Bab 25. Karena Semua Bintang Turun ke Laut
Maafff karena update telat. Seperti biasa aja ya brow, targetnya minim kayak bab sebelum ini deh. Berapa dah? 2000 vote dan 1000 komen yaa untuk next..
SELAMAT MEMBACA!!
(ramaikan per-paragraf yuk untuk perburuan senja yang pertama)
________________________________________
Bab 25. Karena Semua Bintang Turun ke Laut
Dan ketika bintang turun ke laut, dia berdo'a agar menjadi ikan atau terumbu karang yang kuat ketika dihantam riak segara.
***
NIRBITA mungkin bisa mendapatkan nilai sempurna di matematika ataupun IPA tapi ia tidak pernah bisa menyempurnakan nilai bahasa indonesianya.
Dulu gadis itu berpikir bahwa pelajaran tersebut paling mudah dibanding yang lain, makanya ia selalu melewatinya ketika belajar. Namun, setelah nilai ujiannya keluar dengan hasil yang tidak masuk akal -dan berhasil membuat rangkingnya merosot ke list akhir 3 besar pararel-, ia mulai sadar bahwa bahasa indonesia merupakan pelajaran penuh tipu daya muslihat. Sebab, ada banyak sekali pertanyaan menjebak di setiap soalnya, yang bahkan lebih memanipulasi dibanding hitung menghitung.
Sejak kesadaran itu muncul disertai bayangan akan rutukan mama atas nasib rangkingnya, Nirbita tidak lagi menyepelekan dan berusaha lebih keras lagi. Sekalipun, ujung-ujungnya tetap tidak begitu mengerti.
Seperti sore ini misalnya, saat jam pelajaran tambahan untuk kelas tiga berlangsung, dengan seksama ia mendengarkan penjelasan bu Rayya tentang materi Kritik Sastra dan Esai. Suara lembut wanita paruh baya itu terdengar menyatu dengan angin yang melesak melalui celah jendela, mirip lullaby..., menghantarkan kantuk dan Nirbita ingin tidur sekarang.
"Ta! Nirbita!"
Nirbita menoleh ke belakang saat mendengar namanya dipanggil, gadis itu menaikkan sebelah alisnya bingung ketika sebuah lipatan kertas disodorkan ke arahnya. "Apa?" tanyanya pelan.
Serena mengedikkan bahunya. "Nggak tahu. Dari Sekala. Disuruh kasih ke lo."
Tanpa bertanya lebih lanjut, gadis itu menerimanya sebelum guru di depan mengalihkan atensi. Ia membuka lipatan kertas itu di bawah meja dan membaca tulisan Sekala yang lebih rapi dari..., tulisan Garin.
"Kan gue udah bilang, dia suka ke lo. Ngerti nggak? Cinta ngunu loh. Makane dee mepet-mepet tok," bisik Garin membuat Nirbita berjegit. Hampir saja ia melayangkan pukulan karena kaget tapi sahabatnya itu lebih dulu menjauh.
Nirbita mendengus lalu melipat kembali kertas itu. "Nggak usah ngaco."
"Dikandani ngeyel."
Nirbita mengabaikannya. Ia menyimpan surat itu ke saku lalu kembali fokus pada penjelasan guru di depannya. Namun, beberapa detik kemudian ia tersenyum kecil menyadari tingkah Sekala yang kadang di luar nalar.
Seharusnya, lelaki itu mengiriminya pesan melalui WhatsApp atau mengajaknya langsung ketika mereka pulang nanti tapi yang dilakukannya justru hal kuno. Tapi, alih-alih menertawakan lebih lanjut, Nirbita menggerakkan kepalanya untuk menoleh ke arah pojok seberang. Tepat dimana Sekala duduk. Awalnya, lelaki itu sibuk mencatat. Tiga detik berlalu hingga Nirbita hendak mengalihkan pandangannya, tiba-tiba Sekala mendongak dan tatapan itu bertemu.
