Bab 21. Langit di Apartemen Sekala

Hallo,  btw kangen Sekala nggak sih? kalau kangen, follow instagramnya dong!! @sekaladiwangkara

Oh iya, sebelum baca ayo vote dulu sampe 1000 biar semangat!!

Eung.. sama satu lagi, gue mau kasih info kalau mau bikin few AU untuk Raiden dan Nirbita di twitter, biar kalian tahu kalau Raiden tuh emang cinta banget bucin jungkir balik dulu..

Oke deh!

SELAMAT MEMBACA!!
__________________________________

Bab 21. Langit di Apartemen Sekala

Selama matahari masih punya banyak alasan kenapa dia tidak boleh berhenti bersinar, berarti kita juga demikian.

***

CHALK
Chalk, chalk! chalk!
Rudy's got the chalk!

Masih jam setengah 6 pagi dan Sekala sudah terbangun dari tidurnya karena suara berisik di luar. Lelaki itu  mengusap matanya lalu mengerjap. Theme song Chalkzone terdengar semakin jelas. Ia menguap, bengong sebentar sebelum akhirnya turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu.

Di ruang tengah, TV menyala menampilkan tayangan kartun dunia kapur kesukaan Aruna. Sementara di balik pantry, mama terlihat sibuk menata peralatan masak yang baru saja selesai di cuci.

"Loh, kok udah bangun?" tanya mama begitu ia menghampiri.

Sekala hanya bergumam pelan dan memeluk mama dari samping. Alih-alih membuat mual seperti stella jeruk di mobil papa, wangi lemon sabun cuci yang menguar dari tubuh mama justru menenangkan. “Pagi..” sapanya dengan suara serak khas orang bangun tidur. Sadar akan suatu hal, ia melepaskan diri lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Mencari sumber kegaduhan yang mengusiknya tadi. "Papa sama Aruna mana? Perasaan tadi berisik banget,” dengusnya.

"Baru aja pulang. Aruna kan nggak bawa seragam,” jawab mama seraya menggantung teflon di hook bawah kabinet.

“Ohh..” Sekala beranjak untuk mengambil gelas lalu mengisinya di dispenser. Kemudian, ia menarik kursi untuk duduk.

Kemarin malam, keluarganya memang datang ke apartemen untuk merayakan ulang tahunnya. Berhubung ia sakit, tidak ada acara makan malam seperti biasa. Jadi, mereka hanya berkumpul, menceritakan beberapa hal lalu menginap tanpa persiapan apapun. Setelah itu ya..., tidak ada. Memang sebaiknya begitu sebab ia dan Aruna tidak begitu pandai berbohong soal hubungan mereka.

“Hari ini jangan masuk sekolah dulu, La. Istirahat total sampai benar-benar sembuh. Biar nggak drop lagi,” kata Mama sembari meletakkan satu mangkok sop telur jagung di atas meja makan. Wanginya cukup menggugah selera makan Sekala yang akhir-akhir ini tertimbun sakitnya. Namun, mendengar ucapan mama barusan, bahunya malah meluruh.

“Aku udah nggak apa-apa loh, ma.”

“Jangan ngeyel deh. Tadi mama cek badan kamu masih panas,” katanya sambil mengangsurkan satu piring nasi. “Lagian, ini udah siang. Percuma, telat nanti.”

Sekala ingin protes namun yang dilakukannya kini malah menurut. Membantah mama hanya akan membawanya ke lorong panjang dengan ujung sebuah kemenangan bagi perempuan itu.

“Lain kali, kalau sakit bilang ya. Jangan diem-dieman kayak gini lagi,” kata Mama yang kini duduk di seberangnya.

“Iya, ma.”

“Jangan iya-iya aja. Kamu tuh susah dibilangin kalau soal kesehatan,” omel Mama. “Coba kalau mama sama papa nggak ke sini tadi malam. Gimana?”

“Palingan paginya aku udah kaku,” canda Sekala yang dihadiahi pelototan oleh Mama.

