Bab 16. Sepotong Elegi di Sudut Jakarta

Selamat membaca 2476 kata dari Satu Kotak Senja untuk Nirbita, jangan lupa vote dan komentar per-paragraf. Terimakasih.

_______________________________

Bab 16. Sepotong Elegi di Sudut Jakarta

Dari cerita ini gue cuma mau kasih tahu kalian bahwa ; di dunia ini nggak ada yang benar-benar sempurna jalan hidupnya. Jadi jangan gampang berdo'a agar hidup kalian seperti hidup orang lain karena belum tentu punya jalan hidup seperti mereka lebih menyenangkan.

***

“LO tahu nggak, yang lo bikin viral itu siapa?!”

“Nirbita."

“Gue serius, anjing!"

“Gue juga," jawab Sekala enteng. Lelaki itu masih fokus memasukkan buku-bukunya ke tas tanpa menoleh. Bukannya tidak menghargai Ethan, tapi ia benar-benar sedang malas membahas permasalahan kemarin. Menurutnya semua sudah selesai sejak ia klarifikasi di hari itu juga. Meskipun hingga kini media dan netizen masih terus membicarakannya.

“Dia anak dari founder kosmetik yang ngajak lo kerja sama buat jadi brand ambassador. Brand yang masuk dalam deretan list terabaikan karena lo nggak mau comeback.”

Sekala menghentikan pergerakan tangannya. Ia menoleh dan mendapati Ethan menyeringai seolah mengejeknya. Lelaki itu mendekat dan duduk di sisi ranjang. Tepat di samping meja belajar tempatnya mengemas buku-buku.

“Waktu berita kemarin naik, ada banyak impact buruk yang mungkin dia dan keluarganya rasain." Ethan mencondongkan tubuhnya kemudian sedikit berbisik. "Soalnya dia bukan dari kalangan pribumi biasa. Selain nyokapnya founder kosmetik, bokap dia itu konglomerat yang masuk dalam jajaran 15 besar orang terkaya di Indonesia. Bahkan pernah masuk daftar Forbes. Namanya Adrian Prakash Bhagawanta. Nggak tahu kan lo?”

Sekala menggeleng. Bertahun-tahun menyukai Nirbita tak pernah terlintas keinginan untuk mengetahui latar belakang gadis itu karena baginya tidak penting. Lalu sekarang ketika Ethan mengatakan bahwa gadis itu keturunan konglomerat, apakah Sekala harus kaget?

Bahkan sejak memasuki SMA Xaverius, ia sudah tahu kalau yang bersekolah disana rata-rata dari kalangan elite. Jadi, tidak seharusnya ia kaget...

Ya. Tidak seharusnya. Meskipun yang terjadi justru sebaliknya.

Seolah dikendalikan waktu, ingatan Sekala berputar balik pada sebuah senyum di pagi kala itu. Sosok perempuan yang mengantar Nirbita ke sekolah. Dari mobil yang dibawanya pun Sekala harusnya sadar bahwa gadis itu memang bukan dari kalangan biasa. Mobil itu sebuah penanda.  Lexus LX 570. Share secret code para konglomerat Indonesia untuk menunjukkan... eksistensinya.

“Nirbita itu sengaja nggak pakai nama belakang bokapnya biar identitasnya nggak tersebar dan sekarang, berkat kebodohan lo itu, orang-orang mulai ngulik segala hal tentang dia.”

“Termasuk lo,” timpal Sekala.

Ethan bergumam tanpa dosa. “Dan satu lagi, saingan bokapnya itu banyak. Kita nggak pernah tahu dia berhadapan sama mafia atau apa yang jelas sejak dulu keluarga Bhagawanta selalu tertutup. Makanya garis keturunan mereka nggak jelas bagi media. Bahkan di wikipedia aja nggak ada keterangan siapa anaknya. Biasanya anak dari mereka bakal nge-up dengan sendirinya kalau udah sukses. Kayak bokap Nirbita misalnya. Dia baru ketahuan bagian dari keluarga Bhagawanta setelah warisin beberapa perusahaan."

“Lo dapet informasi dari mana sih?" tanya Sekala penasaran.

“Mata sama telinga gue kan banyak.”