Perlahan, seulas senyum terbit. Mirip sabit yang biasa keduanya lihat di balkon rumah ketika matahari terlelap. Jika Nirbita langsung memalingkan wajah karena takut ketahuan Bu Rayya, Sekala justru masih bertahan dengan posisinya.
Ada degup yang enggan reda. Sekala pernah ikut color run satu tahun yang lalu di GBK, euforianya hampir sama tapi ini lebih menyenangkan dari sekedar lari sambil disiram holy powder. Idiom butterflies in my stomach' ketika jatuh cinta itu benar adanya. Sebab, sekarang Sekala merasakan itu. Seperti ada kupu-kupu yang terjebak di perutnya, mereka berebutan mencari jalan keluar, menciptakan sensasi aneh yang sukar dijelaskan.
Ctak
Sekala berjegit kaget ketika penghapus papan mendarat di pundaknya. Ia menahan napas saat melihat Bu Rayya tersenyum manis ke arahnya.
Bagus, sekarang ia sudah menjadi sorotan seantero kelas, termasuk Nirbita. Satu tindakan memalukan lagi, dijamin gadis itu akan ilfeel mengingat sudah banyak hal bodoh yang ia lakukan akhir-akhir ini.
"Coba Sekala, sebutkan dan jelaskan struktur kritik dalam esai. Kayaknya dari tadi sibuk mikir sampai bengong sendiri!"
Wajah Sekala memanas, ia meneguk ludahnya susah payah. "Secara umum..," Sial, suaranya serak seperti tersangkut dalam tenggorokan. Ia gugup setengah mati. Menarik napas, Sekala berdeham. "Secara umum, struktur kritik terdiri dari 3 bagian yaitu tesis sebagai langkah awal atau disebut dengan pernyataan pendapat, lalu argumentasi yang berisi bukti beserta alasan-alasan yang memperkuat pendapat, dan yang terakhir adalah penegasan ulang."
Bu Rayya mengangguk setelah itu menuliskan jawaban Sekala tadi di papan tulis. "Strukturnya hampir sama kayak ketika kalian lagi berusaha nyatain perasaan ke orang yang kalian cintai. Ada pernyataan, bukti beserta alasannya, lalu dilanjut penegasan ulang," katanya. Perempuan dengan kaca mata rimless itu kembali menatap murid-muridnya sekilas."Biar nggak ditolak."
Kelas yang tadinya hening pecah seketika. Mereka tertawa lalu saling menuding satu sama lain. Tak terkecuali Arshaka, Tenggara, dan Kalingga yang langsung menoleh ke arah Sekala lalu mereka tertawa keras.
Sialan.
***
WAKTU Sekala meminta jawaban atas ajakannya ke Blok M secara langsung, hanya butuh sekian detik untuk Nirbita mengangguk karena perasaan tidak enak. Jadi, sepulang sekolah gadis itu bergegas membersihkan diri dan bersiap-siap sebelum Sekala menjemputnya.
Jam 4 lebih 3 menit, Sekala mengatakan sudah di depan rumah. Lelaki itu sempat berinisiatif untuk meminta ijin pada Haira, namun Nirbita menahannya sebab mama sedang tidak di rumah. Maka, usai meninggalkan pesan pada pembantu barunya, Nirbita bergegas untuk keluar.
Sekala sedang duduk di atas motornya ketika Nirbita sampai gerbang. Namun, merasa ada yang aneh, ia mendekat dan mengamati lelaki itu dari atas hingga bawah. Sepatu converse putih, celana jeans panjang, kaus putih yang seakan menyatu dengan warna kulitnya, masker hitam, lalu...
"Lo ganti motor ya?" tanya Nirbita.
Sekala menggeleng. "Nggak kok. Ini pernah gue pake waktu kelas sepuluh," jawabnya sembari menyodorkan sebuah masker pada Nirbita. "Pake. Buat jaga-jaga biar lo aman dari media."
