Bujur Bumi 42 : Semua Penjelasan
Kembali bersikap tenang, mengatur napasnya dan duduk. Achala tidak ingin seperti beberapa tahun lalu, saat pria yang duduk di depannya ini menceraikannya, ia memilih keras kepala tanpa mau mendengar alasan yang detail dan masuk akal dari Lintang. Kali ini Achala ingin mendengar semua penjelasan pria itu.
Lintang meneguk saliva kasar, tangan pria itu terkepal di atas meja. Dengan saksama Achala memperhatikan segala gestur yang sengaja atau tidak Lintang tunjukkan. Memejamkan matanya sejenak, mau sampai kapan pria itu diam. Sudah hampir sepuluh menit ia hanya menatap kemudian kembali menunduk. Achala benar-benar geram.
"Aku harus pulang, anakku nungguin. Kayaknya kamu nggak ada lagi yang akan disampaikan!" tegasnya keluar dari meja bundar pembatas di antara mereka.
"Dia anak Affandra, Achala! Anak itu hanya anak sambung kamu."
"Lalu ... maksud kamu, Vanilla yang jadi anakku?! Kamu pikir aku akan menerima hasil perselingkuhan kamu!" teriak Achala kembali berbalik menantang Lintang.
Pria itu diam, sejak awal nama anaknya ia bawa dalam pembicaraan ini berharap Achala luluh, tetapi berbanding terbalik dengan kenyataan, Achala menolak keras.
Achala patut berterima kasih pada temannya yang sudah menyarankan tempat ini. Restauran mewah yang juga menyajikan private room, ruangan yang kedap suara membuat Achala dengan leluasa memaki hingga meneriaki bajingan di depannya.
"Dengar, ya. Aku tidak membenci Vanilla karena lahir dari perzinahan yang kalian buat. Anak itu tetaplah suci. Perbuatan kalian berdua yang aku kutuk." Tangan dan jemari lentik Achala menunjuk tepat ke wajah Lintang .
"Vanilla ... dia lahir bukan dari hasil perzinahan, semua bisa aku jelaskan," tutur Lintang getir.
Achala memutar bola matanya, sangat bosan mendengar pria itu berkata punya alasan ... punya penjelasan. Namun, tak kunjung jua mengungkapkan perihal alasan dan semua penjelasan itu.
"Cepat katakan, Lintang Darmawan. Apa yang menjadi alasan kamu. Aku muak kalau harus mengulur waktu berhadapan melihat wajahmu," maki Achala kembali dengan emosi membumbung di ubun-ubun.
"Aku tidak sengaja mengkhianati kamu sejak tahun ke dua pernikahan kita—"
"Tidak sengaja kamu bilang?! Benar-benar berengsek kamu." Achala memotong ucapan Lintang.
"Dengarkan dulu penjelasanku," pinta Lintang setengah memohon.
Achala mengangkat tangannya, memberi kode agar pria itu melanjutkan penjelasannya perihal beberapa tahun lalu. Kedua tangan Lintang terkepal dia atas paha, kakinya sedikit bergetar karena gugup.
"Aku ketemu lagi dengan ibunya Vanilla saat di Bandung acara kantor. Aku juga nggak tahu kalau sejak kita kuliah, dia sudah menyimpan perasaan sejauh itu. Di pertemuan itu, kita terlalu banyak minum dan berakhir one night stand di salah satu hotel Bandung."
Achala sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan mendengarkan semua penjelasan Lintang tanpa memotong meski rahangnya terkatup rapat menahan gejolak amarahnya, gigi gerahamnya beradu keras karena geram. Jika melempar orang bukan tindakan kriminal, mungkin sekarang vas keramik di atas meja bundar itu sudah melayang ke pelipis Lintang.
"A-aku menikahi Jeuna secara siri setelah seminggu kejadian itu. Maafkan aku ... aku bersalah."
Achala menghela napas, semua penjelasan Lintang menariknya kembali ke memori saat ia masih bersama pria itu. Sedikit banyaknya ia ingat, waktu itu Lintang memang sering ke Bandung dengan alasan urusan pekerjaan. Namun, Achala tak berpikir jauh jika sang suami kala itu memiliki istri lain selain dirinya.
"Tapi demi Tuhan, selama enam bulan menikahinya aku tidak menyentuhnya sama sekali. Aku tidak ingin mengkhianati kamu, Cha."
"Dengan menidurinya dan menikahi diam-diam, kamu sudah mengkhianatiku, Lintang!" Achala berujar tegas dengan menaikkan nada suaranya.
"Aku menikahi Jeuna, hanya ingin bertanggung jawab jika ia mengandung anakku karena kejadian itu. Setelah enam bulan tanpa menyentuhnya, aku memastikan ia tak mengandung anakku. Aku berniat menceraikannya, tapi dia mengancam aku, Cha."
Achala berdecih kencang, ia tak serta-merta percaya segala cerita Lintang. Bisa saja ia bersikap seolah korban, tetapi nyatanya dialah yang pelaku kejam itu.
"Ancaman apa yang dia lakukan?" Achala berusaha mengatur suaranya agar tak meninggi, ia sangat berusaha tidak melayangkan tamparan pada wajah tampan mantan suaminya.
