Bujur Bumi 55 : Divorce?
Asap tipis dari secangkir kopi, aroma nasi goreng yang menggugah selera. Rasa laparnya memang memberontak sejak semalam, tetapi kenyataannya yang ia dapat tak juga membuat Affandra menyentuh makanan itu. Pandangannya masih tertunduk, menekuri sarapan pagi di depannya. Ia pikir, setelah bertemu Achala beberapa jam lalu Affandra bisa memeluk erat sang pujaan hati.
Di meja makan ruang keluarga Ustaz Ahmadi, Affandra merenungi nasib rumah tangganya setelah ini. Tawaran untuk sarapan sekadar mengisi perutnya dengan satu atau dua sendok nasi tak Affandra gubris. Ia masih memikirkan bagaimana caranya meminta ampunan pada istrinya. Ia sadar Achala pasti kecewa, bahkan membencinya.
"Ummu, kemari."
Affandra bisa mendengar seruan sang ustaz pada istrinya, tetapi ia memilih mengabaikan. Ustaz Ahmadi duduk di seberang Affandra, sang istri duduk di samping pria paruh baya itu. Perlahan Affandra mengangkat kepalanya, menatap kedua pasutri yang ada di hadapannya.
"Ummu, ini Nak Affandra dari Jakarta. Beliau ini suami dari Nak Acha." Ustaz Ahmadi tersenyum, mengangkat telapak tangannya, keempat jarinya mengarah ke Affandra. "Orang yang datang ke sini kemarin, menanyakan tentang Nak Acha itu adalah salah satu orang utusan Pak Chandra. Abi tahu tentang Nak Affandra dari orang tersebut, bahwasanya Nak Affandra adalah anak dari salah donatur kita."
"Perkenalkan, saya Ummu Habibah. Saya yang membimbing Nak Acha selama di sini. Maaf, ya, Nak. Tadi ummu tidak mengenali kamu padahal kemarin sudah diberi tahu."
Di balik cadar hitam yang menutup wajah istri Ustaz Ahmadi tersebut, suara lembut khas seorang ibu bisa Affandra dengar. Wanita itu tersenyum dilihat dari matanya yang melengkung seperti bulan sabit. Affandra bisa memaklumi jika wanita itu tidak mengenalinya, bahkan terang-terangan menanyakan siapa dirinya.
"Iya, tidak apa-apa, Ummu. A-aku mau bertanya, bolehkah, Ummu?"
Akhirnya, suara Affandra terdengar juga setelah dua jam merenungi sikap yang Achala tunjukkan padanya. Wanita itu sontak berlari meninggalkannya, sampai sekarang Achala masih belum mau menemuinya.
"Silakan, Nak. Tanyakan apa yang mau kamu ketahui."
"Maaf sebelumnya jika istri saya merepotkan di sini. Apakah selama di sini Acha baik-baik saja?"
Ummu Habibah mengangguk. "Nak Acha belajar banyak di sini. Dia tidak merepotkan sama sekali. Ummu senang dia ada di sini."
"Syukurlah ... apa istri saya bercerita tentang permasalahan kami?"
"Ummu kira permasalahan kalian sudah selesai perihal perjanjian yang Nak Affandra jalani. Namun, badai yang lain dalam rumah tangga kalian datang lagi. Nak Achala sudah bercerita, sedikit banyaknya ummu sudah tahu."
"Ustaz, Ummu. Saya sadar ini kesalahan saya. Bagaimana saya minta ampunan pada Allah, Ustaz. Saya tidak mau kehilangan Acha, Ummu. Saya mencintainya, sangat menyayanginya."
Wajah Affandra tertunduk dalam, sadar akan kesalahannya mungkin tidak akan mendapat ampunan dari Achala. Ia tahu bagaimana hidup Achala setelah dikhianati Lintang, ia tahu bagaimana Achala sangat mengutuk perbuatan itu. Ia berjanji tidak akan membuat wanita itu menangis seperti apa yang Lintang lakukan. Namun, lihat sekarang? Affandra tidak ada bedanya dengan Lintang. Ia sama-sama pendosa dari perbuatan yang istrinya kutuk.
"Laksanakan salat tobat dua rakaat, Nak. Minta ampunan pada Allah SWT, Nak. Hanya Dia yang maha memberi ampunan."
"Baik, Ustaz." Affandra beranjak dari kursinya.
Namun, sang ustaz memberi kode tangan agar Affandra kembali duduk. Pria itu mengernyit, bukannya tadi ia disuruh salat tobat. Bukankah sesegera mungkin salat itu dilaksanakan, akan semakin baik.
"Tunggu sebentar lagi, setelah matahari naik lebih dari sepenggalah."
Affandra melemparkan pandangan ke luar, sejujurnya ia bingung dengan ucapan sang ustaz, tetapi tak berani mengutarakannya. Jangan salahkan Affandra, Ustaz Ahmadi saja yang tidak mengerti keadaan pria itu. Kenapa pula sang ustaz menggunakan bahasa yang jarang ia dengar. Dengan kondisi sekarang ini, menggunakan bahasa sehari-hari saja Affandra masih kesulitan mencerna, otaknya mendadak lemot.
