Bab 20. Sakit yang Tergantung pada Luka
Hello, apa kabar? Masih belum tidur?
Kalau cape, baca besok.
Btw, nek moco ojok lali komen talah. Vote pisan brow..
Oh iya, di chapter ini mungkin lebih banyak narasi, jadi pelan-pelan bacanya. Resapi, perlahan, terus... masukin ke hati.
OKE DEH. SELAMAT MENBACA!!
VOTE & KOMEN DULU!!
___________________________________
Bab 20. Sakit yang Tergantung pada Luka
Statusnya mungkin udah beda. Tapi, perasaanku masih sama.
***
RENCANA awal untuk kejutan ulang tahun Sekala itu kurang lebih begini ; Nirbita harus masuk ke apartemen lelaki itu entah bagaimana caranya. Mau alasan menumpang toilet atau tinggal selamanya pun teman-temannya tidak peduli yang jelas ia harus masuk ke
sana. Ke dalamnya. Lalu, Tenggara akan menghubungi Sekala untuk dimintai tolong. Saat lelaki itu pergi, Nirbita harus tetap berada di apartemen untuk membukakan pintu agar teman-temannya masuk dan mendekor ruangan sebelum Sekala kembali.
Tapi, berhubung hari ini Sekala tidak masuk, semua rencana tanpa second plan itu ambyar. Alih-alih mencari jalan keluar paling logis, teman-temannya justru mengambil keputusan yang menurut Nirbita terlalu aneh dan berbahaya. Ia jelas menolak namun, final keputusan sepertinya tidak dapat diganggu gugat.
"Lo cuma perlu ke sana. Jenguk Sekala terus kasih dia obat tidur biar kita bebas dekorasi apartemennya," kata Serena enteng. "Emang lo nggak kasihan kalau Sekala harus pergi nyamperin Tenggara dulu? Mana Jaksel panas ya kan? Terus dia juga lagi sakit."
Dan Nirbita hanya melongo. Dua tahun lebih menghabiskan setengah waktu hidup bersama mereka membuatnya sadar bahwa, ada banyak hal yang tidak ia mengerti. Termasuk pola pikir manusia-manusia di hadapannya itu.
"Emang lo nggak kasihan dia sakit dan masih harus gue suguhi obat bius?" balas Nirbita. Gadis itu mengangkat tangannya saat salah satu dari mereka akan menyela. "Gue pikir, nggak ada opsi yang benar-benar baik buat Sekala. Kalian cuma..., memperumit semuanya. Kenapa nggak dibikin sederhana aja?" lanjutnya. "Sesederhana kita datang ke apartemen dia, kasih surprise tanpa harus dekorasi dan drama lainnya. Kalau nggak, kita tunda dulu sampai Sekala sembuh."
"Tapi moment ulang tahunnya nggak bisa diulang, Ta."
"Tapi kita bisa ciptain kembali momentnya. Entah itu besok, lusa, atau mungkin di ulang tahun selanjutnya. Tahun depan mungkin..."
Acacia menggeleng. "Kalau dia keburu mati dulu gimana? We never know kan? Lagian tahun depan kita juga udah nggak mungkin bisa rayain bareng-bareng dalam formasi lengkap."
"Ya makanya, untuk memperlambat kematian yang lo maksud itu, kita tunda dulu sampai Sekala sembuh. Biar dia bisa istirahat." Nirbita meremas jemarinya. Ia memejamkan mata sejenak lalu kembali menatap teman-temannya. Acacia yang berdiri sambil bersedekap, Serena yang bersandar di mejanya, Garin yang bertumpu tangan menyaksikan, juga Amara yang hanya bersikap netral. "Menurut gue, kesehatan Sekala jauh lebih penting daripada moment ulang tahunnya."
Hening. Lysanne yang sejak tadi memperhatikan dari jauh mendekat lalu duduk di seberang Nirbita. Rangkuman materi Genetika mendadak tidak menarik sama sekali begitu mendengar ucapan Nirbita barusan.
"Hari ini, Sekala mungkin udah dapat banyak ucapan, do'a, dan hadiah dari orang-orang. Jadi, besok atau lusa giliran kita. Bukannya lebih berkesan kalau misalnya kita jadi yang terakhir ya? Nggak terduga dan bikin dia benar-benar surprised."
