Bab 22. Kejutan untuk Sekala
JANGAN DI SKIP. BACA PELAN-PELAN BIAR PAHAM OKE..
Sebelum baca chapter ini, kalian bisa baca (secret chapter) BAB 21 yang ada di Karyakarsa. Bisa lewat aplikasi atau browser. Cari aja akun : Yupitawdr
Jadi, itu isinya tentang kejadian di apartemen Sekala dan scene ketika Nirbita pulang ke rumah dan ngobrol sama mamanya gitu.
Harganya cuma 5000 aja. Pembayaran bisa via Dana, OVO, Rekening, dll ya. Cover ceritanya yang ini ;
Spill dikit ;
From this
To this
(Kalau menurut Sekala, dia adalah lautan. Tapi, bagi Nirbita, Sekala adalah bintang. Jadi, kalau di gabung Sekala adalah Bintang di Lautan. Btw, inget kado buku yang pernah dikasih Nirbita nggak? Judulnya Semua Ikan di Langit. Alias kebalikan dari arti dari diri Sekala yang Bintang di Lautan.)
Gitu...
Oh iya, kalian nggak baca secret chapter juga nggak apa-apa. Jadi, selama membaca bab ini ya. Maaf update lamaa...
Jangan lupa vote dan komen biar gue semangat terusss!!! wkwkw
KALAU MALEM, BACA BESOK! TURU REK, TURU!!
_______________________________________
Bab 22. Kejutan untuk Sekala
Enzim katalase itu letaknya di hati. Salah-satu fungsinya yaitu sebagai pengurai racun. Nah, makanya manusia yang nggak punya hati itu kebanyakan omongannya beracun. Ya karena dia nggak punya enzim buat mengurai itu semua.
***
"EH, Rai. Lo inget Naraka nggak?"
Kegiatan Raiden melepas gloves terhenti sejenak. Agak kaget begitu mendengar nama yang sudah lama tidak masuk ke telinganya itu. Namun, tak urung ia bergumam sebagai jawaban.
Lagipula, siapa yang tidak ingat Naraka? Kakak kelas kurang ajar yang menggoda Nirbita dua tahun yang lalu, tepat di hari terakhir masa orientasi siswa. Perkelahiannya dengan lelaki itu tidak dapat dihindari dan sempat menjadi topik hangat pasalnya, ia hanya anak kelas 10 yang baru masuk Xaverius lalu tiba-tiba berani menghajar Naraka yang notabene terkenal berandal di sekolah.
"Kemarin dia ke sekolah. Kayaknya udah tahu kabar putusnya lo sama Nirbita deh." Raiden praktis menaikkan sebelah alisnya. Namun, bukannya menetap untuk mendengarkan penjelasan Kavindra, lelaki itu bergerak ke arah wastafel dekat pintu. Rasa penasaran akan kelanjutannya tidak mampu menandingi bau amis yang menguar di seluruh penjuru laboratorium.
Potongan hati ayam yang dihancurkan sebagai bahan praktek enzim katalase di jam ketiga mampu mengakuisisi aroma antiseptik yang biasa tercium. Makanya, ia bergegas menuntaskan segala urusannya dan cuci tangan agar bisa segera keluar ruangan. Setelahnya, ia menyandarkan tubuhnya pada balkon, menunggu Kavindra dan Barka yang masih belum selesai.
"Jadi, gimana tanggapan lo?" tanya Kavindra begitu sudah menyusul. Mereka menyusuri koridor dengan niat kembali ke kelas untuk meletakkan jas terlebih dahulu sebelum ke kantin tapi sepertinya, tidak untuk Raiden. Sebab, di ujung persimpangan sudah ada Aruna yang sedang menunggu. Gadis itu tersenyum lebar, tenggelam dalam keramaian di sekitarnya.
"Nggak gimana-gimana. Kan cewek gue sekarang Aruna, bukan Nirbita."
Kavindra mendengus. "Dulu aja lo belagu banget ditawarin cewek lain nggak pernah mau, sok-sokan sehidup semati sama Nirbita. Bah, sekarang, malah berpaling ke dedek-dedek emesh."
