Bujur Bumi 56 : Pengakuan

Affandra kira, satu-satunya perempuan yang harus dia takuti jika sudah bertindak adalah eyang putrinya. Namun, ia lupa dengan wanita yang sudah melahirkannya. Wanita itu adalah menantu kesayangan eyang putrinya, setidaknya sedikit banyaknya cara wanita itu sebelas dua belas sama.

Ibunya duduk di sofa seberangnya, Affandra menunduk dalam menjadi terdakwa tanpa bisa membela diri. Setelah kemarin ia gagal membawa Achala pulang, sekarang ia harus menghadapi interogasi dari ibunya.

"Jawab, Affandra! Mami nggak pernah ngajarin kamu jadi berengsek, ya." Wanita dengan kacamata plus bertengger di hidungnya itu berteriak pada sang putra.

"Mi, nggak usah teriak-teriak juga. Bukannya kemarin dia udah kasih tahu Mami," ujar sang suami mengusap lengannya dengan lembut.

Telunjuk wanita itu mengacung ke arah Affandra. "Dia cuma bilang kalau dia mabuk, nggak bilang kalau ada wanita lain tidur sama dia. Anak kurang ajar, orang tua dibohongi."

Affandra mendongak, wajah pria itu sayu. Boro-boro mendapat simpati dari sang bunda, ia justru dicerca atas perbuatan yang sejujurnya ia saja tidak yakin melakukannya atau tidak. Ayahnya benar, semua gara-gara alkohol yang merenggut kesadaran warasnya. Mampu menghabiskan tiga botol minuman haram tersebut sampai membuat ia tak sadarkan diri, bukanlah suatu prestasi yang patut ia banggakan.

"Aku nggak tahu, Mi. Aku nggak begitu ingat persisnya. Aku memang minum setelah meeting waktu itu karena kalut dengan rumah tanggaku. Subuhnya aku kebangun, dia udah ada di samping aku dengan keadaan setengah telanjang dan pakai kemeja aku."

"Anak nggak tahu diri! Kalut dengan rumah tangga kamu, bukan berarti tidur dengan perempuan lain. Sudah bagus dapat Achala yang mau nerima kamu dan sayang dengan Juang. Malah kamu kecewakan begini." Mami benar-benar murka.

Tidak hanya bibirnya saja yang mencecar Affandra, tetapi tangan wanita itu pun turut memukuli sang anak dengan bantal sofa. "Kamu sadar, adik kamu dua perempuan, Fa. Gimana kalau itu nimpa adik kamu? Kamu bisa terima, adik kamu diperlakukan seperti ini oleh suaminya?"

"Mi, tolong ini kesalahan aku. Jangan bawa yang lain," protes pria itu.

"Makanya sebelum bertindak mikir dulu, Affandra!" raung sang bunda semakin menjadi. "Astagfirullah, ya Tuhan salah apa aku melahirkan anak seperti ini." Ibu dari affandra itu mengusap dadanya.

Sesaat ruang keluarga di kediaman rumah orang tua Affandra itu senyap sejenak, hanya ada isak tangis sang bunda. Affandra merasa bersalah, sangat. Tidak hanya menyakiti Achala, ia juga mengecewakan ibunya. Dua wanita kecintaannya menangis karena ulahnya.

Affandra beranjak dari duduknya, bersimpuh pada sang bunda. Wajahnya ia tenggelamkan di pangkuan wanita yang masih tergugu itu. "Maafin aku, Mi. Aku mohon ampun sama Mami, aku janji beneran tobat nggak akan ngulangi lagi."

Wanita itu mengangkat kepala sang putra dari pangkuannya. Ia beranjak dari duduknya. "Mami yang akan jemput Acha. Dia pasti mau pulang sama mami. Besok mami ke pondok pesantren itu."

Meraih tangan ibunya, Affandra berkata, "Acha nggak mau pulang, Mi. Acha mau pisah dari aku. Dan aku udah menyetujui permintaannya. Kami akan bercerai."

