Bujur Bumi 54 : Ponpes Darul Ilmi
Pondok pesantren Darul Ilmi, tempat Achala bersembunyi itu terletak di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Menurut informasi yang Affandra dapatkan dari orang kepercayaan ayahnya. Ponpes ini cukup terkenal dalam bidang mencetak menghapal Al-Qur'an. Harusnya ia tidak perlu khawatir istrinya berada di sini. Perempuan itu pasti merasa aman dan nyaman.
Menempuh perjalanan kurang lebih dua jam empat puluh menit, Jakarta—Sukabumi dilewati Affandra dengan menyetir sendirian, tanpa sopir apalagi teman yang sekadar menemani dalam perjalanannya menjemput sang istri.
Pria itu belum juga beranjak turun dari mobilnya, masih memperhatikan bangunan tempat di mana sang istri bersembunyi darinya beberapa hari ini. Jika tidak memikirkan sopan santun dan adab, mungkin semalam Affandra sudah masuk ke pesantren tersebut menemui sang pemilik. Namun, sayangnya ia harus menunda satu malam dulu sampai pagi menjelang.
Tepat pukul empat dini hari, Affandra tersentak terbangun dari tidur tak nyamannya. Bagaimana bisa nyaman, ia tidur di dalam mobilnya dengan posisi kursi ia rebahkan, tanpa selimut apalagi bantal. Hawa dingin Sukabumi cukup menusuk pori hingga tulang Afffandra.
Katakanlah anak sulung dari Chandra Dirganis itu bodoh. Ya, jalan pikiran Affandra mendadak tumpul akibat ditinggal sang istri. Ia tidak bisa berpikir dengan benar. Bukannya mencari hotel atau penginapan, Affandra justru tidur di dalam mobil yang ia parkir di depan sebuah warung kecil tak jauh dari kawasan pondok pesantren.
Pria itu bukan tidak mampu menyewa hotel untuk semalam. Uang yang ada di dompetnya lebih dari cukup untuk menginap di hotel bintang lima sekalipun. Sekali lagi, ditinggal Achala benar-benar membuat pria itu seperti kehilangan porosnya.
Mengerjapkan matanya yang masih berat, Affandra mengedarkan pandangannya ke luar kaca jendela mobil. Di ujung sana, samar netranya menangkap beberapa siluet santri laki-laki keluar dari gerbang. Para santri itu sudah rapi mengenakan sarung, baju koko, dan peci di kepala mereka. Masih mengikuti ke arah mana mereka pergi, Affandra membuka kaca jendelanya.
"Di sana ada masjid?" gumam Affandra menyipitkan mata.
Meraih ponselnya, Affandra turun dari mobilnya. Meski nyawanya terasa masih melayang, tubuhnya yang lelah karena perjalanan dalam pencarian sang istri tak ia hiraukan. Affandra tetap memaksakan diri, menuju tempat para santri itu tadi. Barangkali jika ikut salat tahajud pria itu akan sedikit merasa tenang. Ya, setidaknya ia tenang istrinya berada di tempat seperti ini.
"Asalamualaikum. Maaf menganggu," sapa Affandra pada beberapa santri.
Remaja-remaja itu sontak membalas salam Affandra, ada yang bersikap biasa saja dan juga tersenyum ramah. Ada pula yang menatap heran. Bagaimana tidak, pukul empat dini pagi seorang pria yang bukan pengurus ponpes tiba-tiba berdiri di hadapan mereka. Belum lagi dengan penampilan Affandra sudah tidak bisa dikatakan baik. Matanya sayu kurang istirahat, lengan kemeja yang tergulung hingga ke siku, rambut acak-acakan, terlihat lemas. Mungkin ia lupa kapan terakhir makan dengan baik.
"Maaf, Mas. Mau numpang salat?"
Satu dari lima remaja itu memberanikan diri untuk bertanya. Hanya dia yang tinggal, lainnya berlalu melanjutkan langkah ke masjid. Mungkin ia kasihan pada Affandra yang tak kunjung bersuara lagi setelah mengucapkan salam, tetapi netranya mengedarkan ke arah musala seperti mencari sesuatu.
"Hmm ... saya mencari perempuan ...."
"Astagfirullah. Mas, ini pondok pesantren bukan tempat hiburan malam. Masnya masih mabuk?"
Tidak hanya jalan pikirannya yang mendadak buntu. Kosa katanya pun turut berantakan seperti hidupnya beberapa hari belakangan. Benar-benar tidak tertolong lagi. Beruntung ia tak langsung dipukuli oleh santri itu karena dianggap merendahkan tempat mereka menimba ilmu.
Affandra kikuk sendiri, menggaruk belakang kepalanya. Gestur tubuhnya bergerak ribut, segera ia menyanggah maksud dari ucapannya.
"B-bukan begitu, maksud saya ... saya mencari seseorang yang tinggal di pondok pesantren ini. Dia perempuan. Maaf sudah jadi salah paham. Saya bisa bertemu dengan pemilik ponpes ini tidak, ya?"
"Oh, mencari seseorang. Mending Masnya salat dulu aja. Biasanya ada ustaz Syekh Ahmadi di dalam. Beliau pemilik pondok ini."
