10. Bodoh
Kalau kata lagu Kukira Kau Rumah - Amigdala, "Kukira kau rumah, nyatanya kau cuma aku sewa."
Akan tetapi kalau kata Astra, "Kukira kau rumah, nyatanya kau penjara."
Supra's First Son: Astra Nararya
cw: hamil di luar nikah, kekerasan, harsh words
________
"Gue hamil,"
Dua kata itu membuat Astra yang sedang membaca bukunya langsung mengerjapkan mata beberapa kali. Dia kebingungan setengah mati kala perempuan di depannya mengatakan hal seperti ini kepadanya.
".... Hah?"
"Gue... hamil."
Astra masih kebingungan. Dibandingkan dengan panik ataupun bagaimana, laki-laki ini lebih heran kenapa sahabatnya ini datang kepadanya? Padahal bukan dia pelakunya.
"... Terus? Gue harus kasih selamat atas kebodohan lo atau gimana?"
"Nggak, bukan itu maksud gue. Gue tau kok gue emang bodoh banget, goblok banget, tolol banget. Cuma gue bingung harus gimana."
"Terus?"
"... Gue kayaknya butuh bantuan lo deh."
"Bantuan apaan anjir? Gue jadi bapaknya? Ogah ah."
"Bukan gitu aish-" perempuan itu memegang kepalanya pusing, dia menatap Astra dengan tatapan memohon dan kembali bersuara,
"Iya, gue tau gue tolol banget. Tapi tolong kali ini aja, Astra, temenin gue ya? Seenggaknya sampe bayi ini lahir. Ayahnya kabur ntah ke mana. Benar apa yang lo bilang waktu itu, gue nggak seharusnya ikut om-om."
"...."
"Astra, tolong ya? Seenggaknya sampe bayi ini lahir."
".... Bodoh."
__________
"Perut lo udah enakan?" Astra datang dengan sebuah botol air di tangannya untuk diberikan kepada perempuan di sebelahnya. Dia kembali duduk di situ dan menatapnya.
"Makasih, udah enakan kok. Cuma emang gue masih belum terbiasa aja sama ini semua, kayak sakit tiba-tiba gini contohnya."
"Haish... Udah berapa bulan sih?"
"Enam bulan, nggak keliatan ya?"
Astra mengangguk, "Iya. Keliatan kayak nggak hamil jujur."
"Karena perut gue emang gak membesar... gue ga ada baby bump entah kenapa,"
"Oh." Astra tak begitu peduli, toh itu bukan bayinya juga bukan ulahnya. Jadi dia tak perlu khawatir akan apapun. Tugasnya di sini hanya menemani sahabat sejak kecilnya hingga lahiran nanti.
"Btw, nanti pas gue lahiran lo yang nemenin, kan?"
".... Hah? Gue?"
Astra menatap perempuan di sebelahnya dengan pandangan tak mengerti. Kenapa jadi dia yang menanggung semuanya?
"Bukannya lo bilang sampe situ bukan urusan gue lagi, ya? Kan gue cuma nemenin dan bantuin selama lo hamil doang, gue gak akan ikut-ikutan masalah setelah hamil itu."
"... Gue ternyata butuh ditemenin, tolong dong? Bisa nggak? Please, Astra."
".... Bodoh."
Namun walau begitu, permintaan temannya itu tetap dia iyakan. Dia merasa tidak enak untuk tidak berkata 'tidak'. Habisnya, temannya yang satu ini banyak bantu. Kalau Astra tak bantu balik, rasanya seperti teman palsu.
Awalnya tugas Astra itu hanya menemaninya saja. Namun semakin lama, semakin melunjak. Saat dia ngidam atau bagaimana, Astra yang maju mencarikan makanan yang dia inginkan. Padahal perjanjian awal mereka tidak seperti itu. Kalau perempuan ini merasa kesakitan tiba-tiba entah pas malam atau siang, Astra lagi yang maju. Emang daihatsu semakin di depan. Eh-
Namun, saat memasuki bulan kedelapan, temannya ini jadi sangat berubah. Semakin melunjak dan tidak tahu diri. Dia membuat Astra seolah-olah ayah dari anak ini.
Contohnya saja saat menemani perempuan itu belanja sayur dan disapa oleh ibu-ibu, dia malah akan merasa senang dan berakting seolah Astra adalah suaminya. Mereka disangka seorang pasutri muda. Padahal, baru saja lulus.
Beruntung Astra membantunya menyembunyikan kehamilan ini selama mereka masih sekolah.
Contoh lain juga bisa saat mereka jalan bersama atau olahraga pagi dan beristirahat di pinggir sebentar, pasti ada beberapa orang yang menatap mereka dengan merasa gemas, temannya yang merasa ditatap begitupun malah semakin bertingkah seolah mereka memang pasangan.
Astra muak dengan hal seperti itu sejujurnya. Namun, dia pintar dalam menyembunyikan rasa muaknya itu. Sebisa mungkin Astra sabar dan selalu menghitung hari (kapan teman perempuannya ini akan melahirkan sehingga dia terbebas dari penjara).
