Bujur Bumi 43 : Sang Muhalil

Katanya gak bisa spam emoticon di kolom komentar. Emang bener ya wp skrg begitu? Coba spam emoticon. Di sini, ya👇👇

***

Tanpa obrolan, tanpa interaksi intens seperti biasanya saat menjemput Affandra pulang dari Surabaya. Baik pasutri itu maupun Pak Dirman, semua hening dalam diam masing-masing. Hanya kalimat titah yang Achala keluarkan, bahwasanya tidak jadi menjemput Juang dan langsung pulang saja. Katanya, ada yang perlu ia bahas dengan Affandra, membuat pria itu mengerutkan kening.

Apalagi yang perlu dibahas? Ia sudah memaafkan Achala, bahkan sudah tidak mau lagi membahas perihal Achala yang bertemu dengan mantan suaminya itu.

Selanjutnya kembali hening sampai kereta besi yang Pak Dirman kendarai melewati gerbang tinggi rumah mereka.

Achala lebih dulu turun tanpa menghiraukan suaminya. Tak jauh berbeda dari Achala, pria itu mengayunkan tungkai masuk ke rumah mereka hingga berhenti di depan pintu ke kamar, istrinya sudah lebih dulu masuk dan berada di sana.

"Perjanjian apa yang kamu buat dengan Lintang?"

Baru beberapa detik telapak kaki Affandra bersentuhan dengan lantai keramik kamar mereka. Wanita itu melemparkan pertanyaan dengan lengan dilipat di depan dada. Mendengar nama Lintang lagi-lagi disebut, Affandra sontak membulatkan matanya. Empat hari yang lalu wanita itu berjanji tidak akan menemui Lintang, bahkan jika tidak sengaja bertemu di suatu tempat pun ia akan berusaha menghindar.

"Kamu ketemu Lintang lagi?" geram Affandra pada wanita ini.

"Iya, aku ngajak Lintang ketemuan! Aku mau tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa yang buat dia ngotot kayak gini."

"Mau ngapain lagi, sih, Acha? Kamu benar-benar kelewatan, aku udah berbaik hati semalem mikirin mau maafin kamu."

"Nggak usah ngalihin pembicaraan! Aku udah nggak peduli kamu mau maafin aku apa nggak. Sekarang jawab aku, Mas. Kamu nggak benar-benar cinta aku, kan? Tolong jujur, perjanjian apa yang kamu buat dengan Lintang?"

Achala sudah tak bisa menahan sesak dadanya. Wanita itu tersungkur di lantai, tangannya meremas blouse yang dikenakan. Ucapan terakhir Lintang sangat mengintimidasinya. Selama ini yang ia pikir suaminya sangat mencintainya, ternyata hanya kebohongan semata? Affandra menikahi Achala pun karena perjanjian yang dua sahabat baik itu sepakati.

"Aku salah apa sama kamu, Mas? Aku cinta kamu, Juang, dan menghormati keluarga kamu, aku tulus ngelakuin itu, tapi ini balasan kamu? Untuk apa kamu nikahi aku kalau kamu nggak cinta." Achala berteriak dengan mata yang berkaca-kaca, belum lagi kepalan tangannya memukul dadanya, membuat Affandra meringis melihat aksi istrinya.

"Sayang, aku cinta kamu, demi Allah. Udah, jangan pukul dada kamu lagi. Aku nggak ngerti kamu ngomong apa ini?"

Sejujurnya, Affandra mengerti ke arah mana pembicaraan yang istrinya tuntut. Mungkin sekarang sudah tiba waktunya, dia harus mengakui kesalahan fatal sebelum ia menikah dengan Achala.

"Sini mas bantu, cerita yang benar dulu, ya. Mas jujur bingung kenapa. Apa yang bajingan itu bilang ke kamu." Affandra meraih lengan Achala membantu wanita itu bangkit dari posisinya.

Namun, bantuan Affandra ditolak terang-terangan. Wanita itu menepis kencang tangan Affandra. Ia bangkit secara mandiri, berpindah duduk di tepi tempat duduk. Air matanya jangan ditanya lagi, sudah menganak sungai di pipinya.

Menahan suaranya yang bergetar, Achala mengusap air di sudut mata dan kembali bertanya, "Perjanjian apa yang kamu buat dengan Lintang?" Menghela napas sejenak, memutar bola matanya dan kembali melanjutkan ucapannya. "Maaf, aku nemuin dia tanpa izin dari kamu. Aku tahu itu salah, tapi aku mau kejelasan alasan kenapa dia bebal. Lintang bilang, dia hanya menagih janji yang kalian sepakati sebelum pernikahan kita."