Barka tertawa. "Perasaan kan dinamis. Ya nggak, Rai?"
"Tergantung service mana yang lebih memuaskan," julid Kavindra. "Emang bener ya. Apapun makanannya, minumnya tetep ludah sendiri," jawab
Raiden tidak menanggapi. Ia tersenyum ke arah Aruna, menyambut ketika gadis itu mengulurkan tangannya. Sementara kedua temannya memilih lanjut ke kelas setelah basa-basi menyapa Aruna terlebih dahulu. "Tumben nyamperin."
"Lagi pengen istirahat bareng aja," kata Aruna.
"Nanti kalau kamu jadi omongan orang-orang gimana?"
Aruna mengedikkan bahunya santai. "Aku nggak peduli sih. Yang penting kan kamu sama kak Nirbita udah bener-bener putus dan sekarang, udah fix pacar aku."
Raiden memilih untuk tidak membahasnya lagi, mereka langsung menuju kantin. Sesampainya di sana, hampir keseluruhan meja sudah penuh. Raiden menarik Aruna ke bagian depan dekat stan soto begitu melihat tempat kosong.
"Kamu mau pesen makan apa? Soto, bakso, atau mie? Beli yang antreannya nggak terlalu rame ya soalnya—," perkataan Raiden terputus saat melihat gerombolan siswi yang tidak asing menuju ke arahnya.
Jantung Raiden berdegup kencang ketika tatapan beberapa dari mereka mengarah kepadanya. Ada canggung yang tidak nyaman. Raiden sudah mencoba untuk tenang, tidak menunjukkan gesture panik ketika mereka semakin mendekat dan obrolan-obrolan itu terdengar jelas terlebih ketika akhirnya mereka melewati lalu berhenti di stan soto belakangnya.
"Kayaknya, hari ini anak IPA 3 juga praktek deh. Coba nanti pinjem ke sana aja."
"Gue nggak begitu kenal mereka."
"Biar gue yang pinjemin, tenang aja."
Raiden kenal pemilik suara-suara itu. Ia berdeham, bermaksud melanjutkan ucapannya tadi namun gerakan Aruna yang tiba-tiba membuatnya menegang. Gadis itu berbalik dengan raut tanpa dosa.
"Kak!!" teriakan Aruna membuat mereka menoleh. Termasuk Nirbita yang berada diantaranya. "Kalau butuh jas lab. Pake punya kak Raiden aja nih," katanya sambil mengulurkan jas yang tadinya tergeletak di meja.
Garin maju beberapa langkah. Tubuh jangkungnya jelas mengintimidasi orang di hadapannya. "Makasih ya atas kebaikannya. Tapi, sorry. Kayaknya, Nirbita nggak selera deh sama bekas cowok orang." Gadis itu menyeringai. "Baunya nggak enak. Like..., a trash."
Aruna yang kalah telak tidak mengatakan apapun lagi Ia merasakan hangat pada telapak tangannya, Raiden menggenggamnya erat. "Nggak usah dimasukin ke hati."
"Kayak yang punya hati aja."
Kalimat itu sukses membuat hening satu kantin. Sampai-sampai, denting sendok yang beradu dengan mangkok juga helaan napas terdengar begitu jelas.
"Rin, gue tahu lo bener tapi udah. Kasian matanya udah berkaca-kaca," kata Acacia menarik temannya itu untuk kembali menghadap depan.
Sementara Nirbita, ia tidak mengatakan apapun. Gadis itu melakukan hal yang sama. Sebab, melihat Raiden dan Aruna bersama hanya membuatnya sakit hati sekaligus malu.
Dulu, satu sekolah menyanjung-nyanjung hubungannya dengan lelaki itu, melabeli dengan 'pasangan sempurna', bahkan selalu jadi perbincangan namun sekarang semuanya berubah.
Kadang, ia merasa, di balik kepedulian teman-temannya, sebenarnya mereka menertawakannya di belakang.