Sekala mendengus. Ia kembali menyusun buku-bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas. “Terus gue harus gimana? Gue kan udah klarifikasi dan bilang kalau Nirbita itu temen gue, nggak lebih. Gue juga udah berusaha semampu gue buat tanggung jawab dan selalu ada kalau hal buruk terjadi ke dia.”

“Ya seenggaknya lo ngapain kek. Penebusan dosa gitu.”

“Kalau lo nyuruh gue penebusan dosa ke gereja, biar gue ingetin kalau gue muslim.”

“Bukan njing. Maksud gue, minimal lo mau lah jadi brand ambassador nyokap Nirbita gitu. Hitung-hitung sebagai rayuan biar lo nggak di cap sebagai pembuat onar yang nggak bertanggungjawab."

“Nggak. Gue nggak mau. Salah akun buat repost story aja bikin hampir gila," tolak Sekala cepat.

“Minimal lo bantu naikin insight brandnya deh. Ntar gue yang atur strategi biar pemberitaan lo sama Nirbita reda," ujar Ethan tidak mau kalah sembari menaik-turunkan alisnya.

“Nggak.”

Ethan angkat tangan. “Ya udah terserah.”

Dengan sekali tarikan, Sekala menutup resleting tasnya. Lalu, lelaki itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Hampir keseluruhan ruangan kosong, yang tersisa hanya tas dan koper di dekat pintu sebab beberapa barangnya yang lain sudah tertata rapi di apartemen. Ya, setelah mempertimbangkan banyak hal dan sempat terjebak diskusi alot dengan orang tuanya, hari ini ia benar-benar akan pindah.

Ia akan segera bebas dari atmosfer kebencian Aruna.

“Gue cuma mau hidup tenang," kata Sekala pelan.

“Setelah lo bikin hidup Nirbita nggak tenang?”

"Dia bilang dia nggak apa-apa. Everything is gonna be alright. Gue bakal jagain dia."

Ethan tersenyum remeh. "Jagain? Lo jaga diri aja kadang nggak bisa."

"Tapi buat dia, gue bakal selalu bisa."

Ethan memicingkan mata penuh curiga. "Jawaban lo bikin gue makin yakin kalau dia bukan cuma sekedar temen."

"Demi Tuhan dia cuma temen gue."

Namun jawaban dengan embel-embel Tuhan itu justru membuat Ethan semakin tidak percaya. "Lo suka dia kan?"

"Emang kenapa kalau suka?" tantang Sekala.

Ethan mengedikkan bahunya. "Ya kalau misalnya orang tua Nirbita nggak restuin kalian karena masalah ini gimana? Mana beda kasta kan..."

"Lo tahu Romeo sama Juliette nggak?" balas Sekala asal.

"Tahu," kata Ethan. Lelaki itu melipat tangannya di dada dengan tatapan menyebalkan ke arah Sekala. "Mungkin kisah cinta lo sama Nirbita bakal berakhir kayak gitu kalau lo tetep nggak mau ambil saran gue buat jadi brand ambassador. Lo tahu kan akhir dari cerita Romeo dan Juliet? Juliet yang mati dulu. Berarti Nirbita yang mati..."

"Kalau Nirbita mati gue bakal ke underworld terus minta Hades hidupin dia sekali lagi," jawab Sekala asal.

"Habis itu Nirbita nggak sengaja noleh ke belakang kayak yang dilakuin Eurydice. Mati lagi deh," balas Ethan. "Dan pilihan lo cuma dua. Berakhir kayak Romeo atau... Orpheus."

Kesal, Sekala menimpuk kepala Ethan dengan guling. "Pertama, di cerita Romeo dan Juliet, Romeo yang mati dulu, bukan Juliet. Kedua, Romeo dan Juliet nggak satu universe sama Eurydice dan Orpheus. Ketiga, gue jamin cerita gue sama Nirbita nggak berakhir kayak kisah mereka!"

Ethan tertawa, ia memperhatikan ketika Sekala berdiri hendak mengambil kopernya lalu mama muncul dari balik pintu. Perempuan itu nampaknya baru saja pulang melihat handbagnya masih tersampir di bahu.

