Seni


Kepada atma yang berletih,
Memancarkan cahaya suci nan putih,
Kerap semesta membuatnya tertatih-tatih,
Sampai batinnya menjadi terlatih.

― Beliung
16 November

Haize membaca tulisan kakaknya dengan seksama, sebelum akhirnya melirik tulisan miliknya dan menghela napas. Beda jauh. Tulisannya dengan Beliung memang belum bisa dibandingkan, tulisannya masih acak-acakan, tidak seperti Beliung yang sudah terlatih dan mempublikasikan buku-bukunya di beberapa toko buku.

"Kak Je,"

Haize menoleh mendengar suara Harsa, dia mengangkat sebelah alisnya memberi kode bertanya sebelum akhirnya pemuda itu kembali berbicara, "Ada Kak Kristal di depan rumah. Ceilah mau jalan berdua, ya?"

Sekilas Harsa bisa melihat semburan merah di wajah Haize sampai Haize kembali menetralkan wajahnya. Dia terkekeh pelan dan menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Harsa.

"Enggak, Kak Kristal ke sini mau ambil catatan Kak Liung, habis itu udah."

"Ceilah, yakin? Perasaan kemarin ada yang ketahuan naksir." padahal, salah satu orang yang naksir selain Haize ya Harsa.

"Udah enggak,"

"Loh, kenapa?"

"Ya gapapa," Alasan Haize tidak masuk akal, tapi itu lampu hijau untuk Harsa. Setidaknya, dia ada kesempatan untuk maju-ntah lah.

"Oh," Harsa tidak bertanya lebih, dia hanya mengangguk dan pergi meninggalkan kakaknya. Tujuannya kini adalah kamar kakak kedua, alias Hali. Kakaknya itu sudah balik dari kota sebelah dua hari yang lalu, dia menetap di sini untuk seminggu sebelum nanti kembali masuk kuliah.

Tidak ada yang ingin Harsa tanyakan pada Hali, hanya ingin melihat karya-karya Hali saja. Hali itu berbakat dalam lukis melukis, hanya saja dia lebih memilih menyimpan semua karyanya sendirian dibanding dipublikasian. Harsa sendiri bingung kenapa. Apalagi saat dibilang atau disebut 'seniman berbakat' Hali langsung menepisnya mentah-mentah.

BRAK

"BANG HALI!"

"Anjing!" Kagetnya.

Hali menatap ke arah pintu, melihat ke arah sang pelaku yang baru saja melakukan hal tidak sopan kepadanya. "Anjir, Harsa." Raut wajahnya terlihat sebal, tapi dia tetap membiarkan adiknya itu masuk dan menjelajahi lemari yang penuh dengan lukisannya.

"Hehehe, maaf, Bang." Nyengir. Iya, nyengir aja tanpa rasa bersalah. Itulah Harsa. Biang kerok keluarga Taufan di masa sekarang. Kalau waktu kecil era Beliung, waktu remaja era Hali, waktu dewasa era Harsa. Memang benar-benar tiga anak ini. Tiap waktu ada saja eranya.

"Ngapain lu?"

"Lirik-lirik lah,"

Padahal, waktu kecil Harsa itu sama kalemnya dengan Haize. Entah karena apa tiba-tiba jadi seperti ini. Kalau kata Gempa, mungkin memang fitrahnya begini.

"Apa yang mau dilirik?"

"Ya luki―BUSEET, ini buat Kak Liung?"

Belum selesai menjawab satu pertanyaan, Harsa malah beralih ke percakapan lain kala matanya melirik lukisan buatan Hali yang tampaknya seperti punggung Beliung.

"Iya, hadiah aja karena buku Series Hadir nya yang terbaru udah terbit. Emang keren banget dah beliau."

"Ceilah beliau gak tuh." Harsa terkekeh geli sembari melihat lukisan Hali untuk Beliung. Hali ini memang selalu mengapresiasi hal kecil apapun yang saudaranya lakukan dalam bentuk lukisan. Kemarin, saat Windy menang Olimpiade Hali langsung melukiskan sesuatu untuknya. Memang, Hali itu sebenarnya kakak idaman, cuman ketutup sama sifat nakalnya.

Penjelasan sedikit, semua anak Taufan memang berbakat di bidang seni. Beliung itu penulis―tulisannya itu selalu dipuji-puji oleh banyaknya manusia. Hali itu pelukis, tapi lukisannya tidak pernah dipublikasikan. Haize sendiri baru mulai menulis, ada rencana menerbitkan karyanya tapi tidak sekarang. Harsa sendiri pemusik, instrumen yang ia gunakan selalu menghasilkan suara yang enak didengar. Kalau Windy itu penari―sejak kecil sudah ikut banyak lomba tari entah tradisional atau bukan.

