Bujur Bumi 38 : Maksud dari Semua ini
Apa maksud dari semua ini? Lagi-lagi suaminya memberi tahu harus ke Surabaya secara mendadak. Pesawatnya akan berangkat nanti sore. Achala tahu, bahkan sudah hapal jika sebulan bisa dua sampai tiga kali suaminya itu ke Surabaya. Namun, bisakah tidak memberi tahu secara mendadak?
"Apa, sih, maksudnya ini, Mas? Bisa nggak ngasih tahunya itu jangan mendadak kayak gini. Mas Affa kebiasaan, ih."
Wanita itu mengomeli sosok yang duduk di pinggir tempat tidur. Affandra menekuri iPad-nya, membaca entah apa. Tentu tak Achala ketahui. Achala benar-benar sebal dibuatnya.
"Mas! Didengerin nggak, sih. Ini istrinya ngomel-ngomel malah nggak peduli sama sekali."
Affandra bangkit dari posisi duduknya, benda canggih yang semula di tangannya ia simpan di atas nakas.
"Kamu datang bulan?"
Achala mendelik tajam, pergerakan memasukkan kemeja Affandra ke dalam koper terhenti. Sepanjang omelan Achala, ia tidak ada membahas jika tamu bulanannya sedang berkunjung. Kenapa sekarang pria itu menyinggung perihal datang bulan? Jangan bilang ini adalah kode halus dari sang suami meminta kebutuhan batin yang satu itu.
"Kok, datang bulan, sih?!"
"Ya, habisnya kamu sensitif banget. Masa tiap mau ke Surabaya mas diomelin mulu, berdebat dulu. Kamu kan tahu mas sering bolak-balik ke sana."
"Ya, tapi nggak mendadak juga ngasih tahunya. Kebiasaan, emang!"
Affandra tertawa ringan, telunjuknya menggaruk pelipis. Berdebat dengan wanita memang tidak akan menang. Istrinya atau bahkan seluruh wanita di seluruh dunia ini, selalu punya jawaban untuk menyanggah ucapan pria.
"Ya, udah. Sekarang kamu mau gimana, Sayang?"
"Peluk," ujar wanita itu sembari merentangkan kedua lengan.
Affandra bertanya maunya Achala bagaimana, kan? Bukan maunya apa? Kenapa wanita itu justru berucap ingin dipeluk. Namun, bukan Affandra namanya jika tidak segera merengkuh tubuh istrinya tanpa diminta dua kali. Memeluk tanpa menghujani wajah Achala dengan kecupan ringan, rasanya kurang lengkap.
Affandra menyimpan dagunya di atas kepala sang istri, mengusap punggung sempit Achala. Lagi-lagi alis Affandra bertemu saat ucapan dari wanita dalam pelukannya menyapa indera pendengaran.
"Nggak ada, kan? Kamu nggak ada istri lain di sana, kan?"
Mengurai pelukan, Affandra berdecak samar mendengar kecurigaan itu lagi ... itu lagi dari istrinya. Sebenarnya ada apa dengan istrinya ini.
"Ini maksudnya apa? Drama Korea tentang perselingkuhan yang mana lagi kamu tonton? Akhir-akhir ini omongan kamu nggak jauh-jauh dari sana."
"Ya, kan, aku cuma bilang aja, Mas. Kalau nggak, ya, alhamdulillah. Semoga aja nggak bohong."
Achala kembali mengambil beberapa potong kemeja dan celana bahan milik Affandra, menyusunnya rapi di dalam koper hitam yang cukup besar. Kali ini, suaminya ke Surabaya belum bisa dipastikan berapa hari di sana. Tidak seperti biasa yang hanya tiga harian paling lama.
Pria itu mengayunkan tungkai beberapa langkah, menjatuhkan bobotnya di sofa tunggal. Affandra kembali menekuri benda canggihnya. Tak menanggapi ucapan konyol sang istri.
Achala berdecak kencang, pria yang mengenakan kaus singlet berwarna putih itu, benar-benar tidak menggubris lagi ucapan Achala. Ocehan Istrinya menguap begitu saja, Achala tak yakin jika suaminya itu mendengarkan.