***
"BUSET, ini lo beneran belinya sampe sekilo??" tanya Garin saat Serena melewatinya dan membagi-bagikan telur kepada teman-temannya di belakang. Ia memutar-mutar party popper di tangannya sembari menuruni tangga menuju lantai dasar. "Mending sisanya disimpan aja sih. Sayang banget tahu," ucapnya saat Serena kembali menampakkan diri dan berjalan di sampingnya.
"Ya Tuhan, ini cuma telur biasa bukan telur elang mas ajaib. Lagian, mau buat apaan coba," kata Serena sembari menghitung-hitung sisa telur dalam kresek tanpa menoleh.
"Ya digoreng, dikukus, atau diapain kek. Kalau cuma buat nyeplokin badan Sekala doang mah kebanyakan. Lo mau jadiin dia omelet apa."
"Biarin aja sih.. Kapan lagi kan nge-ospek ketua kelas sendiri? Emang lo nggak mau?" Serena mengangkat satu telur. Menaik turunkan alis dengan tampang menyebalkan. Hal itu membuat Garin mendengus. Namun setelahnya, gadis itu mengulurkan tangan.
"Oke, gue mau tiga."
"Satu aja lah, biar kebagian semua," kata Serena menyerahkan sebutir telur lalu bergegas menyusul Acacia dan Lysanne yang sudah di depan.
"Eh Nirbita nggak dikasih???" teriak Garin.
"Nggak usah. Dia mana tega ngelempar Sekala pake telur!!"
Nirbita yang sejak tadi hanya mengamati keributan-keributan kecil di sekitarnya tidak begitu menanggapi. Ia memilih untuk ngikut saja kemana teman-temannya pergi, tidak banyak protes ataupun bertanya, sebab ia ingin semuanya cepat selesai karena hari ini ada jadwal pemotretan produk di kantor mama. Lagi.
Mereka memasuki area parkiran. Di bawah rindangnya pohon flamboyan, Sekala terlihat berbincang dengan teman-temannya yang kebagian tugas menahan lelaki itu. Tipikal siswa kebanyakan, mereka nampak asik duduk di atas jok motor tanpa peduli pemiliknya. Gelak tawa dan umpatan terdengar begitu jelas saat jarak semakin dekat.
Seperti sinematografi dalam film-film, semua berjalan begitu lambat. Nirbita menahan napas ketika Sekala yang semula membelakangi berbalik dan...
"HAPPY BIRTHDAY SEKALA!!!"
DORRR
SRETTT
SREET
DORR
Sekala langsung lompat dari jok motor, menghindar ketika diserbu konfetti dan snow spray. Gelak tawa tumpah bersamaan dengan gerutuan lelaki itu. "Eh udah udah!!! Ya Allah, ini bikin kotor parkiran nanti gue yang kena."
Tapi, teman-temannya tidak peduli. Mereka baru berhenti ketika amunisi yang dibawa habis tak tersisa. Selagi Sekala membersikan snow pray yang menempel di seragamnya, Acacia mendekat. Gadis itu membuka box kue dengan sebelah tangan. Saat hendak menyalakan lilin, ia reflek menjauh ketika sebuah tangan terulur untuk menjumput rapsberry di atas tartlet. "Jangan dicomot! Gue potong tangan lo ya!" ancamnya sambil mendelik ke arah Kalingga.
"Galak banget sih sama calon suami," cibir Sekala.
"Sekali lagi lo ngomong gitu, gue gebuk dada lo sampe bunyi sirine ambulan."
Sekala terkekeh, tidak ingin membahasnya lagi untuk menjaga mood temannya itu.
Acacia menyalakan lilinnya lalu kembali menghadap Sekala. "Happy birthday, Kala—"
Nyanyian ulang tahun itu diikuti yang lain. Meskipun sudah terbiasa di tahun-tahun sebelumnya, Sekala tetap terharu ketika teman-temannya yang mayoritas titisan abdi neraka itu repot-repot membuat kejutan untuknya.