“Kalau ngomong tuh difilter. Mati beneran gimana? Nggak happy ending nanti kamu sama..., siapa tuh? Nirbita ya?”

Wajah Sekala sontak memanas. “Apaan sih. Itu cuma temen.”

“Temen tapi mesra,” goda mama.

Sekala mendengus, tidak menjawab lagi. Mereka melanjutkan sarapan ditemani suara Painty yang menjadi opening kartun Spongebob sambil berbincang banyak hal. Tentang sekolah, rencana dan jalan hidup yang akan diambil, juga selipan candaan tentang Nirbita yang kini menjadi hal seru untuk dibahas oleh mama. Berulang kali mama mengatakan Nirbita cantik dan ingin bertemu, berulangkali pula ia mengelak lalu mengalihkan topik. Suasana menjadi lebih hangat. Dari balik pintu kaca balkon, Sekala dapat melihat langit begitu cerah. Bertolak belakang dengan perasaanya yang mendadak hampa, mengingat sudah dua hari ia tidak sekolah dan..., bertemu Nirbita. Kalau ditambah hari ini berarti jadi tiga dan itu menyebalkan.

"Emang, hari ini mama nggak kerja ya?” tanya Sekala saat tanpa sengaja melihat jam.

“Oh iya, mama belum cerita ya kalau mama mau resign dalam waktu dekat?”

Sekala hampir tersedak kuah sopnya begitu mendengar pernyataan sekaligus pertanyaan mama. “Resign? Kenapa?”

"Biar fokus ke kamu sama Aruna."

Sekala menyelesaikan makannya. Kini, atensinya teralih penuh ke arah pembicaraan mama. Pasalnya, mama sangat mencintai pekerjaannya. Bahkan, saat menikah, perempuan itu tetap mempertahankan profesinya sebagai arsitek sekalipun hidupnya telah terjamin. Bagi mama, kertas birmet, rapido set, dan AutoCAD jauh lebih menyenangkan digenggam daripada tangan papa. Lantas sekarang, hanya karena dua anak kecil berbentuk Aruna dan dirinya, mama mengalah?

"Mama ngerasa bersalah karena jarang ada waktu buat kalian. Sampai kadang nggak kerasa kalau udah lewati banyak hal. Tiba-tiba, kamu udah hidup sendiri. Tiba-tiba Aruna udah bukan anak kecil yang lugu lagi."

Bulu kuduk Sekala meremang. Dari nada bicaranya, ia yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres. "Ehh..., tapi apa yang mama dan papa kasih tuh udah cukup banget kok. Nggak ada yang kurang. Waktu, materi, cinta, semuanya udah pas. Jadi nggak perlu ditambahin lagi dengan cara ngurangin yang udah pasti."

"Kalau pas, kamu nggak bakal pergi dari rumah..."

"Bukan gitu. Aku tinggal di sini karena pengen belajar mandiri aja. Apalagi, lebih dekat dari sekolah. Bukan karena mama."

Melihat mama tersenyum, justru membuat jantung Sekala berdegup kencang. Perasaannya langsung tidak enak.

"Mama tahu, La. Mama tahu tentang kamu dan Aruna."

Sekala tercekat.

"Aruna kan yang bikin kamu pergi?"

***

ESSENCE Darmawangsa, tower south, lantai 23, unit ESDD010

Nirbita membaca ulang alamat yang tertera di grup tepat ketika mobil sudah memasuki jalan Prapanca. Gadis itu mengembuskan napas. Tinggal belok kanan dan menyusuri kawasan Brawijaya maka ia akan sampai di tujuan. Kalau bukan karena rasa bersalah, mungkin sekarang ia sedang berada di rumah bukan di perjalanan menuju apartemen Sekala.

Sebenarnya, ini bermula dari pertanyaan Acacia tadi pagi yang pada akhirnya membuka obrolan panjang tentang lelaki itu.

"Eh, Sekala absen lagi ya?"