Masih tidak ada respon, Nirbita mengetuk-ngetuk pinggiran meja. Ia menghela napas pelan kemudian menyadari bahwa dalam jangka kurang dari setengah hari, ia telah banyak bicara. Suatu hal yang langka mengingat ia jarang berbicara dengan siapapun untuk hal yang remeh temeh semenjak nenek pergi, semenjak mama dan papa berubah, juga semenjak Raiden tidak lagi bersamanya.
"Jadi, intinya lo nggak setuju karena lo nggak mau Sekala kenapa-napa kan?" tanya Amara.
Tanpa ragu Nirbita mengangguk. Dalam hati, ia meneruskan ; gue juga nggak mau dijadiin tumbal.
"Astaga, padahal Sekala cuma flu sama demam biasa. Bukan kena lupus atau leukimia."
"Pokoknya gue nggak mau," kekeuh Nirbita.
"Ta? Ayo dong," bujuk Acacia.
"Nggak."
Acacia memejamkan matanya, menghela napas panjang kemudian menatap Nirbita kembali. "Oke fine! Kita tunda."
***
NIRBITA tidak pernah tahu alasan pasti terciptanya rasa sakit di dunia ini hingga ia merasakan sebuah kehilangan. Mungkin, waktu kecil ia pernah jatuh di permukaan tanah yang tidak rata, pernah terkena goresan kertas, atau mungkin tertusuk duri euphorbia di beranda rumah. Namun saat itu, ia masih terlalu kecil untuk menangkap maksud Tuhan memberikan rasa sakit setelahnya.
Ia mulai mengerti ketika waktu menggerus segala hal tentang kehilangan-kehilangan yang dialaminya. Seperti misalnya, kepergian nenek yang lambat laun terasa samar meskipun aroma tubuhnya masih ada di setiap sudut ruangan. Atau ketika orangtuanya berubah, menjadi asing dan ia mulai terbiasa.
Penyangkalan tidak lagi menjadi hal yang harus dilakukan, kemarahan semakin mereda, dan penawaran-penawaran dengan takdir mulai terlihat tidak menarik. Meskipun, ia belum bisa sepenuhnya menerima kehilangan itu. Termasuk kehilangan Raiden.
Sakit yang tercipta jelas membelenggu. Dan tidak ada cara lain untuk menanggulangi kecuali mencoba terbiasa merasakannya lalu berdamai dengan waktu. Karena, alasan sebenarnya setiap sakit itu ada pada lukanya. Ada pada setiap kemampuan yang Tuhan tahu dalam diri kita sebagai manusia.
Lalu bisikan-bisikan alam bawah sadar berbunyi nyaring dalam hening ; ya mau gimana, hadapi aja kehilangannya. Biasakan berteman dengan rasa sakitnya, sampai kebal. Sampai tahu di titik mana untuk jadi mati rasa. Toh, di luar sana masih banyak orang-orang yang rasa sakitnya lebih banyak daripada lo.
Mau menyangkal tapi kalimat yang terlontar itu benar. Di bawah sana masih banyak rasa sakit yang tercipta bukan hanya dari sebuah kehilangan. Seperti garis takdir anak kecil berbaju biru di hadapannya. Namanya Giacinta. Tiga tahun yang lalu, ia dan Raiden menemukan anak itu di kawasan Pasar Minggu. Raut ketakutan serta tangan yang bergetar masih terekam jelas di kepala Nirbita. Detik-detik dimana ia tidak sengaja menabrak anak itu, teriakan-teriakan dari ujung jalan, dan bagaimana Raiden menariknya masuk ke dalam mobil. Bersama Giacinta.
Singkatnya, Giacinta tidak punya siapapun di dunia ini setelah ibunya meninggal. Kesehariannya memulung di jalanan, kadang ngamen, kadang diam menahan lapar di bawah pohon trembesi karena hujan. Makanya, ia dan Raiden memutuskan untuk membawanya ke panti asuhan, tempat yang biasa ia kunjungi atas perintah mama setiap bulan.
Awalnya, Giacinta terlihat sangat bahagia. Memiliki teman baru dan pengurus yang baik-baik. Namun, ada waktu ketika gadis kecil itu bercerita bahwa ia terjebak rasa takut. Sebab, satu persatu temannya mulai beranjak pergi bersama keluarga yang baru. Sedangkan ia, masih berada di tempat semula, tidak pernah beranjak.
"Kak, kok Kak Raiden nggak pernah datang lagi?"
Pertanyaan itu berhasil meleburkan lamunan Nirbita. Ia menatap gadis berumur 9 tahun itu, melengkungkan bibir untuk tersenyum lalu mengusap pelan rambutnya. "Soalnya lagi sibuk. Lagi banyak belajar buat ujian," bohongnya.