"Sepenggalah itu matahari naik setinggi galah, Nak. Sekitar pukul 07.00—08.00 pagi. Sekarang masih pukul setengah delapan. Salat tobat diharamkan dilaksanakan di waktu matahari terbit sepenggalah. Tunggu jam sembilan barulah kamu salat," jelas Ummu Habibah, barulah Affandra paham. "Sekarang, kamu sarapan dulu. Biar ummu nanti yang bujuk istrimu agar mau kamu temui."
***
Di tengah ruang sunyi, Affandra menjalankan ibadah tobatnya. Dua rakaat itu sudah ia laksanakan dengan khusyuk, menadahkan tangan memohon ampunan suara Affandra bergetar. Berjanji tidak akan mendekati barang haram itu lagi. Kalau bukan karena alkohol, ia tidak akan seperti ini. Istrinya akan tetap di rumah dan yang jelas ia tidak akan membuat wanita itu kecewa, bahkan menangis.
"Ya Allah, aku memohon ampunan atas apa yang segala hamba lakukan. Hanya Engkau zat maha pengampunan untuk hamba. Tuhanku, aku mengakui dosaku kepadaMu. A-aku pasrahkan yang terjadi di depan atas kuasaMu." Affandra tersedu dalam penutup doanya.
Mengusap wajahnya, Affandra menunduk. Ia meneteskan air mata bukan karena ia cengeng, tetapi karena berapa ia serius dalam bermunajat pada sang penciptanya.
"Mas Affa," panggil seorang wanita yang tentu saja Affandra tahu pemilik suaranya.
Sontak Affandra menoleh, Achala berdiri di belakangnya. Pria itu berdiri tergesa menghampiri Achala. Namun, wanita itu tetap saja bergerak mundur berapa kali pun Affandra melangkah maju. Seolah ia adalah barang najis yang harus dihindari.
"Sayang, a-aku mohon maafin aku. Aku janji nggak akan mengulangi. A-aku udah salat tobat, Sayang." Suara Affandra bergetar hebat.
Achala memang berdiri di depannya, jangankan merengkuh tubuh wanita itu. Meraih tangannya saja sulit sekali Affandra lakukan. Achala membentang jarak di antara mereka. Ia sungguh merindukan istrinya, sangat.
"M-mas Affa, aku mau tanya sesuatu? M-mungkin ini untuk terakhir kalinya." Achala bertanya seraya mengusap bening yang meluncur di pipi kanannya.
"A-apa, Sayang? Kamu jangan nangis lagi, mas salah. Mas minta maaf."
"Apa M-mas Affa cinta aku?" Tangis Achala meledak seketika. Kalimat itu semestinya biasa saja untuk diutarakan, tetapi entah kenapa hari ini begitu sangat menguras emosionalnya.
"Selalu, Sayang. Mas cinta kamu, mas sayang kamu. Mas nggak mau kehilangan kamu." Affandra menjawab mantap tanpa keraguan.
Menelan salivanya, sejenak Achala memejamkan matanya beberapa detik kemudian menatap Affandra lagi.
"Kata ibu, sampai kapan pun kamu nggak akan menceraikan aku? B-benar itu, Mas?"
Mengangguk kuat Affandra membenarkan ucapan sang wanita. Bagaimana ia bisa menceraikan wanita ini. Tinggal Achala beberapa hari saja sudah banyak sekali yang berubah dari hidup seorang Affandra Bujur Putra. Tentu saja ia tidak bisa berpisah dari wanita baik seperti Achala.
"Kecuali kalau aku yang meminta. Sekarang ... aku meminta itu, Mas," lanjut Achala.
Alis Affandra bertaut, tangannya terkepal kuat. Ia tidak salah mencerna ucapan lagi, kan? Meminta yang dimaksud sang istri adalah sebuah perceraian.
"Kamu minta apa, Sayang?"
Meskipun bergetar, Affandra harus mendengarkan secara jelas apa yang sebenarnya yang Achala inginkan. Ia tidak mau salah dengar hingga jadi kesalahpahaman.
"Kamu bilang, kamu akan menceraikanku jika aku sendiri yang meminta. Sekarang, aku minta kamu menceraikanku. Please, Mas. Mungkin minggu depan aku akan urus semuanya."
Tidak hanya bola mata Affandra yang terbuka lebar, bahkan mulutnya juga turut terbuka. Ia ingin tidak mempercayai apa yang barusan ia dengar. Haruskah rumah tangga yang mereka bangun selama tiga tahun ini berakhir hari ini. Semua karena ulahnya sendiri, tangan Affandra sendiri lah yang menghancurkan istana mereka. Pantaskah ia meminta kesempatan untuk memulai kembali? Meski tahu hal semacam itu sulit untuk ia dapatkan. Achala benci perselingkuhan, baginya itu adalah perbuatan tak terampuni.
"S-sayang, aku cinta kamu sampai kapan pun, t-tapi kalau itu yang kamu mau. Aku akan kabulkan, silakan masukan gugatannya. Aku tidak akan menjatuhkan talak untuk kamu sekarang, aku berharap kamu masih akan berubah pikiran."
Tanjung Enim, 20 Nop 2022
RinBee 🐝
14 Juni 2023
Selamat hari rabu.
coba sini siapa yang setuju mereka pisah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top