Bujur Bumi 61 : Ingin Bertemu
Pepatah mengatakan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Namun, tidak dengan Affandra hari ini. Ia memilih tidak sama sekali datang ke kantor daripada melewatkan momen memanjakan ibu hamil yang satu ini.
Jarang atau bahkan hampir tidak pernah Achala bersikap manja. Sejak kenal hingga hidup di bawah atap yang sama, berbagi cerita dan kehangatan di atas ranjang. Affandra tahu persis Achala bukan tipekal wanita yang manja, selagi bisa ia kerjakan sendiri, akan ia lakukan secara mandiri.
Pagi tadi Achala menahannya agar tidak pergi bekerja dengan alasan minta dipeluk. Berakhirlah kegiatan pria itu hanya memeluk, mengeloni jatukramanya. Sesekali mengangkat telepon dari sekretarisnya dan mengerjakan pekerjaan dari rumah. Selanjutnya ia habiskan hari dengan hanya menemani wanita itu saja.
"Macha, tadi ada papanya Vanilla." Bocah laki-laki yang duduk di samping Achala itu memberitahu apa yang ia temui di sekolah tadi siang.
"Papa Vanilla bilang apa? Ada tanya-tanya tentang macha?" tanya si pria dewasa bergeser mendekat ke sofa yang sama dengan anak dan istrinya.
Juang menggeleng, Affandra tak menghiraukan pukulan di pahanya. Achala sudah memberi kode untuk berhenti, tetapi Affandra tidak menangkap sinyal itu. Ia tetap saja melanjutkan mengintrogasi sang putra.
"Papanya nggak tanya macha. Papa Vanilla tanya gimana kabar papaf aja."
Affandra berdecih. "Nanyain kabar apa kabar."
"Mas ...," panggil Achala dengan nada berbeda.
Affandra menoleh. "Iya, Sayangku. Perlu apa?"
"Please, setop! Nggak baik persoalan itu sampe tahu anaknya. Jangan libatkan mereka." Achala tegas memberi peringatan.
"Maaf, Sayang." Affandra menyengir.
Achala turun dari sofa, meraih tas sekolah Juang yang tergeletak di atas karpet bulu. Memeriksa buku sang putra, wanita itu mengerutkan dahi saat ada pekerjaan rumah Juang yang tidak dikerjakan. Melihat tanggal di pojok atas buku, sudah seminggu lalu.
"Sayang, ini PR kamu kenapa nggak dikerjain?"
Juang mendekat, menelisik buku yang terbuka di pangkuan Achala. Telunjuk mungil itu terangkat, menunjuk ke arah Affandra. "Papaf nggak mau ngajarin," adunya.
"Nggak sempat, Sayang. Mas mana kepikiran ngajarin anaknya PR, mikirin kamu ada di mana aja pusing," akunya membela diri.
Achala memilih tidak memperpanjang perihal PR juang, bagaimanapun juga ada kesalahannya di sana. Andai dia tidak lari dari rumah, andai dia tidak mengabaikan putranya, semua tidak akan terjadi.
"Abang bobok sama mama, yuk." Achala beranjak mengulurkan tangannya.
Namun, tangan itu diraih pria di belakangnya. "Lagi? Masa tidur terpisah lagi. Kan udah damai, Sayang."
"Sebentar aja, aku nidurin anaknya dulu." Achala menunjuk tas dan peralatan sekolah Juang yang masih berserakan di atas lantai. "Tolong beresin."
"Nggak usah digendong! Inget badan kamu, Cha. Kamu belum sepenuhnya sehat." Affandra memberi ultimatum saat gerakan Achala sudah ingin menggendong bocah laki-laki itu, seperti yang biasa dia lakukan.
Achala tersenyum kikuk, ia belum terbiasa dengan kehadiran janin sebesar buah ceri di perutnya tersebut. Kadang kala ia lupa jika ada nyawa lain yang bergantung pada dirinya.
"Abang, mulai sekarang harus bisa sendiri, ya. Ada adik Little Boo di perut macha. Nggak bisa gendong Abang lagi. Nanti minta gendong sama papaf aja, oke?" Pria itu memberi pengertian pada putra sulungnya.
"Baik, Papaf," sahutnya patuh. Setelahnya mulut anak itu terbuka lebar, ia menguap.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Biasanya, anak itu memang sudah bersiap tidur. Dituntun sang mama menuju kamarnya, Affandra tersenyum melihat betapa kuatnya ikatan di antara dua manusia kesayangannya itu.
Mami benar. Jika ia melepaskan Achala, belum tentu ada wanita yang ia temui sebaik Achala, selembut Achala, bahkan sesayang itu dengan anaknya. Achala adalah hadiah yang Tuhan titipkan padanya.
Merapikan tas dan buku-buku Juang seperti yang istrinya amanatkan tadi. Setelahnya, atensi pria itu teralihkan saat panggilan masuk di ponselnya yang ia simpan di atas meja. Meraih benda canggih itu, alis Affandra bertemu saat nama Atthania muncul sebagai panggilan tak terjawab.
Setelah kejadian itu, Affandra tak mau lagi berurusan dengan mantan sekretarisnya itu. Ia lebih memilih memecat Atthania ketimbang mengorbankan rumah tangganya. Dari kemarin wanita itu terus meneleponnya, tetapi tak ia hiraukan. Pesan yang Atthania kirimkan pun tetap sama seperti kemarin, berisi permohonan maaf dan ingin bertemu dengan dirinya.
