Bujur Bumi 48 : Pagiku Cerah.

Gemericik hujan terdengar gaduh dari luar jendela kamar Achala, wanita itu membuka perlahan kelopak matanya yang masih lelah. Jika hari kemarin jam segini sang ibu sudah ribut mengetuk pintu kamarnya, tetapi tidak untuk pagi ini. Suara wanita itu tak terdengar membangunkan, bahkan suara bocah laki-laki yang semalam tidak ingin pulang pun belum menyapa rungunya.

Satu kecupan hangat di bahunya terasa, Achala mengerjap menundukkan pandangan ke arah perutnya, lengan kokoh pria itu melingkar posesif. Achala berbalik, mengerjap sekali lagi. Suaminya tersenyum, entah sejak kapan pria itu sudah bangun lebih dulu darinya.

"Tumben bangun duluan. Udah lama bangunnya?" Suara serak Achala menyapa si pria.

Affandra menarik pinggang Achala lebih merapat, menyelimuti tubuh mereka hingga tersisa kepala Achala yang tak tertutup selimut.

"Di luar dingin, ya," gumamnya, meninggalkan kecupan di dahi, pipi, dan rahang Achala.

Kebiasaan Mami Wenda ini nurun ke anaknya. Ditanya apa dia jawab apa untuk ngalihin pembicaraan.

"Pertanyaan aku belum kamu jawab, Sayang. Udah lama bangunnya?"

Affandra mengangguk, barulah pria itu menjawab, "Sekitar setengah jam lalu, maybe."

"Kenapa? Nggak nyaman tidurnya? Tumben banget bangun lebih cepat dari aku."

Affandra menyimpan dagunya di atas kepala Achala, memeluk lebih erat lagi tubuh dalam dekapannya. Mana mungkin ia merasa tidurnya tak nyaman saat di samping yang menemaninya adalah wanita yang paling ia cintai. Paginya hari ini benar-benar cerah meskipun di luar sana masih gerimis dan mendung.

"Nggak enak, Sayang. Masa di rumah mertua bangunnya siang. Apalagi kemarin ibu bilang jangan sampe kesiangan."

Dagu Affandra bergetar seiring dengan gelak tawa Achala. Wanita itu merasa lucu saja dengan jawaban sang suami. Seorang Affandra yang biasanya paling susah dibangunkan, tapi bisa bangun lebih awal dengan alasan sungkan di rumah mertua.

"Santai aja, Sayang. Ibu cuma bercanda, kok. Nggak mungkin juga ibu bangunin kita."

"Iya, sih, bener. Ibu paling paham sama anaknya. Contohnya kayak semalem aja, sampe repot-repot ngasih penambah stamina."

"Mas!" sergah Achala dengan memukul dada sang suami.

Achala malu, sungguh. Ia tak habis pikir dengan yang dilakukan ibunya kemarin malam. Wanita paruh baya itu pasti dapat obat itu dari tukang jamu gendong langganannya yang biasa lewat. Setelah seminggu kemarin hubungan mereka sempat memburuk, semalam pria itu benar-benar menuntaskan rindu kebutuhan batinnya. Pipi Achala menghangat membayangkan apa yang mereka lewati di malam panjangnya.

"Sayang, bangun," bisik Affandra.

Achala menguraikan dekapan suaminya, ia sedikit mendongak menatap wajah sang suami. "Ya, udah. Ayo, bangun. Kamu duluan aja pake kamar mandi, aku mau beresin di sini dulu."

"Sayang, bangun," ulang Affandra, gerakan matanya mengarah ke arah selatan tubuhnya.

"Mas! Udah pagi, jangan aneh, ya. Bentar lagi anaknya pasti ke sini. Udah buruan sana ... sana." Achala mendorong tubuh Affandra agar sedikit menjauh dari tubuhnya.

Pria itu bangkit dari rebahannya, duduk di atas tempat tidur. "Sayang, ibu dapat obat itu dari mana?"

Achala pun duduk, meraih bantal guling yang terjatuh dan menyusun rapi. "Paling juga dari mbok Parmi, tukang jamu gendong langganan ibu. Biasa lewat sekitar sini pagi-pagi."

"Sayang, kira-kiranya tukang jualannya lewat nggak pagi ini?"

Gerakan Achala merapikan bantal  terhenti, ia menoleh pada pria yang duduk bersila di tengah tempat tidur. "Mau apa? Mau minum jamu pegel linu? Kayak yang doyan minum jamu aja."

Merangkak lebih dekat ke arah Achala, pria itu berbisik. "Mas mau beli banyak, stok buat di rumah kita. Bagus obatnya, bisa bertahan sampe tiga jam."

