04. Tidak Seperti Ayah


"Apa pendapatmu tentang Nanat?"

Kalau ditanya seperti ini, kalian para readers akan menjawab bagaimana?

Gempa's First Daughter: Nathania Kenna

―――

"Lagi?"

Gempa menghela napasnya panjang kala mendapatkan telpon dari pihak sekolah yang menyuruhnya datang ke sana karena keributan yang dibuat oleh putrinya. Ini bukan kedua kalinya seperti ini, tapi sudah ke-11 kalinya. Di sekolah yang berbeda namun di tahun yang sama.

Iya, gadis ini sudah pindah sekolah tiga kali karena masalah yang diperbuat olehnya sendiri. Imbasnya, adik-adiknya juga jadi ikut pindah karena nama baik mereka juga sudah tercoreng di sana.

"... Maaf ya, Pak. Kali ini kami berhalangan hadir untuk ke sana. Namun, nanti saya akan menelpon Om-nya Natha agar menggantikan kami ke sekolah."

Memang, [Name] sedang menjenguk temannya yang sakit dan Gempa sedang berada di rumah sakit; tentunya ia di rumah sakit bekerja karena ia dokter.

"Baik, saya tutup teleponnya ya, Pak. Terima kasih banyak." Setelah mengakhiri panggilan dari guru BK, Gempa segera menelpon Blaze yang ia ketahui sedang senggang hari ini. Pria itu tak bekerja karena Gopal yang mengerjakan semua kerjaannya hari ini.

Gopal sih mau-mau saja, toh gajinya ditambah. Blaze memang sering begini jika sedang tidak ada semangat untuk bekerja. Yaelah, Blaze.

Tut... Tut...

"Halo?"

Ketika telepon tersambung dan terdengar suara Blaze, Gempa langsung berbicara.

"Blaze, bisa bantu aku lagi?"

_______

"Hah...." Blaze menghela napas panjang ketika ia lagi-lagi harus berhadapan dengan guru BK di sekolah ponakannya. Ini bukan yang kedua atau ketiga kalinya Blaze mewakili Nanat, melainkan kelima kalinya. Blaze sampai berpikir, kok bisa bapak maknya kayak malaikat tapi anaknya kayak setan?

Aduh, panutan Nanat kamu sih.

Kala Blaze keluar dari ruang BK, Blaze melihat Nanat yang bersandar di tembok sekolah dengan wajah yang ditundukkan. Sepertinya, gadis itu merasa bersalah atas kejadian kali ini.

"... Pulang, yuk?"

"...."

Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulut Nanat. Gadis itu hanya mengangguk dan mengekori Blaze dari belakang dengan pandangan ke bawah. Memang, kali ini Nanat yang bersalah. Wajar saja jika gadis itu merasa tak enak atau bagaimana. Karena kali ini dia yang memulai pertikaian. Entah bagaimana tanggapan ayahnya nanti.

Ah sudahlah.

"Yang itu??"

"Psst! Kedengeran goblok."

"Iya, yang itu. Yang tadi mukul kakel."

"Ih, gak ada adab."

"Tapi gue denger bapaknya itu ramah dan sopan banget, loh? Masa anaknya kayak gini sih? Rasanya gak mungkin banget."

"Adopsi kali WKWKWK."

"Anjrit lu HAHAHAHA."

Biasanya, Nanat akan menghampiri mereka dan meminta bukti atas perkataan asal mereka. Namun kali ini, dia sedang tak ada kuasa untuk itu. Saat masuk ke dalam mobil pun dia hanya diam saja melihat pemandangan di luar. Blaze juga kali ini diam saja. Tak seperti biasanya yang memberi semangat dan mendukung tindakan Nanat.

Memang, sekali lagi diulangi; karena kali ini, Nanat yang bersalah. Masa iya Blaze mendukung ponakannya kali ini? Jujur saja, Blaze juga sedikit kecewa. Memukul kakak kelas dan menjambaknya tanpa alasan yang jelas―itu membuat Blaze kecewa.

Baiklah, Nanat memang suka dipanggil ke BK dan alasan dari perbuatannya itu jelas, sehingga Blaze mendukung Nanat. Namun kali ini berbeda. Blaze tidak bisa mendukung Nanat.

Agar tidak terlalu sunyi seperti ini, akhirnya Blaze pun mengeluarkan sebuah kalimat untuk Nanat, "Lain kali jangan gitu lagi, ya."

Hanya begitu saja, dan mobil melaju lebih cepat agar cepat sampai di rumah Gempa.

Omong-omong, Blaze sudah melaporkan ini kepada Gempa dan [Name]. Mereka berkata bahwa mereka akan segera pulang untuk mengurus ini. Jadi, ada kemungkinan Blaze dan Nanat akan berpapasan dengan mereka di jalan.

--

Sesampai di rumah Gempa, Blaze langsung memarkirkan mobilnya di garasi rumah. Kala Nanat turun dari mobil, tetangga sebelah yang sedang berkumpul langsung melirik ke arah mereka. Mereka paham akan hal ini, kalau Nanat pulang bersama Blaze di hari sekolah, ada kemungkinan Nanat di panggil ke BK lagi. Karena itu, mereka langsung membuat asumsi yang sedikit benar tentang gadis itu. Memang dasar, para penggosip. Apalagi yang digosipin anak dokter.

Nanat sih, sudah kebal. Walau mungkin kali ini ia sedang tidak kuat.

"Loh.... Anaknya Pak Dokter itu kan?"

"Sama Omnya itu?"

