Bujur Bumi 50 : Parfum
Guyuran air hangat membasahi dari ubun-ubun hingga ujung kaki Affandra. Bukan hanya menenangkan otot-otot tubuhnya, tapi juga berharap bisa menenangkan pikirannya. Pertemuannya dengan Lintang di toko parfum tadi masih mengusik kinerja otak Affandra.
Katakanlah pria itu pengecut, dia masih saja gamang dengan istrinya. Masih saja merasa cemas jika wanita yang hidup bersamanya hampir tiga tahun belakangan ini, akan kembali pada cinta masa lalunya.
Tidakkah Affandra tahu? Perasaan Achala benar-benar tulusnya untuknya. Tidak ada yang lebih berharga dari keluarga kecil mereka. Wanita itu mencintai Affandra dan Juang, sangat.
Menyudahi acara bebersihnya, pria itu menarik bathrobe dan membungkus tubuhnya dengan baju serupa handuk tersebut. Tungkai jenjang itu melangkah ke luar kamar mandi. Mengusap-usap belakang kepalanya dengan handuk kecil, netra Affandra mengedar mencari keberadaan sang istri.
"Sayang," panggil Achala yang baru saja keluar dari balik pintu besar lemari pakaiannya.
Achala tergelak melihat ekspresi suaminya, Affandra masih berdiri di depan pintu kamar mandi, telapak tangannya memegangi dada. Kedua bola matanya membesar.
"Kamu kenapa, sih? Aku manggilnya biasa aja, loh. Bukannya yang suara kenceng gitu. Masa gitu aja kaget." Achala tertawa pelan, langkahnya ia bawa ke arah tempat tidur. Menyimpan satu setel piama Affandra.
"Mas kaget beneran, Sayang. Kamu, sih, tiba-tiba muncul dari balik lemari. Udah kayak film horor hantu lemari."
Achala mencebik, mendelik tidak terima. "Mana ada hantu cantik kayak aku," pujinya pada diri sendiri.
Gantian si suami yang tertawa kencang mendengar ucapan wanita itu yang sedikit narsistik. Masih mengeringkan rambutnya dengan handuk, tangan Affandra bergerak ribut di atas hingga belakang kepala.
"Iya, si paling cantik."
Achala duduk di tepi tempat tidur, wanita itu masih memperhatikan tiap gerakan sang suami mengenakan underwear. Merasa diperhatikan, Affandra salah tingkah, telapak tangannya menutup mata Achala agar tak memandanginya lagi. Lagi pula siapa yang tidak salah tingkah, sedang mengenakan pakaian dalam dilihat dengan tatapan menelisik tak berpindah pandang ke tempat lain, sekalipun itu istri sendiri.
Menurunkan tangan suaminya dari wajah, kepala Achala sedikit meneleng karena kecupan ringan di pelipisnya.
Wanita itu bertanya, "Tumben pulangnya malem banget? Udah jam sepuluh lewat baru sampe rumah. Anaknya tadi nungguin papaf pulang kerja. Mana chat aku nggak ada yang dibalas."
Mengenakan piama yang Achala siapkan, pria itu menarik celana tidur ke atas sembari menjawab, "Nggak sempet cek handphone, Sayang. Tadi ada tim proyek dari Surabaya. Jadi, ya meeting dadakan. Baru kelar jam delapan, makan malam sebentar terus mas pamit duluan."
"Ih, nggak sopan banget. Masa pimpinannya pulang duluan. Bukannya nemenin sampe kelar. Benar-benar tidak berkepemimpinan." Achala tertawa renyah.
Mendengar ledekan dari sang istri, tangan Affandra terulur menepuk pelan puncak kepala Achala, ia tersenyum samar.
"Pulang jam sepuluh aja yang di rumah udah spam chat. Gimana kalo sampe rumah lebih dari jam sepuluh, bisa-bisa mas nggak dibukain pintu, terus disuruh tidur di luar." Affandra menyindir Achala yang sejak pukul tujuh sudah ribut mengiriminya pesan.
Wanita itu pura-pura tidak mendengar sindiran sang suami, ia bangkit dari duduknya. Meraih kemeja Affandra yang berserak di atas tempat tidur, bahkan celana bahan yang pria itu gunakan seharian ini sudah tergeletak di lantai.
Berapa kali Achala menghidu wangi yang melekat di kemeja Affandra, berpikir sejenak seperti sedang mengingat-ingat. Kembali menciumi kemeja putih dan jas itu dengan lebih teliti.
"Kok, wangi parfum kamu di kemeja ini, agak beda ya, Mas? Nggak kayak parfum kamu biasanya, tapi ada wangi yang nggak asing juga kucium. Wangi manis ...."
