Bersemi

Pada permukaan air danau yang beriak tenang di tengah panas terik matahari, ada bayangan sebuah wajah yang bergoyang lembut. Yeonjun melempar batu seukuran telapak tangan tepat pada pantulan wajahnya di air dengan emosi, membuat pantulan wajah miliknya menjadi buyar dan air memercik ke mana-mana.

Langit sangat biru hari ini tanpa setitik pun noda putih yang artinya seluruh panas matahari yang bertengger tepat di atas kepala itu memanggang bumi tanpa tedeng aling-aling. Sepertinya angin musim panas telah menyapu semua sisa awan sampai bersih.

Yeonjun mengerang tanpa daya sambil mengipasi wajah dengan sebelah tangan. Ia merapal kalimat rajuk layaknya mantra dalam hati, berharap gumpalan awan putih yang berarak lamban sekali dari balik  jajaran gunung menuju tempatnya berada itu sedikit mempercepat lajunya. Matahari yang menyengat kulit sampai ke tulang ini, oh! rasanya kepala Yeonjun hampir pecah karena kepanasan. Untuk kesekian kali, Yeonjun meraih air danau dengan semangat yang tersisa lalu disiram ke wajahnya yang sudah memerah.

Dari bawah dedaunan, seseorang diam-diam mengamati pemuda yang sedang berjongkok dipinggir danau itu. Soobin duduk pada sebatang dahan yang kokoh sambil menopang dagu dengan sebelah tangan, kadang menggeleng, kadang juga berdecak kasihan melihat Yeonjun yang tampak meringkuk mungil tengah putus asa karena kepanasan.

Ngomong-ngomong sudah berapa lama sejak pertemuan pertama mereka? Setahun? Itu mungkin sudah lebih dari setahun. Soobin tidak ingat untuk menghitung tapi entah perasaannya berkata bahwa itu baru kemarin, masih sangat baru. Itu adalah di waktu ketika ia baru saja mulai melangkah keluar akademi, memutuskan untuk mengembara menuju selatan seorang diri. Ia lantas tak sengaja bertemu seorang pemuda yang mengaku sebagai peramu obat, sedang berjuang hidup dan mati dengan teknik pertahanan di tengah hutan dan hampir jadi santapan monster. Waktu itu hujan lebat, dan si Choi bodoh Yeonjun itu terjebak dalam tabir selama dua hari satu malam. Jika saat itu Soobin tidak kebetulan lewat, segala upayanya untuk bertahan dalam dua hari akan menjadi sia-sia.

Sekarang sudah jauh dari titik pertama mereka bertemu. Gerbang ibu kota dataran selatan sudah akan mereka pijaki tiga sampai empat hari lagi. Dari mengenang hari pertemuan, tiba-tiba Soobin memikirkan bagaimana mereka nanti akan berpisah.

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

Soobin mengerjap beberapa kali. Yeonjun sudah tidak ada ditempatnya tadi. Saat Soobin menunduk, ia mendapati pemuda itu tengah melipat tangan di depan dada sambil memandangnya dengan raut wajah yang masih kusut.

"Tidak ada."

"Aku memanggilmu sejak tadi tapi kau bahkan tidak tahu ketika aku memanggilmu dari jarak yang sedekat ini. Apa roh yang kau tangkap kemarin malam telah melukai telingamu?"

"Jangan bercanda, aku bahkan tidak memberinya kesempatan untuk menyerang."

Mata Yeonjun menyipit menjadi segaris  "Baiklah, aku paham. Rupanya Tuan muda Soobin yang terhormat sudah menua."

Soobin memilih tidak membalas kalimat itu. Melompat turun, ia berdiri tepat dihadapan Yeonjun yang di wajahnya masih berhias bulir-bulir air danau.

"Sudah lebih baik?" Tanya Soobin basa-basi. Dari raut wajah itu Soobin bahkan tau kata apa yang akan dikeluarkan Yeonjun.