Geraham Affandra mengencang, tangannya terkepal kuat. Sebenarnya ia gugup, membasahi bibirnya dengan salivanya sendiri. Jakun pria itu turun naik seiring dengan gerakannya menelan ludah. Affandra mau beberapa langkah ke depan Achala.

"S-sebelumnya mas mau bilang, kalau mas cinta kamu, Cha. Mas suka kamu dari pertama lihat kamu di ospek, tapi mas pengecut." Tersenyum masam Affandra kembali berujar, "Ya, mas memang pengecut nggak ngungkapin lebih dulu dari Lintang. Mas pikir, kalian akan putus, mas nungguin kamu, seberapa banyak perempuan yang deket sama mas, tapi di hati mas ada kamu, Cha. Demi Allah."

"Nggak usah berbelit-belit, Mas. Aku cuma mau tahu perjanjian apa yang kamu buat dengan Lintang."

"Iya, ma-maaf, Sayang. Mas mohon, kamu jangan nangis lagi. Mas akan jujur." Affandra berjongkok di depan wanita itu. Meraih tangan Achala meminta ampunan sebelum kembali bertutur, "Mas tahu Lintang menikah dengan Jeuna di belakang kamu," lirihnya.

"Kamu bohongi aku? Kemarin kamu bilang nggak tahu kalau mereka menikah."

"Aku tahu mereka menikah siri, Cha. Aku tahu, tapi aku nggak tahu Vanilla anak Lintang dan Jeuna. Demi Allah aku cinta kamu, Cha. Saat kalian jenguk Juang baru lahir, aku marah dengan Lintang saat itu, bahkan aku berpikiran gimana caranya biar kamu pisah dari Lintang dan jadi ibunya Juang."

"Gila! Kamu sinting? Bahkan saat tanah kubur Mbak Tyas masih basah, kamu bisa berpikiran seperti itu? Kamu sama bajingan dengan dia."

"Jangan samakan aku dengan dia, Achala!"

Wanita itu menarik tangannya yang digenggam erat oleh Affandra. "Lalu ... kasih tahu alasan apa yang membuat kamu beda dengan dia? Apakah alharhumah kamu anggap sebagai pelarian juga? Kamu sama berengseknya kalau itu iya."

"Nggak, Cha. Aku memang mencintai kamu, tapi aku nggak pernah nganggap Tyas pelarian dari kamu. Dia perempuan baik yang aku kenal. Kamu dan Tyas punya tempat masing-masing di hati aku, Cha. Tolong percaya."

"Oke, baik. Aku percaya itu. Sekarang ke topik inti kita. Perjanjian apa yang kalian buat? Aku udah capek, Mas." Achala kembali tergugu, ia sudah benar-benar lelah.

"Sebelum pernikahan kita, aku menyepakati perjanjian dengan Lintang. Aku jadi muhalil untuk kalian kembali," pungkas Affandra membuatnya Achala tercenung tidak percaya.

Pernikahan atas dasar perjanjian. Hal konyol apalagi yang bisa membuat Achala ingin tertawa hingga ia kehilangan akal. Ia kira, pernikahan semacam itu hanya akan ia temui di adegan sebuah FTV atau novel fiksi perjodohan yang pernah ia baca.

Namun, tanpa ia ketahui hal gila ini terjadi pada rumah tangganya. Beberapa bulan lagi, rumah tangga yang ia bangun bersama Affandra genap tiga tahun. Ia kira, pada hari jadi pernikahan mereka tersebut akan mendapatkan kabar bahagia, tetapi kejutan itu datang lebih awal. Fakta yang sesungguhnya sulit untuk ia percaya.

Wanita yang malang, Achala kira gelabah nan perih itu tidak akan hadir lagi di hari jadi pernikahannya yang ke dua kalinya ini. Nyatanya, si parasit itu tetap tak ingin beranjak dari kehidupan rumah tangganya.

Jika bisa mengulang waktu, Achala lebih memilih tidak mengetahui kenyataan yang telah mengoyak harga dirinya. Pernyataan dari Affandra membuat organ dalam perutnya seakan dipelintir.

"Ini gila. Kamu nggak kehilangan akal, kan, Mas?!"

