Bujur Bumi 47 : Maaf Egois.

Tolong kerja sama dungs, Bestie. Bintangnya ditekan. Jangan ada sider di antara kita, ya. 🙂
Warning 🔞

***


Hampir dua jam pasutri itu berada di ruang tengah, membujuk sang putra yang duduk di pangkuan neneknya, Juang tak mau melihat ke arah orang tuanya. Ini semua salah Achala, Juang ingin lebih lama tinggal bersama kakek dan neneknya di sini. Namun, wanita itu justru menelepon sang suami minta dijemput. Bagaimana anak itu tidak berteriak jangan pulang, saat mendengar ucapan sang mama berbanding terbalik dengan apa yang dijanjikan.

Mendengar istrinya yang sudah beberapa hari meninggalkan rumah minta untuk dijemput, Affandra tak menunggu hingga besok. Ia sudah tidak sabaran memboyong wanita tercintanya ke rumah di mana semestinya. Setelah pulang dari kantor, pria itu segera menuju kediaman mertuanya. Tepat pukul sembilan malam ia tiba di rumah orang tua Achala.

"Bang, pegel itu neneknya. Dari tadi mangku Abang, berat."

"Tidak mau! Macha egois, tidak mau mendengarkan abang."

"Bang, ngomongnya yang sopan sama orang tua," tegur Affandra seketika merasa tidak enak dengan sang mertua.

Tahu dari mana pula anak ini dengan egois.

"Iya, maaf udah egois. Sini dulu dong lihat mama, Sayang." Achala masih membujuk anak itu.

Juang semakin menyembunyikan wajahnya di bahu sang nenek. Tak mengindahkan ucapan sang mama. Ia merasa sebal dengan wanita itu, ia kira Achala menelepon ayahnya minta izin agar ia bisa lebih lama tinggal bersama kakek neneknya, tetapi sang mama malah minta dijemput untuk pulang. Anak itu merajuk, bahkan ia tak mau tidur. Ia takut saat ia tak sadarkan diri, sang ayah membawanya pulang.

"Bang ...," panggil Affandra pada sang buah hati. Nada suara Affandra sudah berubah.

"Nggak mau! Abang bilang jangan pulang, abang mau di sini sama kakek, sama nenek." Anak itu berteriak, tubuhnya bergerak ribut hingga sang nenek sedikit terguncang.

"Iya, iya. Juang sama nenek dan kakek di sini. Biar mama sama papa aja pulang, iya?"

Juang mengangguk kuat di dada ibu dari Achala itu, menyetujui ucapan sang nenek. Lengan bocah laki-laki itu melingkar di leher neneknya.

"Bu, maaf, ya. Juang jadi merepotkan ibu sama ayah." Affandra merasa tidak enak.

Affandra tahu mertuanya itu sangat menyayangi sang putra, tetapi tetap saja ada rasa tidak enak di hatinya. Bagaimanapun juga, Juang bukanlah cucu kandung mereka.

Sang mertua berdecak samar. "Mana ada kata merepotkan untuk cucu sendiri. Ibu sama ayah seneng rumah jadi ramai dengan adanya Juang."

Kedua orang tua Achala sudah cukup akrab merasakan yang namanya sepi, penantian mereka selama berumah tangga dijawab Tuhan di usia pernikahan mereka ke delapan tahun, Tuhan mengabulkan doa mereka, menghadirkan putri kecil yang mereka beri nama Achala Annandhita. Setelahnya, sepi kembali menyelimuti mereka ketika Achala menikah dan ikut suaminya. Sekarang, hadirnya Juang mengobati rindu mereka pada anak kecil.

"Sudah ... sudah, Juang di sini aja sama ibu dan ayah. Nanti kalian jemput kalau dia udah mau pulang."

Achala menggeleng samar, ia tidak yakin putranya bisa ditinggal di sini. Mengingat bocah laki-laki itu belum pernah menginap di rumah orang tuanya tanpa dirinya. Kalau di rumah orang tua Affandra, Juang memang sudah lebih sering menginap di sana.

"Ibu nanti repot, anaknya suka nangis malem nyariin aku, Bu." Achala berujar memberitahu.

"Ya, udah nggak usah pusing-pusing. Kalian berdua juga nginep aja di sini. Lagian udah malem juga." Pria paruh baya menimpali, ia duduk di samping sang istri.

Tangan rimpuhnya mengusap belakang kepala Juang. "Juang sama kakek aja, ya? Tidurnya sama kakek, besok kita main polisi dan penjahat lagi. Mau?"

Anak itu mengangguk kuat, mengulurkan kedua lengannya ke hadapan sang kakek. Pria tua itu meraih tubuh Juang, memeluk erat sang cucu.

Achala menoleh pada pria di sampingnya. "Gimana, Mas?"

Menarik senyum datar pria itu berujar, "Ya, udah. Mau gimana lagi? Anaknya juga nggak mau pulang."

Achala menelisik penampilan suaminya yang masih mengenakan kemeja berwarna abu-abu. "Tapi baju ganti kamu nggak ada."

"Di mobil ada kaus oblong sama underwear, tapi mas nggak ada celana pendek."

Pria dengan Juang di dalam gendongannya itu bangkit. "Gampang. Pakai sarung ayah aja. Banyak!"

Disusul sang istri, wanita yang Achala panggil ibu menimpali, "Nanti ibu antar ke kamar kalian. Sekarang sana ke kamar, kalian butuh waktu panjang setelah ini. Jangan sampai kesiangan." Ibunya mengerling ke arah Achala.