Nirbita memakainya kemudian beralih pada helm yang Sekala ulurkan setelahnya.
"Temenin gue beli buku dulu, mau nggak?" tanya Sekala.
"Mau." Nirbita mengangguk, membuat helmnya yang sedikit kebesaran turun hampir menutupi dahi. Hal itu mengundang tawa Sekala.
"Eh, helmnya kebesaran ya?"
"Nggak apa-apa. Masih bisa dipake kok," kata Nirbita seraya menepuk-nepuk kepalanya. "Tuh. Yang penting aman."
Sekala tersenyum. Ia langsung menyalakan motornya. "Ya udah. Naik bro."
"Siap, bro."
Mereka berangkat ketika matahari perlahan lengser ke tempat peraduannya. Untuk pengalaman kedua dibonceng Sekala, Nirbita butuh beberapa waktu untuk menyesuaikan diri agar tidak canggung. Sepanjang perjalanan, Sekala mengajaknya bicara banyak hal dan ia hanya menjawab sesekali, kadang asal sebab deru kendaraan sekitar menganggu pendengarannya.
Sekitar 20 menit perjalanan, mereka berhenti di parkiran Blok M. Sekala mengajaknya ke lantai basement. Menyusuri kios-kios buku yang menguarkan aroma khas sejak pertama kali menginjak pintu masuk.
Sejauh mata memandang, yang Nirbita lihat adalah lautan buku. Jauh lebih banyak dari Gramedia atau Kinokuniya yang biasa ia kunjungi. Di beberapa sudut juga ada majalah-majalah yang edisinya sudah lewat puluhan tahun. Kata Sekala, di sini juga jual buku-buku ajaib yang tidak bisa ditemukan di manapun lagi. Lelaki itu menceritakan serta latar belakang beberapa penjual di sini. Katanya, mayoritas dari mereka pindahan dari Kwitang.
Dalam setiap langkah yang keduanya tempuh, Sekala memberi jejak cerita tanpa diminta dalam kepala Nirbita.
"Lo mau beli buku apa?" tanya Nirbita ketika Sekala masuk ke sebuah kios dengan rak-rak tinggi di sekitarnya.
"Pirateology."
"Lo suka bajak laut ya?"
"Kan gue lautan.".
"Tapi bajak laut kan jahat."
"Kata siapa?"
"Katanya cerita." Nirbita mengikuti Sekala mencari-cari buku. Sekala ke kanan, ia ikut ke kanan, lelaki itu ke kiri, ia pun demikian sampai akhirnya Sekala berhenti dan menatap gadis itu.
"Takut hilang ya?"
Nirbita memukul pelan lengan Sekala dengan wajah tersipu. Sementara Sekala, tangannya greget ingin mengacak rambut Nirbita gemas tapi ia menahan gerak impulsifnya dengan tarikan napas. Untungnya, setelah itu pandangannya teralih pada sebuah buku dengan cover cantik yang terletak di rak dekat Nirbita. Tanpa pikir panjang, ia mengambilnya dengan melewati bahu gadis itu.
"Itu bukunya?" tanya Nirbita.
"Bukan. Tapi, ini masuk wish list gue juga. Series terakhir dan lumayan susah dapetinnya. Jadi sekalian."
"Emang ceritanya tentang apa?"
"Apa aja."
Nirbita mengamati buku berwarna putih dengan ilustrasi dua anak yang sedang mengendarai angsa terbang di tangan Sekala itu.
The Land of Stories ; Worlds Collide karya Chris Colfer, begitu yang Nirbita baca. Di bagian atas, ada label The #1 New York Times Bestselling Series seakan menunjukkan eksistensinya.
"Ini cerita fantasi. Semacam dongeng gitu. Mau baca?" tawar Sekala melihat raut penasaran yang terpancar di wajah Nirbita.
"Tebel banget."
"Jadi mau dibacain?"
