Bujur Bumi 41 : Sebuah Alasan
Katakanlah wanita itu bodoh. Entah apa yang ada di kepala Achala hingga menyetujui undangan Lintang untuk bertemu. Lagi-lagi Achala mengambil keputusan yang mungkin nantinya akan merusak rumah tangganya. Namun, wanita itu punya sebuah alasan. Ia hanya ingin menuntaskan rasa penasaran, kenapa Lintang ngotot sekali ini bertemu. Apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan.
Menggigit bibir dalamnya, memainkan cincin kawin yang tersemat di jari manisnya. Achala benar-benar tidak bisa duduk tenang, bahkan Pak Dirman yang mengantarnya untuk bertemu dengan Lintang pun, bisa melihat dari spion di depannya betapa gusarnya Achala sejak tadi.
Sesekali jari lentik wanita itu memijat pangkal hidungnya. Sebenarnya, ia gamang akan keputusannya ini, tetapi ia juga tidak mau berada di dalam permainan bodoh yang mungkin nantinya akan semakin menjerumuskannya ke dalam pesona dosa. Cukup, ia tidak mau berlaku sama.
Achala muak, sungguh. Ia merasa terganggu dengan segala tingkah dan ulah Lintang yang akhir-akhir ini semakin gencar. Sebelum semua itu terjadi, Achala harus mengakhiri semuanya. Iya, ia harus meluruskan segala keluk yang ada.
Ia sudah pernah dengan cara mengancam akan melaporkan Lintang pada pihak berwajib, tetapi pria bebal itu tetap menganggu dan semakin lancang datang ke rumah mereka.
Oleh sebab itu, Achala menerima tawaran Lintang untuk bertemu. Demi sebuah alasan, yaitu keharmonisan rumah tangganya ke depan. Achala sudah merasa lebih dari cukup mempunyai keluarga baru. Lintang ... silakan ciptakan bahagianya sendiri.
Berjalan menuju lantai atas sebuah kafe yang telah ia reservasi. Degup jantung wanita itu bergemuruh hebat, bukan karena gugup akan bertemu pria masa lalu yang pernah ia cintai, tetapi lebih ke arah merasa bersalah karena keputusan ini tanpa sepengetahuan Affandra.
"Pak Dirman, tolong tunggu di luar aja, ya. Percaya nggak akan terjadi apa-apa. Jangan bilang dulu ke Mas Affa. Biar nanti aku yang akan jelasin ke dia."
Achala yakin akan ucapannya, tetapi tidak dengan pria yang sudah puluhan tahun bekerja di keluarga Affandra itu. Achala tersenyum memberi pengertian, ia tahu ini salah. Seharusnya, Achala bisa memilih tempat bertemu yang terbuka. Namun, wanita itu lebih memilih kafe ini, tertutup dan privat.
Achala sadar, tak sepantasnya wanita dan pria yang bukan mahram bertemu hanya berdua dalam satu ruangan tertutup, tetapi lagi-lagi ia lakukan ini untuk menjaga privasi dan sebuah alasan.
"Baik, Mbak. Kalau sekiranya kurang baik di dalam, segera keluar, ya, Mbak."
Achala mengangguk. "Terima kasih, ya, Pak. Sudah nganterin dan jagain."
Achala berlalu, masuk ke ruangan yang sudah disiapkan oleh pihak pengelola kafe. Ia sengaja mengulur waktu, mengantar Juang ke rumah mertuanya terlebih dahulu sehingga telat tiga puluh menit dari jam yang mereka sepakati bertemu.
Beberapa saat lalu, Lintang pun sudah mengirimkan pesan jika ia sudah sampai dan menunggu di dalam. Rasanya Achala ingin membanting ponselnya saat kalimat manis Lintang yang tidak sabar ingin bertemu dengannya ia baca tadi. Jangan berharap Achala akan membalas, dari kemarin-kemarin saja pesan pria itu Achala abaikan, bahkan langsung ia hapus. Achala tak mau menyimpan pesan manis dari siapa pun, kecuali suaminya.
Benar saja, saat pintu itu Achala buka. Pria dengan setelan jas hitam menghadap kaca pembatas itu menoleh, senyumnya tersungging lebar. Menampilkan lubang di pipinya.
"Baru sampai?" tanyanya retorik seraya menarik kursi untuk Achala duduk.
