Bab 13. Sebuah Luka dan Analogi Bunga

Guys, udah bisa dibuka belum?? kemarin udah ada yang baca dan vote nih

erggg pokoknya, selamat membaca
jangan lupa vote dan komentar plz ramein xixi.

___________________________________

Bab 13. Sebuah Luka dan Analogi Bunga

Setiap luka yang tercipta pasti akan ada obatnya. Kalau nggak datang hari ini, ya mungkin nanti.

***

"NIRBI!!"

"Nirbita!!"

Mendengar namanya dipanggil, Nirbita menghentikan langkah. Ia menoleh dan mendapati Sekala berlari ke arahnya. Rambut kecoklatan lelaki itu berayun karena terbawa angin. Lucu. Ditambah senyum lebar yang membuat mata pekatnya mirip bulan sabit tadi malam.

Ketika sudah berdiri di hadapannya, lelaki itu mengulurkan sebuah paper bag besar dengan napas sedikit terengah. "Mantel lo. Sorry ya baru balikin."

Dari balik masker yang dikenakannya, Nirbita tersenyum kecil. Gadis itu mengangguk kemudian mengambil alih pemberian Sekala. Saat dirasa ada sesuatu yang berbeda, ia melongok ke dalam paper bag dan mendapati kotak berwarna burly wood di sana.

"Ini apa, La?" tanya Nirbita sembari mengangkat kotak itu.

Sekala menggaruk tengkuknya. "Eum.. itu bekal buat lo. Anggap aja sebagai ucapan terimakasih."

"Ya ampun, Sekala. Lo kan juga bantuin gue. Harusnya udah fifty fifty. Kalau gini jadinya fifty sixty."

Mendengar itu, Sekala hampir melepas tawanya. Nirbita selalu punya kata-kata ajaib yang kadang membuat Sekala berpikir ; nih orang dapat kosa kata dan gagasan dari mana sih? bahkan gue aja nggak pernah kepikiran.

"Santai aja kali, Ta. Gue ikhlas kok," kata Sekala menenangkan.

Namun, Nirbita justru tetap pada pendiriannya hingga pada akhirnya gadis itu menyodorkan bekal yang biasa ia bawa. "Ya udah, ini buat lo. Biar kita jadi satu sama lain. Tapi ini cuma roti, La. Semoga lo suka."

Sekala memandangi lunch box biru itu. Dalam benaknya, tak pernah terbayangkan akan memegang benda itu di hari ke sekian ratus ia mencintai Nirbita. Sebab, sejak dulu, Sekala hanya memandangnya dari jauh. Setiap hari, setiap gadis itu sarapan di kelas. Sampai-sampai Sekala hafal isi di dalamnya.

Roti dengan selai yang berbeda setiap harinya.

"Hari ini pakai selai apa, Ta?"

Sesaat Nirbita tertegun. Ia merasa deja vu karena pertanyaan Sekala persis dengan pertanyaan rutin Raiden sejak beberapa tahun yang lalu. Pertanyaan sederhana yang sudah lama tidak ia dengar itu membuat hampa kembali terasa. Sakitnya menyesakkan dada.

"Kok lo tahu gue sering gonta-ganti selai?"

"Tiap pagi gue lihatin lo makan. "

"Lo merhatiin gue?"

Sekala terjebak. Tidak ingin terlihat mencurigakan, ia menurunkan pandangannya pada jemari Nirbita yang mengetuk pelan kotak bekal. Hormon adrenalinnya bekerja terlalu cepat. Degup jantung yang semula normal mendadak berlomba. Pipinya memanas. Ia yakin 100% bahwa wajahnya merah padam sekarang.

"Sekala?" panggil Nirbita.

Alih-alih menjawab, Sekala justru menarik napas dan mengembuskannya pelan. Ia menenangkan diri lalu kembali menaikkan pandangan. Tatapan hangatnya menelusuri setiap inchi permukaan wajah Nirbita hingga netranya menemukan sebuah luka di ujung pelipis. Lukanya tidak terlalu menonjol sebab hanya goresan kecil dengan memar kebiruan yang samar.

Untuk kesekian kalinya, ia melihat luka gadis itu lagi.

Sejak dulu, mulai dari pelipis, sudut bibir, hingga sayatan benda tajam di pergelangan tangan adalah suatu hal yang biasa Sekala lihat di epidermis Nirbita. Sebuah kenyataan yang membuatnya bertanya-tanya tentang seberapa banyak rasa sakit yang disimpan gadis itu.

"Sarapan bareng yuk, Ta," ajak Sekala. Ia menatap Nirbita lembut, menguncinya dengan tepat agar ia tidak hanyut lebih dalam

Nirbita yang bingung dengan ajakan tiba-tiba itu hanya menatap Sekala penuh tanya.

