Bab 23. Cara Cinta dan Musim Bekerja

Maaf gue ngaret banget:( udah berapa abad dah gue nggak update????

Semoga kalian masih inget cerita ini yaa..

SELAMAT MEMBACA

__________________________________

Bab 23. Cara Cinta dan Musim Bekerja

Tidak semua mendung berlabuh pada hujan, tidak semua terik berlabuh pada gersang.

***

SISA hujan semalam membuat rerumputan di lapangan sekolah basah, aromanya merengkuh tubuh dengan segala sejuk hingga semua variabel yang terjadi di depan mata terasa hampa. Sekala jadi tidak mengerti bagaimana cara cinta dan musim itu  bekerja lalu melumpuhkan saraf-saraf inderanya sebab suara pantulan bola, teriakan-teriakan, juga dersik angin lebur dalam telinga, berserakan menyisakan sunyi ketika ia melihat Nirbita maju. Rambut pendeknya yang diikat scarf biru sedikit terayun ketika menangkap bola voli yang dilempar oleh guru olahraga. Lalu, seperti murid sebelumnya, gadis itu melakukan passing bawah. Menariknya tanpa ada cela jatuh selama 60 detik. Sempurna.

Riuh tepuk tangan perlahan mengurai sunyi yang sejak tadi menguasai. Sekala mengerjap, tatapannya terus terbawa pada Nirbita yang mulai kembali bergabung bersama teman-temannya. Kilau keemasan dari cahaya matahari menyelip diantara ranting-ranting tabebuya dan berhenti di wajah gadis itu. Demi apapun, Nirbita cantik.

Ada desir hangat ketika potongan memori kebersamaannya dengan gadis itu berkelebat di kepala dan membuatnya sadar bahwa makna cantik itu telah bertambah takarannya seiring berjalannya waktu. Seandainya Sekala memiliki banyak kesempatan serta keberanian lebih, mungkin ia akan mengatakannya sekali lagi. Mendeskripsikan pahatan Tuhan itu sembari menatap lembut netra pekatnya yang menyorot teduh.

Sayangnya, sejak pengakuan tersirat yang terkesan blak-blakan kemarin, nyali Sekala menciut digerus habis oleh respon Nirbita yang tidak menunjukkan apa-apa. Sekarang, ia tidak lagi berani menyapa terlebih dahulu atau sekedar kontak mata dengan gadis itu. Yang dilakukannya adalah menghindar. Awalnya dengan maksud memberi ruang agar Nirbita bisa menunjukkan sesuatu yang membuat semuanya lebih jelas. Tapi, melihat gadis itu justru melakukan hal yang sama, Sekala jadi semakin yakin bahwa memang tidak ada lagi yang harus diharapkan.

"Kenapa sih dari dulu lo cuma suka ngelihatin?" Sekala menoleh dan mendapati Kalingga sudah duduk di sebelahnya dengan napas sedikit memburu. Lelaki itu meraih botol air yang yang terletak di dekatnya lalu meminumnya hingga tandas. "Ngelihatin dari jauh doang nggak bakal bikin dia tahu sama perasaan lo.”

“Dia udah tahu,” jawab Sekala. Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. Sampai-sampai angin menelan jejaknya dalam sekali sapuan. “Kayanya..”

“Terus?”

“Nggak ada terusannya.”

Kalingga menelengkan kepalanya dengan sebelah alis terangkat. “Lo ditolak?”

"Tahu deh..." Tanpa semangat Sekala melihat ke sisi lapangan yang lain. Tepat dimana teman-temannya sedang bermain bola dengan kelas sebelah —yang kebetulan sedang jam olahraga juga— sembari menunggu giliran dipanggil untuk penilaian voli. Mereka terlihat berlarian tanpa beban, sesekali berteriak dan tertawa lepas sementara dirinya hanya sanggup menepi karena benar-benar tidak bisa mengendalikan mood hari ini. Perasaannya kacau. Kalau dianalogikan mungkin respon Nirbita kemarin seperti asteroid yang lolos meluncur menembus atmosfer lalu menghantam permukaan bumi dalam kecepatan kilat. Hanya dalam satu kedipan mata, semuanya hancur menyisakan lubang besar penuh luka. Satu-persatu hal di dalamnya punah tapi entah sebuah kesialan atau justru sebaliknya, rasa cinta itu masih ada. Menyelip diantara hatinya yang sudah babak belur. "Resiko jatuh cinta tuh emang ekstrem banget ya? Senengnya bikin lupa diri, sakitnya malah bikin mau bunuh diri," gumam Sekala.

