03. Mandiri


"Apa pendapatmu tentang Aira?"

Kalau ditanya seperti ini, kalian para readers akan menjawab bagaimana?

Ice's First Daughter: Anahita Airani

Attention!
cw: orang stress, delusional berlebihan
--------

Sejak anak keduanya lahir, Ice sebisa mungkin berusaha membagi kasih sayangnya untuk keduanya agar imbang. Begitu pula dengan istrinya. Keduanya sebisa mungkin berusaha agar tidak ada yang merasa dianak tirikan atau semacamnya.

Kepada anak perempuannya, Ice mendidiknya secara tegas sedikit mirip seperti mendidik anak laki-lakinya. Namun, dia tarik-ulur. Ada kalanya Ice memanjakan anak perempuannya agar anaknya itu tidak begitu kaku atau merasa seperti ditekan. Begitu pula dengan anak laki-lakinya, dia mendidiknya tegas, tapi ada kalanya Ice juga mengiyakan atau memanjakannya.

Karena itu, Ice pikir tidak akan ada masalah atau pertengkaran karena kasih sayang antar saudara. Namun, siapa sangka kehadiran anak keduanya dan cara mendidiknya itu malah merubah cara berpikir Aira?

Baiklah, Ice merasa bangga karena Aira itu menjadi mandiri. Rasa tanggungjawab sebagai kakak juga sudah menempel di diri Aira. Akan tetapi, gadis itu kelewat mandiri.

Ice ingat, saat Aira memasuki kelas 4 SD, gadis cilik itu berkata tidak ingin diantar lagi olehnya. Aira ingin pergi ke sekolah dengan menaiki sepeda bersama teman-temannya yang lain. Kebetulan saat itu sekolah Aira memang dekat dari rumah, sehingga Ice memberikan izin padanya.

Ketika Aira ulang tahun yang ke-12, Aira memberitahukan permohonannya kepada Ice dan [Name]. Gadis cilik itu berkata bahwa ia tak ingin lagi menggunakan PaBer dan MaBer sebagai panggilan sehari-harinya. Katanya, kini panggilan itu terdengar memalukan. Padahal dulu Aira sangat menyukai panggilan itu. Akhirnya, keesokan harinya Aira memanggil Ice dengan panggilan ayah, dan [Name] dengan panggilan bunda.

Sedih? Iya.

Memasuki tingkat SMA, gadis itu tak pernah mau lagi dipanggil 'KaBer' ataupun 'BaBer'. Dia akan marah dan meminta siapapun yang memanggilnya seperti itu untuk berhenti. Aira kini lebih senang jika dipanggil Anahita oleh teman-temannya dan gurunya. Panggilan 'Aira' hanya berlaku di rumah atau di rumah keluarganya yang lain. Alias, itu menjadi panggilan rumah. Padahal dulu itu adalah panggilan umumnya.

Semakin bertambahnya umur, Aira semakin menolak semua perhatian atau perlakuan lembut dari orang tuanya. Dia pikir, dia sudah terlalu dewasa untuk diperlakukan seperti itu. Menurutnya, dia sudah tidak butuh perhatian Ice ataupun [Name].

Aira benar-benar tumbuh menjadi sosok yang mandiri. Ulang tahun pun kini dia tak pernah mau merayakannya lagi. Jadi saat Aira berulang tahun, Ice hanya memberinya ucapan dan kecupan kecil di kening. Kecupan itupun sedikit ditolak oleh Aira. Pernah sekali Ice memberinya kado di ulang tahun yang ke-14, dan balasan Aira seperti ini:

"Makasih, Ayah. Tapi selanjutnya nggak perlu kasih kado lagi, ya? Mending ditabung atau buat Adek aja. Adek kan lebih butuh dari pada aku."

Padahal, uang Ice lebih dari cukup untuk keluarganya. Ice mau menjemput saja ditolak oleh Aira. Gadis itu keras kepala berkata tidak ingin dijemput dan bisa pulang sendiri.

