Bujur Bumi 62 : Detak Jantung Pertama

Dalam hidupnya, Achala belum pernah merasakan perasaan gugup seperti ini. Sewaktu masih bekerja di perusahaan, ia pernah bertemu dengan orang-orang besar, ia pernah menjadi pemateri di hadapan banyak orang, semua bisa ia hadapi dengan tenang dan santai. Namun, tidak untuk kali ini, jantungnya berdegup dua atau bahkan beberapa kali lipat saat waktu yang ia nantikan akhirnya tiba juga. Achala tidak bisa tenang sejujurnya, ia membayangkan bagaimana caranya menyapa di pertemuan mereka kali ini.

Achala duduk di kursi panjang ruang tunggu, menantikan namanya dipanggil oleh suster yang sesekali muncul dari balik pintu ruangan bercat putih itu. Tadinya Affandra duduk di sebelahnya. Namun, pria itu harus berdiri saat ada pasien baru yang datang dengan perut yang lumayan sudah besar. Bangku di sekitar sudah terisi penuh, tidak lucu jika Affandra masih duduk di kursi sementara wanita hamil yang baru saja datang itu ia biarkan berdiri.

Dokter kandungan yang Affandra pilih untuk istrinya adalah orang yang sama saat menangani mendiang Tyas, kala mengandung Juang. Selain cukup mengenal dokter ini, Affandra juga punya alasan lain, yakni dokter tersebut seorang perempuan. Katanya, cukup di rumah sakit Sukabumi saja perut istrinya dilihat dan dipegang oleh obgyn laki-laki. Ya, meski mereka harus mengantri lama tak masalah bagi Affandra. Kunjungan Achala saja harus mundur satu minggu karena padatnya jadwal sang dokter.

"Ibu Achala," panggil suster yang memegang map berwarna hijau tua itu.

Achala beranjak, menoleh pada sang suami yang berdiri bersandar di tembok. "Yuk, Mas," ajaknya sudah tidak sabaran.

Dipersilakan masuk, Achala tersenyum saat menemukan seorang wanita cantik duduk di kursi dengan senyum lebarnya. Achala kira, dokter yang suaminya pilih ini sudah cukup berumur, tetapi ia salah. Jika ia taksir mungkin usianya tidak jauh berbeda dengan suaminya atau di atas suaminya sedikit.

"Selamat pagi, perkenalkan saya Dokter Jenita." Dokter itu memperkenalkan diri, ia membaca data Achala pada map yang baru saja diangsurkan sang asisten. "Ibu ... Achala Annandhita," lanjutnya masih menekuri tulisan di kertas dalam map tersebut, "gimana ... gimana? Baru pertama kali ke sini?"

Achala mengangguk. "Iya, Dok. Kemarin udah pemeriksaan, tapi di obgyn rumah sakit yang ada di Sukabumi."

"Baik, catatan medisnya bagus. Aman semua ini." Dokter itu membaca sekali lagi kertas di hadapannya. "Kita periksa dulu, ya."

Sang dokter keluar dari mejanya, memberi titah Achala untuk ke meja tempat di mana sang asisten berada. Dibimbing suster tersebut, Achala diperiksa mulai dari berat badan, tekanan darah, dan ditanya seputar apa yang dirasakan. Selesai dengan itu semua, Achala dipersilakan ke ranjang yang bersebelahan dengan alat USG. Dokter Jenita sudah duduk di depan layar alat canggih tersebut.

Achala berbaring di ranjang yang disediakan, Affandra berdiri di ujung ranjang. Sang dokter mulai memeriksa Achala, kedua kaki Achala terbuka lebar dan menekuk lutut, dari pinggang hingga ke bawah diselimuti oleh suster yang memeriksa tekanan darahnya tadi.

"Kita pakai USG tranvaginal, ya, Bu. Maaf sedikit risih, tapi nggak lama, kok," katanya seraya memasukan alat USG yang telah dibungkus pengaman dan diolesi gel pelumas. Tongkat USG atau sering disebut tranducer tersebut, menyerupai tongkat sepanjang 5—7 cm yang dimasukkan ke bagian intim wanita Achala.

Achala sedikit meringis merasa tidak nyaman saat sang dokter memutar perlahan tongkat tersebut, gunanya agar dapat menampilkan gambaran rahim yang lebih jelas di awal kehamilan.

Dokter Jenita menunjuk ke layar, memperlihatkannya pada pasutri itu. Pada gambar hitam putih tersebut, menunjukkan betapa besarnya kuasa Tuhan. Makhluk kecil itu tampak jelas, sudah ada bentuk telinga, hidung, dan kelopak mata, bahkan calon adik Juang itu bergerak seperti sedang berenang di dalam rahim sang mama.