Geram sekali, sejak tadi ibunya menahan untuk tidak melayangkan tamparan di wajah tampan sang anak. Sekarang tidak bisa ia tahan lagi. "Anak bodoh! Kamu pikir setelah melepaskan Achala, kamu bisa dapat ibu sambung untuk Juang sebaik Achala? Gampang banget kamu setujui permintaannya. Perempuan itu mau lebih diperjuangkan, Affa." Wanita itu kembali terduduk, ia lemas mendengar penuturan sang putra. Kepalanya bersandar di bahu sang suami. Tangisnya semakin pecah.

Tidak ada yang berani membuka suara, pun termasuk suaminya. Pria paruh baya itu menenangkan sang istri, sementara Affandra terduduk di dinginnya lantai keramik, tertunduk dalam di depan kaki sang bunda. Sampai ... seseorang menghampiri mereka, memberi tahu jika ada seseorang yang datang.

"Bawa perempuan itu ke ruang atas!" seru ibunya Affandra mendengar asisten suaminya memberitahu siapa yang datang itu.

"Udah, ya. Nggak usah teriak-teriak lagi. Selesaikan hari ini, oke?" Sang suami berujar, tangan besarnya mengusap air mata istrinya.

Lagi-lagi Affandra tidak bisa menggunakan pikirannya dengan benar, ia mendongak memindai bergantian dari wajah sang bunda dan ayahnya. Ia masih belum bisa menerka jika perempuan yang ibunya sebutkan adalah Atthania.

Kedua orang tuanya beranjak dari sofa, berlalu tanpa memedulikan Affandra yang masih di posisi yang sama. Asisten ayahnya membantu ia bangkit, menuntun Affandra untuk menyusul orang tuanya.

Affandra menautkan alisnya saat orang kepercayaan ayahnya duduk di sofa panjang sebelah kanannya. Sesaat kemudian Affandra menoleh pada sumber derit pintu yang terbuka. Ada pengacara keluarganya yang pertama kali ia tangkap, kemudian sosok perempuan yang membuatnya membulatkan mata.

"Dia," tunjuk Affandra pada Atthania, Affandra bangkit dari posisi duduknya. "Mi, Pi. Ngapain dia dibawa ke sini? Ini salah aku, Mi. Jangan libatkan dia."

"Duduk!" Ayahnya memberi titah tegas pada Affandra. Mau tak mau ia kembali pada posisi duduk. Apalagi tatapan tidak suka dari maminya harus ia dapatkan setelah melontarkan kalimat yang menurutnya, tak sepatutnya Atthania terlibat di sini.

Atthania duduk berseberangan lurus dengan Affandra. Bisa pria itu lihat jika wajah sang sekretaris tidak baik-baik saja. Jelas sekali jika mimik Atthania tergurat rasa cemas, getir, dan lainnya.

"Mi, Pi." Ucapan Affandra terhenti saat yang bunda mengangkat telapak tangan menghadap ke Affandra.

"Bagaimana? Sudah mendapatkan hadiahnya?" tanya wanita itu menelisik remeh Atthania.

"Bu, saya mohon. Keluarga saja tidak tahu menahu soal ini. Tolong jangan libatkan keluarga saya," lirih Atthania memohon.

Affandra bergerak gusar. "Mi, apa yang Mami lakuin ke Thania? Plis, Mi. Aku mohon, ini kesalahan aku."

Ibunya berdecak, mendelik tajam pada sang putra. "Affandra! Kamu nggak sedang belain selingkuhan kamu, kan?!"

"Mi, demi Allah aku nggak pernah selingkuh. Aku cuma mabuk waktu itu, Mi. M-maksud aku, nggak usah terlalu banyak libatkan orang. D-dia juga belum tentu bersalah."

"Coba kamu jelaskan, bagian mana yang bukan kesalahan dia?" tantang wanita itu pada Affandra. "Kamu mabuk, tapi dia nggak. Kalau bukan ada sesuatu yang dia inginkan, dia nggak akan secara sadar masuk kamar atasan."

Affandra diam, hanya menelan salivanya. Ia sudah berusaha mengingat malam di mana ia sedang berjarak dengan sang istri, bagian yang melekat di otaknya hanya ia sedang melampiaskan emosionalnya dengan menenggak minuman haram. Samar-samar ia mengingat sebelum tertidur, ia menceritakan semua permasalahan rumah tangga yang tengah ia hadapi pada Atthania.