Wajah Yeonjun toba-tiba berubah sedih. Ia berjalan menuju akar pohon dengan tubuh bungkuk lalu membanting bokongnya dengan tak berdaya."Ketika air mengenai wajahmu, itu akan segar. Ketika airnya menetes dari wajahmu, itu akan kembali panas. Ayolah Choi Soobin, biarkan saja aku mandi, ya? Kalau nanti aku sakit, obat yang ku bawa sudah cukup untuk merawatku."

Sebenarnya Yeonjun tahu permintaannya tidak akan berhasil. Ia bisa menebak dengan tepat apa yang akan dilakukan Soobin. Soobin menggelang tegas diikuti suara menyedihkan yang datang dari bibir Yeonjun yang tertutup rapat.

"Jika kau sakit maka perjalanan kita akan tertunda."

"Berapa lama lagi akan sampai?"

"Tiga hari paling cepat."

Yeonjun menghela napas tapi ia belum merasa cukup lega, jadi ia sekali lagi menarik udara panjang menuju paru-parunya dan mengeluarkannya dengan sekali hempas. "Kita menargetkan tujuh bulan untuk sampai di selatan tetapi di bulan ke lima belas kita masih berada di jalan sambil bermain-main dengan roh dan monster. Betapa santainya."

Itu diluar rencana. Sebelum berangkat Soobin bahkan telah menghitung paling cepat ia akan sampai tujuh bulan. Siapa sangka ketika Yeonjun ikut bergabung dalam perjalanan temponya semakin lama semakin melambat.

Dulu di akademi Soobin terkenal sebagai orang yang tegas, baik pada diri sendiri maupun orang lain dan ia akan sangat fokus pada tujuan. Jika sudah menetapkan target, maka tidak ada alasan untuk menjadi malas. Oleh sebab itu, ia berakhir menjadi pribadi yang individualis sebab bergaul baginya adalah membuang waktu dan tidak penting. Satu-satunya hal yang menurutnya penting di dunia adalah martabat dan harga diri, dan ia memang telah lama berdiri di puncak tertinggi. Choi Soobin, murid terbaik di angkatannya, asal-usulnya jelas meski agak tragis, meski keluarganya sudah lama jatuh tapi namanya masih tetap cemerlang.

Banyak pelajar seangkatannya yang menjadikannya panutan, tapi banyak pula yang menjadikannya bahan gunjingan. Mereka mengatakan Soobin meskipun tampan tapi terlalu dingin, terlalu acuh, dan hambar pada orang lain. Orang-orang mendeskripsikannya seperti ini: batu giok di musim dingin, bila ada sesuatu terjadi di depan matanya, jika itu tak memberinya keuntungan, Soobin akan berpura-pura jadi orang buta. Jika ia mendengar ada suara minta tolong, jika itu tak menyebut namanya secara langsung, maka Soobin akan pura-pura tuli.

Soobin tau dan dia tidak membantah.

Namun semenjak ia terpaksa berurusan dengan seseorang yang aneh ini, Soobin perlahan mulai membuka hati pada dunia. Ia akhirnya paham bahwa selama ia menolak terlibat dengan orang lain, selamanya ia hanya akan menjadi bayangan tanpa nama yang berkelana tanpa jejak. Lalu apa bedanya dia dengan roh orang mati yang gentayangan? Apa bedanya kehidupan dan kematian untuk orang seperti itu?

Soobin kira awalanya Yeonjun hanya mengatakan omong kosongnya yang lain.

"Kau tau Soobin? Cara mudah untuk kenyang adalah dengan mendapat teman."

Kata-kata itu agaknya berbau busuk. Soobin adalah seorang terpelajar, harga dirinya tinggi. Seorang anak jalanan tengah menasehatinya tentang hidup tapi itu terdengar seperti ia sedang dihasut untuk makan kotoran.

Namun ternyata bukan begitu maksud Yeonjun.