Mendengar itu Kalingga terkekeh. Sesekali ia mengibas-gibas tangannya di depan wajahnya yang memerah karena gerah. "Mau nyoba cara bunuh diri yang gimana? Kali aja gue bisa bantu."

"Yang sekiranya nggak sakit terus setelahnya gue masuk surga."

"Nggak tahu diri itu namanya." Lantas Kalingga menatap Sekala yang memang nampak tidak bersemangat sejak pagi. Padahal, kalau pelajaran olahraga begini, ia paling aktif lompat kanan kiri mirip kodok depan rumah. "Emang kenapa sih? Coba sini cerita. Mumpung nggak ada Arshaka sama Tenggara."

Sekala menarik napas lalu mengembuskan perlahan. "Ada nggak sih alat yang bisa bikin kita tahu isi hati dan pikiran orang lain?"

"Ada nggak perasaan cinta dari Nirbita buat lo?" tanya Kalingga balik, sedikit jengkel sebab bukannya menjawab Sekala justru mengeluarkan pertanyaan randomnya.

"Anjing! Ya nggak ada lah. Masih aja nanya lo."

"Nah. Itu jawaban yang sama buat pertanyaan lo barusan," balas Kalingga. Lelaki itu menggeser tubuhnya ke tempat yang lebih kering lalu kembali menatap Sekala. "Jadi beneran ditolak nih?"

"Nggak tahu."

"Gimana sih? Tinggal jawab ditolak atau enggak aja susahnya udah kayak ngerjain soal matematika." Kalingga sedikit emosi. Suaranya naik membuat sekitarnya menoleh. Sadar akan hal itu ia langsung menurunkan kembali volumenya. "Ditolak atau enggak?"

"Nggak tahu," jawab Sekala dengan decakan. Sebelum Kalingga mencakar-cakar wajahnya dan setelah ia mempertimbangkan beberapa hal, lelaki itu  mendengus lalu memilih untuk menceritakan kejadian kemarin lengkap tanpa terkecuali. Semuanya Sekala gambarkan secara detail, mulai dari pelariannya bersama Nirbita usai teriakan kurang ajar Tenggara hingga sebuah pengakuan —Kan diantara kita, gue yang deketin lo bukan lo yang deketin gue — yang menurutnya aneh. Saat selesai, ia menghela napas berat. "Makanya gue ngejauh, gue pikir dia bakal notice gue karena agak berubah atau minimal nyapa duluan gitu ternyata nggak."

Kalingga meringis. "Gue kalau jadi dia juga bakal kagok duluan. Lo awikwok banget sih. Terlalu terburu-buru," ucapnya jujur.

"Kemarin-kemarin aja gue dibilang cupu karena nggak cepetan confes, sekarang giliran sat set sat set salah lagi!"

"Iya tapi nunggu moment yang pas, La. Inget, posisi lo itu nggak strategis banget mengingat adik lo itu Aruna alias selingkuhan Raiden yang notabene mantan pacar Nirbita."

"Serba salah gue."

"Lagian kan waktu itu Tenggara cuma ngomporin, keputusan ya tetep di tangan lo. Jadi yang salah siapa?"

"Bapaknya Tenggara."

"Heh, dia yatim!"

"Gue yatim piatu."

"Malah adu nasib." decak Kalingga. Lelaki itu mendorong pelan bahu Sekala agar pertikaian sengit itu cepat selesai. "Mending lo samperin Nirbita gih daripada uring-uringan nggak jelas!"

"Nggak lah. Gila ya lo."

