Bujur Bumi 53 : Pencarian
Pepatah mengatakan sebanyak apa pun seorang anak tumbuh, berapa pun jumlah angka pada usianya. Bagi orang tua, mereka tetaplah bayi kecil yang harus dijaga. Mungkin itulah yang terjadi pada Affandra saat ini. Usianya memang sudah 33 tahun, bahkan putranya saja sudah hampir memasuki usia sekolah dasar. Namun, tetap saja ia masih butuh bantuan dari kedua orang tuanya.
Tidak punya pilihan lain, Affandra harus memberi tahu sang ayah perihal masalah yang sedang ia hadapi sekarang ini. Sudah beberapa hari berusaha sendiri dalam pencarian Achala, tetapi tetap saja hasilnya nihil. Ia tidak bisa mendapatkan informasi keberadaan sang istri.
Pria itu sudah berusaha mencari keberadaan sang istri melalui rekan kerja Achala. Satu-satunya teman sejawat istrinya yang cukup dekat dengan Achala adalah Kalila Rizky. Hanya satu orang itu yang ia ketahui. Affandra sudah meminta bantuan Kalila, meminta informasi kalau-kalau wanita itu menghubungi Kalila. Namun, hingga hari ini Kalila pun tak mendapat kabar apa pun. Kalila pun tidak bisa menghubungi nomor sang istri.
Affandra meringis, pipi kanannya masih terasa kebas karena tamparan sang ayah. Sudah berapa puluh nasihat yang ayahnya beberkan, berhenti berhubungan dengan yang namanya alkohol. Namun, Affandra tetap saja tak kapok pergi ke tempat itu jika sedang memiliki permasalahan berat.
"Sudah berapa kali papi bilang, Affandra! Jangan pernah menyentuh yang namanya alkohol. Kamu pikir hebat bisa menghabiskan beberapa botol minuman itu?"
"Maaf, Pi. Aku memang salah."
"Percuma. Permintaan maaf kamu tidak akan berguna sekarang." Ayah Affandra itu kembali menaikkan suaranya.
Di ruang kerja sang ayah Affandra duduk di sofa, wajahnya ia tundukkan sedalam mungkin. Di seberangnya ada seorang lagi. Pria dengan setelan jas biru tua yang berusia tidak jauh dari sang ayah. Bisa dikatakan pria itu adalah tangan kanan ayahnya.
"Pak Marcel, gimana? Sudah mendapatkan informasi di mana menantu saya berada?"
Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyimpan satu map hijau ke depan Affandra. "Puji Tuhan, kemarin saya sudah menemukan keberadaan Ibu Achala. Beliau memang tidak ada di rumah orang tua atau saudaranya."
Affandra mengangkat kepalanya mendengar nama sang istri disebut. "Pak Marcel sudah menemukannya? Bagaimana keadaan istri saya, Pak? Dia baik-baik saja, kan?"
Marcel memejamkan matanya sejenak, memberi kode melalui netranya agar Affandra memeriksa apa yang ia simpan di dalam map tersebut. Tergesa, pria itu membuka map di hadapannya, matanya terbuka lebar saat foto pertama yang ia lihat adalah sosok Lintang di depan sebuah pintu gerbang.
"Lintang? Pondok Pesantren Darul Ilmi?" Affandra tak mengerti, bahkan ia tak peduli jika sahabatnya itu sudah bertobat dan sekarang sedang menimba ilmu di sebuah pondok pesantren.
Membuka lembaran lainnya, tangan Affandra mencengkram kuat lembar yang sedang ia telisik. Kali ini, bukan hanya bajingan Lintang yang ada di lembar tersebut, tetapi juga sosok perempuan dengan balutan busana muslimah berwarna hitam. Meski mengenakan busana yang tidak biasanya di kesehariannya, Affandra tetap mengenali sosok itu adalah Achala.
"Jadi, bajingan itu yang menyembunyikan istri saya? Keparat sialan!"
"Berhenti menyalahkan orang lain, Affandra. Ini semua tidak akan terjadi kalau kamu tidak mabuk yang berakhir meniduri sekretaris kamu." Ayahnya menyela, mengungkit kembali kesalahannya.
"Pi, demi Allah. Aku memang minum waktu itu, tapi aku yakin aku nggak nidurin dia. Aku juga nggak tahu, subuh-subuh dia tidur di kamar aku."
"Kalau kamu nggak ingat, berarti kamu mabuk!" Papi sudah sangat geram dengan Affandra, bahkan tangan pria itu sudah terangkat hendak memukul Affandra lagi, mungkin.
"Ibu Achala baik-baik saja." Marcel mengubah posisi duduknya. Kaki kanannya ia silangkan ke kaki satunya. "Menurut informasi, Pak Lintang hanya sekali menemui Ibu Achala, bahkan Pak Lintang yang mengantar Ibu Achala ke sana."