Nirbita menatap Sekala. Ia pernah bilang bahwa netra lelaki itu magis. Seperti ada kekuatan tak kasat mata yang mampu menariknya ke dalam ruang-ruang ajaib di alam semesta. Dan bising di sekitar mulai menipis, tiba-tiba ingatannya berhenti pada sebuah memori akhir pekannya bersama Raiden, beberapa tahun yang lalu. Waktu dimana lelaki itu masih dengan sabar membacakan buku, mengulangnya beberapa kali sampai ia paham.
Ada dua cangkir teh dan sepiring muffin di atas meja. Cicit kenari di atas pohon jambu air, wangi mawar putih yang baru saja mekar, dan desing penggorengan dari arah dapur masih terekam jelas suaranya. Semua variabel berisi kenangan itu mengetuk-ngetuk kepala, seolah meminta ijin untuk menguasai dan turun ke hati. Demi apapun, Nirbita benci gambaran beranda belakang rumah Raiden saat ini sekalipun yang diingatnya kenangan indah.
Gadis itu mengerjap, ia mencoba menarik dirinya agar tidak kembali jatuh ke jurang yang membuatnya penuh luka. Cepat-cepat, ia memalingkan wajahnya dan berjalan mendahului Sekala tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu. Matanya menelusuri setiap celah buku yang ada di rak. Membaca setiap judulnya sambil lalu untuk mengendalikan dirinya sendiri. Hingga langkah dan matanya berhenti pada satu titik. Pada satu buku yang sangat familiar di ingatannya. Nirbita mengambilnya lalu berbalik bermaksud memberitahukan pada Sekala. "Ini kayak novel yang gue kasih kan?"
Tanpa ragu, Sekala mengangguk. "Kenapa?"
"Udah lo baca belum?"
"Udah."
"Bagus nggak?"
Sekala mengangguk lagi. "Bagus."
"Terus lo tahu nggak kenapa judulnya Semua Ikan di Langit?" tanya Nirbita.
Sekala mundur perlahan, ia menggelengkan kepalanya karena pertanyaan acak Nirbita. Lelaki itu berbalik untuk membayar buku yang dibelinya kemudian kembali pada Nirbita yang masih di tempat semula. Menunggunya tanpa beranjak sedikitpun.
"Lo pernah bilang, gue adalah bintang. Sedangkan gue bilang, gue adalah lautan," kata Sekala. Meskipun gugup setengah mati, ia menantang dirinya untuk menatap gadis di depannya lebih dalam.
"Korelasinya?"
"Buku ini judulnya Semua Ikan di Langit karena semua bintangnya udah turun ke laut," jawab Sekala seraya mengambil alih novel di tangan Nirbita dan meletakan kembali ke rak.
Nirbita tertawa. Setelah itu, ia mengikuti langkah Sekala kembali ke ruas jalan. Mereka mengitari penjuru lantai basement Blok-M. Mampir ke toko musik langganan Sekala dan membawa pulang vinyl Devotion incaran lelaki itu, melewati tempat sablon dan plakat-plakat yang terjejer rapi, bahkan singgah di gerai batu akik tanpa tujuan yang jelas sampai sebuah bracelet lucu di etalase menarik perhatian Nirbita.
Penjualnya lelaki tua berwajah oriental. Saat menjelaskan tentang kualitas serta asal-muasal batu yang dirangkai, logat hokkiennya terdengar jelas.
"Cobain, Ta. Bagus nggak?" ucap Sekala sambil menyodorkan bracelet itu pada Nirbita.
Meskipun ragu, gadis itu meraihnya. Batu kalsedon warna-warni yang melingkar di pergelangan tangannya terlihat memanjakan mata apalagi ketika cahaya lampu memantul di sana.
"Lihat, tangan lo jadi cantik."
"Berarti sebelumnya tangan gue jelek dong."
Sekala menaikkan sebelah alisnya, ia menyeringai. "Apa perlu gue post foto lo di ig story pake caption kayak beberapa waktu yang lalu? Biar seluruh dunia tahu kalau sebenernya..., lo cantik?" ucapnya sembari menatap Nirbita.