"Emang kak Nirbi nggak sibuk dan banyak belajar juga ya? Makanya masih bisa ke sini?"
"Nggg..," Nirbita berusaha keras mencari jawaban. Ia menyelipkan anak rambutnya yang terjuntai ke belakang telinga. "Belajar. Tapi kak Raiden emang lagi banyak tugas akhir-akhir ini, jadi ya gitu deh."
Giacinta mengangguk paham. Gadis itu memeluk erat buku-buku yang tadi dibawa Nirbita. "Minggu depan aku ikut lomba nyanyi loh, kak."
"Oh ya? Dimana?" tanya Nirbita antusias. Ia mengusap lengannya yang dingin karena angin malam berembus kencang. Suasana beranda panti yang sepi membuat suaranya terdengar lebih nyaring. Harusnya, ia sudah melintasi pagar halaman dan pulang. Namun tadi, Giacinta menahannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin belum mendapatkan jawaban pasti.
"Di Kokas. Kakak mau nonton nggak?" Tapi, acaranya jam 1 siang gitu. Nggak bisa ya? Kan masih jam sekolah.."
"Bisa kok," kata Nirbita cepat.
"Beneran?"
Nirbita mengangguk bertepatan dengan kedatangan bu Petunia, pengurus panti asuhan. Mereka terlibat obrolan lagi, sebentar sebelum akhirnya ia pamit dan benar-benar melintasi pagar halaman.
Malam ini cukup dingin. Hujan baru saja reda menyisakan kubangan air di beberapa sisi jalanan Lenteng Agung. Suasana Jakarta selalu padat dengan berbagai kendaraan dan suara klakson yang berisik. Namun Nirbita menikmati setiap ritme yang tercipta. Dibanding menghubungi sopir barunya untuk menjemput, gadis itu malah menyusuri trotoar sembari kembali meratapi kehilangan-kehilangan yang telah berlalu.
Bau tanah selepas hujan menyeretnya masuk ke dalam sudut paling gelap. Ketika ia mendapati satu-persatu orang pergi dan menyisakan ia seorang diri. Semuanya masih utuh, meskipun sudah retak di beberapa bagian.
Tanah basah penuh bunga, pintu yang ditutup kasar, serta pelukan dingin di sore hari melumpuhkan saraf inderanya. Nirbita terjebak sepi hingga suara derum kendaraan semakin jelas, semakin dekat dan..., berhenti. Begitupun gadis itu.
Ia menoleh, mendapati Audi A4 menepi. Tidak lama setelahnya, orang yang begitu dikenalnya turun.
Nirbita mundur selangkah.
Jantungnya berdegup kencang. Ia baru saja membayangkan Raiden, lalu sekarang lelaki itu berdiri di hadapannya dengan raut teduh seperti pertama kali menemuinya di halte sekolah dulu.
"Habis dari mana, Ta? Jam segini kok masih di luar?"
"Panti." Nirbita sudah berusaha setenang mungkin. Tapi tidak bisa. Tangannya mendadak dingin.
Raiden mengangguk paham. "Terus, belum di jemput?"
"Nggak. Emang sengaja belum minta jemput, soalnya mau jalan-jalan," jawab Nirbita dengan suara tertahan.
"Mau jalan-jalan kemana? Ini udah larut malam. Lagian di sini rawan. Ayo pulang! gue anter."
Nirbita tercekat. Ia merasakan matanya memanas. Sebisa mungkin gadis itu tersenyum meskipun sudut bibirnya berkedut menahan tangis. Harusnya ia bisa terlihat baik-baik saja dan mudah menunjukkan seulas senyum seperti yang biasa ia lakukan pada lelaki itu ketika di sekolah. Kenapa sekarang terasa sulit ketika mereka terjebak berdua?
"Nggak usah! Aku bisa sendiri kok."
Raiden tersenyum. "You said we can still be friends. So let's be friends like we should. Kayak sekarang... ayo gue antar lo pulang. Sebagai teman."
Mungkin, di waktu yang lalu Raiden akan menggandeng tangannya atau membukakan pintu mobil untuknya namun malam ini, Nirbita hanya berjalan mengikuti. Aroma monterey vanilla masih sama ketika ia masuk. Mengetuk hidung dan memberi ketenangan. Lalu, mobil melaju membaur dengan kendaraan lainnya.
"Aku pindah rumah, Rai," ucap Nirbita sebelum Raiden mengarah ke jalan rumah lamanya. Lelaki itu menoleh sekilas, menaikkan sebelah alisnya.
