Bujur Bumi 40 : Lebih dari Tiga Hari

"Udah lebih dari tiga, loh, Mas. Masa masih gini aja. Aku salah, aku minta maaf."

Benar, memang pasutri itu sedang di fase yang tidak baik-baik saja. Jarak yang memisahkan, permasalahan terakhir yang sejujurnya belum diselesaikan dengan benar menjadi faktor berkurangnya komunikasi mereka.

"Mas, kata guru agamaku dulu nggak baik, loh, kalau kita nggak teguran lebih dari tiga hari. Dosa!"

Achala masih berusaha mencairkan komunikasi yang terlanjur beku beberapa hari ini, netranya tak lepas memperhatikan semua pergerakan yang dilakukan pria di seberang sana. Namun, si pria masih tidak mengacuhkan ucapan Achala.

"Sibuk banget, ya, Mas? Aku nelepon di waktu yang salah kayaknya. Biasanya kan kita teleponan malem. Ini aku video call kamu masih sore-sore." Achala melirih.

Mungkin bisa dikatakan bukan waktunya yang salah, tetapi keadaan yang kurang tepat. Tidak ada yang salah dengan istri menelepon suami, mau di jam berapa pun, sang istri berhak. Apalagi yang dilakukan Achala bukan di waktu kerja Affandra.

Sudah hari ke tiga Affandra di Surabaya, tetapi pria itu sangat jarang memberi kabar. Achala adalah pihak yang selalu menghubungi dan mengirimkan pesan lebih dulu. Biasanya pria itu yang paling sering melakukannya saat mereka sedang berjauhan.

"Anaknya mana?" Affandra menanyakan keberadaan Juang, tanpa membalas ucapan Achala sebelumnya.

Melalui panggilan video yang ia buat, Achala bisa melihat betapa sibuknya pria itu di depan laptop, bahkan wajah sang suami saja hanya bisa ia lihat dari samping dengan jarak yang tidak begitu dekat. Sangat berbeda dengan komunikasi sebelumnya saat Affandra sedang bertugas di Surabaya.

"Ada, tadi di depan TV lagi nonton kartunnya."

Wajah pria itu tak juga menghadap layar, masih sibuk mengetikkan sesuatu pada laptopnya, sesekali mencoret bundelan kertas yang ada di samping kanannya. Tentu saja Achala tak tahu apa yang pria itu sedang kerjakan.

"Mas, mau ngobrol sama anaknya? Atau aku matiin aja video call-nya?"

"Mau ngobrol sama anaknya." Affandra menjawab, tetapi terkesan ogah-ogahan.

Mungkin itu adalah ucapan terpanjang Affandra. Sejak kemarin, baik di telepon atau pesan teks, pria itu hanya menjawab singkat padat sangat jelas—jika masih menyimpan rasa kesalnya.

"Oke, aku cari anaknya dulu, ya."

Achala beranjak dari sofa di kamarnya, mengayunkan langkah ke ruang televisi. Layar ponselnya bergerak acak, Achala tak lagi melihat ke layar benda canggih itu. Jadi, ia tak tahu apa yang pria itu perbuatan. Mungkin kembali sibuk bergelut dengan pekerjaannya lagi.

"Sayang, papaf video call, nih. Mau ngobrol sama Abang." Achala mengangsurkan ponselnya pada bocah yang berbaring di sofa bed.

"Nggak mau, Macha. Abang sibuk lagi nonton. Nanti aja teleponnya."

Wanita itu berjongkok di depan anaknya. "Nggak boleh gitu, Bang. Ini papaf kangen Abang. Abang nggak kangen? Mama aja kangen papaf."

Terpaksa, anak itu meraih ponsel yang Achala angsurkan meski dengan gerakan malas, Juang menatap layar ponsel yang masih terhubung.

"Nanti kalau udah selesai, handphone mama taruh di meja ini aja, ya. Mama ke kamar lagi. Kalau mau sesuatu panggil mama, tapi ketuk dulu pintunya," pesan Achala sebelum benar-benar beranjak.

Anak itu hanya mengangguk respons untuk Achala. Mengayunkan kembali tungkainya, Achala menarik senyum tipis saat mendengar sapaan penuh nada semangat dari suaminya untuk sang buah hati. Achala berhenti sejenak, menoleh ke arah sofa. Tentu saja ia tidak bisa melihat ekspresi suaminya dari layar ponsel yang tertutup oleh tubuh anaknya. Sangat berbeda saat dengan dirinya tadi. Achala memberi waktu untuk itu semua.

Perempuan itu paham jika suaminya belum bisa memberi maaf, meskipun terasa sesak di dadanya. Ia tahu ini kesalahan yang ia buat sendiri. Pria mana yang tidak akan murka jika sang istri bertemu pria lain, terlebih pernah terikat perasaan cinta, bahkan pernah sah hidup di bawah atap yang sama.