Sejujurnya, sekeras bagaimanapun Affandra mengingat malam kejadian itu, ia tetap tak mengingat bagaimana Attania masuk dan tidur di kamarnya. Meski mantan sekretarisnya itu telah membuat pengakuan jika ini adalah rencana busuk dirinya, tidak ada yang terjadi. Namun, kalimat terakhir dari pertemuan mereka waktu itu masih Affandra ingat. Cara wanita itu memohon ingin menemui Achala dan meminta maaf, sedikit membuat Affandra bimbang. Bukan apa-apa, ia berniat meluruskan semua ini, ia ingin memberi tahu istrinya apa yang sebenarnya terjadi, tetapi tidak sekarang. Ada kesehatan dan mental Achala yang lebih ia pentingkan untuk ia jaga sekarang ini.
"Mas," panggil Achala di belakang Affandra.
"I-iya, Sayang? Udah tidur anaknya?" Affandra bersikap tenang, seolah tidak terjadi sesuatu.
Netranya kembali fokus di layar ponselnya, mengetik sesuatu pada kolom pesan room chat Atthania. Benda canggih itu ia kantongi, mengulurkan lengan merangkul Achala dan membawa wanita itu ke kamar mereka. "Bobok, yuk."
"Gendong ...." Achala meneleng, wajahnya menghadap ke wajah Affandra. Meminta dengan nada yang ... kelewat manja.
"Depan atau belakang?" Pria itu memberi pilihan.
Menarik garis senyum tinggi Achala mengulurkan dua lengannya. "Belakang aja."
Affandra berjongkok di depan wanita itu, merendahkan tubuh agar ibu hamil ini bisa naik ke punggung lebarnya. Untuk sekarang, masih belum banyak bertambah berat badan Achala. Jadi, masih kuatlah Affandra menggendong wanita itu.
"Aku berat, ya? Nanti kalau Little Boo semakin besar, janji nggak akan minta gendong lagi." Achala berujar saat melihat Affandra kesulitan membuka pintu kamar mereka.
"Nggak apa-apa. Seberat apa pun kamu nanti, akan tetap aku gendong." Affandra menurunkan tubuh wanita itu di tengah ranjang. Kemudian, ia pun merangkak menaiki tempat tidur.
Mengecup dahi, pipi kanan dan kiri, terakhir bibir sang istri. Wajah Affandra sedikit turun ke perut sang istri, mengusap perut rata itu. Rasanya seperti mimpi, jika kemarin malam ia harus menunggu Achala terlelap saat ingin bertemu dengan anaknya dalam kandungan Achala, tetapi tidak lagi untuk malam ini. Ia bisa dengan leluasa mengusap, mencium perut Achala, dan mengajak mahluk itu berbicara.
Affandra tengkurap, menghadap perut sang istri. Ia mengangkat piama Achala agar leluasa mengusap perut putih wanita itu langsung tanpa adanya kain penghalang. Affandra menelan salivanya kasar, sudah lama sekali rasanya ia tak melihat bagian ini. Kulit mulus perut istrinya sangat menggairahkan, membangkitkan sesuatu bagian lain dari tubuhnya.
"Sayang, kangen. Mas rasanya ingin bertemu Little Boo. Usia kandungan segini udah boleh dikunjungi belum?"
Achala terbelalak, bisa-bisa pria itu berubah topik pembicaraan saat posisinya masih sama seperti tadi. Ke mana kalimat bijak yang ia ucapkan pada anak dalam kandungannya, kenapa berubah jadi hal mesum seperti ini.
"Masih trisemester pertama, kamu harus puasa dulu. Janinnya masih lemah, Mas. Kalau nggak percaya, tanya aja sama obgyn." Achala tertawa geli saat melihat perubahan ekspresi suaminya perihal puasa itu. Ia tahu puasa ini, bukan menahan haus lapar seperti ibadah yang dilakukan pada bulan ramadhan.
"Kapan jadwal kamu kontrol ke dokter kandungan? Mas temenin, ya."
Manik Achala berputar sejenak ke atas, mengingat ucapan dokter kandungan yang menanganinya saat di rumah sakit Sukabumi. "Kata obgyn yang di Sukabumi, akhir bulan ini udah bisa USG pertama."
"Ini udah akhir bulan, Sayang. Bulan ini habis tinggal berapa hari lagi. Ya udah, besok kita ke dokter kandungan." Affandra bersemangat sekali untuk hal ini. "Mas mau tanya kapan papaf bisa kunjungi Little Boo."
Achala menggeleng tidak habis pikir, repot-repot Affandra ingin menemaninya ke dokter kandungan hanya ingin menanyakan itu saja. Dasar pria mesum.
"Sayang, tadi ada Atthania kirim pesan. Katanya, mau ketemu kita. Terutama dengan kamu."

Tanjung Enim, 26 Nop 2022
RinBee 🐝
Waaah, si Atthania nyari perkara apalagi, nih?
Fyi, Bujur Bumi sebentar lagi akan berakhir. Itu artinya kalian harus merelakan Bujur Bumi tamat.
Terima kasih.
Love kalian banyak-banyak. ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top