Bujur Bumi 45 : Lalu ... pernikahan Ini?

Ragu, mungkin iya Achala ragu mengutarakan segala permasalahan rumah tangganya pada wanita 53 tahun itu. Namun, jika tidak diceritakan, Ummu Habibah mana tahu duduk persoalan yang membuat Achala bingung.

Achala menatap lekat wajah wanita yang sudah menjadi guru spiritual ibunya empat tahun belakangan. Wanita yang Achala ketahui dari ibunya ini cukup mengetahui hukum pernikahan dalam Islam, Ummu Habibah pernah belajar tentang itu hingga ke Kairo.

Wanita yang berbalut baju serba panjang itu tampak membalas tatapan Achala dengan teduh. Walaupun, hampir separuh wajah Ummu Habibah tertutup dengan kain lembut berwarna hitam, menyisakan sepasang mata yang terlihat. Achala yakin, di balik cadarnya wanita paruh baya itu tersenyum, bisa Achala lihat dari binar matanya.

"Aku dan suamiku menikah sudah hampir tiga tahun. Sebelumnya, kami sudah pernah menikah dengan orang lain. Istrinya meninggal saat melahirkan putranya, sementara aku bercerai dengan mantan suamiku, Ummu."

Gerakan mengangguk dari Ummu Habibah menandakan kalau ia benar-benar menyimak cerita Achala. Sebelumnya, baik Achala maupun Ummu Habibah belum pernah bertemu. Achala hanya mengetahui jika ibunya punya guru spiritual yang sering ia jumpai di sebuah pondok pesantren. Ini adalah kali pertama mereka bertemu.

"Belakangan ini aku bertemu kembali dengan mantan suamiku, tapi bukan sengaja, Ummu," lanjut Achala bercerita.

Achala menggigit bibir bawahnya. Haruskah ia bercerita sejauh ini? Namun, sekali lagi jika tidak bercerita, lalu ... bagaimana dengan pernikahan ini di mata hukum Islam.

"Lalu ... apa yang terjadi, Nak?"

"Mantan suamiku itu ... memintaku kembali padanya dan meninggalkan suamiku."

"Astagfirullah." Ummu Habibah mengusap dadanya mendengar penuturan Achala.

Wanita 29 tahun itu meraih tangan Ummu Habibah dengan tergesa lalu berkata, "Tapi demi Allah, Ummu. Aku tidak ingin meninggalkan suamiku, aku mencintai suami dan anak sambungku."

Kelopak mata Ummu Habibah bergerak, berkedip beberapa kali. "Lanjutkan, Nak. Ummu butuh mendengar semuanya dari ceritamu."

Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Achala meremas jari-jarinya sendiri, netranya menatap wanita yang duduk di depannya. Tidak pernah terpikirkan olehnya akan bercerita perihal rumah tangganya pada orang yang bukan keluarganya. Namun, Achala butuh nasihat dan saran dari orang yang benar-benar memumpuni masalah ini.

"Pernikahanku sebelumnya, mantan suamiku berselingkuh dan menceraikanku dengan tiga talak, Ummu. Setelah bercerai, dia menikahi perempuan itu secara resmi dan satu tahun setelahnya aku menikah dengan suamiku yang sekarang. Beberapa hari lalu, aku baru tahu jika suamiku dan mantan suamiku itu membuat perjanjian, yaitu suamiku menjadi muhalil agar aku bisa rujuk dengan suamiku terdahulu."

Tidak banyak yang bisa Achala tangkap tentang ekspresi wanita itu, hanya saja Achala yakin, melalui pupil matanya yang membesar Ummu Habibah pun terkejut dengan perjanjian yang Achala sebutkan.

"Sebagaimana yang kita ketahui, perempuan yang telah ditalak tiga atau yang biasa disebut ba'in kubra tidak bisa dirujuk oleh suami yang telah menjatuhinya talak, kecuali setelah dinikahi pria lain. Pria lain inilah yang disebut muhalil." Ummu Habibah menjelaskan.

"Apakah pernikahan kami tidak sah, Ummu? Karena suamiku adalah sang muhalil itu?" tanya Achala menunduk dalam, dadanya bergemuruh hebat.

Sungguh, ia bingung perihal pernikahan yang dijalani hampir tiga tahun bersama Affandra. Achala benar-benar tulus dan ikhlas menjalani pernikahan ini, tanpa ada maksud dan niat apa pun, tetapi tidak dengan suaminya. Pria itu membuat kesepakatan menjadi muhalil untuk Achala. Dengan kata lain tujuan Affandra menikahinya adalah agar wanita itu bisa dirujuk kembali oleh Lintang. Jadi, selama ini Affandra tidak benar-benar mencintainya? Semua yang dilakukan pria itu hanya demi sahabat baiknya.

Wanita bercadar itu menepuk punggung tangan Achala. Ibu satu anak itu mengangkat kepalanya. Menyelami manik indah milik sang guru spiritual, membuat Achala benar-benar rapuh. Ummu Habibah merentangkan sebelah lengan, merangkul Achala. Istri Affandra itu tergugu tak bisa menahan lebih lama air matanya, di bahu Ummu Habibah Achala terisak terbata.

"A-aku takut, jika pernikahan yang aku jalani menjadi alasan Allah melaknat kami, Ummu. Aku t-takut perbuatan suamiku mempermainkan ibadah terpanjang bagi kami."

"Ummu boleh bertanya, Nak?" Wanita bersuara lembut itu mengusap punggung Achala.