Menoyor kepala Affandra, Achala gemas dengan ucapan suaminya pagi ini. Ia tak peduli jika kepala itu adalah imamnya.

"Pagiku cerah, diawali dengan omongan mesum suami," sindir Achala turun dari tempat tidur. "Udah sana ke kamar mandi, aku mau beresin kamarnya dulu. Sana mandi!" Achala menarik tangan Affandra agar beranjak dari tempat tidur.

Pria itu tergelak, mengangkat lima jari ke depan Achala, ia berujar, "Lima menit lagi, Sayang. Oke?"

"Terserah. Udah, sana ... jangan di sini. Aku mau beresin tempat tidurnya ini."

Pria itu beranjak, menarik sarung dan menggulung bagian pinggangnya. Affandra turun dari tempat tidur, memeluk dari samping sang istri yang sedang sibuk mengencangkan seprai.

"Pulang, yuk?" ajak pria itu tiba-tiba mendaratkan kecupan ringan di pelipis wanitanya.

"Pulang ke mana?"

"Ke rumah kita lah, emangnya mau pulang ke mana?"

Achala memutar tubuhnya menghadap Affandra. "Kali aja ke rumah mantan. Kamu mau gitu, kan?"

"Hmm ... dibahas lagi." Affandra memutar bola matanya malas. "Kamu mau balikan sama dia? Ya, udah ...."

Achala tergelak, lengannya melingkar di pinggang sang suami. "Cemburu keg, Sayang. Jangan pasrah aja gitu, kayak nggak sayang sama istrinya aja."

"Mau cewek satu atau dua?"

Awalnya wanita itu tidak paham ke arah mana pembicaraan yang Affandra bawa, tetapi gerakan tangan pria itu di perutnya membuat Achala mengerti. Ia tersenyum tulus, Achala tak mau muluk-muluk, ia hanya minta satu saja jika Tuhan berkenan. Kalau bisa memilih, ia pun ingin bayi perempuan tumbuh di rahimnya. Namun, apa pun jenis kelaminnya ia terima dengan penuh syukur hadiah Tuhan yang satu itu.

"Kalau bisa milih, sih, penginnya cewek. Biar abangnya nanti jagain adiknya. Kalau pun cowok lagi, ya nggak apa-apa." Achala menaikkan alisnya. "Kita ngomongin apa, sih, Mas? Kayaknya udah pasti bakal hamil aja."

Perempuan itu memang melukiskan senyum di wajah cantiknya, tetapi nada suaranya melirih.

"Amin, kita usaha terus, ya, Sayang. Ucapan itu doa. Semoga secepatnya, ya. Mau lagi? Yuk, sekali lagi. Bisa, yuk, bisa."

Achala mendorong dada Affandra, menguraikan pelukan pria yang sudah tersenyum miring itu. Achala mengangkat lengannya, memberi kode seperti ingin memukul suaminya. Jelas Achala tahu arti pertanyaan terkakhir sang suami ke arah mana. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu, saat mereka sedang berada di rumah mertua. Lagi pula, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Itu karena hujan saja, makanya langit gelap. Kalau tidak, jam segini sudah pasti terang dan sang baskara sedang merangkak perlahan.

"Macha ... papaf. Sudah bangun?"

Pasutri itu kompak menoleh ke arah pintu, suara itu memang kecil, tetapi bisa mereka dengar jelas, ditambah lagi pintu kayu jati itu sepertinya tidak diketuk melainkan digedor oleh anak balita di luar sana.

Affandra berjalan ke arah pintu, memutar kunci dan membukakannya untuk makhluk kecil kesayangannya. Satu minggu Affandra tak bertemu dengan sang putra, pulang dari Surabaya Juang berada di rumah orang tuanya dan berakhir tidak bisa bertemu dengan anak itu lantaran dibawa Achala ke rumah mertuanya. Kemarin pagi hanya bisa melihat sang buah hati via video call. Rindu sekali rasanya.

"Kenapa, Nak?" tanyanya pada sang putra yang telah rapi setelah mandi pagi.

Affandra berjongkok di depan sang putra, membawa tubuh kecil itu untuk ia dekap. Menghujani wajah Juang dengan kecupan, kemarin malam tak sempat ia lakukan karena anak itu kadung merajuk.

"Papaf ayo kita pulang. Abang mau ketemu Vani."

Affandra berdeham, ia lupa bahwasanya mau tidak mau ia akan tetap berhubungan dengan yang namanya Lintang. Putranya berteman baik dengan putri rivalnya itu.

Tanjung Enim, 8 November 2022
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top