Lalu, tepat sebelum jam pertama dimulai, mereka menghabiskan waktu untuk membahasnya. Bukan semata-mata karena rencana kejutan ulang tahun kembali gagal namun karena tidak biasanya Sekala absen dalam kurun waktu lebih dari sehari. Di tengah perbincangan itulah, Garin menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Termasuk fakta bahwa yang mengantar dan menggendongnya ke unit apartemen adalah..., Sekala.

Makanya, sore ini, dengan keberanian yang entah datang dari mana, ia bermaksud menjenguk sekedar memastikan keadaan lelaki itu. Meskipun, ketika mobil melewati portal dan berhenti di depan lobi, ia hanya turun dengan pikiran berkecamuk. Perutnya mulas membayangkan kalimat apa yang harus ia lontarkan terlebih dahulu. Bahkan, saat mengisi buku tamu dan menyerahkan kartu identitas pun perasaannya mengambang hingga langkahnya terayun menuju lift dan sampai di unit yang dituju.

Dengan keberanian yang masih tersisa, gadis itu memencet bel di samping. Ia pikir, alurnya seperti di film yang pernah ditontonnya bersama Garin. Butuh berkali-kali usaha agar pemiliknya keluar, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Pintu dibuka tepat ketika ia belum genap menghitung sampai delapan, Sekala muncul dengan rambut acak-acakan, sedikit menutupi byebye fever yang masih menempel di dahinya. Padahal, kalau melewati sepuluh, ia akan berbalik pergi.

"Loh?!"  Sekala nampak kaget. Lelaki itu melepaskan pegangannya pada gagang pintu lalu menatap Nirbita seolah benar-benar memastikan penglihatannya. "Nirbita? Ngg... kok?"

"Hai.."

Sekala menahan napas sebentar, kemudian melihat ke ujung koridor yang sepi. "Sama anak-anak ya?"

"Anak-anak siapa?"

"Eh.. anak-anak kelas..." Sekala menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ini buat surprise ulang tahun gue kan?" tanyanya percaya diri, padahal ia mati-matian menahan gugup.

Nirbita menggeleng. "Nggak. Gue datang sendiri." Gadis itu berdeham, tenggorokannya mendadak kering. "Gue mau jenguk lo. Sekaligus mastiin kalau lo baik-baik aja."

"Hah?"

Degup jantung Nirbita semakin tak terkendali. Ia meringis karena benar-benar tidak bisa menerjemahkan respon dari Sekala. "Gue ganggu waktu istirahat lo ya? Sorry, gue—"

"Nggak kok!! Sama sekali nggak ganggu!" Sekala cepat menjawab. Ia menahan diri agar tidak berteriak saat mengatakannya. "Gue..., cuma kaget aja tiba-tiba lo dateng." Ia menggaruk pipinya yang tidak gatal, kemudian memalingkan wajahnya yang mungkin sudah tidak tertolong dengan gerak halus. "Euh.. ya udah, masuk dulu yuk. Nggak enak ngobrol di luar." Lelaki itu mendorong handle lebih lebar, memberi ruang agar Nirbita masuk lebih dulu.

Meskipun ragu, langkah Nirbita terayun melewati pintu. Ia  melepas sepatunya dan meletakkan di rak. "Lo tinggal sendiri ya?" tanyanya basa-basi sembari menatap Sekala yang sibuk merapikan rambutnya.

"Iya, kenapa?"

"Nggak apa-apa."

"Gue punya beberapa pisau kok. Lo bisa pakai salah-satunya kalau gue macem-macem." Sekala berjalan mendahului, membuat Nirbita mengikuti langkahnya hingga berhenti di sebuah dapur yang terhubung langsung dengan ruang tengah. Lelaki itu bergerak ke arah stand holder dekat kompor, menarik sebilah pisau lalu menyerahkan pada Nirbita. “Nih pegang,” katanya.

Nirbita mengangkat ujung bibirnya. "Emang lo berencana buat macem-macem ya?"

"Ya.. nggak sih." jawab Sekala salah tingkah. Ia menyugar rambutnya sebelum berbalik. "Lo duduk dulu gih, gue bikinin minum dulu."

“Nggak usah," cegah Nirbita sembari menarik ujung kaos Sekala. "Nggak usah repot-repot. Gue..., lagi diet gula," katanya asal.