Affandra gugup menelan salivanya susah payah, ia takut tebakan Achala benar. Tentu saja ada wangi parfum yang berbeda dari biasa yang ia pakai. Merek parfum orang lain yang melekat pada kemeja itu. Orang yang ia temui di toko parfum tadi. Affandra tidak mungkin jujur, bukan? Jika tadi ia bertemu Lintang dan berakhir membeli satu parfum yang biasa pria itu gunakan. Entah apa maksudnya, apakah ia ingin menjadi seperti Lintang? Dengan begitu, Achala akan mencintainya seperti mencintai Lintang dulu. Pria itu setidakpercaya diri itukah?
"Hmm ... itu, tadi mas ke toko parfum. Ada parfum baru, mas cobain. Tester. Wanginya enak, kan? Kamu suka, kan? Jadi, ya ... iseng mas beli aja," jelas Affandra seraya kembali bergerak sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Beli parfum, kok, iseng. Nanti ada iseng beli rumah, iseng beli apartemen," cibir perempuan itu memicing. Ia menghidu kembali kemeja Affandra. "Iya, wanginya enak. Aku suka wanginya kayak parfum cewek. Sekarang, mana parfumnya?" Achala menadahkan telapak tangannya di depan Affandra.
Parfum cewek? Pasti parfum Atthania.
Sedikit banyaknya Affandra tahu tentang kebiasan bawahaannya itu. Selalu menyemprotkan ulang parfum sebelum pulang. Ini pasti menempel di jas Affandra sebelum dia memberikannya tadi. Heran, sebanyak apa perempuan itu pakai parfum, sampai bisa transfer di baju orang lain.
Pria itu berdeham kemudian menyengir, menggosok lagi rambut yang sejujurnya sudah setengah kering. Achala mendekat meraih ujung handuk, memberi kode tawaran untuk membantu sang suami mengeringkan rambutnya. Entah kering yang seperti apa pria itu inginkan. Padahal tidak ada lagi air yang menetes dari rambutnya yang hitam pekat itu.
"Mas lupa bawa, ketinggalan di kantor karena rapat mendadak tadi." Affandra beralasan, ia tidak ingin istrinya kembali salah paham. Mereka baru saja berdamai beberapa hari yang lalu.
Pria itu merendahkan tubuhnya agar sang istri dapat menjangkau kepalanya, usapan di kepala Affandra terasa lembut dan sedikit menenangkan. Namun, tetap saja ada rasa khawatir yang diam-diam menyelinap di dada Affandra, apalagi kalau bukan soal pertemuan—tidak sengaja—dengan seseorang di masa lalu istrinya.
Affandra mendongak, tubuhnya tegap. Netranya menelisik mata kecokelatan sang istri, wajahnya mendekat memangkas jarak yang tersisa. Satu kecupan hangat ia daratkan di bibir manis Achala, telapak tangannya merangkum rahang sang istri. Lumatan kecil ia bubuhkan secara teratur, Achala mengikuti permainan sang suami. Affandra menarik garis senyum tinggi setelah pagutannya terlepas.
"Sayang, mas lapar."
"Ini makan ... dalam makna yang sebenarnya, kan?"
Dahi Affandra mengernyit dengan penuturan Achala, mencerna apa hubungan pertanyaannya dan jawaban Achala. Tentu saja pria itu lapar sungguhan bukan berpura-pura.
"Aku lapar beneran, Sayang. Kamu ... mikir makan yang lain, ya? Kamu kenapa, sih? Tadi ngeliatin aku kayak gitu sekarang ...."
Achala terperangah, pupil matanya membesar. Jadi, maksud lapar sang suami adalah lapar yang sebenarnya, bukan kata kiasan yang memiliki arti lain. Wajah Achala memanas, pipinya bersemu.
"Ya, i-itu ... karena tadi kamu bilang, sebelum pulang udah makan."
Affandra tertawa, menyenangkan sekali melihat Achala salah tingkah seperti ini. Affandra tahu wanita itu tidak semesum itu.
"Mas masih lapar, Sayang. Rasanya kalo belum makan masakan mamanya Juang, nggak afdol."
Achala mencebik, hanya bisa geleng-geleng kepala jika mode Affandra sudah berubah menjadi si tukang gombal ulung. Bagaimana pria itu bisa makan dengan nikmat, jika satu meja dengan sahabat sekaligus rivalnya.
"Nanti kalau udah ngisi tenaga, baru kita makan yang lain. Biar cepat jadi Little Boo-nya."
Mata Achala mengerjap beberapa kali. Ia mengerti maksud suaminya, ditambah gerakan tangan Affandra yang menelusup ke balik piamanya dan mengusap-usap perutnya. Jadi, calon adik Juang itu ia namai dengan Little Boo? Lucu sekali panggilannya.
"Ya, udah. Hayuk, ke dapur aku siapin makan malamnya."
Pasutri itu berjalan bersisian, lengan kanan Achala melingkar di pinggang sang suami. Sementara bahunya di rangkul Affandra dengan sangat posesif. Namun, Achala bahagia diperlakukan seperti itu. Semoga setelah ini tidak ada lagi kerikil yang menganggu perjalanan rumah tangga mereka.
Tanjung Enim, 14 November 2022
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top