Dari bakat-bakat mereka itu pula, ratusan atau bahkan jutaan uang dihasilkan. Padahal usia mereka masih sangat muda. Memang ya bibit Taufan ini unggul semua.

ーーーー

"Haize,"

Haize menoleh ke asal suara, menemukan sosok laki-laki tinggi mendatanginya dengan senyum tipis. Itu Beliung, kakaknya yang baru saja sampai di rumah kemarin hari.

"Kenapa, Kak?"

Sebelum menjawab, Beliung terus tersenyum dan duduk di pinggir ranjang Haize, dia melipat kedua tangannya dan menatap sang adik.

"Menurutmu, untuk apa kita dihidupkan jika akhirnya kita semua berakhir pada kematian?"

"...."

Haize bingung. Kenapa datang-datang kakaknya memberi satu pertanyaan rumit dan berat seperti ini?

"Maksud Kakak?" dia bertanya, mencoba memastikan pertanyaan yang didengarnya memang itu.

"Maksud Kakak itu ya maksudmu."

"Hah....?"

Haize tidak mengerti. Apa ini ada hubungannya dengan buku yang ingin ia terbitkan? Atau ada hubungannya dengan tulisannya baru-baru ini? Kerap kali Beliung membaca tulisannya tanpa sepengetahuan Haize. Membuat Haize was-was sendiri.

Seakan bisa membaca pemikiran Haize, Beliung langsung terkekeh kecil.

"Nggak ada hubungannya sama tulisanmu, mungkin. Kakak cuma mau tau gimana kamu menilai kehidupan dari sudut pandangmu sendiri."

"Ya tapi kenapa tiba-tiba?"

Beliung menaikkan bahunya, "Untuk penyempurnaan bab terakhirmu, mungkin?"

"Tuh, kan! Tadi katanya nggak ada hubungannya sama tulisanku..." rasanya sedikit kesal pada Beliung. Namun, pria itu malah cengengesan sendiri seolah tak bersalah.

"Jadi, menurutmu gimana?"

"... Ya hidup aja. Kita kan nggak bisa milih mau hidup atau enggak... kalau sudah diberi nyawa, mau gak mau hidup. Memangnya kenapa kakak tanya begitu?" Raut wajah Haize terlihat penasaran, tapi juga tercampur dengan rasa sebal. Dia menatap kakaknya dengan pandangan menuntut jawaban cepat.

"... Ah, nggak apa, sih. Kakak cuma mau nanya. Salah, ya, Kakak tanya begitu?"

Mendengar jawaban Beliung, Haize menggeleng dengan sedikit panik.

"Enggak. Kakak sendiri kan yang bilang ke Haize? Tidak ada pertanyaan yang salah untuk ditanyakan."

"Loh, masih inget rupanya... Padahal Kakak ngomong gitu waktu kamu masih umur delapan tahun."

"Ya aku inget semua... Waktu itu juga... Kakak pernah ngomong, tidak ada anak nakal di dunia ini."

"Loh, iya kah? Kakak pernah ngomong begitu?"

"Kakak nggak inget?"

"Nggak... Mungkin karena Haize dulu nakal ya."

"Emang ada hubungannya?!"

Duh, ada-ada saja.

ーーーーーーーー

Seseorang pernah bertanya,
Untuk apa kita dihidupkan jika akhirnya kita semua berakhir pada kematian?

Seseorang pernah bercerita,
Aku pernah kehilangan tuju, tersesat dan terombang-ambing. Rasanya aku ingin mengakhiri garis hidupku saat itu juga. Namun, satu pertanyaan itu terlintas di kepalaku. Untuk apa kita dihidupkan jika akhirnya kita semua berakhir pada kematian? Jawaban yang bisa kuambil dari pertanyaan itu hanya satu; untuk kita mencari tuju seorang diri. Untuk kita sadar akan sanksi abadi yang kita terima nantinya.

― Haize
15 Desember

ーーーーーーーーー

sedikit bonus seberapa senjanya anak-anak upan:

adek winwin:

adek halca:


lanjut

kak ije:

bang hali:

kak liung:

mnurut klian siapa paling sadboi 😔

DUHH anaknya upan ini semuanya agak bener, padahal upannya gak bener. ini fiks didikan name 100% upan cuma numpang nama doang di KK.

selanjutnya aku bahas anahita-samudra dulu kali yh alias anak-anaknya ice

read: aira-arkan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top