Nirbita tidak berkutik, ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk mencegah ketika Sekala membayar harga bracelet itu. "Jangan pernah dilepas ya. Kalau lo butuh bantuan gue, lo bisa hitung jumlah batunya terus panggil nama gue, sekali," katanya saat mereka kembali berkeliling. Sayup-sayup, adzan berkumandang di setiap toko yang mereka lewati. Suaranya beriringan dengan langkah dan hiruk pikuk manusia di dalam.
"Sekala, makasih-" Nirbita kehilangan kata. Rasanya aneh membiarkan orang baru membelikan sesuatu yang terbilang mahal secara cuma-cuma. Apalagi, ia tahu harganya. "Harusnya-"
"Harusnya gue yang bilang makasih karena lo udah mau nemenin gue hari ini," potong Sekala.
"Tapi ini mahal."
"Kado yang lo kasih juga mahal," Sekala tersenyum. Teduhnya bak udara setelah hujan. "Lagian, inti dari semuanya tuh bukan soal harga. Tapi, waktu. Waktu lo bagi gue..., mahal. Sehari dalam seumur hidup, nggak bakal selamanya gue bisa dapetin itu."
***
SESUAI ajakan awalnya, usai melipir sholat maghrib, Sekala membawa Nirbita ke area bundaran yang letaknya tepat di depan Blok-M untuk makan malam. Di bahu jalan Mahakam, payung jualan sudah terbentang. Petik gitar musisi jalanan serta suara bel dari penjual kopi keliling menciptakan melodi khas kota Jakarta.
Gerimis yang sebelumnya turun menyisakan kubangan di trotoar juga bulir-bulir air di kursi plastik. Makanya, sebelum Nirbita duduk, Sekala lebih dulu membersihkan airnya. Lalu, ia memperhatikan ketika gadis itu memilah daging dari nasi dan menaikkan padangan ke arahnya. "Gue nggak suka daging sapi. Lo mau nggak?"
Sekala mengulurkan piringnya, membiarkan gadis itu memindahkan daging itu lalu menggantinya dengan sate usus miliknya. "Selama di sini, jangan pernah ngelihat mata orang selain gue. Pura-pura nggak sadar aja kalau lo ngerasa di lihatin. Biar kita nggak direcokin," ucap Sekala. Ia menggeser duduknya agar memunggungi jalanan. Sekarang, tidak ada objek yang ia lihat selain Nirbita dan background gerobak gulai di belakangnya. Lalu, ia membuka maskernya, begitu pun Nirbita.
Di bawah langit Bulungan yang menjelma lautan awan pekat, mereka duduk berhadapan sambil menikmati makanannya. Nirbita terlihat sangat antusias ketika menyuapkan nasi, seperti ada bintang jatuh ketika matanya berkerut. Lalu, pendarnya merambah ke seantero ruang dalam hati Sekala.
Bunga aster itu cantik, tapi Asteria di depan Sekala jauh di atas kata cantik.
Sekala menahan dirinya agar tidak menarik pipi Nirbita yang menggembung karena begitu lahap. Satu hal yang dapat ia tarik faktanya dari perjalanan hari ini adalah Nirbita suka kecap. Gadis itu mampu mengubah kuah yang semula kuning menjadi hitam pekat, yang kalau dilihat-lihat rasanya bukan gurih lagi, tapi manis.
"Mau nambah nggak, Ta?" tanya Sekala ketika ia sudah memasuki porsi kedua.
"Nggak. Ini udah cukup."
"Emang hari ini udah berapa kalori?"
Nirbita berhenti mengunyah. Ia menatap Sekala penuh tanya. "Lo tahu dari mana sih soal kalori gue?" Sebenarnya, gadis itu hendak menanyakannya sejak beberapa hari yang lalu, tapi ia lupa dan baru ingat lagi sekarang.