"Sekarang tiup lilinnya!! Make a wish dulu," kata Acacia semangat.
Sekala tidak benar-benar berdo'a, ia hanya memejamkan mata sebentar kemudian mengibaskan tangannya di atas lilin hingga padam. "Dah. Makasih ya, guys. Meskipun kalian hampir setiap hari bikin emosi, gue sayang banget kok," katanya tulus. Suaranya masih sengau sisa flu kemarin. "By the way, nanti parkirannya jangan lupa dibersihin."
"Kita udah kasih tip ke tukang kebun. Jadi santai aja," kata Amara. "Nah, sekarang kue pertana mau buat siapa nih, La?" tanyanya begitu antusias.
"Ambil sendiri aja, biar cepet."
"Eitt nggak bisa gitu dong. Ini kita sengaja loh custom 35 tartlet biar pas ketika lo bagiin," protes Acacia.
Sekala berdecak. Tidak ingin debat panjang lebar dengan sekretaris kelasnya itu, ia mengambil tiga sekaligus menyerahkan pada Arshaka, Tenggara, dan Kalingga secara berurutan.
"Kok mereka sih?"
"Kan sahabat gue."
Acacia memutar bola matanya malas. "Oke, next!"
"Harus urut menurut isi hati loh," timpal Serena
"Harus jujur! Jangan golput!" tambah Lysanne.
Sekala menarik napas, mengembuskan pelan agar sabarnya tidak menguap. Ia mengambil alih box dari Acacia lalu memberikan tartlet keempat untuk Amara. Sebelum yang lain protes, ia lebih dulu berkata. "Karena dia wakil gue. Jadi, gue berterima kasih udah dibantu ngurusin anak-anak sejenis kalian."
Sekala benar-benar di luar prediksi. Lelaki itu memberikan 10 tartlet di awal untuk seluruh pengurus kelasnya. Setelah itu pada barisan ruas tempat duduknya hingga tersisa setengah. Hal itu membuat Serena yang notabene pengepul gosip dan shipper Sekala Nirbita garis keras, langsung menarik kerah belakang Sekala agar ia kembali ke depan dan berhenti membagi-bagian tartletnya lagi.
"Kok Nirbita nggak dikasih-kasih??!"
"Gantian dong."
"Harusnya lo tadi kasih Nirbita dulu!!"
"Kenapa gitu?" tanya Sekala sok polos.
"Ya emang harus gitu!"
Tenggara menutup mulutnya. Ia gatal mengatakan fakta yang ditemuinya tadi malam di apartemen Sekala namun ketika Arshaka melotot seolah kode agar ia diam, sebisa mungkin lelaki itu menahan diri.
"Nirbita nggak makan beginian," kata Sekala. "Tartlet kalorinya 371, ditambah whip cream 345, belum lagi toping yang lain dan kalau dijumlah itu jadinya sekitar 700 kalori lebih. Sedangkan Nirbita dalam sehari cuma konsumsi 1.100 kalori—" Sekala baru sadar kalau ia keceplosan banyak tahu fakta tentang gadis itu ketika mendapati teman-temannya hanya melongo. Sialnya, sudah tahu tenggelam, Sekala malah makin menenggelamkan diri ke dasar kebodohan. "Dan sekarang masih sore. Kalau dia ngabisin stok kalori cuma buat makan ini, nanti malam dia nggak bakal makan lagi."
Tatapannya bertemu dengan Nirbita. Gadis itu berdiri di antara yang lain. Semula, raut wajahnya nampak kaget namun kemudian senyum itu perlahan terukir. Meneduhkan seperti angin yang tiba-tiba datang dari pelataran.
CTAS
"Anjing!" umpat Sekala saat sebuah telur mendarat tepat di dahinya. Ia melihat Garin menjulurkan lidah dengan gaya menyebalkan. Belum sempat Sekala meletakkan box kuenya, serangan bertubi-tubi datang. "Eh stop!! Anjing gue gimana baliknya!!! Woy!!"
"Makan nih kalori telor!!"