"Ini janinnya, masuk di usia jalan delapan minggu. Panjangnya 1,58 senti. Aduh, sehat banget ini. Mau dengar detak jantungnya?" tawar sang dokter menoleh ke arah Achala yang berbaring dan Affandra yang berdiri di belakangnya.

"Mau dong, Dok." Achala tidak sabar mendengar bagaimana suara jantung anaknya.

Pada layar komputer menampilkan gambar serupa gelombang pada EKG. Dokter Jenita berkata, "Tuh, bisa Bapak, Ibu dengar."

"I-itu suara detak jantungnya, Dok?" tanya Achala dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tidak menyangka jika bisa sampai di tahap ini dalam hidupnya. Ia kira Tuhan tidak akan pernah mengizinkannya mendengar detak jantung pertama buah hatinya.

"Suara jantungnya kencang juga, ya, Dok. Mirip suara orang lagi nukang, mukul kayu pake palu." Affandra menimpali, mengundang tawa renyah dari sang dokter.

"Iya, Pak, Bu. Janinnya sehat, semuanya bagus, berkembang dengan baik. Alhamdulillah."

"Alhamdulillah."

Rasa syukur itu terucap tulus di hati Achala, ia menyeka sudut matanya yang berair. Tidak ada suara paling indah yang Achala dengar selama hidupnya selain lantunan merdu detak jantung pertama anaknya.

"Oke, sudah selesai pemeriksaan kita hari ini." Dokter Jenita menyimpan peralatan USG.

Achala bangkit dari posisinya rebahan, membenahi baju hingga celananya. Affandra membantu wanita itu turun dari ranjang dan mengikuti Dokter Jenita duduk di mejanya.

"Dok," panggil Affandra yang baru saja menjatuhkan bobotnya di kursi sebelah Achala.

"Iya, Bapak? Ada yang mau ditanyakan?"

Menelan salivanya, Affandra ragu sebenarnya, tetapi harus ia tanyakan agar bisa menjadi pelajaran untuk mereka ke depannya.

"B-begini, Dok. Usia ... kandungan. Berapa tadi, Dok?"

Dokter Jenita tersenyum. "Delapan minggu."

Perasaan Achala sudah tidak enak, apa yang sebenernya ingin pria itu tanyakan. Apakah perihal mengunjungi Little Boo yang pernah ia utarakan? Masih menunggu Affandra membuka suara merampungkan pertanyaan yang tertunda tersebut.

"Di usia kandungan delapan minggu, a-apakah boleh berhubungan, Dok?" cicitnya.

Tangan Achala di bawah meja menepuk paha suaminya, apa yang ia kira ternyata benar-benar terjadi.

"Baik, saya jelaskan, ya. Bapak tidak perlu sungkan, pertanyaan seperti ini sering sekali terjadi. Jadi, Bapak tidak perlu malu. Nggak kuat, ya, Pak. Kalau kelamaan puasa," canda sang dokter.

Affandra menyengir, meraih tangan Achala di pahanya. Tangan wanita itu sudah berubah menjadi cubitan.

"Seks saat hamil muda, khususnya delapan minggu seperti Bu Achala, itu diperbolehkan, kok, Pak."

"A-apa nggak membahayakan janinnya, Dok? Katanya akan rentan keguguran?" Achala bertanya. Ia pernah mendengar perihal ini, itu sebabnya ia harus mendengarkan langsung dari ahlinya.

"Pada dasarnya, janin di dalam rahim sang ibu itu dilindungi oleh otot rahim yang kuat, cairan ketuban, dan sumbatan lendir yang ada di sekitar dinding leher rahim. Selama kehamilan dapat dipastikan sehat oleh obgyn yang menangani. Jadi, berhubungan saat hamil muda itu diperbolehkan, justru itu bermanfaat banyak. Asal, dilakukan dengan posisi seks yang aman dan tidak membahayakan si bayi," jelas Dokter Jenita.

"Baik, Dok. Untuk posisi aman sudah saya pelajari," pungkasnya bangga, padahal itu bukanlah sesuatu yang harus diungkapkan.

Affandra mengangguk-angguk, senyum pria itu tersungging samar. Achala bergedik ngeri dengan senyum itu, ia tahu sudah berlari ke mana isi kepala suaminya itu.

Dasar suami mesum!

Tanjung Enim, 27 Nov 2022
RinBee 🐝


Kira-kira nanti little boo cewek apa cowok ya?
Ayo tebak-tebakan. 🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top