Sebutir Biji itu Telah Menjadi Bunga
Choi Yeonjun
.
.
Choi Soobin
.
.
(Catatan penulis: Silahkan bayangkan latar tempat dan suasan Korea zaman dulu. Tema fantasi tapi mungkin agak gagal *muehe)
selamat membaca \(^-^)/
.
.
.
Dalam perjalanan menuju kota kecil di hilir sungai yang entah apa namanya, suara langkah kaki mereka tak pernah jadi begitu terdengar, itu tenggelam oleh suara lain-- suara manusia, hanya satu tapi di tengah hutan yang sepi telah menjelma sebagai vokal utama. Makhluk buas mungkin akan pekak telinganya, dan daripada mendekat untuk memangsa, mereka yang sedikit lebih pintar akan memilih menjauh demi keamanan.
Soobin berulang kali menutup tirai bulu mata, mencoba mengabaikan suara pemuda di belakang yang belum juga selesai bicara sejak matahari muncul di timur. Setiap Soobin membuka mata dan kebetulan mendapati ranting kering atau tumpukan daun, kaki-kaki panjang yang dibalut sepatu bot hitam itu akan sengaja menginjak dengan ganas, seolah akan menghancurkan apapun di bawah solnya menjadi debu, dan berharap dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga agar Choi bersisik Yeonjun memberi kesabarannya sedikit belas kasihan. Sayang beribu sayang, pemuda dengan jubah bertudung di belakang tidak pernah peduli atau pura-pura atau memang sungguhan bodoh. Namun sebenarnya Soobin hanya tidak tahu bahwa pemuda di belakang itu menganggap diam adalah penerimaan. Semakin diam Soobin, maka dianggap semakin ingin dia mendengarkan.
Sejak awal kedua pemuda itu sudah terlibat dalam banyak kesalahpahaman. Soobin tidak akan bicara banyak, sedangkan Yeonjun akan tidak banyak berpikir. Itu adalah masalahnya, mereka tidak pernah mau merubah tabiat masing-masing.
Oleh karena itu, sepanjang mereka berjalan bersama menuju selatan untuk tujuan masing-masing yang kebetulan searah, keduanya tidak pernah mendapat hari yang bagus. Anehnya daripada berpisah untuk menghindari konflik satu sama lain, mereka tetap kukuh berjalan di jalur yang sama sambil menunggu yang kalah menyingkir lebih dulu. Dan mereka dipaksa untuk tetap bersama sepanjang waktu sambil menyembunyikan racun dibalik wajah masing-masing.
Semakin waktu berlalu mereka semakin tenggelam dalam permusuhan tetapi itu justru malah membuat mereka terlihat kian akrab. Barangkali setelah melewati banyaknya pertikaian akibat isi kepala yang terus bertentangan telah menuntut mereka untuk jadi mulai terbiasa. Waktu telah membuat mereka belajar tentang satu sama lain. Soobin tahu letak segala keburukan Yeonjun, sedangkan Yeonjun telah melihat banyak sisi hitam Soobin. Mereka sama-sama mencium kebusukan tetapi malah semakin gencar mengumbar aroma yang sama. Toh, mereka tahu segalanya telah terlanjur membusuk, lalu mengapa tidak sekalian berlomba untuk melihat siapa yang paling busuk?
Suatu ketika si pikiran dangkal berucap random seperti biasanya, tapi kali ini topiknya agak tidak tahu malu.
"Soobin, kau ini perhatian sekali, sih. Jangan bilang kau suka padaku. Sebenarnya aku tidak masalah kalau kau benar-benar menyukaiku, tapi ku mohon jangan menangis kalau aku menolakmu, ya?"
Pemuda tinggi yang sedang membalik ayam di atas api itu agak syok. Sudut bibirnya berkedut lalu dengan tatapan setajam pedang ia berbalik, mendengus konyol ke arah pemuda yang asik bersandar pada batang pohon sambil memainkan sehelai bulu ayam di tangannya.
"Yang benar saja, Yeonjun? Sekarang bisakah kau memikirkan apa yang baru saja kau katakan? Apa kau tidak merasa malu pada diri sendiri? Suka pantatmu!!! Bagian mana yang bisa membuat ku jatuh hati, heung? Dari atas sampai bawah sama sekali tidak ada yang sesuai dengan seleraku. Jangankan menyukai, melirik saja aku tak sudi. Ohh..ayolah, kau jelas tahu aku pemilih dalam banyak hal. Ketika aku dihadapkan pada pilihan dan ada kau di dalamnya, aku akan menyingkirkanmu paling pertama."