Masih belum beranjak, Affandra tampak ragu. Menelisik kembali yang ia kenakan. Sudah sehari semalam pakaian itu melekat di tubuhnya tak ia ganti. Kemarin pagi ia masih pergi ke kantor meski isi kepalanya tetap penuh dengan Achala. Setelah mengetahui keberadaan sang istri, jangankan menyempatkan diri mengganti pakaian, Affandra tidak terpikir untuk bersalin atau membawa pakaian ganti. Di dalam pikirannya adalah bagaimana segera mungkin menemui Achala dan membawanya pulang.
"Tenang saja, Mas bisa bebersih terlebih dahulu di dalam. Mari, Mas saya antarkan ke Ustaz Ahmadi."
Santri itu memberi kode agar Affandra mengikutinya. Tak punya pilihan, Affandra segera mengekor di belakang remaja itu sampai langkahnya berhenti di depan sebuah masjid cukup besar.
Seperti pondok pesantren pada umumnya, area untuk laki-laki dan perempuan tentu saja dipisahkan. Ini adalah batas yang tidak bisa dilewati oleh para santri atau santriwati.
Affandra menunduk dalam, indera pendengarannya disapa lembut dengan lantunan ayat-ayat suci. Sebenarnya ia malu, kenapa tidak dari dulu saat sedang ada permasalahan sulit lari ke tempat seperti ini. Bukan malah menginjakkan kaki ke tempat terkutuk seperti klub malam dan melampiaskan pada minuman haram.
"Siapa, Bar?"
Baik Affandra dan santri tersebut menoleh ke arah sumber suara. Pria dengan dengan busana muslim, peci putih lengkap dengan serban yang menutupi kepalanya. Pria itu mengulas senyum pada Affandra, perawakan tinggi dan berisi, dagunya dihiasi janggut.
"Oh, asalamualaikum, Ustaz. Ini ... ada tamu mencari seseorang di sini."
"Asalamualaikum, Ustaz. Saya Affandra dari Jakarta. Kedatangan saya kemari mencari istri saya, namanya Achala Annandhita. Barangkali Ustaz tahu?"
Melangkah dua langkah ke depan Affandra, seakan tahu permasalahan pria itu sang ustaz menepuk bahu Affandra. Ia membalas, "Walaikumsalam. Dia baik-baik saja di sini. Kita salat subuh dulu, nanti kita bertemu dengan dia."
Affandra tak peduli sang ustaz tahu dari mana tentang dirinya, atau ia tak ingin memikirkan bagaimana pria paruh baya ini bisa langsung memercayai ucapannya.
Berada di barisan yang sama dengan sang ustaz, setelah membersihkan dan menyucikan dirinya dengan air wudu, Affandra khusyuk menjalankan kewajibannya.
Affandra mengangkat kepalanya saat bahunya dicolek seseorang, tidak terasa sudah satu jam ia berada di dalam masjid tersebut. Setelah salat subuh, ia lanjut dengan berzikir. Ustaz Ahmadi berdiri di depan Affandra, ibu jarinya masih bergerak memutar tasbih di tangan.
"Ayo, kita menemui istrimu."
Affandra beranjak, tidak usah ditanya bagaimana keadaan jantungnya sekarang ini, ia benar-benar gugup. Entah karena terlalu merindukan wanitanya atau karena merasa bersalah pada Achala.
Mengikuti langkah sang ustaz, wajar saja jika Achala memilih tempat ini. Ponpes ini, bukan cuma sekadar tempat menenangkan diri, tetapi juga bisa sebagai tempat healing terbaik. Tidak hanya luas, suasananya pun sangat sejuk.
Sampailah Affandra di sebuah bangunan serupa dengan vila. Mengedarkan pandangan, tidak ada santri di sini. Mungkin tempat ini bukan untuk umum.
"Ini tempat istri saya kalau sedang pengajian," ujar pria di samping Affandra.
Ustaz Ahmadi kembali mengayunkan langkah, diikuti oleh Affandra. Menapaki undakan tangga kecil untuk masuk ke satu tempat. Pupil Affandra melebar saat di tengah ruangan ada dua orang perempuan. Yang lebih tua mengajari beberapa ayat dalam Al-Qur'an.
Namun, bukan itu yang menjadi alasan Affandra tak memutus pandangan, melainkan sosok yang duduk berhadapan dengan wanita paruh baya, tubuhnya masih dibalut dengan mukena berwarna putih tulang.
"Asalamualaikum," ucap Ustaz Ahmadi.
"S-sayang ...," panggil Affandra pada sosok perempuan yang ia cari beberapa hari ini dengan nada suara yang bergetar.
Achala bangkit, matanya membulat. Ada mimik terkejut dari wanita itu. Affandra maju beberapa langkah, tetapi wanita itu justru mundur lebih banyak. Sorot matanya syarat akan rasa kecewa pada Affandra. Wanita itu berbalik kemudian berlari meninggalkan tempat itu demi menghindari sang suami.
Tanjung Enim, 19 Nop 2022
Republish, 12 Juni 2023
RinBee 🐝
Menurut kalian kira-kira Affandra beneran tidur gak sama Thania?
Apakah ini ada sangkut pautnya dengan Lintang?
Kira-kira Affandra cuma khilaf karena mabuk atau selama ini memang beneran ada main dengan Thania?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top