Namun, wanita itu lebih memilih duduk di kursi yang lain. Dahi Lintang berkerut, Achala menolaknya. Katanya, percaya diri itu penting, tetapi yang lebih penting adalah sadar diri. Ya, harusnya Lintang sadar jika wanita itu bukan lagi miliknya.
"Aku nggak banyak waktu, silakan Mas Lintang sampaikan maksud dari semua ini!" Achala berujar tegas, tidak ingin melembut pada pria berengsek yang duduk di meja seberangnya.
"Aku mau kamu kembali ke aku, Cha."
"Kamu gila?! Ingat, aku ini istri orang."
Baru kalimat pertama, wanita itu sudah menaikkan nada suaranya. Achala benar-benar tidak bisa menahan emosi, itu sebabnya alasan ia memilih tempat bertemu di sini. Mereka tidak akan jadi pusat perhatian jika Achala tak bisa mengontrol amarahnya untuk meneriaki Lintang.
"Aku mohon ... maafkan aku, Cha. Aku masih cinta kamu sampai sekarang, bahkan sampai kapan pun, Cha."
"Kalau kamu cinta, kamu nggak akan mengkhianatiku, Lintang Darmawan!"
Achala berdecih kencang, tangannya bersedekap di depan dada. Kepalanya menggeleng, menatap remeh Lintang. Melemparkan pandangan ke luar jendela, memperhatikan hiruk pikuk jalanan daerah Senopati dari lantai tiga lebih menyenangkan daripada melihat pria yang sudah berlaku kejam padanya, tetapi sekarang layaknya pengemis tidak ada harga diri memintanya kembali.
"Aku mohon, Cha. Tinggalkan Affandra. Kita mulai hidup kita kayak dulu. Kamu suka anak perempuan, kan? Kita punya Vanilla sekarang, Cha."
"Kembali ke kamu? Nggak lagi mabok, kan? Kamu lupa apa yang kamu lakukan ke aku? Jangan jadikan Vanilla alasan. Itu anak kamu dan selingkuhanmu, bukan anakku!" Achala menekan kalimat terakhirnya, mengigatkan kembali jika pria itu pernah mengkhianati pernikahan mereka dulu.
"Aku minta maaf, Cha. Aku punya alasan untuk itu. Aku benar-benar cinta kamu."
Achala berdiri dari duduknya, tangannya terkepal kuat. Ia benar-benar muak dengan ucapan cinta dari Lintang. "Jangan denial, Lintang Darmawan! Kamu nggak lupa fakta, berapa talak yang kamu jatuhi ke aku, kan?"
"A-aku punya alasan, Cha. Aku terpaksa melakukannya."
Achala kembali berdecih meremehkan segala ucapan Lintang, pria ini benar-benar membuatnya muak. Lagi-lagi sebuah alasan yang ia gunakan sebagai pembelaan diri. Achala menatap tajam pria yang masih dengan posisi duduk yang sama. Hanya pandangan mereka yang saling membelit dengan arti masing-masing.
"Apa alasannya? Apa alasan kamu selingkuh dengan Una hingga lahirnya Vanilla. Apa alasan kamu menjatuhi tiga talak, seolah kamu mau membuangku, tapi sekarang seperti pecundang mengemis minta kembali."
Lintang menelan kasar salivanya, jakunnya naik turun beberapa kali. Tatapannya memang tepat ke wajah Achala, tetapi bola mata kelam itu bergerak gusar.
"Semua karena Jeuna."
"Jangan nyalahin sepihak, Lintang! Kamu juga sadar saat melakukannya. Perselingkuhan kalian nggak akan terjadi kalau hanya satu pihak yang ingin."
Achala sudah tidak peduli lagi siapa yang lebih tua di sini. Ia benar-benar mengabaikan panggilan yang sopan untuk Lintang. Sejak amarahnya naik ke ubun-ubun, ia menanggalkan sapaan "mas" yang biasa ia disematkan memanggil nama Lintang.
"Ayo, bicara, Lintang! Jangan jadi pengecut kamu. Selingkuh bisa, ngomong kasih alasan yang masuk akal malah mendadak gagu. Cepat bilang, apa yang jadi alasan kamu?"
Lintang menunduk sesaat, menghela napas panjang dan kemudian pria itu kembali berucap, "Semua aku lakukan untuk anak perempuan yang tak berdosa. Aku mengakui, perbuatanku sangat bajingan. Aku minta maaf, tapi aku terpaksa menceraikan kamu dengan tiga talak karena Jeuna mengancamku."
Tanjung Enim, 31 Oktober 2022
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top