Yeonjun tidak menyangka Soobin akan membalas kalimat isengnya dengan sepadat itu. Di lain waktu ketika diajak bicara, dia selalu menjawab dengan seadanya, tapi ketika ia diajak bicara tentang sesuatu yang tidak ia sukai, tiba-tiba ada banyak sekali kata untuk membuktikan alasan kebenciannya, seolah orang yang dengar diajak untuk ikut tidak menyukai.
Tangan Yeonjun bergerak gesit meraba sekitar lalu seperti telah menjadi kebiasaannya, tanpa pertimbangan ia melempar sebuah kerikil dan tepat mengenai tempurung belakang kepala Soobin.
"Hoho! Choi Soobin, batu karang bahkan lebih halus dari mulutmu. Aku hanya sekadar ingin tahu kau suka atau tidak, biasanya juga kau hanya bilang 'ya' atau 'tidak', tapi hari ini tiba-tiba kau malah sangat cerewet seperti babi ternak yang kelaparan. Aku jadi tidak yakin kalau kau benar-benar tidak menyukaiku. Kau marah karena tidak mau mengaku, kan?"
"Ha.ha. Jangan khawatir, Choi Yeonjun. Jika aku menyukaimu, maka itu hanya akan terjadi dalam mimpimu."
"Puih! Bermimpi saja aku tak sudi."
Satu sudut bibir Soobin terangkat tipis, membentuk seringai meremehkan yang sayangnya juga tampan. "Tidak mungkin. Wajah tampan sepertiku ini selalu mudah datang ke mimpi orang, apalagi seorang gadis... Se.per.ti.mu."
Yeonjun merasa kepalanya kebakaran. "Demi batu karang di lautan aku akan menendang bokongmu!"
"Tidak masalah, itu hanya terjadi di dalam mimpimu."
Soobin masih sibuk membolak balik ayam panggang ketika ia kembali menerima lemparan batu dari belakang. "Apa lagi sekarang?"
Yeonjun menatapnya dengan wajah serius. "Kalau kau benar-benar jatuh cinta padaku, aku pastikan kau akan menangis."
"Aku tidak mungkin seperti itu."
"Mungkin!"
"Bagaimana bisa mungkin?"
"Kau..." Yeonjun jeda untuk berpikir sejenak, tapi itu sia-sia "Kau mungkin tidak sengaja suka padaku nanti."
Tiba-tiba hening, hanya suara letupan bara api yang mengisi. Yeonjun kira Soobin sudah kalah dan tidak akan membalas lagi, jadi dia kembali bersandar dengan santai pada batang pohon di belakangnya.
Ayam telah matang, Soobin menghirup aromanya dengan hati-hati, sekilas melirik Yeonjun dibalik punggungnya yang diam-diam tengah mengamati dengan mata lapar sambil menelan ludah.
"Bagaimana aku bisa sampai tidak sengaja? Memangnya kau batu dalam nasi yang tidak terlihat? Kemarilah. Makan selagi ayamnya hangat."
Yeonjun beringsut, menunggu Soobin memotong ayam yang masih mengepulkan asap panas dengan belati peraknya. "Sepertinya enak."
Ia mendapat anggukkan sebagai balasan. Daging dipotong dengan ukuran yang pas untuk satu suapan dengan selembar daun teratai sebagai alas. Yeonjun menunggu dengan tenang.
Potongan daging telah mengisi penuh selembar daun yang lantas Soobin sodorkan pada Yeonjun dengan hati-hati. "Itu masih panas, jangan lupa untuk ditiup." Yeonjun mengangguk patuh. Sudut bibir Soobin terangkat tipis tanpa sepengetahuan Yeonjun, lalu ia mulai memotong daging untuk dirinya sendiri.
Bagaimana bisa tidak sengaja? Soobin bukan orang yang ceroboh. Ketika ia menemukan sesuatu yang ganjil maka ia akan memastikannya sampai itu jelas. Soobin jelas tau ketika ia mulai menyukai Yeonjun. Perasaan itu bukan sesuatu yang tidak sengaja tumbuh dihatinya. Itu adalah biji mungil yang awalnya tumbuh diam-diam, semakin hari semakin berkembang dan Soobin bukannya tidak tau, ia jelas melihat bunga mulai muncul dan bermekaran, tetapi ia terus berpura-pura, ia tidak mau seorang pun tahu bahwa sekarang ada kerentanan di hatinya. Sampai kapan pun ia akan menyembunyikan bunga itu untuk dinikmati sendiri.
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top