Achala mendongak, sesaat ruang kerja yang biasa Achala gunakan dulu mendadak hening. Usapan lembut dari Ummu Habibah di kepala Achala sedikit menenangkannya. Sama seperti yang dilakukan ibunya kala ia sedang mencurahkan kegundahan.

"Silakan, Ummu." Achala menghapus air mata di sudut matanya yang masih tersisa.

"Apakah setelah akad atau selama pernikahan kalian, suamimu pernah membahas perceraian?"

Achala menggeleng, selama menjadi istri Affandra, Achala tak pernah mendengar suaminya membahas perpisahan, bahkan bisa dikatakan rumah tangganya selama ini hampir tidak pernah diterpa masalah. Semua berjalan lurus saja.

"Tidak pernah, Ummu. Kita baik-baik saja. Aku pikir, dia benar-benar tulus menikahiku." Achala kembali tergugu, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, wanita itu kembali menangis.

"Tenang, anakku. Semua pasti akan baik-baik saja. Allah maha memberi solusi atas cobaan umat-Nya."

"Lalu ... bagaimana pernikahan ini, Ummu? Apakah selama ini rumah tangga kami salah?"

"Sesuai firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah yang berbunyi, kemudian jika si suami menceraikannya (sesudah talak yang ke dua), maka perempuan itu tidaklah halal lagi baginya hingga ia menikah dengan laki-laki lain."

Ummu Habibah diam sejenak sebelum akhirnya, kembali bertutur, "Pernikahan muhalil yang singkat, sengaja menikahi, bahkan diisyaratkan akan menceraikan perempuan tersebut setelah digauli. Inilah pernikahan muhalil yang batal akadnya, bahkan dikecam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Namun, jika bertujuan untuk membina rumah tangga yang harmonis dan wajar sesuai aturan norma dan agama kita, tentulah tidak ada masalah, Nak. Sebab inilah maksud dari ayat yang ummu sebutkan tadi."

"Apakah akad kami dibatalkan, Ummu? Sebab suamiku pria muhalil dan berniat menceraikanku agar aku bisa kembali ke mantan suamiku?"

"Lalu? Untuk pertama kali kalian bercampur setelah akad. Apakah suamimu menjalankan niatnya untuk menceraikanmu?"

Achala menggeleng pasti. Benar! Affandra tidak pernah membahas atau berkata akan menceraikannya, bahkan pertengkaran mereka  beberapa hari lalu pun dengan tegas Affandra berkata tidak akan menceraikan Achala sampai kapan pun.

"Tidak pernah, Ummu. Tapi dia pernah melakukan perjanjian bersedia menjadi muhalil untuk sahabatnya, Ummu. Apakah perjanjian itu membatalkan akad kami? Atau selama ini pernikahan kami tidak sah di mata agama Islam, bahkan kami sama saja dengan berzina?"

Meraih kedua tangan Achala, Ummu Habibah mengusapnya lembut. Sedikit memijat telapak tangan wanita itu. Tampak jelas gurat kegundahan di wajah Achala. Bagaimana tidak, pernikahan yang selama ini ia anggap adalah ibadahnya, tetapi justru dari perjanjian laknat yang Affandra dan Lintang buat.

"Akad pernikahan kalian tetap sah, anakku. Hanya saja pernikahan kalian makruh. Sebagaimana hukum makruh yang kita ketahui, berpahala jika tidak dilaksanakannya dan tidak berdosa bagi yang menjalankan."

"Tapi bagaimana dengan niat awal suamiku akan menceraikanku, Ummu?"

"Dengarkan ummu, anakku. Suatu pernikahan muhalil yang diperbolehkan adalah pernikahan tanpa adanya syarat cerai yang disebutkan sewaktu akad. Apakah saat akad adanya syarat kalian akan bercerai atau suamimu akan menalakmu setelah menggaulimu?"

Achala menggigit bibirnya, suaranya melirih saat hendak menyahuti sang guru. "Tidak ada perjanjian atau syarat apa pun, Ummu."

"Akad kalian tetap sah di mata hukum agama Islam, Nak. Sebab, yang membatalkan suatu akad pernikahan adalah syarat, bukan tujuan dan niat atau motifnya. Berprasangkalah baik terlebih dahulu, bisa saja suamimu hanya berniat menjadi pria muhalil yang ingin menjalankan rumah tangga yang harmonis, bukan pria muhalil yang berniat menceraikan."

Achala menatap Ummu Habibah dengan berkaca-kaca. Segala kegundahannya selama beberapa hari ini terjawab sudah. Apa yang ia takutkan nyatanya salah. Pernikahan mereka tetap sakral sah, akad mereka tetap suci, dan Affandra tetap suami sahnya meski perbuatannya salah.

"Kembalilah, Nak. Suamimu pasti menunggumu," ujar Ummu Habibah.

"Bagaimana caraku kembali, Ummu? Apa yang harus aku lakukan?"

"Minta maaflah pada suamimu dan bercampurlah kalian sebagaimana ibadah selama ini, tuntaskan hasrat dan kebutuhan rindu kalian."

Achala mengangguk, ia mengerti maksud sang guru spiritual. Menarik garis senyum tinggi, Achala mengucapkan rasa terima kasihnya pada sang guru spiritual.

Tanjung Enim, 05 November 2022
RinBee 🐝

Apakah setelah ini akan ada adegan proses pembuatan adik untuk Juang. 🌚🌚🔞

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top