"Sayang, maaf. Aku ngaku salah. Aku nggak tahu harus gimana saat itu. Demi Tuhan, aku pengin miliki kamu jauh sebelum Lintang nyatain cintanya semasa kita kuliah dulu."

"Berhenti nyebut nama pria bajingan itu, Mas. Kenapa harus jadi muhalil? Kenapa?!" Achala berteriak, tangannya yang terkepal bergetar hebat dengan dada bergemuruh naik turun.

Achala tak habis pikir, bagaimana bisa suaminya mengambil jalan menjadi seorang muhalil untuk dirinya. Seorang pria menikahi perempuan yang ditalak tiga suaminya, sesudah itu akan ia ceraikan agar si perempuan dapat kembali dan menikah lagi dengan mantan suaminya terdahulu. Pantas saja Lintang bersikap bebal dan selalu mengumandangkan perihal janji. Rupanya ini yang pria itu tuntut.

Benar, Achala ditalak tiga oleh pria bernama Jibran Lintang Darmawan, tetapi demi nyawa yang sudah di pangkal tenggorokan, ia tidak ingin kembali pada pria itu. Harusnya, Affandra tidak perlu menjalin perjanjian laknat tersebut. Menikah dengan Affandra atau bukan, Achala benar-benar tak ingin mengulang hidup bersama pria bajingan seperti Lintang.

Langkah yang Affandra ambil justru jauh lebih sakit menginjak harga dirinya. Belati tak kasat mata itu, menghunus tepat ulu hatinya. Kenyataan ini semakin membuat Achala terhina.

"Kamu tahu? Sesakit apa aku dibuat oleh bajingan Lintang itu?" Suara Achala bergetar.

Rahang wanita itu mengetat, telunjuknya ia arahkan ke dada kanannya. "Kamu tahu? Aku harus menahan diri, luka di hatiku semakin perih saat laki-laki berengsek itu tiba-tiba muncul di kehidupan kita. Dan kamu justru ingin aku kembali ke dia. Kenapa kamu nggak bunuh aja aku, Mas!"

Air matanya benar-benar kurang ajar. Seharian ini sudah ia tahan mati-matian, tetapi tetap saja berdesakan ingin keluar. Achala benci dengan keadaan ini. Semesta seakan memberikan kejutan hebat dengan sang mala.

Affandra hendak meraih tubuh istrinya, wajah wanita itu tertunduk. Belum juga lengan kokoh itu melingkar di punggung sempit Achala, perempuan itu sudah menepis hingga tubuh Affandra terdorong ke belakang.

"Setop, jangan sentuh aku! Kamu sama bajingannya dengan pria itu." Achala berucap sarkastis.

"Acha! Stop comparing me to him." Affandra membentak, baru kali ini ia kelepasan menaikkan nada tinggi pada Achala. Ia benar-benar tidak terima disamakan dengan Lintang.

Menghempaskan napas kasar, Affandra kembali berujar, "Jaga bicara kamu. Bagaimanpun juga aku suami kamu!"

Achala berdiri, senyum miring meremehkan jelas ia lemparkan untuk Affandra. Wanita itu tak gentar dengan bentakan dari suaminya tersebut.

"Suami muhalil maksud kamu?" cecarnya seakan menampar Affandra secara tak kasar mata.

Affandra tidak berkutik, ia tidak bisa menyangkal. Benar, dia adalah sang muhalil. Si pengecut yang tidak berani mengikat wanitanya dengan cara yang lebih waras. Persetan dengan dosa lantaran tak hormat pada sang imam keluarga, Achala benar-benar kalap. Ia muak berada di sini, ia butuh ketenangan.

Wanita itu menyeret langkahnya ke lemari besar, mengeluarkan sebuah koper. Baju dan perlengkapannya ia raih secara serampangan kemudian disimpan di koper tersebut.

"Sayang, kamu mau ke mana? M-maaf mas nggak sengaja, bukan maksud mau bentak kamu."

"Pulang ke rumah orang tuaku. Bukannya, kamu mau aku rujuk ke Lintang? Aku harus kompromi dengan keluargaku."

"Sayang, kita bicara baik-baik dulu sini. Kamu tenang, ya."

Affandra menarik gagang koper Achala, telunjuk wanita itu seketika terangkat, memberikan peringatan. Tatapan tajamnya seketika menghunus tepat di jantung Affandra. Pria itu tetap maju beberapa langkah, tangannya terentang hendak memberi pelukan agar wanitanya sedikit tenang.