"Udah mau pergi ya? Nggak mau nginep sehari lagi, La? Sekalian nunggu papa dateng," kata mama.

Sekala menggeleng. "Lagian aku kan cuma pindah ke Dharmawangsa, ma bukan ke luar kota. Jadi masih bisa ketemu kapan aja."

Mama merengut lalu memeluk Sekala erat. Dalam hangat itu, ia merasakan kegamangan. Sekalipun Sekala bukan anak kandungnya, tetap saja di dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. Darah yang menciptakan sebuah ikatan tak kasat mata, menjerat mereka satu sama lain, seperti tak bisa dipisah. "Nanti mama anterin makanan setiap hari."

"Nggak usah, aku bisa masak."

"Pulang. Kalau nggak betah kamu bisa pulang," bisik mama.

Sekala mengangguk. Meskipun ia yakin, itu tidak akan pernah terjadi.

Mama mengurai pelukan lalu beralih menatap Ethan yang masih duduk di tepian ranjang. "Ethan jagain Sekala ya. Nanti kalau butuh atau ada apa-apa langsung telfon tante aja," kata mama dengan senyum khasnya.

"Tuh, La. Lo aja masih harus gue jagain udah sok-sokan mau jagain anak orang lo," ujar Ethan.

Mama menaikkan sebelah alisnya lalu menatap Sekala penuh tanya. "Anak orang siapa?"

Sekala berdecak, "kak Ethan emang ngaco kalau ngomong, ma. Jangan deng—"

"Itu loh, tan yang kemarin viral!" potong Ethan cepat.

"Oh.. dia. Siapa namanya, La?"

"Nirbita!" teriak Ethan penuh semangat.

Melihat pipi dan telinga Sekala merah padam, mama tersenyum jahil. "Kemarin mama sempat lihat fotonya. Cantik. Ajak ke sini dong, La. Kenalin ke mama sama papa."

"Apaan sih, ma." Tidak ingin terlihat salah tingkah Sekala memilih memutus kontak mata hingga tanpa sengaja pandangannya menabrak seseorang di luar kamar.

Aruna.

Tatapan mereka bertemu. Saling bertaut dalam diam hingga gadis itu menyerah terlebih dahulu dengan memutar handle pintu dan masuk ke kamarnya.

***

"MATANYA lebih sayu lagi, Ta. Terus jangan terlalu nunduk. Sama... coba lip creamnya kamu agak tempelin aja ke pipi biar lebih on point." ujar Kak Marvin, fotografer di hadapannya. Lelaki itu mendekatkan kembali kameranya membuat Nirbita menahan napas sejenak hingga bunyi shutter terdengar, blitz kamera menyala, dan..

"Erh cute but sexy... Next!"

Perlahan Nirbita mengembuskan napas. Meskipun kepalanya sudah terasa berat, sebisa mungkin ia tetap fokus dan mengikuti arahan. Gadis itu mengganti posenya lagi, mencoba semaksimal mungkin agar semuanya cepat berakhir. Namun waktu tetap berjalan begitu lambat baginya. Ia tidak ingat sudah berapa kali ganti baju, make up, dan style rambut sebab yang ada di hitungannya adalah 8 shades lip cream untuk pemotretan kali ini.

Nirbita memejamkan mata saat mbak Anggie yang notabene stylist mendekat dan membenahi anak-anak rambutnya yang jatuh di dahi. Ia tersenyum kecil ketika wanita itu membisikkan kalimat penyemangat sembari mengusap keringat dingin di pelipisnya. “Semangat, Ta. Ini last shades. Jadi fokus.”

Saat seisi ruangan kembali sibuk, Nirbita mencoba menguatkan diri. Gadis itu mulai mengatur napas juga ekspresi wajahnya.

"Oke, one, two, three..."

Shutter ditekan. Kak Marvin mengacungkan ibu jarinya. "Nice. Next, Ta!"

Kalau bukan atas perintah mama, mungkin Nirbita sedang berada di kamar saat ini. Mendengarkan musik sambil membayangkan hal-hal indah yang mungkin tak pernah bisa terjadi di hidupnya. Atau justru terjebak di apartemen Garin sambil mendengarkan sahabatnya itu bercerita banyak hal. Apapun itu asal tidak terjebak dalam studio panas dengan banyak lampu led menyala.