Selain itu, Aira juga sudah merencanakan masa depan yang matang. Semuanya sudah digambarkan dengan jelas oleh Aira, dan juga sudah dipresentasikan di depan Ice.

Singkatnya, tujuan hidup Aira sudah jelas. Karena itu, sepertinya Ice sudah tidak dibutuhkan oleh si sulung. Karena di mata Aira, Ice itu seorang pemalas yang terlalu memanjakan anak-anaknya.

Astaga, pemalas begitu pun uangnya banyak.

Aira berkata jikalau ia ingin menjadi pembisnis, ia berniat ikut dalam pertarungan pemimpin selanjutnya di perusahaan keluarga besarnya. Saat ini, perusahaan itu masih dipegang oleh Halilintar. Namun dari sekarang para orang dewasa mulai menilai, siapa yang paling berpotensi dan bisa menjadi pemimpin selanjutnya di perusahaan keluarga ini?

Seharusnya, Arva lah yang memimpin. Namun, laki-laki itu mundur karena ia ingin bebas dan menjadi seorang penulis lagu. Adik perempuannya pun juga menolak, sehingga pemimpin kali ini akan menjadi sebuah sumber pertengkaran keluarga.

Karena semua alasan itu, Ice sudah tidak bisa lagi menahan anak perempuannya. Gambaran mimpinya sangat besar, ambisinya sangat besar, dan tekadnya sudah bulat. Jadi mau dibujuk berapa kalipun, Ice yakin Aira tidak akan mendengarkan.

---

"Aira, hari ini kamu pulang jam berapa?"

"... Jam delapan, Ayah nggak usah jemput ya? Aku nggak pulang sendiri, kok. Aku bareng Faya."

Memang, sampe generasi selanjutnya pun api sama es ini masih sahabatan.

"Serius?"

"Duarius. Aku janji, aku bakal baik-baik aja."

Ah, kalimat itu lagi. Kalimat yang selalu diucapkan oleh Aira tiap kali Ice membuat raut tak percaya atau khawatir. Pun, benar saja. Aira selalu menepati janjinya tentang akan baik-baik saja.

"Ayah sama Bunda nggak perlu khawatirin aku. Aku sudah bisa ngatur hidup sendiri. Ayah sama Bunda fokus ke Adek aja, ya? Hehe, aku pergi dulu."

"...." Ice tidak tahu harus berkata apalagi jika begini, "Ya," Paling hanya kata itu saja yang keluar dari mulutnya. Semoga, kali ini pun Aira baik-baik saja seperti apa katanya.

-----

SRAAK.

"Aduh! Sakit Faya!"

"MAAF KAK!"

Kelar urusan sekolah, Aira izin dari tempat les dan pergi ke rumah Faya, lebih tepatnya rumah om ketiganya; Blaze. Aira memang sering ke sini tanpa sepengetahuan Ice.

Untungnya pun, Blaze juga merahasiakannya dari Ice sehingga ayahnya itu tak tau.

Ngapain, sih?

"―duh, Kak Aira ... udah biru sampe ungu begini nggak diobatin juga?"

"Aku nggak tau kotak P3K ada di mana."

"Ah, kamu kebiasaan, Kak. Sini kuobatin dulu punggungnya." Segera saja Faya mengeluarkan kapas dan perban untuk mengobati kakak sepupunya itu. Sebenarnya Faya heran, apasih yang membuat Aira merasa sungkan untuk memberitahu segalanya kepada Ice? Kenapa ia malah lebih percaya kepada keluarganya?

"Omong-omong ... ini ulah siapa lagi?"

"Bukan ulah siapa-siapa. Ini bekas aku sendiri, Faya. Aku nggak tau ... kemarin aku lepas kendali lagi."

Faya menghela napas lelah. Ini bukan yang pertama atau kedua kalinya kakak sepupunya seperti ini. Diajak ke psikiater pun tidak mau karena takut keluarganya malah mengetahui hal ini.