Akan tetapi, hidup gak selalu mulus, kawan. Karena saat Astra berpikir dia akan bebas satu bulan lagi, perempuan itu malah―
"Gue suka sama lo, Astra."
―begitu.
"Hah....?" Astra mengerjapkan matanya bingung. Selama 13 tahun mereka berteman, ini pertama kalinya bagi Astra mendengar hal itu dari temannya. Astra sendiri tidak pernah terbayang tentang hal seperti ini.
".... Gue suka sama lo... lo perhatian banget sama gue selama gue hamil gini. Orang tua gue udah tau, gue emang dimarahin, tapi mereka berusaha nerima. Kalo lo, lo langsung nerima aja fakta gue hamil. Terus lo mau aja ngebantuin gue...." Perempuan itu mengela napas panjang sebelum menatap Astra yang masih kaget.
"Lo ngebantuin gue sembunyiin ini dari sekolah, lo selalu nurutin tiap gue ngidam, lo tetep bantuin gue belajar juga, tiap perut gue sakit lo selalu ada langsung datengin gue, gue ke mana-mana juga lo selalu nemenin gue. Gimana gue gak jatuh cinta... hahaha."
"....?? Bodoh."
"Gue tau gue makin lama makin tolol begini, tapi tolong Astra―please, ini terakhir gue minta tolong. Tolong bantu gue ngedidik..."
Tepat setelah itu juga, tawa Astra pecah dan matanya menunjukkan ketidaksukaan.
"... Lo tau ga sih? Lo ngelunjak, anjing."
"Emang. Apa pernah gue bilang kalo gue gak ngelunjak? Nggak tuh. Gue ngelunjak minta ini itu tetap lo iyain, kan?"
Perempuan ini tidak sepenuhnya salah.
Astra ingin pergi saja, tidak mau menjawab. Namun, tangannya ditahan oleh teman perempuannya itu. Dia menatap Astra dengan tatapan aku-tidak-menerima-penolakan.
"Apa perlu gue ngerepotin Mioura juga biar lo mau bantu gue?"
"... Gausah bawa-bawa Mio, anjing. Dia nggak ada hubungannya."
"Ya kalo gitu bantuin gue,"
"Nggak." setelahnya, Astra langsung pergi meninggalkannya sendirian. Astra pikir itu akan berjalan lancar tapi... semua semakin kacau saat perempuan itu sudah memasuki bulan ke sembilan.
____
"Astra, Babeh mau ngomong sama lo." Iwan, kakak laki-lakinya itu, tiba-tiba datang dengan wajah merasa kecewa, tampak seperti ingin berkata sesuatu tapi tidak tega.
"... Tumben? Ini soal nilai?"
"Bukan, tapi kelakuan lo."
"... Hah?"
Astra mengerjapkan matanya bingung. Seingat dia, dia tidak pernah melakukan hal aneh di sekolah. Kehidupan sekolahnya itu damai.
"Kenapa lo gak turun aja? Daripada Bubu tau terus nangis gara-gara kelakuan lo. Baru Babeh yang tau."
"Apasih anjir? Gue gak ngapa-ngapain."
Walau begitu, Astra tetap turun dan menemui Supra yang berada di ruang tamu. Pria itu tampak sangat marah dan kecewa ketika melihat dia turun menemuinya.
"... Babeh manggil?"
Supra tidak menjawab, dia memberi kode untuk Astra duduk di depannya, seolah berkata bahwa saat ini dia ingin berbicara serius.
"Kenapa?" begitu duduk di depan Supra, Astra kembali mengangkat suaranya.
"... Jujur, kamu punya pacar?"
Baru duduk, Astra langsung disuguhi oleh pertanyaan seperti ini.
".... Uh?"
"Punya, ya...."
"Hah? Enggak, Beh."
"Nggak punya?"
Astra menggeleng, "nggak."
"Terus? Kenapa Babeh dapet telepon dari temenmu itu tentang dia hamil?"
".... Hah,"
Sejak itu, Astra tahu bahwa dia sedang dijebak. Laki-laki itu panik, tapi dia mencoba tenang. Dia menjelaskan satu-persatu kepada Supra dan yang lainnya. Dari penjelasannya itu pula, Supra mempercayai Astra. Namun walau begitu, bukan berarti Astra sudah tenang. Dia ingat kalau perempuan itu tidak akan berhenti sampai di situ saja. Pasti dia akan terus dipojokkan.
Karena itu, Astra kembali bergerak. Namun dengan gegabah.
Hari itu, Astra mengingatnya dengan jelas. Dia meminta Seaya tuk bertemu karena ingin membahas tentang mereka, tentang masalah yang dia buat.
"Kenapa? Lo jadi mau bantu gue kah?"
Saat mereka bertemu, pertanyaan seperti itu sudah dilontarkan oleh Seaya, membuat Astra kembali merasa dongkol dan malas meladeni.