"Lo udah melewatkan waktu 2 tahun lebih buat nunggu dia. Masa karena satu penolakan yang masih ambigu lo nyerah gitu aja? Di belakang lo tuh banyak yang antri, mundur dikit disabet yang lain," ucap Kalingga. "Kalau emang cinta ya dikejar, diperjuangin, bukan cuma dilihatin doang. Lo pikir dia pameran lukisan?”

Sekala tersenyum kecut. Alih-alih terpengaruh dengan afirmasi yang dilontarkan Kalingga, perasaannya justru semakin menciut. "Udah terlanjur malu. Dia kayaknya udah ilfeel ke gue dari lama, apalagi pas tragedi gue lupa swicth akun terus bikin gempar sosial media. Mana gue terkesan tiba-tiba deketin dia, padahal dulu nyapa aja bisa kehitung jari sampe dia aja nggak hafal suara gue," keluhnya.

"Itu kan pemikiran lo doang." Kalingga hampir menyerah. Biasanya, dalam sehari ia hanya mengeluarkan setidaknya 50-80 kata tapi hari ini sepertinya akan lebih demi mencari jalan keluar untuk permasalahan Sekala yang menurutnya..., mudah jika sahabatnya itu mau bergerak. "Nih ya dengerin, lawan paling jahat di dunia ini bukan orang lain tapi isi dari kepala kita sendiri. Segala praduga yang belum tentu kebenarannya terus berputar di sana, mengambil alih kepercayaan diri lo dan bikin lo tenggelam perlahan."

Sekala membenarkannya dalam hati tapi jika melihat kembali ke arah realita, rasanya tidak ada yang salah dari ketakutan yang diciptakannya. Ia hanya sedang mencoba berhati-hati agar tidak melukai dirinya sendiri di akhir nanti.

"Inget Tiara nggak? Cewek yang lo putusin gara-gara lo tahu kalau dia inceran Samuel? Saudara lo?" Pertanyaan itu sukses membuat Sekala sepenuhnya menoleh dengan alis bertaut. Sudah lama nama itu tidak terdengar jadi agak mengejutkan ketika Kalingga menyebutnya kembali tanpa aba-aba. "Lo mutusin dia karena takut Samuel marah? Lo mutusin dia dengan harapan Samuel bakal seneng dan Tiara bakal dapet cowok yang menurut lo lebih baik dari lo, dan itu ada di Samuel. Tapi, kenyataannya apa? Setelah kalian putus, apa Samuel dan Tiara bareng-bareng dan bahagia? Nggak kan? Deket aja mereka nggak. Yang ada, lo cuma bikin Tiara sakit hati dan Samuel ya nggak dapet apa-apa."

Segala bising di sekitar perlahan menipis menyisakan suara Kalingga yang terdengar begitu tajam di telinga. Segala pelik yang terkubur dalam-dalam akhirnya mengambang, membuatnya menerawang kembali ke masa-masa lampau, saat seragamnya masih putih biru dan tingginya masih sebatas bahu papa. Tiga tahun yang lalu..

Dulu, Sekala pernah menjalin hubungan dengan adik kelas yang dua tingkat di bawahnya. Semua berawal dari bergabungnya gadis bernama Gahiyaka Tiara Lituhayu itu di ekstrakurikuler musik sekolah, lalu mereka dekat sebab beberapa kali dipasangkan untuk duet. Singkat cerita, mereka menjalin hubungan di bulan keempat pendekatan, tidak lama karena setelahnya Sekala tahu fakta bahwa gadis itu ternyata incaran Samuel yang waktu itu keluarganya sangat berjasa bagi kelangsungan kariernya. Maka, dengan segala bisikan-bisikan di kepala dan kelabilannya saat itu, ia memilih untuk mengakhiri hubungannya dengan Tiara yang baru berjalan dua bulan. Singkat memang. Sampai-sampai, ketika ia menerka sudah berapa lama waktu menelan habis kenangannya, ia berhenti pada satu kenyataan bahwa tidak ada satupun yang bisa dikenang dengan baik.