"Stay away!" teriak Achala mengancam, tangannya memukul pintu lemari.

Affandra terpaksa mundur, sungguh ia tidak mau tangan Achala terluka. Itu saja sudah membuat lengan istrinya berubah warna kemerahan. Ia benar-benar tak tega dengan keadaan sang istri. Mungkin dengan cara memberinya waktu sejenak, Achala akan sedikit mereda.

"Kamu boleh tenangin dulu pikiran. Mas minta maaf, tapi yang perlu kamu tahu ... mas nggak akan melepaskan kamu. Percaya, mas cinta kamu." Affandra melirih, bola mata pria itu nanar dengan rasa cemas.

Sesudah itu, dengan rasa sesak dan tangis yang masih tergugu. Lima belas menit mereka tanpa suara. Affandra memberikan jeda untuk Achala menenangkan diri.

"Juang ikut bersamaku! Setidaknya sampai kamu mengurus surat cerai. Aku akan jemput Juang di rumah mami."

Cengkeraman di seprai tempat tidur mereka semakin Affandra ketatkan. Jika Achala menjemput Juang dengan keadaan seperti ini, apa tidak mengundang tanya dari kedua orang tuanya?

Pria itu duduk di pinggir ranjang, menelisik wanitanya mengemasi barang yang akan ia bawa. Napas berat ia embuskan. Sudah berapa kali Affandra jelaskan, ia mengakui kesalahan yang telah diperbuat. Namun, tidak ada pikiran sedikit pun ia akan menceraikan wanita yang selalu ada hampir tiga tahun bersamanya.

"Aku tidak akan menceraikan kamu!"

Gerak ribut terdengar dari posisi Achala. Wanita itu memutar tubuhnya sedikit menghadap kanan. Berdecak kencang sesaat menatap wajah samping Affandra.

"Ya, terus untuk apa kamu ngelakuin perjanjian laknat itu, Mas!"

Memejamkan matanya beberapa detik, Affandra menarik kasar rambutnya. Langkahnya ia bawa ke jendela kamar, mengatur pair jantung yang sangat menggangu.

Affandra berbalik, setelah sedikit tenang ia kembali berkata, "Aku memang salah. Aku minta maaf atas itu, tapi aku mohon kamu percaya. Aku menikahi kamu bukan tanpa cinta, Cha. Aku sangat mencintai kamu, Sayang."

"Kalau kamu cinta aku, kamu nggak akan jadi muhalil, Mas!" Suara Achala meninggi.

"Aku menerima tawaran Lintang karena kalau nggak, dia mau mencari muhalil lain untuk kamu. Aku nggak rela itu tejadi, Sayang. Tolong ngerti aku cinta kamu."

"Omong kosong! Kamu pasti lagi bohong," tuduh Achala tanpa dasar.

Mengusap wajahnya kasar, Affandra berkacak pinggang. Kemudian kembali berbalik berjalan mondar-mandir di depan Achala. Semua perkataan sarkatis Achala seakan membelit tubuh hingga atma pria itu.

"Demi Tuhan aku mencintai kamu, Achala. Aku terpaksa mengambil jalan itu. Aku nggak mau egois—" Affandra menaikkan nada suara dengan penuh penekanan.

"Kamu melakukan itu karena tidak mau egois, tapi kamu sudah kejam terhadap istrimu sendiri, Mas! Kamu sadar nggak, perbuatan kamu itu seolah nggak percaya dengan ketulusan aku untuk kamu, untuk Juang." Achala memotong ucapan Affandra, diusapnya air mata yang kembali mengalir.

Wanita itu sangat sensitif jika sudah menyangkut perihal anak sambungnya. Demi Tuhan, Achala tulus menyayangi anak laki-laki itu, jauh sebelum ia menikah dengan Affandra. Ia jatuh cinta pada Juang, sejak hari pertama melihat bayi merah dengan balutan bedong berwarna biru lembut. Achala sudah menganggap anak itu seperti putranya sendiri, sejak pertama kali mengecup pipi lembut yang baru saja kehilangan ibu kandungnya.

"A-aku butuh waktu. Aku mau pulang ke rumah orang tuaku dulu."

Tanjung Enim, 03 November 2022
RinBee 🐝

Bab ini 2k word ya. Awas aja kalo ada yang bilang sedikit 🙄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top