"Kita udah hampir tiga tahun sekelas tapi nggak pernah punya kesempatan yang pas buat bareng-bareng. Bahkan, lo sampai nggak hafal suara gue waktu itu. Jadi, sekarang lo mau nggak bikin 'kesempatan' itu? Hitung-hitung biar lo cepet ngenalin suara gue sebelum perpisahan nanti," ucap Sekala panjang lebar.

Nirbita bergeming. Sebenarnya, ia mempunyai banyak alasan untuk menolak. Namun begitu melihat wajah penuh harap Sekala, semua alasan itu runtuh perlahan hingga yang tersisa hanya sebuah penerimaan.

Pada akhirnya, gadis itu mengangguk. "Mau dimana?" tanyanya.

"Kantin atau kelas. Senyaman lo aja," kata Sekala dengan wajah yang tidak dapat menyembunyikan rasa senang atas penerimaan itu.

"Kantin aja deh."

Detik selanjutnya, mereka sudah jalan bersisian. Sepanjang koridor diisi oleh hening karena keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Jika Sekala mulai memperhitungkan waktu -yang dimilikinya berdua dengan Nirbita- sebelum bel masuk berbunyi juga obrolan-obrolan seru ketika makan bersama nanti, pikiran Nirbita justru dipenuhi oleh kilas balik akan kenangannya bersama Raiden.

Dulu, ia dan Raiden sering mengunjungi mading sekolah -yang baru saja dilewatinya- sekedar membaca artikel, info, atau karya-karya murid Xaverius. Setelah itu, mereka akan kembali menyusuri koridor dan berhenti di pinggiran lapangan untuk menghabiskan waktu dengan bercerita banyak hal sembari mengumpulkan guguran bunga tabebuya. Biasanya, mereka akan mengeringkannya sebagai hiasan scrapbook. Sebuah kegiatan sederhana yang pada akhirnya tidak sesederhana itu ketika sudah menjadi sebuah kenangan. Dan itu menyakitkan. Sebab, sudut-sudut sekolah masih menyimpan semuanya dengan baik. Lantas, ketika ia melewatinya, semua perlahan muncul ke permukaan. Menariknya kembali ke masa lalu dan membuatnya terperangkap di sana.

Derap langkah terdengar jelas ketika mereka memasuki kantin yang sepi. Letaknya di lantai dasar sudut kanan gedung. Keduanya duduk di kursi panjang yang bersisian langsung dengan taman samping. Hari ini pohon bintaro sedang berbunga. Warna-warna putih menyelip di setiap pucuknya. Beradu dengan bunga anggrek merpati yang juga bermekaran. Wanginya membaur, melebur jadi satu aroma yang menenangkan. Sedangkan di bawah, suara gemericik dari air mancur kolam ikan memberi kesan sejuk.

"Makan, Ta. Itu gue masak sendiri."

Saat Sekala mengatakannya, pandangan Nirbita justru tertuju pada tangan lelaki itu. Kelingking dan jari manisnya dibalut plester. Tanpa di beritahu pun ia tahu kalau ada luka di sana. Namun, Sekala justru menurunkan tangannya dan menyembunyikan di bawah meja dengan gerak halus. Seolah tidak ingin orang lain melihat lukanya.

Nirbita tersenyum kecil, perlahan ia membuka kotak bekal itu dan di detik berikutnya terpukau begitu melihat isinya. Ada empat sekat yang terisi penuh. Mulai nasi, daging, sayur, hingga beberapa ruas buah jeruk. "Ini banyak banget, La."

"Lo nggak perlu habisin semuanya. Apalagi kalau ada yang nggak lo suka atau alergi."

Nirbita menggeleng lantas menatap Sekala. "Nggak kok. Gue suka semuanya dan nggak ada satu pun yang bikin gue alergi. Jadi, gue bakal habisin," katanya. Hal itu membuat senyum Sekala terbit kembali.

"Tell me kalau masakannya nggak enak."

Nirbita mengangguk dengan senyum yang masih merekah. "Sekarang, buka bekal dari gue. Lo nggak perlu tutupin luka lo lagi, gue udah lihat kok," katanya begitu melihat Sekala masih menyembunyikan tangannya di bawah meja.

Lalu, dua orang yang sedang terluka itu mencoba terbuka satu sama lain. Mereka melakukannya perlahan. Nirbita dengan maskernya, Sekala dengan kotak bekal pemberian gadis itu. Dan di akhir, tatapan mereka bertemu dengan binar penerimaan.

Sekala mengambil satu potong rotinya. Ia memperhatikan ketika Nirbita mengambil suapan pertama dan mengunyahnya pelan sebab luka gadis itu ternyata bukan hanya di bawah mata, melainkan di sudut bibir juga. Dan itu pasti sakit.

"Enak nggak?"

"Enak."

"Berapa nilainya?"

Nirbita bergumam nampak berpikir. Raut wajahnya terlihat menggemaskan . Hal itu membuat Sekala menggigit bibir dalamnya agar tahan untuk tidak mengacak-ngacak rambut gadis itu.

