Bujur Bumi 51 : Parasit Lainnya
"Kemarin semut, sekarang ulat. Padahal baru juga mau tumbuh udah ada parasit lainya." Wanita itu bergumam kesal menatap tanaman bunganya disambangi hama yang merusak anak ke duanya.
Sudah tahu, bukan? Bagi Achala tanaman bunga itu seperti anaknya setelah Juang. Tidak ada yang boleh merusaknya, bahkan Affandra pun pernah ia omeli lantaran tidak sengaja menendang pot bunga mawar.
"Sabar, ya. Udah ini kamu akan aku rawat sepenuh hati. Janji nggak akan ninggalin kalian lagi."
Ya, bunga-bunga itu kurang terawat sejak ia tinggalkan beberapa hari ke rumah orang tuanya. Harusnya, wanita itu berjanji tidak akan merajuk lagi pada suaminya dan berakhir pulang ke rumah ayahnya. Bukan berjanji pada bunganya.
Achala menyingkirkan ulat itu, memotong daun yang sudah terlanjur dimakan hewan berwarna kehijauan itu. Menyemprotkan racun hama, menyusun pot-pot bunganya di rak-rak tiga tingkat. Wanita itu senang sekali melihat bunga-bunga tanamannya mulai bermekaran.
Selesai berkutat dengan bunganya, wanita itu beranjak meninggalkan halaman belakang. Pulang mengajar bukannya beristirahat, ia justru sibuk di halaman belakang merawat bunga mawar yang baru mulai berbunga. Pun ia tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga.
Melirik jam besar di sudut ruang keluarga, sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Achala mengayunkan tungkai ke kamar sang buah hati. Memeriksa apakah jagoan kecilnya sudah bangun dari tidur siangnya. Mengulas senyum samar, netra Achala langsung ke tempat di mana Juang tidur, anak itu masih nyaman memeluk gulingnya. Tak mau menganggu, Achala kembali menutup pintu kamar Juang.
"Biarin aja, deh. Dia pasti capek, di sekolah tadi kebanyakan main, lari-larian. Lagian kalo nggak banyak main, kerja anak TK apa? Mau praktik kimia di lab? Kan belum bisa. " Achala berujar sendiri, menjawab sendiri pertanyaannya.
Mengedarkan pandangan ke tiap sudut ruang tengah, apa yang harus ia kerjakan lagi. Mau berkutat di dapur memasak makan malam, rasanya terlalu cepat.
"Padahal dia cuma tidur, rumah udah terasa sepi aja nggak denger celotehannya. Apalagi kalau dia nginep ke rumah omanya, udah kayak nggak ada kehidupan ini rumah." Achala bermonolog sembari mengusap perutnya yang rata, terselip doa dalam pergerakannya itu. "Semoga tahun depan ramai."
Langkahnya dibawa ke ruang kerja suaminya. Mungkin di ruang pribadi Affandra, dia bisa menemukan sedikit pekerjaan sembari menunggu waktu untuk memasak. Duduk di kursi yang biasa suaminya tempati, senyum Achala tersungging lebar kala melihat beberapa bingkai foto berukuran sedang di meja kerja suaminya. Foto kebersamaan mereka tahun lalu.
Katakanlah kali ini wanita itu lancang, laptop yang tertutup di atas meja itu sangat menarik perhatian Achala. Tangannya membuka benda berwarna silver tersebut, lagi-lagi senyum Achala terulas saat layar laptop menampilkan foto keluarga kecil mereka.
"Si bapak, bucin banget kayaknya sama anak bini." Achala menggerakkan jarinya di atas touchpad, wanita itu kembali berkata, "Coba kita lihat WhatsApp si bapak bucin. Kira-kira ada chat sama cewek lain nggak ya?"
Wanita itu hanya bercanda, ia percaya suaminya. Namun, seharusnya dalam hal ini bertuturlah yang baik, bukankah ucapan adalah doa. Jari Achala bergerak di tempat yang sama, mengarahkan kursor ke kolom percakapan dengan nama yang sejujurnya sangat asing bagi Achala. Ia membuka WhatsApp yang terhubung di laptop kerja Affandra.
"Atthania? Ini siapa? Oh, mungkin ini sekretaris Mas Affa yang di perusahaan cabang Surabaya. Iya ... iya, Mas Affa pernah nyebut namanya kalo nggak salah."
Sekilas Achala melirik foto profil wanita berambut panjang dan lurus itu. Menelisik percakapan sang suami dengan nama seorang perempuan. Tidak ada yang aneh, suaminya hanya mengabarkan tanggal akan ke Surabaya, permintaan menyiapkan berkas rapat, menyiapkan keperluan laporan, dan beberapa panggilan tak terjawab. Pun respon wanita itu pun sama, tidak ada yang aneh, bahkan bahasanya pun formal.
"Bukannya waktu itu Mas Affa bilang mau cari laki-laki aja." Achala menopang dagunya. "Kalau perempuan mungkin kerjaannya lebih rapi kali, ya. Kayak sekretarisnya yang di sini."