Sekala menunduk, melihat bagaimana tangan Nirbita menjauh perlahan. Sudut bibirnya berkedut menahan senyum. "Oke, jadi?"

"Air putih aja."

"Ya udah. Tunggu di sofa dulu sana."

Sebenarnya, Nirbita bisa saja menarik kursi di dekat pantry atau duduk di sofa seperti yang Sekala bilang. Tapi, seperti dihipnotis cahaya matahari, ia malah berjalan terus ke ujung ruang tengah dan berhenti di depan jendela balkon. Tangannya menyentuh tuts-tuts console piano di dekatnya, ia mengangkat reed diffuser yang terletak di sana lalu mencium aroma aquatik yang terasa tidak asing. Gadis itu membeku, ia merasakan ada angin yang masuk di punggung, terus menjalar ke tengkuk, berhenti di kepala. Memorinya berkelana jauh, membentur dinding-dinding ingatan dan..

"Mau ke balkon?"

Nirbita menoleh. Ia mendapati Sekala datang membawa satu gelas air dan piring berisi buah-buahan. Belum sempat menjawab, lelaki itu sudah menarik kuncian dan menggeser jendelanya. Angin langsung berebutan masuk. Dari ketinggian 23 lantas hembusannya begitu kencang.

"Tadi dianter siapa ke sini?" tanya Sekala ketika mereka duduk bersisian. Basa-basi.

"Sopir."

Sekala mengangguk-angguk lalu mengusap tengkuknya. Matanya tidak lepas memandangi Nirbita dari samping. Merekam segala kecantikan gadis itu sebanyak mungkin. Bulu mata lentik, rambut pendeknya yang dibiarkan terurai, juga hidung mungil yang membuat Sekala kadang-kadang gemas untuk menariknya. "Makasih ya udah jenguk gue."

Nirbita menoleh, membuat Sekala sedikit kelabakan. "Harusnya gue yang bilang makasih karena lo udah baik banget, sering bantuin gue. Bahkan, kemarin-kemarin lo sampe hujan-hujanan dan sakit begini."

"Jadi karena itu ya lo jenguk gue?" Sekala sedikit kecewa. Tapi, ia kembali sadar ; ya memangnya karena apa lagi?

"Iya.. sama gue mau kasih ini sih." Nirbita mengulurkan paperbag yang sedari tadi dibawanya, membuat Sekala bingung namun tak urung mengambilnya. "Selamat ulang tahun, Sekala." Gadis itu tersenyum tulus. "Gue nggak tahu kebutuhan ataupun kesukaan lo tapi di artikel yang gue baca, kayaknya lo suka ini..."

Sekala melongok isinya dan menatap Nirbita, beberapa kali hingga ia mengeluarkan buku Semua Ikan di Langit-nya Ziggy dan varsity jacket keluaran terbaru Tommy Hilfiger yang kalau ditebak budgetnya pasti bukan main. "Kok... ya ampun. Ini kebanyakan."

"Itu cuma dua jangan berlebihan deh..." kata Nirbita. "Lagian, harusnya gue kasih tiga karena udah ngelewatin ulang tahun lo selama itu."

"Yang bener aja!!" pekik Sekala. Dua kado saja cukup membuatnya kaget dengan effort gadis di sampingnya itu, apalagi kalau lebih dari itu. "Bagi gue, kedatangan lo aja udah lebih dari cukup. Lebih dari sekedar surprise. Lo tuh..., geraknya tiba-tiba banget," ucap Sekala pelan yang masih didengar Nirbita.

"Tiba-tiba gimana?"

"Ya gini..." Sekala agak greget. "Lain kali kalau mau ke apartemen, mau kasih kado, atau mau ngapain bilang dulu ya."

"Kenapa gitu?"

"Biar gue nggak kaget."