Suatu hari ketika mereka bertengkar di tengah perjalanan, Yeonjun tiba-tiba menghilang seharian penuh. Setelah Soobin mencarinya karena penasaran, ia mendapati Yeonjun tengah menangkap monster kecil yang berlarian di halaman rumah kepala desa. Setelah ia berhasil menenangkan monter dan memasukannya ke dalam guci tanah liat baru, orang-orang desa menyambutnya dengan baik, mengajaknya makan, dan memberinya hadiah. Lalu ia kembali pada Soobin dengan setumpuk oleh-oleh dari warga desa dan telah sepenuhnya melupakan pertengkaran diantara keduanya.

"Tidak ada salahnya merepotkan diri sendiri untuk membantu orang lain. Lihatlah, begitu banyak hadiah yang ku dapat tapi apa kau tau apa yang paling berharga?"

Soobin melirik semua benda yang menumpuk di depannya. Makanan, buku, kotak yang isinya entah apa. Soobin akhirnya menunjuk kotak itu. "Ini."

Yeonjun tertawa, "Salah. Hadiah istimewanya adalah melihat mereka semua tersenyum. Rasanya sangat melegakan. Aku kenyang, sangat kenyang!"

Yeonjun menyamakan kata kenyang dengan kepuasan. Ia puas dengan hidup seperti itu. Sangat sederhana.

Sejak saat itu, Soobin termakan kata-kata si pemuda berisik bernama Choi Yeonjun.

Soobin duduk di sebelah Yeonjun, melipat tangan di belakang kepala dan mulai bersandar. "Setidaknya kita telah banyak meninggalkan jejak kebaikan. Aku senang ketika orang-orang menyebut kita 'Tuan muda yang diutus surga'."

Yeonjun mengangguk lemah. "Bagus, bagus."

"Ya, sebentar lagi kita akan berpisah. Apa itu juga bagus?"

Yeonjun mengangguk pelan, lalu menggeleng cepat. "Itu artinya aku harus mulai masak sendiri lagi."

Ada sedikit raut tak rela di wajah Yeonjun, itu bukan karena ia akan kehilangan tukang masaknya. Sebenarnya ia sudah terbiasa dengan keberadaan Soobin di sekitarnya, ketika memikirkan mereka akan berpisah, apakah Soobin akan kesepian?

Soobin menopang siku pada kaki kirinya yang menekuk, kepalanya miring, bersandar pada telapak tangan. Yeonjun agak kaget ketika mendapati Soobin tengah menatap dirinya dengan lembut.

"Eh Yeonjun, setelah sampai apa yang akan kau lakukan?"

Yeonjun masih belum pulih buru-buru berdehem, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang mendadak cepat. "Katakan rencanamu dulu."

Raut wajah Soobin masih sama ketika menjawab. "Sebenarnya tujuanku ke selatan adalah untuk menemukan seseorang."

Yeonjun meresponnya dengan mendengung panjang dan setelah itu keduanya diam.

"Kau tidak tanya dia siapa?"

Bahu Yeonjun berkedik, "Siapa lagi kalau bukan pujaan hatimu?" Tuturnya dengan wajah polos

Soobin lupa dengan siapa ia bicara. Choi Bodoh Yeonjun tidak pernah gagal membuatnya miris. Soobin berdecak untuk diri sendiri. "Ck ckck."

Soobin mencabut ilalang di dekat akar pohon, membersihkannya lalu menggigitnya dengan gigi depan. Ia menunggu beberapa saat sebelum berkata. "Setelah aku bertemu orang itu dan urusanku selesai, sepertinya aku akan punya banyak waktu."

"Nikmati harimu, jangan ganggu aku, ya."

Soobin hampir tertawa. "Kau pikir aku mau melihat wajahmu lagi?"

"Barangkali kau rindu."

Akhirnya Soobin tertawa agak keras. "Ya, mungkin ada benarnya."

Yeonjun, "Sebaiknya habiskan waktumu dengan pujaan hatimu itu."

"Tentu saja, setelah semuanya selesai aku akan melakukannya." Tatapan Soobin pada Yeonjun sama sekali tidak berubah. "Bagaimana denganmu?"

"Apa?"

Cara otak Yeonjun bekerja memang sedikit istimewa, Soobin sudah terbiasa dan ia menunggu dengan sabar. Beberapa detik berlalu, Yeonjun akhirnya sadar tentang apa yang Soobin maksudkan.