"10/10. Masakannya enak banget."

Sekala tersenyum lebar. Ia mengangkat kedua tangannya yang terdapat beberapa plester disana. "Nilai 10 nya udah bikin sembuh luka gue. Semoga rasa masakannya juga bisa bikin sembuh luka lo."

Nirbita tersenyum menanggapi. Lalu, mereka lanjut makan ditemani obrolan-obrolan ringan. Pagi itu, Sekala banyak bercerita tentang hal-hal remeh seperti keluh kesahnya menjadi ketua kelas, tugas sekolah yang makin tidak manusiawi, alasan langit berwarna biru bukan ungu bahkan tentang Bu Nirmala, penjual bakso di kantin yang dandanannya nyentrik tapi aslinya introvert. Sedangkan Nirbita lebih banyak mendengarkan, sesekali tertawa karena banyolan Sekala juga pemikiran random lelaki itu yang mirip sepertinya.

Di akhir suapan dan sepuluh menit menuju jam pertama, Sekala menggiring atensi Nirbita pada anggrek merpati yang menopang di pohon bintaro. Pagi itu, bunganya bermekaran dengan indah. Wangi khasnya terbawa angin ke seluruh penjuru kantin, menjelma aromaterapi yang menenangkan.

"Anggrek merpati itu cuma punya kesempatan mekar sekali sebelum besok layu dan gugur karena cuaca. Sama halnya kayak luka, Ta. Hari ini lukanya merekah dan sakit banget. Besok pasti nggak. Darahnya bakal kering, sakitnya bakal berkurang."

"Oh ya? Kalau besok lukanya malah bertambah gimana?"

"Kalau bertambahnya karena orang lain, lo harus datang ke gue terus kita makan bareng lagi di sini."

Nirbita tertawa dibuatnya. Lantas ia menopang dagu, menunggu Sekala melanjutkan bicaranya.

"Tapi, kalau bertambahnya karena diri lo sendiri, gue cuma mau bilang, bekas lukanya udah cukup. Jadi, jangan ditambah lagi," jawab Sekala. Terdengar begitu santai dan meneduhkan meskipun dalam dirinya terdapat gemuruh yang menyentak dada.

***

"LO sadar nggak, pas Nirbita putus sama lo banyak orang yang bersyukur? Termasuk gue," kata Barka. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya pada pembatas balkon kelas. Di sampingnya Raiden sibuk mengamati hiruk pikuk dalam kelas, tidak sedikit pun menggubris meskipun pikirannya menerawang jauh.

Jika diingat kembali, ucapan Barka benar adanya.

Selama ini, Nirbita memang menjadi salah-satu incaran cowok-cowok di sekolah, termasuk Barka. Selain cantik, baik dan menyenangkan, ada sesuatu yang magis dari tatapan matanya. Sebuah sorot lembut yang membuat otak secara otomatis memproduksi dopamin dan norepinefrin dalam jumlah melebihi batas. Lalu, yang terjerat akan jatuh cinta pada pandangan pertama.

Secepat itu.

Sayangnya, Nirbita menutup pintu hatinya rapat-rapat karena sudah ada dirinya di sana. Seorang Raiden Antasena Sandyakala.

Lalu, ketika mereka berakhir, layaknya neutrino kabar itu menyebar dengan cepat di seantero sekolah. Tidak sedikit yang senang karena ruang yang selama ini terisi akhirnya kosong juga.

"Bahkan, Sekala juga ikutan seneng kayaknya. Gue lihat-lihat, dia gencer banget deketin Nirbita. Tuh, lihat."

Raiden mengalihkan pandangannya ke arah Nirbita yang terlihat asik jalan berdua dengan Sekala. Keduanya nampak berseri-seri. Sesekali, mereka akan membalas sapaan murid-murid di koridor. Suatu pemandangan yang mencolok di pagi hari terlebih, akhir-akhir ini keduanya jadi pembicaraan di sekolah.

Pikirannya terkunci ketika mata hitam Nirbita menatapnya hangat. Masih sama seperti yang lalu. Dan kalau diputar kembali, ia ingin waktu berhenti agar semua tidak keluar dari alur yang semestinya.

Bahkan, ketika melewatinya aroma gadis itu terasa hangat menyapa. Senyum lembutnya pun demikian.

Tidak ada benci yang terpancar.

Nirbita tidak pernah membencinya seburuk apapun perlakuannya selama ini.

"Nirbita hampir sempurna gitu lo tinggalin cuma demi bocil, Rai. Kalau tahu akhirnya bakal gini, udah dari dulu gue rebut dia dari lo," kata Barka.

_________________________________

Semoga suka ya..

Jangan lupa ramein

SPAM FOR NEXT

SPAM EMOTICON (💛)

Nunggu vote kek bab sebelumnya dulu biar ada jeda banyak wkw

eummm... bonus foto Sekala

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top