02. Sembilan Tahun
"Apa pendapatmu tentang Arva?"
Kalau ditanya seperti ini, kalian para readers akan menjawab bagaimana?
Halilintar's First Son: Arvanda Nawasena
------
"Arva kan sekarang udah jadi Kakak, tolong ngalah sedikit ya sama Adek. Ayah sama Bunda kan nggak bisa ngasih perhatian ke Arva terus."
Kalimat yang bundanya ucapkan 15 tahun yang lalu masih Arva ingat dengan jelas sampai sekarang. Kalimat itu dilontarkan dari mulut bundanya kala dua adik perempuannya lahir. Iya, adiknya itu kembar. Sejak itu pula, tiap kali ada apa-apa pasti bundanya selalu berkata, "Sabar, ya? Arva kan Kakak yang tertua. Tolong ngalah sedikit lagi, ya?"
Baiklah, Arva paham jika kedua orang tuanya termasuk golongan orang yang sibuk. Ditambah, mereka memiliki dua balita kembar yang masih butuh perhatian lebih. Oke, Arva akan mengalah di bagian situ. Namun, kalau soal acara sekolah seperti pentas dan lainnya, apa perlu Arva mengalah lagi? Kan bunda bisa saja membawa kedua adiknya itu ke sekolah.
Kalau tentang bunda, Arva masih bisa memahami dan memakluminya. Akan tetapi kalau tentang ayah ... duh. Kalau kalian bertanya pada Arva tentang Halilintar, menurut Arva Halilintar adalah orang paling SOK SIBUK NOMOR SATU di dunia. Sesibuk apasih? Yang mengurus mereka juga ibunda tercinta bukan Halilintar. Pekerjaan? Memangnya Halilintar bawahan yang harus kerja rodi demi keluarga? Bukan! Halilintar kan bos perusahaannya. Lantas, kenapa ayahnya itu selalu beralasan sibuk sampai-sampai jarang di rumah?
Arva lihat ayah Kristal yang merupakan pemimpin perusahaan juga gak begitu sibuk, tuh. Glacier ― ayah Kristal ― selalu ada waktu untuk keluarganya. Masa Halilintar benar-benar tidak ada waktu untuk keluarga? Sedari dulu itu yang Arva pikirkan.
Walau begitu, dulu Arva sangat menyukai Halilintar; sebelum kedua adiknya lahir. Karena kala itu, Arva merasa bahwa dia adalah pusat dunianya Halilintar; sumber kebahagiaan Halilintar, rumahnya Halilintar. Ya, setidaknya itu pemikiran Arva saat masih berumur 3 tahun: Ayahnya sangat mencintainya lebih dari siapapun.
Dahulu, Arva berpikir ia ingin meneruskan perusahaan keluarga yang saat ini di kelola oleh Halilintar. Kenapa? Agar Halilintar bangga padanya. Namun, niat itu dia hapus ketika umurnya menginjak angka sembilan. Rasanya, ia tak punya motivasi dan tujuan lagi untuk itu.
Di saat adiknya lahir, Halilintar sedikit berubah. Rasanya, semua waktu yang biasa Halilintar berikan padanya tiba-tiba dibagi kepada dua adiknya. Apalagi saat adiknya menginjak umur satu tahun, Halilintar benar-benar berubah. Pria itu jarang pulang dan lebih memilih lembur di kantor.
Awal-awal, Arva masih sering menunggu Halilintar pulang hingga jam satu malam, tapi makin ke sini dan ke sini, Arva sudah tidak peduli lagi.
Perhatian dari Halilintar semakin memudar tiap bertambahnya tahun. Puncaknya ketika Arva berusia sembilan tahun. Arva kecil kala itu berpikir jika ia menjatuhkan diri dari atas tangga, mungkin ayahnya akan meliriknya atau sekadar bertanya seperti, "Kamu gapapa?" "Ayah khawatir," "Jangan begitu lagi." dan sejenisnya. Namun, lagi-lagi itu semua hanyalah ekspektasi Arva.
Kenyataannya, ayah kebanggaannya itu tidak hadir ketika ia dirawat di rumah sakit akibat menjatuhkan diri dari tangga. Justru, yang merawatnya malah Taufan; salah satu omnya dan bundanya; yang memang selalu merawatnya dari sejak ia kecil.
Astaga... Kala itu―
"Ayah! Ayah―Ayah di mana?"
Saat sudah sadar dari pingsannya, yang pertama kali Arva cari adalah ayah kebanggaannya. Wajahnya itu sudah terlihat sangat bersemangat karena ia pikir ayahnya datang menjenguk.
Kenyataannya, saat dia sadar hanya ada Taufan dan ibundanya.
"... Ayah nggak ada?"
Taufan menggaruk pipinya yang tak gatal itu dengan sengaja. Ia hanya cengengesan bingung harus merespon bagaimana ucapan Arva. Faktanya, Taufan sudah memperingati Halilintar untuk tidak terlalu berlarut-larut dalam pekerjaannya. Saat Arva pingsan pun, Taufan menghubungi Halilintar dan memaksa pria itu untuk datang menjenguk anaknya. Namun, tau tidak apa yang Halilintar ucapkan?