"Oh..." entah kenapa tiba-tiba ada panas lain yang menjalar di wajah Yeonjun. Tak tahan lagi, ia segera mengipasi wajahnya yang terpanggang. "Ada seseorang juga yang harus ku temui."

"Siapa?"

"Nanti juga kau akan tau."

Soobin mengangguk. Orang yang ingin Yeonjun temui pasti sudah menunggunya di gerbang kota. Hati Soobin mulai khawatir.

"Setelah itu?"

"Setelah itu, orang itu akan pergi mencari pujaan hatinya dan aku akan pergi dengan hati tenang." Jawabnya tak acuh.

Soobin benar-benar sudah terbiasa pada omong kosong Yeonjun, tapi hingga saat ini ia masih belum mampu membedakan perkataannya. Saat ini apakah Yeonjun sedang membual atau ia serius, Soobin masih berusaha untuk mencari kebenaran lewat matanya.

Sesungguhnya Yeonjun tidak pernah menjadi murni di mata Soobin, bagaimanapun ia melihat, sesering apapun dia mencoba mengenyahkannya, ia selalu dapat menemukan sesuatu yang ganjil pada Yeonjun. Berapa kali Soobin telah ditipu? Setiap hari! Soobin tau Yeonjun menyembunyikan sesuatu di balik kebodohannya yang tampak asli. Jika Yeonjun bukanlah Yeonjun, Soobin tidak akan pernah bisa menerima seseorang yang telah menipunya berkali-kali. Namun hanya karena Yeonjun adalah Yeonjun, jika ia berbohong, Soobin akan berbohong juga. Ia akan pura-pura tertipu.

Karena jauh di lubuk hati Soobin, ia takut akan sakit hati apabila Yeonjun akhirnya berkata jujur. Takut jika apa yang disembunyikan olehnya adalah bilah pedang haus darah yang akan menyerang. Sampai kapan pun Soobin tidak akan siap.

Saat ini semuanya masih baik-baik saja dan ia akan berusaha mempertahankannya. Soobin tidak ingin lagi kehilangan orang yang ia cintai.

Yeonjun menelan ludah ketika Soobin masih menatapnya dengan dalam "Apa?"

Soobin menggeleng lalu kembali berdecak.

"Berhenti berdecak, kau pergilah memancing dan bakar ikan untukku."

Seorang anak tengah merengek karena kepanasan pada ibunya. Ia kehausan tetapi ibunya tak membawa air. Panas matahari yang menyengat ini membuat emosi seseorang makin mudah tersulut. Yeonjun memandangi pasangan ibu dan anak itu dengan seksama. Anak itu kini sedang berusaha menarik ibunya dari barisan antrean, tetapi ibu itu masih sangat bersabar, menenangkan anaknya dan membujuknya dengan kata-kata manis. Kemudian anak itu mulai tenang, meskipun masih merengek tetapi ia sudah tidak lagi mencoba menarik kain pakaian ibunya.

Tiba-tiba sebuah kain menutupi matanya. Yeonjun mengerjap dan beberapa saat kemudian menyadari bahwa itu adalah kain tudung jubahnya sendiri. Terlalu tenggelam pada ibu dan anak itu, ia sampai tidak menyadari jika tudungnya telah jatuh kebelakang karena angin. Ia memutar kepalanya dan menemukan senyum tipis pada wajah Soobin.

Yeonjun menghela napas pendek, ia menunjukan ekspresi merajuk. "Soobin, bagaimana rasanya memiliki orang tua?"

Mendengar pertanyaan polos itu membuat mata Soobin membulat. "Kau tidak punya orang tua?"

"Jika aku punya, aku tidak akan bertanya."

"Lalu bagaimana kau bisa lahir."

Bibir bawah Yeonjun bergerak maju, ia melihat langit sebelum menjawab. "Eung, mungkin aku melompat dari langit."

Kemudian percakapan mereka terhenti karena sudah saatnya Yeonjun untuk diperiksa oleh prajurit perbatasan.