"Dia mengancam akan bunuh diri. Dia akan memberitahu kamu dan keluargamu atas perbuatanku. Dia juga akan menghancurkan karirku di kantor, ia akan memberitahu orang-orang perusahaan jika aku adalah suami yang tak bertanggung jawab. Aku hanya menikahinya tanpa nafkah batin."
Membasahi bibirnya, Lintang benar-benar menunduk dalam. Achala kembali menarik napas dan mengembuskan perlahan. Jika apa yang dikatakan Lintang adalah benar, ia sangat mengerti kalau kala itu Lintang gamang, bahkan kehilangan akal untuk berpikir panjang. Mengingat pria itu susah payah membangun karirnya di kantor, Achala menjadi saksi bagaimana perjuangan Lintang. Manusiawi jika ada perasaan takut dihancurkan atas usaha yang kita bangun.
"Lalu ... Vanilla lahir? Kamu bilang menikahi tanpa nafkah batin. Anak siapa Vanilla?"
Lintang mendongak, menatap bola mata kecokelatan milik Achala sejenak. setelah itu, ia memutus dan kembali menunduk.
"Aku tidak jadi menceraikannya, aku memberi nafkah batin sebagaimana haknya setelah itu. Dua atau tiga bulan sekali aku mengunjunginya. Satu tahun pernikahan siri itu, ia mengandung anakku. Maaf ... karena aku sangat menginginkan anak itu."
Achala meremas ujung blouse yang ia kenakan. Wanita itu merasa bodoh, ia ingat dulu dua atau tiga bulan sekali, Lintang akan pergi ke Bandung selama beberapa hari atau seminggu. Alasannya tetap urusan pekerjaan dan Achala percaya tanpa rasa curiga.
"Oleh karena itu, kamu menceraikanku? Dia bisa memberimu keturunan, sementara a-ku nggak bisa." Kalimat terakhir Achala terdengar miris, suaranya bergetar. Ia menahan mati-matian agar tidak menumpahkan air mata emosionalnya jika sudah menyangkut perihal anak.
"Nggak! Bukan gitu, Cha. Aku kembali diancam oleh dia."
"Kamu itu laki-laki, Lintang! Tidak bisa bersikap lebih tegas? Memangnya tidak bisa melawan ancaman yang kamu bilang itu?" Achala kembali berteriak, telunjuknya ribut mengarah ke wajah Lintang dengan dada naik turun.
"Aku tidak bisa melawan, Cha! Aku nggak mau anak yang tidak berdosa itu jadi korban." Lintang berdiri, ia terpancing emosi juga akhirnya, suara pria itu tak kalah meninggi. "Jeuna mengancam akan menggugurkan kandungannya jika tidak menceraikan kamu. Dia juga menuntut agar aku nikahinya resmi secara hukum dengan alasan kelak anak itu lahir punya berkas-berkas resmi juga."
Lintang memijat pangkal hidungnya, entah benar atau tidak yang pria itu ucapkan. Achala tetap menyimak segala penjelasan Lintang.
"Demi Tuhan, Cha. Aku masih cinta kamu. Please, kembali ke aku, Cha."
"Jangan gila. Aku punya suami dan aku sangat mencintainya. Tolong, apa yang kamu lakukan di masa lalu itu sudah cukup menyakitiku. Aku mohon, jangan lakukan itu lagi ke istri kamu yang sekarang."
Dahi pria itu mengernyit dalam, alisnya menyatu mendengar Achala menyebutkan istrinya yang sekarang. Sejak bercerai dengan Achala dan menikahi Jeuna secara resmi hingga berakhir berpisah juga dengan wanita itu, Lintang belum menikah lagi.
"Istri aku?"
"Ya, istri kamu. Perempuan yang Vanilla sebut sebagai bundanya."
Lintang tertawa pelan, ada kesalahpahaman lainnya di sini tentang siapa bunda yang Vanilla sebut itu.
"Bunda yang Vanilla bilang itu bukan ibu sambungnya, tapi budenya. Itu Mbak Ajeng. Aku belum nikah lagi, Cha."
Netra Achala nanar, selama ini ia telah salah mengerti tentang sosok yang sering Vanilla sebut sebagai bundanya itu. Achala tentu mengenali siapa sosok Ajeng, yang tak lain adalah mantan kakak iparnya.
"Urusan kita sudah selesai. Semua sudah jelas. Aku harus pulang, semoga Mas Lintang bisa menemukan perempuan yang lebih baik. Aku tetap akan seperti ini, tetap berada di samping suamiku." Achala keluar dari meja, meraih sling bag yang ia sampirkan di kursi.
"Affandra nggak benar-benar cinta kamu, Cha. Aku harap dia nggak lupa perjanjian yang kami sepakati sebelum pernikahan kalian."
Achala berhenti, berbalik memindai ke arah Lintang yang masih duduk di tempatnya. Ada saja yang pria itu ucapkan untuk menahannya. Kali ini Lintang menyebutkan perjanjian antara dirinya dan Affandra.
"Perjanjian apa?"
Tanjung Enim, 1 November 2022
Republish, 21 Mei 2023
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top