"Lagak lo bahas kalori, ke sekolah aja jarang pake kolor," cibir Arshaka dan melempar telur mengenai bahu.
"Gue pake ya! Lo..., ah!! Udah udah!" geram Sekala. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan lengan atasnya ketika lendir amis mengalir dari arah kepala.
"Comelnya," ucap Tenggara dengan gelak tawa di akhir. "Lihat! Pakar kalori kita udah mirip cilor. Tinggal cemplungin ke minyak aja!"
"Cilor kalorinya berapa sih, La? Kalau Nirbita makan itu, nanti malam masih makan lagi nggak?" goda Kalingga.
"Bacot sia. Lagian, siapa sih yang punya ide beginian?? Mana besok seragamnya dipake!" dumel Sekala.
"Tinggal laundry," jawab Garin.
"Udah sore. Mana bisa diambil besok."
"Bisa-bisa aja lah. Lo jangan banyak ngomel deh," kata Serena.
Sekala makin dongkol. Tidak ingin menderita sendirian, ia memeluk Arshaka yang berdiri di dekatnya, mentransfer semua kotoran yang menempel di bajunya.
"Bangsat!!" umpat Arshaka. "AMISSS GOBLOK!!"
Sebelum diamuk, Sekala beralih ke yang lain membuat teman-temannya berlarian dan menjerit ketakutan.
"Kalau sampe lo sentuh gue, gue cabut ginjal lo ya AAAAA SEKALA!!! LEPASIN ANJING!!" Garin histeris ketika Sekala merangkul dan meraupkan kuning telur ke wajahnya.
"AMPUN!!!! GUE BAKAL TULIS ABSEN LO A SEMUA KALAU LO PELUK GUE!!!"
"Wait!!! I nggak ikut-ikutan ngelempar tadi ya, La! You jangan sampai aaaa shit—"
Mereka terus kejar-kejaran di parkiran. Saling berteriak dan mengumpat. Sesekali terbahak bersama. Hal itu membuat mereka menjadi tontonan beberapa murid yang tersisa. Bahkan sekitar dua orang guru sampai menegur sebelum akhirnya mengucapkan selamat kepala Sekala.
Nirbita hanya tersenyum. Gadis itu memilih menunggu di pinggiran sembari melihat keseruan di depannya. Ada keinginan untuk bergabung tapi ia terlalu takut mengambil resiko dan mengacaukan semuanya jika asmanya kambuh.
Ia geleng-geleng kepala begitu melihat Sekala berjalan ke arahnya, merentangkan tangan. Ia pikir, Sekala akan memeluknya namun, yang dilakukan lelaki itu selonjoran di dekatnya dengan napas memburu.
"Capek banget," keluhnya.
"Bersihin dulu di kamar mandi, abis itu pulang."
"Bentar, masih ngumpulin tenaga," jawabnya sedikit terengah.
"Lo bawa jaket nggak?"
Sekala merengut. "Nggak. Apes banget hari ini."
Nirbita mendudukkan dirinya di sebelah Sekala. Ia memperhatikan bulir peluh yang menetes di pelipis lelaki itu, jatuh dan menyatu dengan kain seragam di pundaknya. "Hoodie yang pernah lo pinjemin ada di loker gue. Lo pake itu aja biar nggak masuk angin. Bentar lagi gue ambil."
Belum sempat menjawab, teman-temannya yang lain datang menghampiri.
"Eh curang! Nirbita seragamnya masih bersih!" kata Acacia. Gadis itu sudah menghampiri hendak merangkul namun Sekala lebih dulu menghadang dengan sebelah kaki.
"Udah sana pulang! Kalau enggak gue peluk lo," ancam Sekala. Kemudian, lelaki itu berdiri dan menatap Nirbita. "Ayo, Ta," katanya.
"Eh eh mau kemana??" tanya Acacia heboh.