"Memangnya Om Ice nekan Kakak?"

"Nggak."

"Terus apa yang bikin Kakak sampe segininya? Kenapa Kakak keras sama diri sendiri? Memangnya malu-maluin banget ya kalo Om Ice manjain Kakak?"

Aira tertawa pelan, "Aku juga nggak tau, Faya. Aku tiap hari selalu halusinasi ayah ngebentak dan mukulin aku. Aku ... takut. Aku takut kalo aku bergantung ke Ayah, halusinasiku itu malah jadi kenyataan."

"...."

"Kadang aku suka tiba-tiba ketakutan atau kaget sendiri tiap liat Ayah. Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa bilang aku mau jadi pembisnis ke Ayah. Padahal tujuanku itu pengen jadi Seniman. Rasanya aku kayak dibisikan Ayah dari kemarin, 'kamu harus nerusin perusahaan ini' dan tiba-tiba aja aku bilang kalo aku mau jadi pembisnis buat masa depan keluarga.

Aku nggak sadar selama ngomong sama Ayah kalo aku mau jadi pembisnis. Kelar ngobrol, aku baru sadar tadi aku malah ngikutin halusinasiku lagi. Akhir-akhir ini aku juga ngantukan. Rasanya aku pusing, aku mau ketawa, tapi juga mau nangis. Padahal nggak ada yang neken aku, nggak ada yang berekspektasi sama aku ... orang aneh."

Aira mengambil napas sebentar sembari melihat dari kaca bagaimana Faya mengobati lukanya sebelum kembali berbicara.

"Kadang aku juga mau bergantung, tapi aku nggak mau bergantung ke Ayah. Nggak akan mau. Tiap kali aku mau minta tolong ke Ayah, pasti halusinasi itu datang lagi. Aku jadi makin takut, Faya."

Faya tidak tahu harus berkata apalagi. Halusinasi Aira memang semakin ke sini semakin parah karena tidak diobati. Terakhir kali Aira datang ke rumah Blaze, Aira langsung berteriak ketakutan tak jelas. Padahal tidak yang menyakiti. Baru disambut masuk.

Kali ini, Aira benar-benar harus diobati.

"Kak, aku memang pernah dengar dari Ayah kalo Kakak itu mirip sama Ice; suka halusinasi nggak jelas atau mimpi buruk yang nggak jelas. Katanya, dulu Om Ice juga pernah begini."

"... Hah?"

"Tapi Om Ice diobatin. Walau nggak sepenuhnya sembuh."

Aira terkekeh pelan mendengar ucapan Faya. Fakta ini baru ia dengar setelah ia menderita bertahun-tahun dengan halusinasi tak jelasnya ini? Tak pernah terlintas sekali pun di kepala Aira kalau ayahnya juga pernah seperti ini.

Astaga ... apa ini turunan?

_____

jiakh, gantung hahay spill dikit-dikit 🤭🤭

kalian inget yang ice mimpi sampe 3 chapter itu? nah, kondisi aira juga mirip sama ice waktu itu. bedanya, kalo dulu ice selalu mimpi begitu sampe halusinasi. kalo aira dia memang suka halusinasi gak jelas tiba-tiba (kayak turunan dari ice) dan aira gak pernah tau kalo dulu ice sebelas dua belas kayak dia. cuma ice bisa sembuh karena perobatan dan lainnya.

ada yang mau ditanyain tentang aira? 👀

kalo aku bahas boel family sebelum nikah sebenarnya masalahnya banyak, nggak cuma hahahihihuhu karena aku suka bikin family angst... CUMA SEKARANG MASIH BANYAK, GENTAR AJA BELUM TAMAT. KAPAN KAPAN AJA YA 😭😭

aku sambil dengerin runtuh -feby putri pas nulis ini HAHAHAHA

selanjutnya siapa nie? faya dulu atau nanat? 👀



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top