Bujur Bumi 49 : Lintang dan Bujur

Di dalam khatulistiwa, bumi itu dibelah menjadi dua bagian, yaitu lintang dan bujur. Dua garis yang memisahkan bumi, tetapi tetap terhubung satu sama lain, bertemu di satu titik, dan melingkupi di tempat yang sama.

Affandra tersenyum miring di tengah pertemuan dengan perusahaan yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaannya. Sebanyak manusia di muka bumi yang berprofesi sebagai pengusaha, sebanyak perusahaan yang ada di Indonesia dan dunia. Kenapa harus Lintang yang menjadi calon partnernya kali ini.

Ayah dari Juang Manggala itu harus bersikap profesional meskipun sejujurnya ia sangat muak berada di satu meja dengan Lintang. Affandra memang berjanji tidak akan menemui Lintang, tetapi apa yang terjadi sekarang di luar kendalinya. Ia rasa, Achala akan mengerti kalau ini hanya akan sebatas urusan bisnis.

"Bapak, balik ke kantor atau masih ada pekerjaan lain?" tanya seorang wanita berdiri di samping Afffandra, ia mengangsurkan jas Affandra yang tersampir di kursi tempatnya tadi.

Atthania, sekretaris Affandra di cabang Surabaya. Perempuan 27 tahun itu bersama tim proyek Surabaya, sengaja datang ke perusahaan pusat untuk bertemu dengan general manager yang akan melakukan kerja sama dengan mereka, yakni Lintang Darmawan.

Pertemuan itu sudah selesai sepuluh menit yang lalu, semua orang sudah meninggalkan tempat itu. Namun, belum dengan pria yang menjabat sebagai CEO itu. Ia masih—ingin—berada di sini. Affandra berbalik, acaranya menikmati lanskap Kota Jakarta seketika terhenti.

"Kamu silakan balik, ikut tim. Saya masih ada yang mesti diurus."

"Bapak, masih ada jadwal makan malam dengan tim." Atthania memberi tahu.

"Biar nanti Nanda yang mengurus jadwal itu. Kamu silakan kembali, terima kasih untuk hari ini."

Atthania ragu meninggalkan sang atasan, ia kembali memastikan. "Bapak yakin, tidak membutuhkan bantuan saya lagi?"

Affandra menaikkan alisnya sebelah, menatap tanpa ekspresi pada wanita yang mengenakan setelan blazer berwarna ungu muda. Mengerti kode tak suka dari sang atasan, Atthania mengangguk, undur diri dari ruangan yang beberapa saat lalu menjadi tempat pertemuan mereka.

Cukup Lintang saja yang bebal, orang-orang di sekitarnya jangan. Beruntung hari ini Lintang bersikap profesional, sikap bebalnya tidak sedang kambuh. Atau pria itu akan bebal hanya perihal meminta Affandra mengembalikan Achala padanya dan hal lainnya yang berhubungan dengan perempuan itu. Ia kira Achala barang?

Pria 33 tahun itu kembali ke kursinya, sikunya bertumpu di tangan kursi. Bergedik ngeri jika tadi sahabatnya itu bersikap seperti Lintang yang kemarin-kemarin. Memijat batang hidungnya, Affandra menghela napas panjang. Entah sesak bagian mana yang ia lepaskan.

Tangannya bergerak ribut saat ponsel di saku dalam jasnya bergetar. Senyumnya yang sejak tadi tak terlihat sekarang terulas dengan suka rela saat nama sang istri muncul sebagai penelepon. Ia sangat bersyukur wanitanya mau menerima dan kembali padanya.

"Halo, Sayang."

"Mas, sibuk nggak?"

"Nggak, Sayang. Ini udah selesai dari meeting. Butuh apa?"

Lama Affandra menunggu wanita di seberang sana kembali bersuara, tetapi tak jua terdengar. Affandra menjauhkan ponselnya dari telinga, angka-angka pada layar masih bergerak pertanda sambungan masih terhubung.

"Say—"

"Gini ... dompetku ketinggalan. Aku sekarang lagi makan di luar sama Kalila. Bankingku nggak tahu kenapa, kayaknya lagi bermasalah. Bisa—"

"Iya, mas transfer sekarang."

Tidak perlu menunggu cerita Achala sampai selesai. Pria itu sudah peka untuk urusan ini.

"Secukupnya aja, Mas. Transfernya ke rekening aku yang satunya, bukan yang biasa. Soalnya cuma ATM itu yang kebawa."

Seolah istrinya bisa melihat pergerakan kepalanya, Affandra mengangguk mengerti dengan ucapan Achala.

"Kirim aja nomor rekeningnya, mas transfer sekarang. Masih lama di luarnya?"

"Nggak, kok. Udah bayar langsung pulang."

Affandra semakin tinggi menarik senyum, suara lain di sana tertangkap oleh rungunya, mengucapkan rasa terima kasih.