"Jadi bagaimana rasanya memiliki orang tua?" Tanya Yeonjun kembali melanjutkan topik yang sempat tertunda ketika Soobin baru saja melewati pemeriksaan.

Mereka sudah sampai.

Soobin masih tersenyum, dan senyumnya semakin tulus ketika ia mulai menggali memori tentang kedua orang tuanya. "Kau bertanya padaku, maka aku akan menjawab 'mempunyai orang tua yang baik seperti orang tuaku adalah kebahagiaan yang tak ternilai harganya'. Selama mereka ada di sisiku, aku tidak pernah memiki kekhawatiran yang berarti." Tuturnya seringan hembus angin yang menerpa wajah keduanya.

"Bagaimana kabar mereka sekarang?"

"Mungkin baik-baik saja. Beberapa tahun yang lalu mereka meninggal bersamaan."

Soobin melihat Yeonjun menudukan kepala, ia pikir anak itu agak sedih mendengar jawabannya.

"Menyedihkan." Gumam Yeonjun.

"Benar, sangat menyedihkan." Namun tak ada nada sedih ketika Soobin mengucapkannya.

"Lalu bagaimana kau akan membalas kematian mereka?"

Mendadak jantung Soobin berdebar kencang.

"Membalas?"

"Apa yang akan kau lakukan pada pembunuhnya?"

Bagaimana ia bisa lupa pada tujuan utamanya.

"Tentu saja, nyawa dibayar nyawa."

Langkah Soobin terhenti. Pandangannya mengedar. Ia sama sekali tak sadar ketika langkahnya telah membawanya ke luasan padang rumput yang menguning. Ia menoleh ke belakang, dimana pemukiman pingiran kota sudah jauh dari pandangan mata.

Ia bukannya pergi tanpa sadar, tetapi langkahnya otomatis mengikuti kemana Yeonjun pergi.

Saat Soobin kembali menoleh ke depan, Yeonjun sudah berjalan jauh di depannya. Ia kemudian mengejarnya tanpa berpikir.

Soobin hanya berlari beberapa langkah, itu sungguh tidak akan menghabiskan energinya. Namun napasnya entah mengapa jadi begitu berantakan dan jantungnya berdetak tak karuan.

"Bagaimana kau bisa tau kalau mereka terbunuh?" Suara Soobin sepenuhnya berubah. Lebih dingin daripada pertama kali mereka bertemu, dan meski ia sudah berusaha sepenuhnya untuk menyembunyikan getar pada suaranya, masih ada beberapa celah yang membuatnya lolos.

Yeonjun pura-pura tak peduli pada pertanyaan Soobin. Ia membaringkan tubuhnya di atas rumput. "Ini tempat yang bagus."

"Yeonjun..." sekujur tubuh Soobin bergetar. Mendadak ia ingin menarik pertanyaannya. Ia tidak menginginkan jawabannya, tidak ingin mendengar apapun...

"Bunuh aku disini."

Namun Yeonjun sudah membalik kartu. Satu kalimat itu sudah cukup untuk menjelaskan segalanya. Soobin tidak bisa berpura-pura lagi.

"Kau..."

Yeonjun dapat mendengar suara detak jantungnya sendiri, ia mencoba menikmati moment bergharga itu. Suara langkah Soobin perlahan datang membelah rumput, Yeonjun memejamkan matanya yang mengabur. Ia membatin bahwa ini adalah tujuannya, ini adalah penembusannya, sudah seharusnya tidak ia tidak menangis begitupun Soobin. Hidupnya sudah kenyang. Bahkan terakhir sebelum mati, ia akhirnya paham bagaimana rasanya jatuh cinta.

Sudah cukup. Ia tidak boleh serakah.

"Orang yang ingin kau temui untuk kau bunuh adalah aku, dan aku adalah orang yang ingin kau bunuh di sini." Ia tidak tahan lagi. "Lakukan sekarang, Choi Soobin."

"Kenapa kau melakukan itu, Yeonjun?"

