Samudra dan Air
"Hah ... gimana-gimana?" Ice mengernyitkan keningnya bingung. Kedua tangannya dia lipat di depan dada; sementara matanya melirik entitas yang berada di hadapannya dengan penuh tanya.
"Ngekos...?" Sebab hari ini, putri kesayangan satu-satunya baru saja mendeklarasikan bahwasanya dia akan pergi dari rumah.
__________
Memori Terbaru:
Tuan Beruang dan Nyonya Kucing
"Ice, nggak tidur?"
Di dalam peluk rembulan malam ini, sebuah hal yang tak biasa baru saja ditemui oleh [Name]. Suaminya, Ice, yang biasanya tidur begitu cepat kini tengah menatap langit dari balik jendela tanpa kata. Tentu saja itu mengundang sebuah heran di kepalanya.
"Masih kepikiran, ya?" Terkanya. Dia mendekati suami yang telah dia nikahi hampir dua puluh tahun itu lalu menepuk pelan pundaknya. "Mau gimana pun, Aira sudah besar. Sebentar lagi sudah masuk kuliah. Mungkin pemikiran soal ngekos itu ... karena dia mau berusaha hidup sendiri tanpa bantuan orang tua...?"
"Tapi nggak harus kayak gini juga, kan?" Sepertinya, pendapat sang istri kurang memuaskan untuk Ice. Sebab kini, pria itu terlihat kesal dan mencari pembelaan di sela pendapat tersebut.
"Aku bingung," lanjutnya. "Dari dulu, Aira selalu berusaha mandiri. Nggak pernah mau ngerepotin sama sekali. Bahkan untuk sekadar tanya aja tetap sungkan. Kalau kayak gitu, nggak wajar."
"Ya tapi kan—"
"—[Name], kamu ingat waktu dia ulang tahun? Dia nggak pernah bahagia tiap kali dikasih kado sama kita, orang tuanya. Justru dia malah minta kita buat jangan kasih kado lagi di tahun seterusnya."
Lantas, [Name] bungkam seribu kata. Dia tidak berani untuk kembali mengangkat suara dan mengatakan pendapatnya. Sebab saat ini, tercetak jelas bahwasanya suaminya sedang diselimuti oleh emosi yang tercampur.
"Aira... Hish." Ice memijat kepalanya pelan; berusaha mengusir semua aura negatif yang saat ini mengelilinginya. "Arka aja nggak pernah sampai segininya. Aku ada salah apa, sih? Aku selalu berusaha jaga hubungan baik sama anak-anak."
Melihat rasa kesal suaminya tidak ada tanda akan mereda, maka [Name] pun mengelus pundaknya pelan; memberinya satu senyum untuk menenangkan. "Mungkin kita bicarakan ini besok aja, ya? Sekarang tidur dulu."
Suaminya ini kalau sudah emosi seperti beda orang. Kalau disuruh memilih, ya, [Name] memilih Ice yang hobi hibernasi seperti beruang dibanding Ice yang terlihat seperti orang lain ketika emosi.
"Kamu duluan... Aku nyusul,"
"... Oh, oke... Kalau ada apa-apa, panggil aja. Aku cuci muka dulu."
Pria itu mengangguk; sementara istrinya pergi menjauh untuk membasuh muka sebelum tidur. Tanpa sepengetahuan mereka, satu anak laki-laki mendengarkan percakapan sepasang suami-istri tersebut.
________
Memori Lama:
Samudra (7) dan Air (9)
Liburan keluarga. Siapa yang tidak tahu itu? Sebuah liburan di mana satu keluarga menghabiskan waktu bersama tanpa perlu memikirkan jadwal yang telah dirancang untuk beberapa hari ke depan. Begitu juga dengan keluarga kecil ini. Mereka menghabiskan waktu berlibur mereka di salah satu pantai yang cukup sepi, sehingga mereka bisa bermain di pantai tanpa malu sepuasnya.
"Kakak,"
"Iya?"
"Kakak nggak mau berenang?"
Aira mengerjapkan matanya. Dia melirik ke arah air pantai yang terlihat menggoda, lalu, matanya kembali melirik ke arah sang adik.
"Kamu mau berenang?"
"Aku mau kalau kakak mau."
"Kenapa harus gitu?"