"Aku lagi sibuk, Taufan. Ada [Name] yang bisa ngejagain Sena. Juga, Sena itu sudah besar, perhatian bukan lagi fokus utamanya saat ini."
Taufan selaku papa dari lima anak tentunya tak terima. "Kak, kamu bilang kamu gamau jadi kayak Ayah, tapi sekarang kamu mirip Ayah loh. Sadar gak sih, Kak? Dan menurutku, Arva sekarang mirip Kak Hali waktu kecil."
Setelahnya, Halilintar tidak menjawab panjang lagi. Dia hanya menjawab, "Aku sibuk." lalu panggilan diputuskan sepihak.
Astaga, Taufan sendiri bingung bagaimana memberitahu Halilintar lagi.
"Hehehe... Ayahmu itu lagi sibuk. Tolong dimaklumin, ya?" jujur saja, kalau Taufan menjadi Arva, pasti Taufan akan murung dan merengek. Mana bisa ia maklumi.
"Oh...."
"Arva ... nggak apa, kan? Hari ini Arva sama Om Upan dulu, ya! Ayah juga bilang malem ini Ayah pulang buat nengokin Arva."
"Serius?"
"Iya. Jadi sekarang sama Om Upan dulu, oke?"
"... Oke."
Bohong. Saat itu Taufan berbohong kepada Arva jikalau Halilintar akan datang menjenguk di malam hari. Hal itu membuat Arva sekali lagi berharap kepada Halilintar. Arva kecil benar-benar menunggu Halilintar di malam hari sampai pukul dua pagi. Namun, sampai jam segitu pun Halilintar tidak kelihatan. Sehingga Arva sadar jikalau ia dibohongi.
Arva memilih tidur setelah itu. Namun dia tidak tahu―ketika jam menunjukkan pukul tiga pagi, pintu ruang inapnya terbuka. Menampilkan Halilintar yang masih memakai pakaian kerja.
Halilintar menjenguknya. Pria itu mendekati Arva dan mendekapnya erat. Tak lupa, ia memberi kecupan kecil di kening putranya yang sedang sakit.
"Cepat sembuh, Sena."
Namun, hingga kini ... Arva tidak pernah mengetahuinya. Arva tidak pernah tahu jika malam itu Halilintar menjenguknya.
Arva tidak pernah tahu jika sampai kini, dia tetap pusat dunia Halilintar. Hanya saja, Halilintar merasa kesulitan dalam mengungkapkannya; tidak seperti adik-adiknya yang pandai mengungkapkan sesuatu.
――――
"Va, lo udah dijemput."
Arva mengerutkan keningnya bingung, selama ini dia selalu pulang sendiri, tidak pernah dijemput. Kenapa tiba-tiba temannya berkata jika ia dijemput?
"Siapa? Yakin gue? Gak salah orang lo?"
"... Ya, iya? Lo ga sih? Soalnya tadi ada Bapak-Bapak cakep nanyain lo udah kelar atau belum."
"... Hah? Ngawur. Nggak mungkin."
"EH ASLI BENERAN ANJIRR, LO CEK SENDIRI KALO GAK PERCAYA! TUH DI DEPAN SEKOLAH."
Lantas, Arva bangun dari duduknya. Ia berjalan keluar kelas dengan tasnya menuju ke arah depan sekolah. Sampai di sana pun, ia tak melihat orang itu tuh.
"... Tuh kan, ngawu―"
"―Udah kelar, Sena?"
Omongan Arva terputus begitu suara yang lebih berat darinya terdengar. Dia menoleh ke belakang dan mendapati ayahnya ― Halilintar ― sedang bersandar di tembok sekolah.
"... Dunia mau bercanda??"
"Ayo pulang."
"Hah?"
"Kenapa 'Hah'?"
"Ayah ngapain jemput?"
"... Gak boleh?"
"... Gapapa sih. Aneh aja. Kan biasanya sibuk."
"... Hari ini Ayah gak sibuk. Makanya, Ayah bisa jemput kamu."
"Tapi aku bawa motor, Yah."
"Ayah bawa mobil. Dimasukin ke dalam mobil aja, Sena. Ayo ke parkiran motor dulu kalo gitu." Halilintar mengulurkan tangan kanannya kepada Arva, bermaksud untuk meminta izin menggandengnya―walau ditepis oleh Arva.
"Aku bukan anak kecil lagi, Yah."
"Oh ya? Sejak kapan?"
"Sejak umur sembilan tahun."
"...."
Halilintar tau ke arah mana pembicaraan ini.
_______
hshdhdh akhirnya kelarr arvaa, ada yang mau ditanyain tentang arva? bilang ajaa.
aku nulis ini sambil dengerin membasuh - hindia sdhjsks vibes lagunya mirip-mirip sama hubungan hali-arva menurutku 😭
kemarin aku nulis cahaya juga sambil dengerin pelukku untuk pelikmu - fiersa besari ASELIII cocok 😭👍
habis ini mau bahas anaknya siapa lagi nie? yang sulung-sulung dulu aja tapi ya 👀 habis itu baru mereka ketemuan
dadah!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top