"Mau ke kamar mandi," jawab Sekala. Ia mengambil tasnya yang tergeletak begitu saja. Melihat box kue berada dekat dari jangkauannya, ia membuka dan melihat beberapa isinya di sana. "Eh ini habisin ya. Gue minta satu aja," katanya sambil mengangkat satu tartlet. "Sekali lagi makasih ya. Gue sangat menghargai effort kalian. Besok, gue traktir semuanya makan di kantin deh."
"Yah kantin doang. Open table dong, La," kata Lysanne.
"Nggak. Ini udah mau lulus jadi fokus belajar jangan mabok-mabokan mulu," tolak Sekala. Lantas, ia mengulurkan tangan pada Nirbita dan menatap Garin setelahnya. "Rin, Nirbita sama gue ya?"
Garin mengangguk. "Jangan aneh-aneh."
Sekala nyengir kemudian melewati gerombolan temannya. Hingga sebuah teriakan menyebalkan terdengar dari mulut kampret Tenggara. "Emang yang tadi malem dia apartemen nggak cukup?!!"
Sebelum dicegat Garin dan diwawancara ini itu, Sekala dan Nirbita kompak lari untuk menghindar. Derap langkah terdengar menggema di koridor yang sepi, napas saling memburu, juga degup jantung mengetuk dengan ritme mendekati maksimal. Tangan yang saling bertaut itu saling bersinergi, mengalirkan kekuatan dan rasa dingin di saat bersaman. Bahkan, mereka tidak menyadari itu. Tidak, hingga gelak tawa itu pecah ketika keduanya bersitatap dalam ruang yang lebih hangat.
"Kita kayak yang lagi dirazia satpol pp tau nggak," kata Sekala begitu berhenti dan terbatuk pelan.
Tawa Nirbita perlahan surut. Tanpa bisa dikendalikan, ingatannya justru beralih pada saat-saat ia dan Raiden bertemu Giacinta. Hal itu membuat segala warna yang baru saja muncul di kepalanya mendadak kembali kelabu.
"Eung..., lo langsung ke kamar mandi aja, La. Biar gue yang ambil hoodienya," kata Nirbita.
Meskipun agak bingung dengan perubahan raut wajah Nirbita, Sekala mengangguk, maka begitu menginjak lantai 3 lelaki itu berbelok ke arah kanan sedangkan Nirbita berjalan terus ke arah kelas. Mengingat hari semakin sore, gadis itu sedikit berlari. Sesampainya di kelas, ia langsung menuju loker paling belakang, meraih hoodie lalu bergegas menghampiri Sekala.
Langkahnya terhenti begitu mendapati gerombolan anak kelas sebelah berkumpul di depan kamar mandi. Mereka nampak memasang sepatu futsal dengan seragam yang sudah berganti jersey. Ada Raiden di antara mereka, makanya ia memilih untuk berbalik dan menunggu di dekat tangga.
Saat mendengar derap langkah mendekat, jantungnya berdegup kencang. Ia mencengkram hoodie di tangannya, mengatur napas yang terasa berat dan menggigit bibir bawahnya.
"Ta?"
Nirbita menoleh. Ia lega sekaligus tercekat saat mendapati Sekala basah kuyup dengan kemejanya yang menempel, sehingga membentuk tubuh atletisnya. "Kok jadi basah semua?"
"Gue cuci bajunya. Lengket sih," katanya sambil mengambil alih hoodie di tangan Nirbita lalu memasangnya secepat kilat. Setelahnya, lelaki itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Nih, buat lo."
Nirbita menaikkan sebelah alisnya.
"Ini bersih kok. Sebelum ke kamar mandi gue bungkus tisu terus dimasukin ke tas. Dan tasnya juga nggak gue bawa ke kamar mandi, gue tinggal di—"
"Makasih, La." Nirbita meraih tartlet itu. Yang membuat Sekala kaget adalah ketika Nirbita membaginya jadi dua bagian dan mengulurkan salah-satu bagiannya. Kepadanya. "Kalau dibagi dua jadinya 350 kalori. Jadi, gue masih bisa makan malam nanti."