Yeonjun bertanya-tanya dalam kegelapan

Apakah dia menangis? Apakah dia akan menangis?

Diantara desiran angin yang menggerakan rumput-rumput kering, suara Yeonjun terdengar tegas. "Sama sepertimu, aku terikat oleh sumpah."

Mereka sampai di selatan dan begitulah mereka berakhir. Untuk Soobin, selatan bukan hanya tujuannya, tapi juga merupakan sumpah yang pernah ia ucapkan di depan peti mati kedua orang tuanya.

Tapi dalam perjalanan yang singkat, Soobin juga pernah membuat sumpah baru.

Pada malam terhangat, sisa kelopak bunga masih tampak berguguran di luar jendela. Soobin melepas ciuman yang ia curi dari seseorang yang tertidur lelap. "Setelah aku menyelesaikan tugasku, aku akan datang pada Yeonjun dan jujur tentang perasaanku padanya."

Oleh karena itu, setelah ia menarik pedang yang sempat menghunus jantung Yeonjun, ia memeluk tubuh yang masih hangat itu sambil berkata bahwa ia mencintainya.

Seolah Yeonjun telah meramalnya dari jauh hari, berkata jika Soobin jatuh cinta padanya maka ia akan menangis. Semakin Soobin mengenang Yeonjun dalam ingatannya, maka semakin besar rasa cintanya, dan lebih banyak lagi air mata yang ia teteskan dalam kesendirian.

Ia merindu sampai mati.

Itu tidak akan terlalu menyakitkan jika bukan dirinya sendiri yang menggerakan pedangnya. Setiap malam, ia memimpikan adegan itu berkali-kali.

Tuan muda yang diutus surga tidak sekuat dulu lagi. Ada bagian dari dirinya yang hilang dan orang yang bisa mengobatinya sudah lama pergi.

.

.

.

"Konon katanya pohon persik ini adalah tubuh dari seorang pembatai yang mati ditangan orang yang ia cintai."

Seseorang yang sedang berdiri di belakang sambil melipat tangan di depan dada itu tampak fokus tapi tidak untuk mendengarkan melainkan untuk mengamati segala gerak-gerik pemuda yang sedang tidak sadar kalau topinya baru saja jatuh ditiup angin. "Ugh, kasihan sekali." Ucapnya sekadar menimpali.

"Eum, sangat kasihan. Orang yang membunuhnya lalu menjadi seorang pelindung di kota ini tapi sayangnya ia gugur di usia muda."

"Kenapa?"

"Pengorbanan jiwa, untuk melindungi kota ia menerapkan mantra dan menjadikan dirinya sendiri sebagai tumbal hidup."

"Menurutmu apa mantra itu masih ada?"

"Ku rasa tidak. Itu adalah legenda yang sudah lama sekali."

Pemuda yang berjongkok itu masih betah menopang dagu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu jatuh di atas kepalanya. Sebuah topi berwarna putih saat ini sudah terpasang pas di sana. Ia bergumam terima kasih dan dibalas dengan 'hm'.

Ia akhirnya bangkit. "Ku harap mereka berdua bisa bertemu kembali."

"Jika mereka berenkarnasi, mungkinkah namanya adalah Choi Soobin dan Choi Yeonjun?"

Yang baru saja bersuara langsung mendapat hadiah berupa pelototan mata yang menurutnya lucu. Ia lantas tertawa keras sambil menunjuk wajah pemuda yang menatapnya dengan galak.

"Lihat! Terlalu lama di bawah pohon persik membuat wajahmu sewarna dengan bunga persik sekarang."

Yang baru saja di olok segera menutup kedua sisi pipinya yang makin memanas dan orang di depannya malah semakin tertawa geli.

"Soobin!" Ia memungut krikil dibawah kakinya lalu melemparnya dengan tepat menuju dahi Soobin. Suara aduh terdengar nyaring. "Aku sedang kepanasan bodoh!"

"Tidak apa-apa, kau masih terlihat manis walau sedang kepanasan."

"Aku tampan, oke?"

"Masih lebih tampan aku."

Fin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top