Jika jarak tak memisahkan mereka, mungkin memohon aksama pada suaminya akan ia lakukan lebih serius lagi. Rasa lelah di pikirannya berdesakan semakin pejal memenuhi kepalanya. Ia merebahkan tubuhnya, meringkuk sembari menelusuri tempat yang biasa Affandra tempati kala tidur. Sudahlah, semua memang kesalahan darinya. Nanti saja ia selesaikan setelah Affandra pulang.

Achala terbangun setelah kurang lebih empat jam tertidur. Matanya mengerjap beberapa kali, membiasakan silau lampu yang masuk ke retinanya. Percakapan terakhirnya dengan sang suami membuat wanita itu tak lagi menghiraukan benda canggih miliknya, alat berkomunikasi itu mungkin masih tergeletak di meja ruang tengah.

Ia sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah dan menidurkan putranya, alhasil wanita itu pun tertidur di ranjang sang putra. Turun dari tempat tidur Juang, telapak kaki Achala bersentuhan dengan lantai keramik yang dingin. Mendongak ke arah atas meja belajar, jam dinding bergambar tokoh pahlawan itu sudah menunjukkan pukul dunia dini hari. Achala benar-benar ketiduran, bahkan lampu utama di kamar sang putra saja belum ia ganti dengan lampu tidur.

Wanita itu kembali ke bilik kamarnya, langkah gontai terayun. Sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, ia menoleh ke ruang tengah. Memutar langkah ke arah sana, tujuan Achala adalah sofa. Di mana tempat sang anak dan suaminya berteleponan tadi sore.

Tersenyum pahit, dari sekian banyak pesan yang masuk. Tidak ada nama sang suami pada pop up teratas seperti biasanya. Sepertinya pria itu masih marah padanya.

"Marah banget kayaknya. Biasanya paling nggak bisa kayak gini lebih dari tiga hari." Achala menghela napas panjang, sisa kantuk sebenarnya masih menyelimuti.

Ibu jari Achala bergerak, menekan kolom pesan pada nama sang suami. Lagi-lagi menarik senyum getir, sudah jam segini di bagian atas kolom pesan suaminya masih aktif.

"Mas Affa belum tidur? Udah jam dua lewat masih online WhatsApp-nya." Achala bergumam.

Jemari Achala sudah bermain di atas touchscreen ponselnya, ingin mengirimkan pesan pada suaminya. Namun, ia urungkan niat dan kembali menghapus pesan itu.

Achala tercenung menatap room chat suaminya yang tak kunjung berubah menjadi offline. Lima menit ia bertahan, hanya dengan menelisik tanpa berani menghubungi Affandra untuk sekadar menanyakan kenapa pria itu belum juga beristirahat.

Hanya satu menit tanda offline berubah, kemudian kembali aktif. Achala mengerutkan dahinya, apa yang sebenarnya pria itu kerjakan hingga harus bergadang selarut ini. Tak mau menjadi petugas memperhatikan aktif tidaknya WhatsApp Affandra, tanpa ragu Achala menekan tanda hijau. Melakukan panggilan ke nomor Affandra. Gegas Achala menempelkan ponselnya di telinga kanan, alisnya hampir bertabrakan saat rungu menangkap suara lain yang menyambut panggilan itu.

"Mas Affa lagi nelepon siapa, sih? Ditelepon sedang berada di panggilan lain. Masa iya jam segini ngomongin kerjaan."

Kembali wanita itu menekan tanda hijau. Kali ini bibir bawahnya tergigit, bukan karena panggilan itu sedang menelepon atau ditelepon orang lain, tetapi panggilan dari Achala ditolak oleh orang di seberang sana.

Mengusap wajahnya beberapa kali, menyunggar poninya yang menutupi dahi, wanita itu mengencangkan genggamannya pada benda pipih yang ada di tangannya.

Achala memindai ke ponselnya saat getar singkat terasa di telapak tangannya. Ada satu pesan masuk.

Juang's Daddy:

Kenapa belum tidur? Besok mas pulang. Pesawatnya sore. Minta antar Pak Dirman jemput mas di bandara. Mas udah mau istirahat ini.

Senyum samar terlukis, setidaknya es di kepala pria itu sedikit mencair. Achala sengaja tak membalas pesan itu mengingat pesan terakhir sang pria yang akan segera beristirahat. Achala tak mau mengganggu waktu tidur suaminya.

Achala beranjak dari sofa ruang tengah, sebaiknya ia pun segera beristirahat. Besok sore akan menjemput sang suami di bandara. Baru beberapa langkah ia meninggalkan ruang tengah, ponselnya kembali bergetar. Ada satu pesan lagi masuk, senyum miring Achala seketika tercetak jelas.

Papanya Vanilla:
Besok bisa bertemu? Affandra di Surabaya, kan?

"Bajingan! Apa, sih, maunya laki-laki ini." Gumaman serupa umpatan itu lolos dari bibir Achala tanpa permisi.

Tanjung Enim, 30 Oktober 2022
RinBee 🐝

Papaf bener-bener marah. Cemana, nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top