Bajingan, Lintang. Dia benar-benar bermain denganku. Lihat saja apa yang bisa aku lakukan untuk menghancurkan hidup kamu.
Tentu saja Affandra tidak berani mengumpati Lintang secara terang-terangan setelah disergah oleh ayahnya tadi. Ia tidak mau sang ayah semakin murka karena ini juga bukan semuanya kesalahan orang lain. Tetap saja akar permasalahannya ada pada dirinya.
"Ini ada sangkut pautnya dengan bisnis?" Ayah dari Affandra itu bertanya pada orang kepercayaannya.
Persaingan dunia bisnis memang terkadang semenyeramkan itu. Tidak heran jika mertua dari Achala itu menyangkutpautkannya dengan bisnis. Bukan hal yang baru jika anak atau istri dari pebisnis sukses diculik dan pelakunya adalah pesaingnya. Sudah banyak berita demikian yang ia dengar.
"Saya belum menemukan untuk persoalan ini, Pak Chandra. Akan saya selidiki, apakah ada hubungan dengan bisnis atau hal lainnya."
"D-dia mau rujuk dengan Acha, Pi." Affandra menimpali meski dengan suara sedikit tercekat di awal.
Mata sang ayah mendelik tajam pada putra sulungnya. Kali ini apalagi yang menjadi permasalahan anaknya itu. Ulah apa yang Affandra atau sang menantu lakukan. Setidaknya, sedikit banyaknya pria paruh baya itu mengetahui siapa Lintang. Sahabat Affandra, sekaligus mantan suami dari sang menantu.
"Ada hal paling gila dari menikahi mantan istri teman? Gimana ceritanya, mau rujuk dengan perempuan yang masih sah jadi istri orang lain?!" Dahi sang ayah mengernyit dalam. "Jangan bilang Achala ada main di belakang kita semua, Affandra."
Gestur Affandra bergerak ribut. Apa yang ayahnya tuduhkan pada sang istri tidaklah benar. Bagaimana bebalnya Lintang, ia percaya Achala tidak mengkhianatinya. Setidaknya kepercayaan itu masih ia pegang, sebelum perempuan itu pergi dari rumah dan tertangkap kamera orang kepercayaan ayahnya sedang bersama Lintang di sebuah tempat.
"Enggak, pi. Acha nggak salah apa-apa. A-aku pernah melakukan perjanjian dengan Lintang, akan menceraikan Acha agar mereka bisa rujuk."
"Kalau begitu, kamu sama bajingannya dengan teman kamu itu!" Sang ayah melayangkan satu tamparan lagi di pipi kanan Affandra. Pria itu kembali menunduk, meresapi nyeri di pipinya.
"Urusi semuanya. Selidiki apakah ini ada kaitannya dengan bisnis atau bukan. Kamu usahakan mami tidak tahu," ujar ayah dari Affandra itu pada Marcel.
Pria 53 tahun itu tahu persis bagaimana perempuan yang ia sebut mami itu, tak lain adalah nenek dari Affandra. Meski tubuhnya tak sekuat dulu. Namun, kuasanya tidak bisa dianggap remeh. Peringatan ini sudah Affandra dengar dua kali. Kemarin dari sang bunda dan sekarang ayahnya.
Orang kepercayaan ayahnya Affandra itu mengangguk dan segera undur diri. Ia tahu harus apa dalam pencarian sang menantu rumah ini.
Affandra masih termangu tidak tahu harus apa, memancing rasa kesal sang ayah. "Kamu ngapain di sini? Cepat cari istri kamu."
"T-tapi aku cari ke mana, Pi? Aku nggak tahu ponpes tempat Acha sembunyi itu ada di mana."
Ayahnya berkacak pinggang, ia benar-benar tidak habis pikir dengan sang putra. Untuk apa Marcel menyerahkan informasi yang ia dapatkan jika tidak ada alamat tempat di mana ia menemukan sang menantu.
"Kamu baca di sana, Affandra!" geram sang ayah. Ia menunjuk ke kertas yang ada di dalam map. "Marcel nyerahin map itu bukan untuk kamu koleksi foto-fotonya."
Kali ini bahasa yang ayahnya gunakan tidak lagi terdengar formal. Ini adalah bahasa yang digunakan sang ayah pada putranya. Affandra tergagap, bergegas membuka lembar lainnya sampai ia menemukan kertas berisi identitas pemilik pondok pesantren tempat sang istri sekarang ini. Di sana juga tertera lengkap alamat di mana tempat sang istri bersembunyi.
Tanjung Enim, 18 Nop 2022
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top