Bujur Bumi 60: Second Chance
"Mau sampai kapan kayak gini terus, Sayang?"
Affandra frustrasi, wanita itu tetap saja membungkam mulutnya. Sejak pulang dari rumah sakit dan sekarang sudah berada di rumah mereka, tidak ada obrolan di antara pasutri itu. Achala membentang jarak, semua ia kerjakan sendiri. Namun, meski demikian tugasnya sebagai istri tetap ia jalankan. Hanya saja, wanita itu tidak mau disentuh oleh sang suami, bahkan tidur mereka di kamar terpisah.
Tidak ada pilihan lain bagi Affandra selain menurut saja. Mungkin hormon kehamilan wanita itu sedang tidak stabil. Achala seakan tidak pernah memberinya kesempatan ke dua. Affandra memaklumi itu semua meskipun kadang kala ada rasa kesal juga. Manusiawi.
"Nggak usah pegang-pegang. Aku bisa sendiri!"
Dasar Achala si keras kepala, ia terduduk di depan wastafel setelah memuntahkan sarapan yang tidak seberapa itu. Matanya berair, peluhnya membanjiri dahinya, tetapi ia tetap saja bersikap seolah bisa melakukannya sendiri.
Suami mana yang tidak khawatir jika dihadapkan situasi seperti Affandra sekarang ini. Pria itu hendak membantu sang istri, tetapi terang-terangan ditolak. Menggeram kesal, Affandra benar-benar tidak tahan lagi.
Pria itu mendekat ke tempat Achala, membantu sang istri untuk bangkit dari duduknya. Baju piama bagian depan wanita itu sudah basah, Affandra takut Achala akan masuk angin jika tidak segera diganti.
Achala mendorong tubuh Affandra agar menjauh. Sesaat kemudian telapak tangannya membekap mulutnya, tetapi sayang sekali gejolak dari dalam perutnya lebih menang mengalahkan pertahanannya. Sisa air dari perutnya ia muntahkan mengenai kemeja kerja Affandra.
Affandra tidak marah, sungguh. Ia bisa mengganti kemejanya dengan yang baru. Ia bisa menelepon sang sekretaris jika ia akan datang telat ke kantor. Namun, entah kenapa wanita yang sudah lemas dalam dekapannya itu justru menangis kencang. Seolah telah ia marahi karena mengotori baju kerjanya dan membuat repot.
"Kan udah aku bilang, aku nggak suka. Jangan deket-deket lagi," protes Achala.
Tak menghiraukan ucapan istrinya, Affandra berdiri membuka kemejanya yang telah basah dengan muntahan, lendir lengket itu cukup penuh di dadanya. Membasuh tubuhnya hingga bersih, Affandra mengendong tubuh yang tak berdaya itu.
"Turunin, aku nggak suka." Achala memukul dada Affandra. Memberontak layaknya anak kecil yang merajuk.
"Kamu maunya apa, sih, Cha? Nggak capek kayak gitu terus?" Menurunkan Achala dari gendongan ke tempat tidur, Achala duduk bersandar di kepala ranjang.
Affandra menyiapkan satu setel baju ganti, menyimpannya di ujung kaki Achala. Ia berjongkok, mengulurkan tangan, membantu sang istri mengganti bajunya yang basah.
"Sini, aku bantu gantiin bajunya."
"Ih, nggak mau. Nggak suka liat kamu. Mual." Achala mendorong tubuh suaminya hingga sedikit terhuyung ke belakang. Mata Affandra terbelalak.
Sejujurnya, ia tidak banyak tahu tentang wanita hamil. Alharhumah Tyas dulu sewaktu mengandung Juang tidak ia temui seperti ini. Wanita itu cukup anteng melewati masa sembilan bulan sepuluh hari kehamilan hingga akhirnya melahirkan.
Bisa-bisanya mual lihat suami sendiri. Ini bawaan bayi atau memang dia yang muak lihat aku?
"Ya udah kamu ganti sendiri bajunya. Harus ganti, nanti kamu masuk angin kelamaan pake baju basah. Kamu harus jaga kesehatan, Cha. Kasihan bayinya kalau kamu sakit terus."
"Iya, tahu. Aku memang ceroboh. Jaga anak aku sendiri aja nggak bisa." Achala terisak semakin menjadi, air matanya kembali berurai. Ia mengusap kasar wajahnya.
Berat sekali menghadapi mood dan hormon ibu hamil. Salah sedikit saja bisa membuat wanita itu tersinggung, bahkan menangis sesenggukan. Affandra harus hati-hati dalam berkata jika sudah begini.