Nirbita tertawa. Ia mengalihkan pandangannya kembali pada langit yang perlahan berganti warna kemerahan. Siluet gedung-gedung pencakar langit seperti lukisan yang pernah ia jumpai di pinggiran Braga waktu itu. Waktu ia dan Raiden liburan ke Bandung tahun lalu. Dalam hati, seperti di senja-senja yang pernah dilewati, ia berbisik ; ayo, bawa aku ke ruang yang lain.

"Di sini langitnya bagus ya."

"Iya. Sering-sering aja ke sini."

"Alasannya?"

"Lihat langit."

Nirbita merapikan rambutnya yang sedikit terbawa angin lalu menatap Sekala sekali lagi. "Waktu itu, ada orang yang ngajak gue berburu senja di Jakarta. Tapi orangnya malah sakit duluan. Jadi, gagal deh..."

"Ya kan bisa lain waktu. Pas orang yang ngajak udah sembuh."

"Iya juga sih. Tapi, kira-kira masih berlaku nggak ajakannya, atau jangan-jangan cuma bercanda aja?"

Sekala menaruh memutar tubuhnya agar sepenuhnya menghadap Nirbita. Sebelah tangannya dibiarkan terulur pada sandaran kursi hingga jemarinya bergesekan dengan helai rambut gadis di depannya itu. "Coba tanyain orangnya langsung dong. Buat mastiin."

"Sungkan. Dibilang dia masih sakit. Masih pake byebye fever di kepalanya."

"Hah?" Tangan Sekala terarah langsung ke dahi, detik selanjutnya wajahnya memanas. Ia segera melepas kompresan itu lalu mengumpat dalam hati. Jadi, dari tadi ia berpenampilan seperti itu di hadapan Nirbita? Ya Allah, boleh tidak waktunya di ulang aja? Biar ia bisa mandi, rapi dan wangi, bukan berpenampilan seperti sekarang? Memalukan.

Sebenarnya, Sekala ingin membela diri dan menjelaskan kalau ia memang suka memakai benda tersebut sekalipun tidak dalam keadaan sakit. Seperti ketika ia begadang mengerjakan soal-soal fisika atau matematika. Karena memang dingin..., sejuk. Tapi, melihat tawa Nirbita yang sudah keburu meledak ia mengurungkan niatnya. Ia lebih suka melihat wajah gadis itu merah padam, lebih hidup, tidak datar seperti biasanya.

"Ta.." panggil Sekala ketika semua reda.

"Ya?"

Sekala memberikan gelasnya agar Nirbita minum. Sebab, suara gadis itu mulai serak. "Selain senja, di sini tuh juga bagus buat lihat bintang. Lo mau nggak nanti lihat bar—" Sekala tidak melanjutkan perkataannya, ia reflek menoleh ke belakang begitu pula Nirbita yang baru menyelesaikan minum.

Ethan tersenyum tanpa dosa. "Eh.. Sorry ganggu. Gue cuma mau numpang toilet. Kalian lanjut aja lihat langitnya. Hari ini lagi cerah banget emang." Setelahnya lelaki itu pergi, tidak lama kembali lagi hanya untuk berkata, "kalau mau lihat bintang bareng, teleskopnya di kamar yang biasa gue pake ya, La. Kemarin gue pinjem buat lihat mars. Mau ngungsi ke sana soalnya."

Sekala menarik napas dan mengembuskan pelan. Sejak kapan ia punya teleskop??

Ethan emang setan.

___________________________________________

Gue mau cerita, sebenernya tuh nih chaper udah lama cuma dibongkar, direvisi terus karena gue lagi di titik nggak percaya diri sama tulisan gue. Gue ngerasa dialognya kaku dan narasinya jelek, banyak pengulangan kata gitu. Jadi maaf ya updatenya lama.

Gue tuh apa-apa harus sempurna padahal nggak boleh gitu, gue tahu. Tapi, gue bakal belajar mengendalikan gue sedikit demi sedikit. Maaf banget pokoknya udah nunggu lamaaa banget.

Kalian gitu nggak? Maksudnya, detail gitu... eurhhh aneh tapi ya udah lah.

Semoga suka ya sama chapter ini

SPAM FOR NEXT

Bonus foto ;

(Sekala)


(Kak Ethan)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top