"Isi kepala jahat kan? Dia bikin lo nekat melakukan sesuatu yang menurut lo baik untuk orang lain tapi pada kenyataannya malah nyakitin," ucap Kalingga namun Sekala masih tidak mengatakan apapun. Lelaki itu menunduk, memainkan kelopak bunga tabebuya kering di tangannya. "Lo dengerin gue ngomong nggak sih, La?"

"Hmm.."

Jengah dan kesal melihat wajah lempeng Sekala, Kalingga berinisiatif melakukan hal yang menurutnya seru untuk memancing emosi. "Nirbi! Nirbita!"

Nah kan.

Sekala langsung mendongak, ia melotot ke arah Kalingga seolah mengatakan ; anjing, maksud lo apaan? Ia ingin melontarkan sumpah serapah namun teriakan Nirbita membuat tubuhnya membeku seketika.

"Kenapa, Kal?!"

"Sini deh! Gue mau nanya-nanya."

Lalu derap langkah terdengar semakin mendekat. Sementara Sekala tidak berani menoleh ke belakang, jantungnya berdegup kencang hanya karena setelahnya aroma parfum yang begitu dikenalnya menyergap pernapasan. Ia meremas jemarinya, merutuki Kalingga yang sengaja mempermainkannya.

"Mau nanya apa?"

"Denger-denger, lo kemarin ke kelas ya yang sama Sekala?"

"Iya. Gue sih yang ke kelas, kenapa?"

"Lo lihat MacBook nggak di meja gue? Gue ngerasanya ketinggalan di kelas tapi pas gue cari tadi pagi nggak ada."

"Wah, gue agak lupa sih, Kal..., Tapi kayaknya nggak ada. Atau lo coba cek CCTV deh, kali aja membantu."

Tidak dapat dipungkiri bahwa Sekala menyukai Nirbita berada di dekatnya, berada dalam radius yang bisa diraih dengan rangkulan tapi yang dilakukannya justru diam, bersikap seakan keberadaan Nirbita sesuatu yang kasat mata. Namun meskipun pandangannya ke arah lain, telinganya siaga menangkap semua percakapan-percakapan itu.

"Kan CCTV kelas rusak, belum diganti."

"Emang iya?"

"NIRBITA AWAS!!"

Teriakan itu membuat Sekala menoleh. Ia tidak dapat memprediksi apapun termasuk ketika sebuah bola melambung ke arahnya dalam kecepatan kilat. Sekala hendak berbalik bermaksud melindungi Nirbita namun belum sempat karena benda itu menghantam keras wajahnya. Ia sontak mengaduh, bersamaan dengan pekikan orang-orang di sekitarnya.

"Sekala!! Astaga!"

Wajah Sekala seperti mati rasa beberapa saat, detik berikutnya baru ia merasakan sakit yang luar biasa. Sudut matanya sampai berair. Bukan karena ia lemah atau cengeng, pasalnya, benda yang baru saja mendarat di wajahnya itu bukan bola plastik melainkan bola kulit yang beratnya hampir mencapai setengah kilo.

"Sekala??"

"Eh, lo nggak apa-apa?!!"

Beberapa orang menghampiri, menanyakan keadaannya juga menertawakan nasib malangnya tapi ia tidak menjawab. Kepalanya terasa berputar, pandangannya buram. Ia merasakan cairan menetes ketika ia menangkup hidungnya. Sial, mimisan.

Saat Sekala akan mendongak dengan maksud menghentikan pendarahan, sebuah tangan meraih pipinya. "Jangan gitu. Nanti darahnya malah masuk ke tenggorokan."

Dalam pandangannya yang mulai jernih kembali, ia melihat raut panik dari wajah Nirbita. Gadis itu membuka scarf yang terlilit di rambutnya lalu menggunakannya untuk menghambat darah yang mengalir dari hidungnya. "Agak condong badannya, biar—"

Entah karena malu atau hal lain, Sekala menjauhkan tangan Nirbita lalu berdiri. Lelaki itu memilih untuk ijin ke guru olahraganya dan berjalan ke UKS tanpa menghiraukan kepanikan teman-temannya, permintaan maaf dari sang pelempar bola tadi, juga..., kebingungan Nirbita.