"Pak Affandra terima kasih banyak. Sering-sering aja istrinya traktir kayak gini. Baik banget emang istri Bapak. Tiada duanya, dah. Beruntung banget Bapak."

"Udah ... udah. Mulai ngaco ini anak."

"Mas, makasih, ya. Udah dulu, ya. Sampai ketemu di rumah. Aku tutup, ya."

Tak sempat membalas, sambungan telepon sudah terputus secara sepihak. Affandra bergegas membuka aplikasi lain, mentransfer sejumlah uang ke nomor rekening yang baru saja masuk di ponselnya.

Akhirnya, Affandra beranjak tempat itu. Meninggalkan ruangan yang sengaja direservasi untuk pertemuan tadi. Dentang dari lift terdengar, pintu terbuka. Affandra keluar dari sana, entah apa yang membuat Nanda—asisten kepercayaannya—menjadwalkan pertemuan itu di sebuah resto mall. Memang pertemuan itu di lantai paling atas mall ruang privat, tetapi tetap saja tempat umum khalayak ramai.

Siapa yang menyangka, pria dengan setelan jas rapi, sepatu mengkilap. Seseorang yang cukup disegani di dunia bisnis, pemilik perusahaan Manggala Grup itu berjalan sendirian di lorong mall, bahkan sang asisten dan sekretarisnya saja tak ia izinkan untuk tetap tinggal. Beban pikiran yang akhir-akhir ini terjadi cukup menyita. Mungkin dengan refresing sendirian, ia merasa galaunya sedikit berkurang.

Ketukan sepatu di lantai keramik mall terhenti, ia menoleh ke kanan. Bayangan dirinya dari etalase kaca toko dapat ia lihat. Affandra tahu toko apa itu, aroma wangi dari sana sudah bisa ia bayangkan. Suami dari Achala itu adalah termasuk pria yang suka mengoleksi parfum mahal.

Memasuki toko parfum, Affandra tahu harus ke mana. Ia sudah sering membeli secara langsung sendirian tanpa Achala. Pegawai menyapa ramah saat Affandra berada di depan etalase dipenuhi berbagai bentuk botol parfum. Menyebutkan satu merek yang biasa Affandra kenakan, sang pelayan paham akan permintaan itu.

Sepeninggalan perempuan yang melayaninya tadi, Affandra mengedarkan pandangan ke botol-botol kecil yang tersusun. Suara di belakangnya dengan kurang ajar masuk ke indera pendengarannya. Sontak Affandra menoleh.

Dunia yang terlalu sempit, pria ini yang mengikutinya, atau memang hidup mereka yang saling berhubungan. Bujur dan Lintang, berdiri berhadapan, saling mengunci pandangan. Sepertinya, untuk opsi yang ke dua tidaklah benar. Affandra memindai ke tangan Lintang. Paper bag kecil dengan merek parfum yang ia kenali sudah Lintang tenteng. Itu berarti, pria itu sudah lebih dulu berada di sini ketimbang dia.

"Jangan jadi bajingan yang tidak menepati janji! Lo ingat perjanjian kita."

Affandra berdecih, sebenarnya apa yang pria ini inginkan? Tanpa basa-basi, kalimat tentang janji dan perjanjian kembali terlontar. Affandra berdecih, memasukkan telapak tangannya di saku celana.

"Lo lihat sendiri sekarang, pilihan Achala apa? Lo kalah telak, Lintang. Gue nggak akan melepaskan Achala kalau bukan dia sendiri yang minta." Affandra berkata dengan penuh percaya diri. Kali ini, tidak ada alasan untuknya takut akan perjanjian yang kadung ia sanggupi.

Lintang maju, menggeram merapatkan rahang. "Sialan. Mau sampai kapan lo jadi pengecut! Sesuai nama lo, Bujur. Sampai kapan pun, akan tetap peran pembantu yang hidup di antara kami."

Pria itu tak terpancing dengan ucapan Lintang, ia biarkan saja Lintang akan berbuat apa padanya. Pun dengan umpatan Lintang, ia dengarkan dengan saksama. Senyum miring Affandra ulas dengan sangat apik di depan calon patner bisnisnya ini.

"Benar! Nama tengah gue Bujur, tapi lo harus ingat, nama depan gue Affandra yang artinya penguasa seluruh bumi. Berani lo muncul di hadapan Achala lagi, akan berimbas ke kontrak kerja sama perusahaan yang belum gue tanda tangani."

Lintang tak ingin hancur dalam hal ini. Ia sudah berjuang hampir mati demi duduk di jabatan yang sedang ia pegang sekarang. Untuk yang satu ini, Lintang harus mengakui kalau ia kalah telak. Ia tidak lupa jika sahabatnya ini sudah lahir di tengah keluarga dengan sendok emas di tangannya. Di dalam dunia bisnis, apa pun tentu bisa keluarga Affandra lakukan.

Tanjung Enim, 13 November 2022
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top