Ia ingat kala itu Atthania ada di ruangan yang sama dengannya, wanita itu mendengar segala keluh kesahnya. Affandra tak menampik jika malam itu kehadiran Atthania cukup memberinya angin penyejuk sebagai pendengar yang baik. Dan paginya sang sekretaris menangis lantaran kemarin malam mereka terlibat one night stand, begitu yang ia ketahui dari pengakuan perempuan itu. Meskipun sejujurnya ia tak yakin jika perbuatan zina itu benar-benar terjadi.

Tak menunggu putranya membuka suara. Wanita itu memberi kode, mempersilakan Atthania mengutarakan pengakuannya. "Silakan jelaskan semuanya."

Atthania menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Ia memohon pada pasutri yang duduk berdampingan itu. Sudut mata Atthania berair, seolah tahu sebentar lagi akan dieksekusi tanpa ampunan.

"Pak, Bu, saya mohon maaf. Ini karena kebodohan saya. Saya harap Bapak bisa memaafkan saya. Saya bersedia dipecat, tapi tolong jangan blacklist saya di perusahaan lain. Saya harus bekerja demi orang tua saya. Tolong jangan hancurkan impian orang tua saya."

Ibu Affandra melipat lengan di depan dada. "Menurut kamu, saya akan diam saja saat keluarga impian cucu saya, dihancurkan oleh perempuan modelan kamu ini? Impas, kan? Kamu menghancurkan impian cucu saya. Saya mengahancurkan impian orang tua kamu. Apple to apple."

Atthania turun dari duduk di sofa, ia menumpukan kedua lututnya di lantai menghadap pasutri itu. "Bu, saya khilaf. Saya minta maaf. Saya akui, ini kesalahan saya. Nggak sepatutnya saya yang menaruh perasaan ke Pak Affandra yang jelas-jelas atasan saya. Apalagi statusnya beristri."

"Mi, udah, plis. Maafin aja, udah. Tolong, Mi." Affandra turut memohon, entah apa yang ada di pikirannya. Beralasan rasa kasihan pada Atthania berbuntut membuat sang mami semakin murka.

"Diam kamu, Affandra! Ini demi Juang. Demi cucu mami satu-satunya. Perempuan kayak gini nggak seharusnya diampuni."

Di ruangan itu ada enam orang, tetapi yang terdengar hanya suara Atthania, Affandra, dan ibunya. Sisanya bergeming menyimak tontonan yang terjadi di depan mata mereka.

"M-malam itu, s-sebenarnya tidak ada yang terjadi di antara saya dengan Pak Affandra. Saya berbohong, saya dibutakan dengan perasaan saya. Saya sengaja mendatangi Bu Achala mengarang cerita seolah kami punya hubungan selama ini. Maafkan saya."

Affandra sontak berdiri. "Atthania! Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan? Rumah tangga saya berantakan," murkanya pada sang sekretaris.

Ke mana saja pikiran waras kamu, Affandra! Setelah pengakuan Atthania barusan Affandra sontak membelalakkan matanya. Ia tidak sampai berpikir jika ini hanya dusta sang sekretaris, bahkan Affandra sempat berpikir, bisa saja malam itu ia yang memaksa Atthania lantaran pengaruh alkohol. Menyesal telah menaruh iba pada wanita itu.

"Pak, mohon maafkan saya. Saya benar-benar menyesal. Saya harus minta maaf dengan Bu Achala. Semua salah saya, Pak." Atthania memohon dengan suara yang bergetar.

"Terlambat. Istri saya sudah bulat dengan keputusannya. Saya mungkin bisa memaafkan kamu, tapi maaf saya harus melanjutkan ini ke pihak berwajib." Affandra memutar wajahnya ke arah di mana asisten dan pengacara keluarganya duduk. "Pak, tolong urus semua atas dasar pencemaran nama baik," tandas Affandra meninggalkan ruangan. Ia butuh waktu untuk legawa dengan ini semua.

Tanjung Enim, 21 Nov 2022
RinBee 🐝


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top