Bujur Bumi : Good Job, Honey.
"Vani ... Vani ... sebentar lagi aku mau punya adik. Adik di perut macha namanya Little Boo."
Kalimat pemberitahuan itu terlontar dari anak laki-laki di sofa ujung. Sontak membuat kedua orang tuanya menoleh. Juang memainkan ponselnya, memutar ulang voice note yang ia kirimkan pada teman perempuannya.
Achala mendongak, rahang tegas Affandra menjadi pemandangannya. Sudah tahu, bukan? Sejak hamil, wanita itu menjadi sangat manja dengan suaminya. Maunya selalu ingin menempeli Affandra, bersandar nyaman di dada Affandra, atau meminta pria itu memijat dan mengusap pinggangnya.
Jika selama ini Achala selalu tidak ingin aktivitas bermesraan dengan sang suami dilakukan depan anaknya, kali ini apa itu kata sungkan dan malu. Ia tidak pernah lagi merasakan dan mengenal semua itu. Ia tidak malu merengek layaknya anak kecil di depan Juang jika meminta sesuatu pada suaminya.
"Ya, Mas ... dia udah buat pengumuman," bisik Achala seraya membenahi posisi meringkuk di dekapan sang suami.
"Iya, mungkin gede nanti dia mau jadi presenter. Udah kayak pembawa acara berita pagi. Cepet banget beritanya tayang," timpal Affandra.
"Mana beritanya disampaikan ke rival kamu lagi."
"Nggak apa-apa. Biar mantan gamon di seberang sana kayak cacing kebakaran jenggot."
Achala terkikik geli, bisa-bisanya mereka membicarakan anak kecil itu dan berlanjut ke mantan. Mendengar kedua orang tuanya asyik tertawa, Juang mengalihkan atensi ke pasutri itu.
"Macha, abang sudah beri tahu Vanilla. Tidak apa-apa?"
"Oh, tentu tidak apa-apa. Good job!" Affandra menimpali lebih dahulu.
Achala mengurai pelukan, duduk dengan posisi benar. Membentangkan kedua lengannya ke arah anak laki-laki kesayangannya. "Iya, nggak apa-apa, Sayang. Vanilla kan teman Abang. Sini mama mau peluk Abang Juang."
Anak itu merangkak menuju Achala, mengambil posisi di sebelah sang mama, memeluk wanita kesayangannya. Affandra beranjak dari sofa bed yang sejak tadi menopang tubuh mereka.
"Mas, mau ke mana?" tanya Achala yang seakan tak rela ditinggal barang sebentar saja.
"Mau ke dapur, buatin susu kamu," jawabnya menaikkan alis, menunggu titah Achala selanjutnya.
Wanita itu mengangguk. "Tolong sekalian sama camilan, ya, Mas."
Affandra mengangkat ibu jarinya. "Oke, siap."
"Papaf, abang tidak bisa bantu papaf. Abang mau jagain macha di sini."
Semakin tinggi kedua ibu jari Affandra terangkat. "Oke, baiklah. Good job, Dude."
Katanya, mau di sini saja, mau jagain mamanya, tapi nyatanya belum lima menit anak itu sudah mulai menguap dan memejamkan matanya. Achala tak berani menggendong Juang, ia takut terjadi apa-apa dengan kandungannya.
"Loh? Udah tidur dia?" Affandra menyimpan segelas susu ke atas meja. "Kamu minum dulu susunya, mumpung masih hangat. Sini, anaknya mas yang pindahin ke kamar."
Achala meraih gelas susu itu, meminumnya perlahan. Sejujurnya, ia tak begitu menyukai susu, tetapi demi makhluk lain yang hidup di dalam tubuhnya, Achala harus memberi asupan gizi pada anaknya.
Satu gelas susu telah Achala tandaskan. Achala beranjak dari posisinya, ia memunguti barang-barang Juang yang berserakan di sekitar sofa bed, termasuk ponsel anak itu. Jam digital pada layar benda canggih itu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Wajar saja jika putranya tidak tahan lagi dengan kantuk.
Mengayunkan tungkainya ke kamar mereka, telapak tangan Achala mengusap-usap pinggangnya yang akhir-akhir ini terasa sakit. Kata dokter kandungan yang menanganinya kemarin, hal ini wajar jika kandungan sudah memasuki usia delapan minggu.
"Udah mau bobok?"
Achala menoleh ke arah pintu, ia duduk berselonjor bersandar di kepala tempat tidur. Senyumnya terbit, sepertinya malam ini minta dipijat lagi akan sangat menyenangkan.
"Kok, senyum-senyum?" Affandra merangkak naik, wajahnya condong ke dahi istrinya. Meninggalkan jejak bibirnya di sana.
"Mau pijat lagi, Mas."
"Ayo, sini. Balik ngadep sana kamunya."
Tanpa menunggu titah yang lain lagi. Achala membelakangi suaminya. Pria itu meraih minyak urut yang biasa gunakan dari atas nakas. Membaluri telapak tangannya dengan minyak, gerakan tangan Affandra di pinggang dan perutnya benar-benar membuat Achala merasa nyaman. Larut dalam pijatan tersebut, sontak Achala membeliak saat tangan besar itu mengusap perut atas dan semakin naik ke atas.
"Mas, tangannya!" Achala memberi peringatan.
"Iya, maaf lupa, nggak sengaja, Sayang." Affandra kikuk, ia benar-benar lupa jika salah satu keluhan Achala satu minggu ini adalah nyeri di bagian payudaranya.
"Harus diingetin lah, Mas. Lupa terus. Makanya itu kebiasaan tiap berhubung ...." Achala menelan salivanya. Ia tak melanjutkan ucapannya, sadar akan berdampak seperti apa nantinya.
Wajah Affandra condong ke depan, alisnya bertaut menggoda ibu hamil itu untuk melanjutkan ucapannya. "Berhubung ... apa, Sayang?"
"Udah pijetnya, udah enakan pinggang aku," imbuhnya salah tingkah.
Achala merebahkan tubuhnya membelakangi Affandra, telunjuknya menunjuk lampu utama. "Lampunya tolong matiin, Mas. Aku ngantuk."
Affandra beranjak, menekan sakelar lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur. Achala merutuki ucapannya, jika dihitung-hitung singa pria itu sudah lama sekali berpuasa. Kanapa pula ia malah keceplosan membahas ke arah sana. Habislah Achala disantap oleh sang penguasa.
—TAMAT—
Tanjung Enim, 30 Nov 2022
RinBee 🐝
Selengkapnya ada di Karya Karsa Zerofourbee
Warning 🔞
Alasan aku pindahin ke KK karena bab ini mengandung adegan yang hanya untuk dikonsumsi berusia 21+
Dulu sempet di publish di wattpad, tapi aku memutuskan untuk di KK aja sekarang.
Adegan 4646 nya juga aku tambahin lebih dibandingkan versi wattpad waktu itu.
Yang penasaran, kalian bisa cari di Karya Karsa dan buka kunci dengan hanya 31 koin saja. Bab judul ini masih sama "Good job, Honey."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top