"Biar Kakak juga sahabatan sama air. Nama Kakak 'Aira', masa nggak sahabatan sama air?"
"Kan cuma nama," Belanya. Lantas, sang adik mengembuskan napasnya kesal. "Ya sudah kalau nggak mau."
"Aku nggak bilang nggak mau, loh."
"... Berarti mau?" Samudra Arkana, atau kerap dipanggil Arka, menatap kakaknya dengan tatap penuh harap.
"Menurutmu?" Sebuah senyum berhasil diukir dengan sempurna oleh Anahita Airani; Aira. Dia terus tersenyum seperti itu sampai akhirnya sang adik mengerti apa yang dimaksud. Kakaknya menyetujui untuk pergi berenang di pantai.
"AYO!!" Dengan semangat, tangannya menarik sang kakak untuk berkenalan dengan laut. Tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
________
Memori Terbaru:
Tuan Beruang dan Air (17)
Suara sendok yang bersentuhan dengan piring memenuhi ruang makan yang hening. Hari ini, keluarga kecil itu memakan sarapan mereka tanpa banyak pembicaraan. Benar-benar tidak biasa. Mereka sudah menjadi seperti ini semenjak satu kalimat keluar dari mulut Aira.
"Aku mau ngekos aja."
Begitu.
Setelah sesi sarapan usai, Aira yang saat itu ingin segera memasuki kamarnya langsung terhenti begitu mendengar suara Ice yang terkesan memerintah.
"Jangan masuk kamar, tetap di sini."
"...."
"Papa ingin bicara."
Usai tiga kata itu keluar, bayang-bayang mengerikan itu kembali menghantui Anahita Airani. "... Y-ya?"
Jelas, saat ini pikirannya kembali pada imajinasi mengerikan yang berbeda jauh dengan kenyataannya. Di mana dia selalu dibuat gila dan hampir pingsan saking ketakutannya terhadap imajinasi yang entah darimana sudah terbuat.
"Duduk."
Saat itu juga, kaki Aira terasa lemas.
_________
Memori Lama:
Samudra (7) dan Air (9)
"KAKAK! KAKAK!"
"KAK!"
"PAPA... MAMA! KAKAK—"
Dia panik. Panik sekali. Kaki kecilnya berlari tanpa tujuan. Usianya baru tujuh tahun, dia tidak tahu harus bertindak apa selain berteriak seperti itu. Kepanikan masih menguasai dirinya.
Hari ini, di pantai, pukul 09:20, kakaknya, Anahita Airani, tenggelam di dalam air laut.
"PAPA! PAPA...." Dia menemukan ayahnya. Lebih tepatnya menemukannya di salah satu penjual kelapa. "Kakak—!"
"... Kakakmu kenapa?"
"Tenggelam!!"
Detik itu juga, Tuan Beruang langsung berlari menuju laut. Sementara sang anak diberi amanah untuk menginformasikan kepada istrinya sekaligus ibu dari sang anak, [Name].
_____
Sudut Pandang:
Air (9)
Tenggelam. Aku tenggelam.
Tadi aku mendengar suara papa. Lembut dan menenangkan. Namun, arahnya bukan dari pinggir pantai. Melainkan dari lautan yang begitu luas.
Rasanya, laut memanggilku.
Aku kira, laut dan papa itu sama. Karena kata beberapa orang, papa punya ikatan dan kecintaan khusus untuk laut. Jadi, tubuhku merespon dengan sendirinya menuju ke tengah laut itu.
Jangan tanya, aku nggak ingat apa-apa. Saat aku sadar, aku sudah di tengah-tengah dan mendadak tidak bisa berenang; lalu tenggelam. Suara papa yang lembut juga sudah hilang.
Semuanya jadi gelap, tapi aku tetap berusaha melihat dengan samar, yang mana berakhir melihat wujud papa yang menakutkan, yang terlihat seperti akan membunuhku kapan saja. Lengah sedikit, mungkin aku sudah kena pukul.
Aku lihat itu rasanya tidak lebih dari satu menit. Namun, saat kembali membuka mata, aku sudah di rumah sakit dan katanya tidak sadarkan diri dua hari. Aneh.
____
Sudut Pandang:
Air (17)
Aku ingat sekarang. Aku sudah bisa menghubungkan semuanya.