Lagi-lagi wanita itu bergumam sendiri, bertanya sendiri, menjawab pun tetap sendiri. Matanya mengerling, jarinya kembali bergerak mengarahkan kursor ke foto profil sang sekretaris. Ingin melihat lebih jelas seperti apa wanita itu di foto. Entah apa yang membuat Achala sangat tertarik dengan foto Atthania. Wanita itu terlalu berlebihan jika ia berpikiran sang suami ada sesuatu dengan sang sekretaris.
"Mau lihat fotonya, akh. Kira-kira cantik—"
Achala tak melanjutkan ucapan saat rungunya menangkap suara bel yang berbunyi berulang. Wajahnya ia putar menghadap pintu keluar, menebak-nebak siapa yang bertamu di sore hari seperti sekarang ini. Keluar dari meja kerja Affandra, wanita itu melangkah keluar menuju pintu depan.
Mencoba mengingat-ingat siapa sosok di hadapannya saat pintu sudah ia buka lebar, tetap saja Achala tak teringat sama sekali pernah bertemu di mana dengan wanita ini. Namun, seperti tidak asing lagi dengan wanita tinggi, tubuhnya tidak begitu langsing, tetapi cukup sintal, rambut lurus panjang.
"Maaf, cari siapa?"
Wanita yang berdiri di depan Achala itu sedikit canggung dengan pertanyaan Achala, bibirnya yang tebal menarik garis senyum setinggi mungkin. Sekali lagi, Achala menelisik penampilan wanita yang tidak asing baginya itu.
"Ini benar rumah kediaman Bapak Affandra, pimpinan Manggala Grup?" Wanita itu bertanya.
Oh, iya. Bukannya ini sekretaris yang di WhatsApp tadi? Ngapain ke sini, Mas Affa aja belum pulang kantor.
"Iya, benar. Kamu ... sekretaris suami saya yang di Surabaya?" tebak Achala langsung.
"Iya, Bu. Saya Thania. Saya ke sini disuruh Pak Affandra untuk mengambil dokumennya yang ketinggalan."
Senyum wanita itu semakin lebar, matanya pun turut melengkung seperti bulan sabit. Mungkin ia tidak menyangka jika istri dari pimpinannya ini mengenalinya, padahal mereka belum pernah bertemu barang sekali pun.
"Ayo, silakan masuk dulu." Achala bergeser dari posisinya berdiri, mempersilakan sang sekretaris.
Duduk di sofa ruang tengah, Achala tersenyum ramah pada bawahan yang sedikit banyaknya membantu sang suami dalam menjalankan perusahaannya. Setelah mempersilakan Atthania duduk, Achala beranjak undur diri ke dapur. Menjamu pegawai sang suami tentu tidak ada masalah bukan? Achala senang melakukannya. Toh, mereka datang tidak setiap hari apalagi ini sekretaris yang bertugas khusus di perusahaan cabang Surabaya. Jarang-jarang mereka ada di Jakarta. Namun, tetap saja ada yang terasa janggal.
Berdiri bersandar di meja pantry, tangan Achala sibuk dengan ponselnya. Menghubungi sang suami sekaligus menanyakan dokumen yang mana dimaksud sang sekretaris. Panggilan telepon Achala tak diangkat. Dua kali wanita itu berusaha menghubungi, tetapi sama saja. Tidak ada jawaban.
"Sibuk kali, ya? Ya, udah, deh. WhatsApp aja, bilang kalau ada Thania di sini. Nanti aku tanya sama Thania aja dokumen yang mana." Wanita itu bergumam seraya mengetikkan sesuatu pada ruang pesan nomor Affandra.
Setelahnya, tangan Achala cekatan meraih cangkir dari kabinet atas, membuatkan minuman untuk tamunya sore ini. Membawa dua cangkir minuman beserta makanan ringan sebagai pelengkap. Wanita itu menyimpan nampan yang ia bawa ke meja sofa, mengangsurkan cangkir minum untuk Atthania.
"Minum, dulu, ya. Nanti saya ambil dokumennya. Tadi saya sudah nelepon Pak Affandra, tapi belum ada respons." Achala berkata, mengulas senyum terbaiknya. Ia tidak mau dicap sebagai istri pimpinan yang tidak ramah pada pegawai suaminya.
"Terima kasih, Bu. Kedatangan saya sebenarnya bukan karena mau mengambil dokumen. Saya ingin menyampaikan sesuatu ke Ibu Achala, perihal Pak Affandra."
Achala mengernyit, ia belum memperkenalkan diri. Dari mana sekretaris ini tahu namanya. Namun, bukan itu yang menjadi alasan Achala mengerutkan dahi. Tentu saja pegawai suaminya tahu namanya meskipun ia belum memperkenalkan diri. Achala menunggu Atthania membuka suara lagi, tentang sesuatu yang akan disampaikan wanita itu, perihal alasan kedatangannya kemari yang mendadak berubah.
"Apa ada sesuatu yang terjadi pada suami saya?" Achala melirih.
Ini bukan kabar buruk yang menimpa suaminya, kan? Tadi pagi suaminya itu pergi ke kantor dengan keadaan sehat walafiat.
"Lebih tepatnya yang terjadi di antara saya dan Pak Affandra. Maaf, saya tahu ini salah saya, tapi saya hanya minta pertanggungjawaban Pak Affandra. Saya ... pernah tidur dengan Pak Affandra saat bapak tugas di Surabaya."
Tanjung Enim, 15 November 2022
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top