***

HAWA Jakarta begitu sendu ketika Nirbita menginjakkan kakinya di halaman sekolah. Arakan awan kelabu menggantung di setiap sisi bumantara sementara angin berembus pelan, membuatnya terpecah dan berserakan. Satu persatu air mulai berjatuhan menciptakan titik-titik basah di tanah. Lalu setelahnya, berhenti begitu saja.

Langit memang sulit ditebak. Sama seperti detik berikutnya dalam hidup. Sama seperti Sekala yang tiba-tiba menjauh...

Entah hanya perasaan Nirbita atau memang begitu faktanya, lelaki itu seperti menciptakan sebuah jarak. Tidak ada sapaan ketika mereka berpapasan, tidak ada senyuman lebar ketika mereka bersitatap, bahkan dalam sehari ini Sekala tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuknya. Termasuk ketika ia membantu lelaki itu tadi.

Nirbita sampai berpikir keras, mencoba kilas balik akan kejadian yang sudah lalu untuk menemukan sesuatu yang mungkin menjadi penyebab lelaki itu bersikap demikian namun ia tidak menemukan apapun. Semuanya terasa wajar dan baik-baik saja, baginya.

"Akhirnya, 2 jam gue nggak sia-sia buat nungguin lo." Suara itu membuyarkan lamunan Nirbita. Langkahnya terhenti ketika mendapati sosok yang begitu familiar di lintasan gerbang sekolah. Naraka Air Angkasa. Jujur, ia benci seringai menyebalkan di wajah orang itu, masih sama seperti kali pertama mereka bertemu. Beberapa tahun yang lalu. "Apa kabar, Nirbita?"

Meskipun masih dikuasai keterkejutan, Nirbita memilih untuk tidak menggubris dan melewatinya begitu saja namun, langkahnya kembali terhenti ketika Naraka menghadangnya, mengikuti setiap gerak yang ia ambil seakan sengaja menguras habis kesabaran.

Nirbita menaikkan padangan. Layaknya sebilah pedang sihir di seri game nitendo yang pernah Naraka mainkan, mata hitam pekat itu begitu tajam seakan-akan dapat memanggil gemuruh dan badai hanya dalam sekali kedipan. "Minggir atau gue tampar."

"Buset! Masih galak aja. Padahal gue dateng baik-baik buat ngucapin selamat atas putusnya lo sama Raiden," ucap Naraka enteng.

"Gue nggak butuh ucapan lo." Setelah itu, Nirbita bergegas pergi tapi Naraka kembali menahannya dengan mencekal pergelangan tangan.

PLAK

Bukannya marah, Naraka justru terkekeh. Lelaki itu mencengkeram lebih erat ketika gadis itu berontak. "Gue udah jauh-jauh dari Depok loh, Ta."

"Gue nggak pernah nyuruh lo dateng. Jadi lepasin tangan gue!"

"Gue bakal lepasin tapi lo harus balik sama gue hari ini."

Nirbita menarik tangannya lagi, dan gagal. "Nggak mau. Lepasin, berengsek!!" Gadis itu tahu tingkahnya sukses mencuri atensi beberapa murid yang masih berada di sekitar. Ia ingin berteriak lebih keras untuk menunjukkan bahwa benar-benar butuh pertolongan namun rasanya sia-sia sebab tidak ada yang berani berhadapan dengan Naraka, lebih tepatnya enggan berurusan dengan lelaki itu. Lagipula, manusia mana yang mau bermasalah dengan berandalan nekat seperti Naraka? Tidak ada. Buang-buang waktu.

"Kalau lo berontak terus yang ada lecet tuh tangan. Lagian apa susahnya sih cuma balik sama gue doang. Nggak bakal gue apa-apain." Naraka masih kekeuh membujuk tapi Nirbita juga kekeuh menolak.

"Please, lepasin! Gue udah di jemput," ucap Nirbita meskipun ketika ia melongok ke arah trotoar, tidak ada mobil jemputannya terparkir di sana.