Saat netranya menubruk cahaya dari oktagon softbox, ingatannya melebur dan berputar pada saat mama menjemputnya sepulang sekolah tadi, membawanya ke kantor lalu menyuruh bersiap untuk pemotretan tanpa menunggu persetujuannya. Ia hanya bisa menurut, tidak membantah sedikitpun karena sejak dulu, bagi mama pendapatnya tidak penting.

"Its wrap!!"

Nirbita mengembuskan napas lega. Dengan langkah gontai ia berjalan ke arah meja rias lalu duduk disana. Gadis itu melepas hairclip dan wignya dibantu mbak Anggie di belakang. Selama orang wardrobe menghapus make upnya, Nirbita mendengarkan mereka berbicara, sesekali menanggapi sebagai bentuk menghargai meskipun fokusnya justru kemana-mana.

"Udah selesai, Ta. Ganti baju gih, abis itu istirahat di ruangan ibuk," kata mbak Anggie.

Dalam sepersekian detik, Nirbita meraih seragam sekolahnya lalu berjalan ke ruang ganti. Saat melintasi studio, ia melihat mama sedang mengecek output dari pemotretan tadi. Perempuan itu nampak fokus di depan layar komputer, sesekali berkomentar.

"Ambil minimal 3 foto terbaik dalam satu shades nanti kirim ke saya lewat email untuk cek ulang."

Nirbita tidak begitu mendengar obrolan lanjutannya sebab pintu ruang ganti ditutup dan ia memilih tidak mendengar apapun di sana. Setelah selesai, ia langsung turun ke ruangan mama yang berada tepat satu lantai di bawah studio.

Selagi menunggu, gadis itu duduk di sofa sudut ruangan. Tirai jendela yang terbuka memperlihatkan pemandangan  di luar. Matahari sudah turun beberapa menit lalu dan yang tersisa hanya semburat merah di kaki langit. Dalam keheningan itu, ia melihat lalu-lalang kendaraan di jalanan Sudirman. Sore itu, ada banyak manusia dengan dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada mereka yang hampir menyelesaikan perjalanan, ada pula yang baru saja memulai. Mereka membaur, menjadi satu dalam hiruk pikuk kota menjelang malam.

Jenuh, Nirbita membuka ponsel. Dan masih sama seperti sebelumnya, hal pertama yang ia lihat adalah pop up notifikasi dari sosial media. Seolah belum reda, orang-orang masih enggan berhenti mengulik segala hal tentangnya. Padahal, Sekala sudah klarifikasi bahwa mereka tidak lebih dari sekedar teman sekolah. Tapi sepertinya, itu belum cukup untuk memadamkan pemberitaan.

Nirbita merasa terganggu namun di setiap resahnya, ada Sekala yang selalu menenangkan. Lelaki itu jadi sering mengirimnya pesan. Entah sekedar menanyakan keadaan atau membahas hal-hal kecil seperti ; lo tahu nggak kenapa kecoak bisa hidup tanpa kepala?

Aneh namun Nirbita suka karena ia pun juga demikian. Ia jadi ingat saat pertama terjebak obrolan panjang dengan lelaki itu di UKS. Ketika ia menanyakan sesuatu yang sebenernya tidak penting namun Sekala justru menanggapi dengan serius. Makanya, di setiap pertanyaan aneh yang lelaki itu lontarkan, ia juga berlaku sama..

Ya karena kecoak nggak butuh kepala untuk bernapas, La.

Dan mengalirlah pembahasan serangga menjijikan itu. Nirbita mulai mengerti bahwa Sekala bukan sekedar manusia dengan talenta dan pribadi yang luar biasa namun lebih dari itu.

Sekala selalu punya banyak hal untuk dibahas. Sekala selalu punya sudut pandang yang kadang membuat Nirbita bertanya-tanya dari mana lelaki itu mendapatkan pola pikir rumit yang menyenangkan. Seperti soal kecoak tadi misalnya. Pembicaraan itu justru berakhir pada sebuah pembelajaran tentang sifat manusia. Kata Sekala begini ;

Kecoak itu emang kecil tapi besar banget nyawanya. Makanya dia bisa hidup dari jaman bumi masih berbentuk Pangaea. Berbanding terbalik dengan dinosaurus yang notabene badannya besar banget. Hal kayak gitu seharusnya bikin manusia sadar kalau makhluk kecil sekalipun juga punya banyak kelebihan.