"Kok udah pulang? Anak saya aja yang satu sekolah sama dia belum pulang."

"Loh, Jeng gatau kah? Biasanya kalau begitu karena dia habis dari BK. Pasti malah izin pulang tiap habis masuk BK."

"Hahaha malu itu pasti."

"Saya bukan masalah malu sih Jeng, lebih ke kasian sama Pak Dokter. Punya anak bukannya pinter malah bikin masalah terus hahahaha."

"Bapaknya Dokter keren, sukses gitu. Anaknya malah begini. Haduh, jomplang banget."

Oke, Nanat berusaha untuk pura-pura tidak dengar. Dia membuka pintu rumah yang memang tidak dikunci karena ada bibi. Namun gadis itu tak mengizinkan Blaze untuk masuk ke dalam rumah.

"Om Blaze, makasih ya. Tapi Om bisa pulang gak? Aku lagi gak mau dulu ketemu orang luar rumah ... habis ini mau sendiri di kamar dulu."

Blaze hanya mengiyakan. Dia sedikit paham dengan Nanat karena dulu dia juga begini. Bahkan mungkin lebih parah.

"Om tinggal, ya? Baik-baik di rumah."

Setelahnya, Nanat langsung masuk ke dalam rumah dan menguncinya. Mobil ayahnya belum terlihat, sepatu kerja yang biasa ayahnya pakai juga belum ada di rak sepatu. Yang mana itu artinya ayahnya belum pulang. Dia bisa lebih dulu pergi ke kamar dan mengurung diri sebelum berhadapan dengan ayahnya.

Karena sekali ia berhadapan dengan ayahnya―

"Loh, Putri Ayah udah pulang?"

―segala keluh kesahnya akan langsung ia keluarkan begitu saja.

"...." Nanat benar-benar tidak mengerti. Bagaimana bisa ayahnya berada di rumah dengan pakaian santai? Mobil dan sepatunya saja tidak ada. Apa ia halusinasi saat ini?

"Astaga, jangan natap Ayah kayak gitu dong... Ayah jadi kayak maling yang masuk ke rumah orang aja, hehehe." Gempa tertawa pelan sebelum kembali mendekati putrinya, "Ayah tadi pagi ojek, mobilnya dipake Bunda. Hari ini Ayah nggak pake sepatu yang biasa, sepatu Ayah lagi dijemur habis dicuci." Seakan paham apa yang ada di pikiran putrinya, Gempa langsung menjawabnya begitu saja.

"...."

"Kenapa hari ini pulang cepet, Kenna? Gimana sekolahnya? Ada yang mau diceritain hari ini?"

Gempa mengusap kepala putrinya pelan sebelum ia bawa ke dalam dekapannya. Pria itu menepuk punggungnya pelan, berusaha memberi rasa aman dan nyaman kepada putrinya yang sedang tidak baik-baik saja.

"Ceritain aja semuanya. Ayah dengerin."

Tuh, kan. Ini yang Nanat tidak suka dari Gempa. Ayahnya ini selalu saja memiliki cara agar ia bercerita, padahal Nanat yakin tanpa diceritakan pun Ayahnya sebenarnya sudah tahu apa yang terjadi dan bagaimana harinya.

Rasanya kali ini seorang Nathania Kenna ingin menangis begitu saja ketika berada di dekapan ayahnya yang orang-orang bilang super hebat itu. Ya, mau bagaimanapun itu memang fakta sih. Ayahnya memang hebat, berbanding terbalik dengan dirinya.

"A... Aywah..," air matanya mulai turun, gadis itu benar-benar rapuh kala bertemu dengan ayahnya. Tiap kali ia bertemu dengan ayahnya atau menatap mata ayahnya rasanya ia ingin langsung mengeluarkan semua keluh kesahnya, air matanya, rasa sedihnya.

"Cup, cup. Ambil posisi yang enak dulu, yuk? Baru kita saling sharing cerita hari ini. Hari ini Ayah juga punya cerita yang Ayah bawa pulang buat kamu, Kenna."

"Nanat,"

"Loh?"

"Akwhu ghakmau dipanghil Khenna, maunya Nanat." Gempa bisa merasakan baju di bagian dadanya sedikit basah karena air mata putrinya yang belum berhenti. Gempa sih tidak masalah selama putrinya akan merasa baikan setelah ini.

"Loh, perasaan dulu kamu maunya dipanggil Kenna pas masuk SMA."

"Ngghak jadi! Kalo sama Ayah akhu tethap mau dipanggil Nanat."

Gempa terkekeh geli. Lucu sekali putrinya ketika sedang tidak jelas seperti ini. Karena menurut Gempa: ketika Nanat tidak jelas seperti ini, sifatnya waktu kecil tanpa sadar keluar lagi.

"Jadi kalo Ayah panggil Princess Nat lagi kamu gak akan marah atau malu?"

"Ngghaaak, selama itu Ayah yang pangghil."

Lucunya.

________

Hshsjsn karena banyakan nanat kemarin, jadi aku bawa nanat 👀 nanat ini ga ada masalah. Masalahnya paling sekitaran sekolah doang (anak bandel)

Also, dia suka pas disayang gempa pake banget HAHAHAH aku juga bakal suka banget sih kalo disayang ayah gempa shehhdj

ada yang mau ditanyain tentang nanat?

tmi tp kadang aku suka ketuker antara faya sama nanat 😭😭😭 karena di pikiranku, mereka itu mirip secara fisik dan sifat nggak beda jauh

next aku bahas faya deh




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top