"Nggak. Lo harus balik sama gue, biar gue yang ijinin sam—." Suara klakson dan motor yang tiba-tiba melaju ke tengah-tengah mereka membuat Naraka reflek melepaskan cekalan tangannya dan menghindar. "Anjing! Belegug sia!"

Sementara Nirbita masih menenangkan degup jantungnya karena hampir ditabrak. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat pengendaranya melepas helm dan turun dengan raut wajah datar. Berikutnya, langkah itu terayun mendekat, menghampirinya dan senyum tipis yang terbit di wajahnya. "Pulang dulu gih. Udah dijemput tuh," katanya sambil mengedikkan dagu ke arah mobil yang baru berhenti.

Nirbita yang merasa terbantu seketika mundur perlahan, ia membalas senyuman itu lalu..., "makasih, Sekala."

Setelahnya, ia berbalik, berlari kecil untuk masuk mobil. Nirbita kemudian menyembunyikan tubuhnya di balik jendela yang tertutup rapat, tidak berani sekedar menoleh kembali ke belakang ketika mobil melaju membelah jalanan Terogong Raya yang sedikit lengang.

Sedangkan Sekala, lelaki itu masih berdiri di hadapan Naraka dengan raut wajah ditekuk, mirip anak kecil yang merajuk ketika koleksi legonya hilang selusin. Berbanding terbalik ketika berhadapan dengan Nirbita tadi. "Jangan gitu dong, bang. Eung..., cewek gue itu."

"Lo bilang cuma temen pas klarifikasi! Gue lihat ya, jangan ngibul lo!" balas Naraka.

"Itu cuma buat bersihin Nirbita dari gosip, kayak nggak tahu dunia entertainment aja lo," jawab Sekala. "Awas aja kalau masih gangguin lagi. Lagian, ini udah tahn 2018 dan lo masih ngejar-ngejar Nirbita. Kayak yang nggak laku aja."

Naraka melotot. "Heh Abu Nawas! Lo nggak tahu mantan terakhir gue siapa? Finalis Putri Indonesia!"

"Ya makanya jangan ke Nirbita lagi. Please..., ya. Lo kan sekarang udah glow up otaknya. Denger-denger udah jadi anak teknik UI, nah abis ini lo pasti  bisa dapet Miss Universe."

"Erggg!! Nggak ada kolerasinya." Naraka kesal. Ia mengacak-acak rambutnya, tangannya gatal untuk melayangkan pukulan di wajah Sekala namun mengingat lelaki itu pernah berjasa sudah menolongnya waktu penggeledahan narkoba dulu, ia hanya menarik napas dan mengembuskan pelan. "Gue sukanya Nirbita."

"Nggak. Lo cuma penasaran dan terobsesi sama dia."

"Nggak! Gue cinta dan sayang sama dia."

"Nggak, bang," kekeuh Sekala. Ia mengangkat kedua tangannya seakan hendak menjelaskan sesuatu. "Gini! Lo cuma mau jadiin Nirbita pacar biar Raiden kesel sama lo."

"La, lo jangan bikin gue emosi deh."

"Bang, lo jangan bikin gue emosi deh," tiru Sekala.

"Setan lo!!"

"Setan lo!!"

Saat Naraka melayangkan tangan untuk mengeplaknya, Sekala lebih dulu menghindar. "Pokoknya jangan gangguin cewek gue! Gue tuh yatim piatu, dzalim dikit masuk jahanam lo!!"

"Pacaran juga bikin lo masuk jahanam, jing!"

"Kan gue diajarin pacarannya sama lo. Jadi bakal lebih lama lo di sana. Sampe jadi abu!"

"Tai lo!"

"Udah lah. Mending kita nongkrong bareng aja. Sekalian gue mau nanya-nanya tips masuk UI."

"Nggak! Males gue sama lo."

_______________________________

Semoga gue produktif dan cepet update setelah ini, aamiin

Semoga kalian masih suka cerita ini, aamiin

SPAM FOR NEXT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top