Sejak hari itu, aku selalu merasa dibisiki oleh suara yang sama seperti papa. Tapi sekarang, aku tahu itu bukan papa. Itu laut. Laut biru.
Pantai. Ya, pantai itu. Aku tidak sengaja membawa suara laut sampai di usia ini.
Kata Faya, papa juga pernah halusinasi seperti aku. Yang semakin lama semakin parah dan terlihat tidak masuk akal.
Kata orang lama, laut itu menyimpan banyak cerita. Menyimpan juga ribuan dendam. Ada pula yang mengatakan itu sarangnya para makhluk gaib.
Kalau digabungkan, tentu, papa DULU menjadi halusinasi karena keterikatannya yang mendalam pada laut.
Sementara aku... karena tidak sengaja membuat ikatan dengan laut. Jelas, waktu itu aku diganggu.
Semua halusinasiku tentang papa yang ingin memukul, membentak, atau mengusir... Itu bukan papa. Itu suara laut. Laut biru jahat.
Tentang lanjut bisnis atau apapun itu... Semuanya berasal dari suara laut. Bukan papa.
Aku telah salah.
Aku bukan air, aku Anahita Airani.
___________________
Memori Baru:
Tuan Beruang dan ANAHITA AIRANI.
"Aira? Kamu dengar Papa?"
Kala kalimat itu diucapkan, Aira kembali tersadar. Kakinya masih lemas, tapi kini pikirannya berhasil lepas. Kali ini, dia melihat ayahnya dalam bentuk berbeda.
Ayahnya... Sama seperti yang ia lihat pada usia sembilan tahun waktu itu; sebelum suara datang membisiki dirinya.
"... Aku dengar," dengan gemetar, Aira kembali menatap ayahnya. "Soal kos, kan?"
Mendengar jawaban Aira, lantas Ice menghela napasnya. Dia tidak menanyakan itu, dia menanyakan tentang kondisi putrinya tadi.
"... Bukan,"
"... Eh?"
"Perihal kamu."
"...?"
"Laut biru."
Lantas, mata Aira membelalak kaget. "Hah? Maksud—hah? Gimana? Eh?"
Ice tidak mengatakan apapun, dia bangkit dari kursinya dan menuju ke arah dapur untuk menaruh piring bekasnya.
"Kamu keren."
"... Hah? Maksud Papa?"
"... Bisa bebas dari bisikan laut tanpa perlu ke psikolog."
"..." Kali ini, Aira benar-benar terkejut. Apa selama ini ayahnya sudah tahu tapi tetap bungkam?
"... Kalau sudah bebas, kamu nggak perlu repot pindah ke kos, kan?"
Detik itu pula, Aira menyadari betapa memandang rendahnya dia pada ayahnya sendiri. Jelas, seharusnya dia tahu ayahnya bukan orang bodoh. Ayahnya hanya berpura-pura bodoh.
"... Ya, aku nggak perlu pindah ke kos."
Lantas, Ice terkekeh pelan. "Berarti, kado tiap ulang tahun boleh Papa kasih lagi?"
"... Eh?"
Ice hanya memasang senyumnya, dia pergi melewati sang putri usai menaruh piring, lalu menyalakan televisi di ruang keluarga.
Sejujurnya, Ice juga baru menyadarinya tadi malam setelah banyak berpikir dan reka ulang kehidupan Anahita Airani dari sejak dia yang halusinasi keguguran sampai akhirnya anak itu lahir dan kini berusia tujuh belas tahun.
"Laut biru memang jahat, tapi itu tempat Papa dan Mama bertemu. Kalau ditanya asal usul Mama mu, Papa bakal bilang nggak tahu banyak. Bisa aja, Mamamu itu justru yang paling dekat dengan laut biru."
Benar, [Name] itu muncul begitu saja. Tentang asal usul yang selalu dia ceritakan... bisa saja sebuah karangan miliknya.
_____
Finally Aira selesai yey, ada yang mau ditanyain? Xixixi apa sudah terjawab sekarang kenapa? Hihiwww
Apakah memuaskan atau aku menggantung lagi,, 😔😔😔
ih aku udah lama ga up inii dan kalau ada yang gak paham tanyain aja.
kalau soal name, yaa xixixi keep dulu aja.
see u nanti lagi!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top