa." Suaranya terdengar serak. "Gue aja yang lupa hitung batu braceletnya dan sebut nama lo. Makanya, naluri kita nggak terhubung."
Seandainya memeluk Nirbita semudah ia bernapas, Sekala mungkin akan melakukannya berkali-kali setiap hari. Tanpa jeda dan batasan.
"Kalau ada apa-apa, lo bisa cerita ke gue. Sebagai ketua kelas yang baik, gue nggak mau anggota gue ada yang sakit sendirian."
Tawa itu kembali, meskipun hanya kekehan kecil sebentar. "Bukan sebagai bintang untuk langit?"
Mendengar itu, kepala dan degup jantung Sekala mendadak seperti festival musik tahunan; ribut dan berdesak-desakan.
Tolong, siapapun selamatkan Sekala sekarang juga.
---------------------------------------------------
Huh. Gimana perasaan kalian setelah baca chapter ini???
Semoga selalu suka ceritanya yaa<3
Ayo, 2000 vote dan 1000 komentar lagi!!!
SPAM FOR NEXT
(Nirbita Asteria Gantari)
(Sekala pas masih aktif jadi artis, yang belakang kak Ethan)
(Si tukang ngegas. Mbak Garin Nnandira. Yang kapan-kapan kayaknya gue bikin ceritanyaaaa)
(Raiden di galeri kamera Nirbita)
BTW, gue bikin chit-chat Sekala di Instagram. Kalian bisa cek @yupitawdr
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top