Sekala mengumpat dalam hati. Ia mendadak tidak fokus gara-gara hitungan kalori anjing sialan itu. Bahkan, ia tidak menyadari ketika tangannya sedikit shaking saat mengambil potongan tartlet dari Nirbita.
"Ah elah kalah gercep sama Sekala nih gue!"
Sekala dan Nirbita langsung menoleh ke arah suara. Gerombolan siswa yang dimaksud Nirbita tadi berjalan mendekat. Ada sekitar 5 orang yang Nirbita hafal namanya di luar kepala sebab, ketika masih bersama Raiden ia sering menemani lelaki itu main futsal ataupun basket bersama teman-teman. Meskipun pada kenyataannya, ia tidak begitu akrab dengan mereka.
"Kata gue nih, harusnya dari dulu aja mereka begini. Ya nggak, Raiden?" timpal Kavindra.
"4 tahun bro, 4 tahun putus terus dapet kakak dari pacar mantan pacarku." Gael menambahkan.
"Lo kata sinetron Indosiar?!" Yuta tertawa.
"Jangan bilang Nirbita deketin Sekala buat balas dendam ke Aruna nih.." ucap Braga asal.
"Heh, omongan lo dijaga," tegur Barka.
"Kelepasan.."
Suasana mendadak awkward, begitu hendak melewati Sekala dan Nirbita, keempat orang yang tadi ceng-cengin itu nyengir tanpa dosa. Dengan kompak mereka membungkuk, "duluan ya, La, Ta." Setelahnya ngacir begitu saja.
Nirbita melihat jelas perubahan raut wajah Sekala. Lelaki itu melahap tartletnya dengan pandangan ke arah bawah. Pada lantai koridor dasar yang sebenernya tidak ada apa-apa di sana.
"La.." panggil Nirbita.
Sekala menoleh. "Ya??"
"Gue nggak deketin lo karena mau balas dendam ke Aruna, kok," ucap Nirbita seolah meluruskan hal barusan. "Itu kekanakan banget."
"Gue tahu. Kan diantara kita, gue yang deketin lo bukan lo yang deketin gue." Sekala tahu ia terlalu blak-blakkan. Tapi, ia rasa ia tidak memiliki lebih banyak waktu lagi untuk mengulur-ulur agar Nirbita tahu perasaannya.
Dua tahun lebih ia menunggu gadis itu, memberinya salah-satu tempat paling luas di hatinya, dan sekarang, meskipun takdir lagi-lagi mempermainkan, ia ingin setidaknya Nirbita sedikit mengerti bahwa segala hal yang dilakukannya selama ini bukan hanya soal kepedulian sebagai teman, tapi lebih dari itu.
Sayangnya, Sekala tidak melihat apapun. Raut wajah Nirbita sama sekali tidak terbaca. Gadis itu hanya menatapnya tanpa mengatakan apapun sebagai respon dari ucapannya tadi. Maka, Sekala mengembuskan napas samar. Ia menggigit bibir dalamnya dan memaksakan senyum lebarnya. "Jadi, kapan nih berburu senjanya?" tanya Sekala seakan mengalihkan pengakuannya tadi.
"Yang jelas bukan sekarang."
Lidah Sekala terasa kelu. Ada sesak yang menyelip di dadanya, mengapit paru-paru dan menyalurkan sakit ke bagian hati. "Gue udah sehat kok."
"Tapi lo bisa nggak sehat lagi kalau maksain diri keliling Jakarta pake baju basah begini. Lagian..., hari ini gue sibuk." kata Nirbita membuat bahu Sekala luruh seketika.
____________________________________
clue next chapter ;
"Gue udah jauh-jauh dari Depok loh, Ta."
"Gue nggak pernah nyuruh lo dateng."
Oke, spam for next
Sama satu lagi,
Buat yang mau gue tag di twitter untuk update AU di atas (latar ketika Sekala, Nirbita, dan Raiden kelas 10), langsung tulis uname twitter kalian aja di kolom komentar sini ya.
Atau kalian bisa follow aku twitter (yupitawdr) dulu. Oke..
See u on the next chapter!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top