Achala berdecak dengan sang bunda, bisa-bisanya berbicara seperti itu di depan sang menantu. Jangan tanyakan kondisi Affandra, pria itu sudah bersemu menunduk salah tingkah.

Ditinggalkan di ruang tengah, mau tak mau Achala pun harus bangkit dari sofa yang menopang tubuhnya. Mengajak sang suami untuk segera ke kamarnya.

"Ayo, Mas. Kamu mandi dulu, biar bajunya nanti aku yang ambil."

Affandra bangkit, mengikuti langkah sang istri ke kamar Achala, ruang pribadi istrinya itu bisa dihitung dengan jari kapan ia masuki. Langkah jenjang Affandra sudah ia bawa di tengah-tengah kamar. Pria itu membelakangi sang istri, berdiri menghadap ke tempat tidur yang tentu tidak sebesar punya mereka di rumah.

"Mas," panggil Achala, membuat sang suami berbalik. "M-mafin aku, ya. Maaf aku egois banget."

Achala berdiri di depan suaminya, wajahnya ditundukkan menyesal. Tubuhnya didekap oleh lengan kokoh,  pelukannya terasa semakin dieratkan.

"Kamu nggak salah. Mas yang salah. Mas nggak tahu harus gimana waktu itu, sampai mas menawarkan diri ke perjanjian itu."

Achala mendongak, tangannya terulur mengusap lembut dahi hingga rahang sang suami. Menyelami manik Affandra lebih dalam lagi, ia tersenyum.

"I wanna kiss you, can I ...," desis Affandra mengusap sekilas bibir ranum Achala.

"Sure," balas Achala, kakinya berjinjit menjangkau bibir sang suami lebih dulu.

Tangan wanita itu dikalungkan di leher Affandra, merapatkan tubuh keduanya, permainan bibir mereka lakoni. Seperti yang Ummu Habibah katakan, tuntaskan hasrat rindu itu dan Achala memulainya.

Saling membalas, memperdalam pertemuan kedua bibir itu, kepala Affandra miring ke kanan dan ke kiri, rindu sekali ia dengan benda kenyal yang selalu terasa manis baginya. Entah sudah berapa banyak saliva yang bercampur, desah halus meluncur dari bibir Achala saat kecupan demi kecupan Affandra layangkan ke leher jenjang sang istri, belum lagi tangan pria itu bergerak aktif menelusup ke balik baju yang ia kenakan.

"Cha, ini kain sarung untuk Affandra."

Kedua pasutri itu tersentak bersama, mengurai pelukan masing-masing saat pintu kamar Achala diketuk sang bunda. Achala bergegas ke pintu, ia takut ibunya keburu masuk karena pintu belum ia kunci. Jangan tanyakan keberadaan Affandra, pria itu berlari ke balik dinding pembatas kamar mandi.

Achala membenahi kancing bajunya, mencoba menetralkan dadanya yang berdebar hebat, barulah ia membuka pintu itu. Ibunya berdiri di sana, membawa sarung yang terlipat rapi. Tangannya yang bebas memegang satu gelas air minum. Sempat mengernyit dengan air minum itu, tetapi Achala abaikan.

"Makasih, ya, Bu."

Ucapan Achala tak disahuti sang bunda, wanita itu justru memberi kode dengan kibasan tangannya agar Achala segera masuk kembali ke kamarnya. Achala masuk, segera mengunci kamar mereka. Netranya menangkap Affandra yang duduk di tempat tidur, mengusap-usap tulang kering kakinya. Saking tergesanya, pria itu tidak sengaja menabrak kaki meja rias Achala.

"Ibu! Ih, apa-apan, sih." Achala terkejut dengan apa yang ia temukan di lipatan kain sarung yang ia pegang.

Affandra menghampiri, kemudian bertanya, "Apa, Sayang? Kenapa?"

Satu bungkus kecil berwarna putih dan biru Achala angkat menunjukkannya ke sang suami. Affandra meraihnya, membaca tulisan di belakang kemasan.

"Oh, itu vitamin mungkin, Sayang," jelasnya tentang benda yang ia pegang.

"Iya, kali!"

Achala berpura-pura, ia tahu apa fungsi dari obat khusus pria dewasa itu. Affandra menyobek plastik kemasan, menelan butir berwarna biru itu dengan minum yang Achala pegang.

"Eh, kok, diminum, Mas?!"

"Kan emang disiapkan untuk mas," kilah Affandra tersenyum jahil.

"Nanti kamu repot, tanggung sendiri, ya."

Pria itu tersenyum miring, meletakkan gelas kaca itu di atas lantai begitu saja. Menarik pinggang sang istri agar lebih merapat ke tubuhnya. Kemudian berujar, "Nggak akan mas tanggung sendiri. Kamu juga ikut nanggung."

Permainan mereka kembali dimulai, tangan Affandra menekan sakelar lampu utama berganti lampu tidur, tubuh Achala berjalan ke belakang dituntun Affandra menuju tempat tidur. Wanita itu terbaring di atas ranjang, dadanya membusung.

Bibir pria itu kembali bermain di daerah dada dan tulang selangka Achala, jemari sang wanita meremas rambut tebal suaminya. Desahan lembut dari wanita itu menyapa rungu Affandra saat bibirnya mengecup bagian sensitif istrinya.

"Kalau di rumah kita, sering-sering aja dasteran kayak gini," desisnya kemudian menanggalkan daster batik dari tubuh Achala.

Tanjung Enim, 07 November 2022
RinBee 🐝


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top