"Pindah? Pindah ke mana?"
"Bukit Golf," jawab Nirbita.
"Udah lama?"
"Nggak juga."
Nirbita memilih memandang jalanan di luar. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi selain arah mana yang harus diambil untuk menuju rumah sebab, keduanya mulai asing satu sama lain. Pertanyaan sekedar 'sudah makan atau belum' rasanya akan aneh untuk dilontarkan. Dan hening membawa mereka pada canggung berkepanjangan.
Nirbita dapat menghitung setiap detik yang terus berjalan. Kilasan tentang masa-masa yang pernah dilewati perlahan mengisi kepala. Napas berat Nirbita lolos berulangkali, menandakan sesak ditimpa memori.
Kenapa? Kenapa sangat mudah bagi Raiden bersikap semuanya baik-baik saja?
Kenapa lelaki itu begitu cepat menerima orang baru dan mudah melupakannya?
Kenapa waktu tidak bisa diputar kembali agar ia bisa merusak segala sistem yang tercipta supaya tetap terjebak dengan Raiden? Agar lelaki itu tidak pernah kemana-mana?
"Di sini, Ta?" tanya Raiden saat mereka sampai di depan rumah paling ujung.
Nirbita yang baru sadar hanya bergumam sebagai jawaban. Gadis itu mengucapkan terimakasih tanpa menatap Raiden dan bergegas turun namun lelaki itu menahan pergelangan tangannya.
"Lo kenapa?"
Nirbita menggeleng lalu menarik tangannya. "Nggak apa-apa," ucapnya dengan suara bergetar. Gadis itu mencoba membuka pintu tapi terkunci.
"Ada omongan atau perlakuan gue yang salah dan nyakitin lo tadi?"
"Nggak ada. Aku nggak apa-apa." Kuku-kuku tangan Nirbita memutih karena cengkeramannya pada handle pintu terlalu erat. "Aku cuma capek aja. Mau cepet tidur. Bukain-" Suaranya tertahan di tenggorokan dan ditelan tangis. Air mata Nirbita jatuh mengenai telapak tangan, gadis itu mengusapnya cepat. Ia menggigit bibir dalamnya agar isakannya tidak lolos dan terdengar begitu menyedihkan.
"Loh, kok nangis sih?" Raiden mengulurkan tangannya, melewati bahu Nirbita agar gadis itu menghadap ke arahnya.
Nirbita menunduk. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di dada, membuat semuanya terasa berat dan menyesakkan. "Kenapa ya, Rai? Kenapa susah banget nerima kenyataan? Kadang aku sampe mikir, ini kita beneran nggak bisa balik lagi? Beberapa bulan yang lalu kita masih baik-baik aja loh. Sampai akhirnya asing kayak gini." Tangisnya semakin deras. "Gimana ini... aku makin takut sama dunia setelah kamu pergi." Ia merasakan dingin ketika tangan Raiden menyentuh sisi wajah dan mengusapnya pelan.
"Lo bilang gue harus bahagia kan, Ta? tanya Raiden. "Sekarang, gue mau bilang, lo juga harus bahagia. Jangan nangis terus, apalagi cuma karena gue." Raiden memejamkan matanya sejenak untuk kemudian kembali menatap Nirbita. Ia tersenyum, mengusap pelan air mata yang terus mengalir itu. "Lupain gue, Ta. Gue emang nggak pantas buat lo."
"Nggak bisa, Rai. Kamu nggak bakal ngerti karena kamu udah nggak cinta aku!"
"Belum bisa, bukan nggak bisa," kata Raiden. "Gue aja..., bisa. Masa lo nggak sih?" ucap Raiden dengan tawa di ujung. Meskipun, di sudut matanya sudah ada air yang menggenang. "Percaya sama gue. Nanti, lo pasti bakal ketemu sama orang yang akan bawa banyak warna di hidup lo, yang bikin lo bahagia, yang bikin lo nggak perlu khawatir soal apapun, termasuk soal dunia."
___________________________________
Raiden Antasena Sandyakala
Rek, piye? Pernah ngalamin kayak Nirbita nggak? Pas rame-rame keliatan oke. Pas ditinggal berdua sama doi malah ambyar:(
Oh iya, semoga masih suka cerita ini yaaakk!!
Semoga, cerita ini sesuai dengan ekspektasi kalian, i'll try do my best for Nirbi, Kala, and Raiden story!!
So, see you on the next chapter!!
SPAM NEXT IN HERE
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top