"Buku lo. Gue nggak sengaja baca pas MOS."
"Dua tahun yang lalu dan lo masih inget?"
Sekala mengangguk. "Lo tahu film Perahu Kertas nggak?" tanyanya balik. Nirbita mengangguk. "Di bagian awal, ada salah-satu omongan tokoh Keenan yang nempel di kepala gue. Katanya, otak suka nyaring. Mana yang perlu diinget, dan mana yang harus dilupain. Makanya, gue masih inget soal catatan kalori lo karena-"
"Sebagai ketua kelas yang baik.." potong Nirbita hafal jargon Sekala.
"Gue harus inget hal-hal detail anggota kelas gue biar kalau terjadi apa-apa gampang diatasi," lanjut Sekala diiringi kekehan.
Nirbita mengibaskan tangannya, ia kembali menikmati kembali makanannya. Untuk orang normal, mungkin porsi makanan ini sangat sedikit makanya beberapa pengunjung, termasuk Sekala bisa nambah 3 sampai 5 porsi tapi untuk Nirbita, satu saja cukup membuatnya begah.
"Jadi, hari ini nggak ada agenda berburu senja ya, La?"
"Nggak ada. Jadinya berburu buku."
"Meskipun ujung-ujungnya lo beli buku yang nggak lo cari."
"Kan udah gue bilang, yang tadi juga masuk wish list gue."
Nirbita tersenyum simpul. Gadis itu meletakkan piringnya yang sudah kosong dan beralih menyeruput es jeruknya -yang rasanya mendekati hambar- lalu menatap Sekala. "Ngomong-ngomong, La. Kenapa tiba-tiba lo baik dan deketin gue?" tanyanya tiba-tiba, hampir membuat Sekala tersedak kuah gulainya. "Ini..., bukan karena lo ngerasa bersalah atas kelakuan Aruna kan?"
_____________________________________
NOTE PENTING UNTUK CERITA :
- Scene ketika Nirbita bilang Sekala adalah lautan ada di Karyakarsa ya.
- Buat yang bingung latar cerita ini, ini cerita pakai latar tahun 2018/2019
- Hubungan Alaska Samuel Abimana dan Aruna Inka Abimana itu masih saudara. Se-marga gitu lah. Itu berasal dari papa Aruna. Jadi, kalau sama Sekala, Samuel nggak ada hubungan darah. Mereka kenal karena beberapa kali kumpul keluarga besar.
- Ketika cerita ini berlangsung, Samuel masih kelas 10 (belum ketemu Lyodra) dan Sekala kelas 3
- Sekala kenal sama Naraka karena dia kan anggota OSIS waktu kelas 10 terus Naraka anak kelas 12 yang nakal dan sering berurusan sama OSIS. Sekala juga anaknya social butterfly jadi gampang berteman sama siapa ajaa. Gitu.
- Naraka dari keluarga Angkasa ya? Saudara Alta (cerita sebelah)? YA. Hubungannya kurang lebih kayak Aruna dan Samuel.
_____________________________________
Oke, semoga suka cerita ini..
Jangan lupa vote dan komentar yaa
(2000 vote + 1000 komentar)
Btw, kalian paling suka sama tokoh siapa???
SPAM NEXT IN KENE!!!
Biar semangat, i kasih foto Sekala dan Nirbita oke..
(Ini Sekala pas jalan bareng Nirbita, outfitnya emang begini)
(Sekala pake Vespa matic biar Nirbita nggak susah pas naik dan nyaman pas boncengan)
Buat penasaran sama bracelet yang dibeliin Sekala, bisa cek di Instagram @nirbitasteria. Karena di upload sama Nirbita.
Oh iyaa... gue juga upload chit-chat Raiden dan Nirbita di Instagram gue (@yupitawdr) jadi buat yang penasaran bisa langsung meluncur ke sana yaaa..
TERIMAKASIH 😤💗
Ttd, Yupi pacar Jung Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top