Dia tahu, perempuan itu melakukan ini agar Astra membantunya lebih dalam. Namun, kalau memang tidak mau, apa perlu dipaksa sampai segininya?
"Nggak, Sea. Kalo bisa, gue mau cut-off lo aja. Lo punya masalah, gue juga punya masalah. Gue tau kita udah temenan dari kecil, lo selalu bantu gue tiap gue ada masalah. Gue juga mau bantu masalah lo, cuma... kalo masalah lo segede ini, gue gabisa bantu banyak."
"... Gue cuma minta didik loh, bukan jadi ayahnya... Kalo gue emang gatau diri, gue minta lo buat jadi Ayahnya."
"Ya gue gak mau? Jelas, kan?"
"... Lo kenapa sih? Kok lo gitu banget?" Seaya merasa tidak terima. Perempuan itu maju ke depan, mendorong-dorong kecil pundak Astra ke belakang dengan sebal. Mereka berdua di dekat hutan, sengaja mencari tempat yang sepi agar tidak ada yang mendengar. Karena habis hujan, daerah sini menjadi sangat becek dan rawan kepeleset.
"Gue beneran gak bisa, maaf."
"Lo kenapa sih segitunya? Gue yakin lo bisa. Lo cuma gamau nolongin gue kan?"
"Ya tapi gue gamau?"
"YA KENAPA? gue selama ini selalu bantu lo tiap lo ada masalah. Gue selalu effort usahain semuanya demi bantu lo keluar dari masalah. Giliran gue yang ada masalah, lo begini?"
"??? Gausah ngerasa tersakiti begitu anjing. Gue udah ngebantu lo semampu gue. Kalo emang itu di luar batas kemampuan gue, ya gue bakal nolak!"
Astra meraih kedua bahu Seaya, dia menggoyangkannya dengan sangat erat dan kencang sembari berusaha menahan emosinya. "Sadar anjing, kalo ga ada gue, lo gak bakal bisa lulus sekolah. Gue ngebantuin lo nyembunyiin ini selama 5 bulan di sekolah anjing." Astra mulai merasa emosi.
Genggaman pada bahu Seaya semakin dia eratkan, dia menunggu balasan dari perempuan itu sambil menahan emosinya.
"... Gue gak pernah minta lo buat nyembunyiin itu. Gue cuma minta nemenin, sekarang lo mau nyalahin gue?"
Tepat saat itu juga, emosi Astra semakin jadi. Secara reflek (tanpa sadar) dia mendorong perempuan itu kuat karena sebal ke tengah jalan, bertepatan dengan lampu merah yang berganti menjadi lampu hijau.
'.... Bruk.'
Tidak tahu lagi, yang Astra tahu hanya terdengar suara mengerikan yang saling sahut-sahutan.
______
".... Astra, lo nggak apa?"
"Ah- gue gapapa. Kenapa lo? Mau minta uang?" mendengar ucapan Astra, Mio mendengus sebal. "Apasih astaga... Padahal dari tadi aku ngebantu kamu buat gak melamun lagi. Dari tadi kamu melamun, kenapa sih?"
"... Nggak apa. Gue cuma masih ... agak takut."
"Takut apa? Oh- karena sekarang kita mau ke makam Seaya?"
Astra mengangguk. "Mau gimanapun, kali itu emang salah gue."
"... Lo memang dorong dia ke jalan secara sengaja atau gak sengaja, sih?"
"... Gak sengaja. Gue emosi berat habisnya. Gue selama ini udah sabar tapi dia malah begitu."
"Astra... Yailah udah lah, itu kejadian lima bulan lalu, lo udah nyerahin diri juga ke polisi dan urusan hukum dan lainnya itu lah, hasilnya sekarang ya gini, lo masih nafas dan hidup tuh. Nggak usah terlalu dipikirin."
"... Tapi gue kepikiran anaknya... Dia nggak tau siapa bapaknya, juga udah kehilangan ibunya, bahkan ibunya belum sempet liat dia."
"... Ah, dia... sekarang apa kabar, ya?"
"Diurus sama orang tua Seaya. Cuma kalo dia sudah balita, mungkin gue bakal jadi ayah sambungnya? Nggak tau ah... Seenggaknya dia harus tau tentang ibunya."
"... Kalo tentang ibunya yang mati karena kamu, juga bakal kamu ceritain?"
"... Mio? Kamu-"
".... Hehe, iya. Jujur aja, aku sebenarnya sebal sama kamu setelah tau kalo Seaya begitu karena kamu yang dorong dia."
"... Mioura."
"Kenapa? Keberatan?"
_______
Waduch, agak bingungin gak nich. karena emang astra ini konsepnya membuat bingung
ada yang mau ditanyain dari cerita ini?
ada yang mau ditanyain tentang astra?
astra ini lovlangnya AOS, terus blio apa ya hememem ya gitu deh 😭
selanjutnya siapa hayo? 👀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top