Tapi pada kenyataannya, manusia tetap dengan stigma 'yang kecil' selalu di strata bawah. Mereka tuh sering banget ngeremehin label-label kecil. Entah itu dari stratifikasi sosial, jabatan, umur, bahkan sebuah masalah.

Kayak misalnya, yang miskin harus minggir sampai nggak punya tempat, yang karyawan cuma manut atasan tanpa protes dan berpendapat, yang anak-anak nggak boleh ngelawan apa kata orang dewasa, yang masalah kecil nggak perlu diselesaikan karena ada masalah yang lebih besar dan penting.

Manusia selalu ngerasa kalau yang kecil itu nggak ada apa-apanya. Padahal, bisa jadi paling berpotensi kalau dikasih tempat atau justru paling berbahaya kalau nggak cepet ditangani.

Bagi Nirbita, Sekala dengan mata abunya seperti portal tak kasat mata yang jika kita masuk ke dalam akan menemukan ruang-ruang ajaib menuju banyak hal di alam semesta. Lelaki itu mampu menarik lawan bicaranya dalam radius tak terhingga. Bahkan, lewat sebuah media ponsel pun, yang diajak berbicara akan masuk ke dalam ruang ajaib itu tanpa perlu melihat stroma abu dari mata tajamnya.

"Kamu beneran lagi deket sama dia?"

Lamunan Nirbita buyar. Gadis itu menoleh dan langsung menutup roomchatnya dengan Sekala. Meskipun sedikit kaget, ia mencoba terlihat santai sembari menerima uluran frappuccino cotton candy dari tangan mama tanpa menjawab.

"Jadi udah putus sama Raiden?"

Sebenarnya Nirbita enggan menjawab namun karena di hadapannya adalah mama jadi ia mengangguk. "Tapi aku nggak deket sama Sekala. Kita cuma temen sekelas."

Mama duduk di samping Nirbita. Mengamati anaknya itu seolah menelisik sesuatu dalam raut wajahnya. "Belum deket aja. Lagian, dibanding Raiden, mama lebih suka kamu sama dia."

Dari kejauhan suara adzan magrib terdengar. Gemanya mengiringi pergantian warna langit dan lampu-lampu kota yang semakin benderang. Nirbita menyesap minumannya tanpa menyambung obrolan sedangkan mama kembali berdiri.

"Kamu nggak sholat?"

Nirbita menggeleng. "Lagi period."

"Ya udah. Mama sholat dulu, kamu tunggu disini abis itu baru kita pulang."

Nirbita hampir tersedak. Merasa perlu kejelasan karena takut salah dengar, gadis itu bertanya, "Mama mau kemana?"

"Sholat."

Tanpa terasa, Nirbita meremas cup starbucknya. Ada perasaan hangat yang menyusup di dada. Sebab seumur hidup, ia baru tahu kalau mama ternyata sholat. Mungkin terkesan hiperbola namun itu kenyataannya.

"Tumben..." gumam Nirbita.

"Maksudnya?"

"Tumben mama sholat."

"Kamu pikir mama nggak sholat?"

"Aku nggak pernah lihat mama sholat."

"Kamu nggak lihat karena mama nggak sholat buat kamu. Tapi buat mama dan Tuhan."

Setelah itu mama pergi dan pintu ditutup. Adzan juga sudah berhenti namun orang-orang di jalanan masih enggan menepi.

***

Catatan :
— baca kisah Euridyce dan Orpheous bisa nyambung sama obrolan Sekala dan Ethan. Kisah Euridyce dan Orpheous itu salah-satu cerita mitologi Yunani favorit gue.

----------------------------------------------

Kasih saran dan kritik untuk cerita ini biar gue perbaiki oke.

Sama semangatnya sayang wkwk.. males banget gak disemangatin ayang hueee:(

SPAM FOR NEXT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top