"Sayang, bukan gitu. Aku cuma nggak mau kamu sama Little Boo sakit. Aku khawatir sama kalian berdua, bukan bermaksud mau nyinggung kamu. Aku minta maaf, ya."
Tak menggubris ucapan Affandra, wanita itu telah selesai berganti baju. Tubuhnya ia rebahkan kemudian membelakangi Affandra yang masih berdiri di pinggir tempat tidur. Affandra menarik selimut hingga bahu wanita itu. Seperti memiliki mata di belakang kepalanya, Achala segera berbalik dan mendorong wajah Affandra saat hendak meninggalkan jejak bibirnya di pelipis Achala. Wanita itu menatap nyalang Affandra.
"Nggak usah deket-deket. Kamu bau, aku nggak suka!"
Affandra mengendus tubuhnya sendiri, lengannya setengah terangkat, menghidu daerah sekitar ketiaknya. Affandra mengernyit dalam, tubuhnya tidak menguarkan aroma apa pun, kecuali wangi parfum yang biasa ia kenakan. Dulu saja, wanita itu sangat menyukai wangi parfum Affandra.
"Bau gimana, Sayang? Aku udah mandi. Oh, ini baju dalam aku, ya? Masih bau muntahan kamu tadi. Sebentar aku ganti baju lagi."
Pria itu berbalik, mengayunkan tungkainya kembali ke kamar mandi. Achala hanya bisa menatap punggung lebar itu hilang di balik pintu kamar mandi. Ia juga sejujurnya tidak paham dengan tubuhnya sendiri, ia begitu mual tiap kali berdekatan dengan Affandra apalagi mencium aroma parfum pria itu. Satu-satunya aroma yang masih bisa diterima oleh indera penciumannya adalah wangi sabun mandi yang Affandra kenakan.
Achala ingin sekali memeluk tubuh Affandra tiap kali laki-laki itu telah usai mandi. Namun, egonya terlalu tinggi untuk melakukan hal itu. Sekali lagi, haruskah ia beri kesempatan Affandra memperbaiki semuanya sekarang?
"Mas mau berangkat kerja. Nanti mas panggilkan Bi Marni nemenin kamu di sini," ucap Affandra seraya membuka lemari dan mengambil kemeja baru lantas mengenaknnya.
"Jangan semprot parfumnya. Aku mual nyiumnya!" Achala berseru hingga mengundang Affandra untuk berbalik badan.
Affandra tidak jadi menyemprotkan parfumnya. Ia sangat paham jika penciuman ibu hamil sangat sensitif. Pria dengan setelan kemeja berwarna lembut itu menghampiri sang istri yang masih berbaring.
"Mas berangkat, ya. Nggak jadi pake parfumnya. Baik-baik di rumah, oke? Jangan lupa makan, susunya diminum," pesan pria itu seraya mengencangkan kancing di pergelangan kemejanya.
Affandra berbalik, belum juga mengayunkan kakinya keluar kamar. Suara cicit wanita itu terdengar tertangkap rungunya. Kali ini apalagi yang Achala inginkan.
"Jangan berangkat kerja, di sini aja. Mau peluk ...."
Apa lagi ini? Sudah beberapa hari ini istrinya itu enggan disentuh olehnya, bahkan ia harus menunggu Achala tertidur pulas barulah bisa mengendap ke kamar di mana Achala tidur, mengusap perut wanita itu, dan mengajak mahluk kecil berusia tujuh minggu itu berbicara. Sekarang ... istrinya itu bersikap manis ingin dipeluk.
"Ya, udah kalau nggak mau peluk." Achala berbalik, menarik selimut hingga kepalanya.
Affandra menghela napas berat, seberat bebannya menghadapi mood wanita yang sudah terlanjur merajuk itu. Menyimpan tasnya, Affandra merangkak naik ke tempat tidur, menyibakkan selimut Achala.
"Sini ayo mas peluk. Sampe besok juga mas jabani."
Senyum samar Achala terlukis, sepertinya anak Affandra dalam kandungannya itu tidak bisa jauh dari sang ayah. Demi buah cinta yang bersemayam di dalam rahimnya, Achala memberi kesempatan ke dua untuk pria yang sedang mendekap hangat tubuhnya.
Tanjung Enim, 25 Nov 2022
RinBee 🐝
Ada ya, ibu hamil yang modelan Acha. Moodnya bisa berubah drastis.
Coba kasih wejangan dulu buat papaf menghadapi hormon kehamilan istrinya. Apa yang harus papaf lakukan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top