"Mas! Tuh, kan nggak didengerin lagi."
Affandra mengangkat kepalanya, mengalihkan atensi ke wajah sang istri. Tatapan pria itu tanpa ekspresi.
"Ikut ke Surabaya aja, yuk? Biar kamu tahu kerjaan suami kamu di sana seperti apa."
Pria itu kembali menelisik benda canggih di tangannya. Achala mendekat, mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengintip ke layar ponsel yang sedang Affandra pegang. Bola matanya membulat saat tahu apa yang sedang pria itu lakukan.
"Loh, kok malah dipesankan tiket? Besok aku harus ngajar, Mas. Anaknya juga mesti sekolah. Cancel ... cancel. Kamu, aneh-aneh aja, ih."
"Ya, habisnya mas males harus debat terus perkara ini. Capek juga dicurigain terus. Sekalian aja kalian ikut, biar tahu."
Wanita itu menjatuhkan bobotnya di pangkuan sang suami, melingkarkan lengannya di leher sang imam. Ia memang sedikit berlebihan pada Affandra akhir-akhir ini. Namun, bukan tanpa alasan ia bersikap seperti itu. Achala hanya takut apa yang pernah terjadi di rumah tangganya dulu, kembali terulang. Lintang yang sepertinya cinta mati padanya saja bisa berselingkuh dan memiliki putri hasil perselingkuhan itu. Apalagi Affandra yang sering kali tidak peka, jarang sekali menunjukkan sisi romantis bahwa ia mencintai Achala.
"Mas, cinta nggak sama aku?" tanya Achala, memancing gelak tawa dari Affandra. Achala memukul bahu pria itu. "Kok, ketawa?"
"Ya, habisnya kamu aneh. Kalau mas nggak cinta ngapain mas nikahin kamu, Ibu Acha."
"Plis, jangan panggil aku Ibu Acha. Aku nggak suka!"
Alis Affandra terangkat sebelah. "Lah? Kalau kamu nggak suka, gimana murid kamu? Panggilnya Ibu Acha, kan?"
"Iya, tapi aku nggak suka kalau kamu atau Juang panggil aku gitu."
Si suami menarik senyum. Menjawil hidung Achala. "Baiklah, mamanya Juang."
Achala tersipu, bangkit dari pangkuan sang suami. Kembali memasukkan barang yang akan diperlukan sang suami di sana nanti. Achala berhenti sejenak, rungunya menangkap suara bel.
"Sayang, ada yang mencet bel di depan. Tolong, dong, kayaknya itu GoSend pesenanku." Achala menoleh pada sosok yang masih belum beranjak dari sofa. "Mas, tolong, ih. Ini aku lagi beresin peralatan mandi kamu."
"Iya ... iya." Affandra beranjak meski menyahuti ucapan Achala dengan ogah-ogahan, meraih kaus oblong yang tersampir di bahu sofa dan mengenakannya sembari berjalan.
Melangkah keluar kamar. Pantas saja kurir itu menekan bel berulang-ulang, gerbang tinggi rumah mereka masih tertutup. Affandra mengayunkan tungkainya hingga ke gerbang depan, membuka penghalang tinggi itu.
Gerbang sedikit terbuka, Affandra menyembul dari balik sana. Sedikit merasa aneh, biasanya kurir dari ekspedisi atau jasa antar mana pun saat mengantarkan paketnya akan menunggu di depan pintu sampai dibukakan. Ini justru setelah menekan bel berulang-ulang kali, orang tersebut kembali masuk ke mobil.
Sejak kapan GoSend pakai mobil Pajero sport.
Pintu mobil itu terbuka, senyum miring Affandra tergurat di wajahnya. Lintang keluar dari sana, mengayunkan tungkai jenjangnya berdiri di depan Affandra yang masih bergeming memegang handel gerbang rumahnya.
"Gue boleh, kan, mampir ke sini? Kebetulan tadi lewat."
Mengencangkan kepalan tangannya di gagang besi gerbang, sorot tajam Affandra layangkan pada manusia tidak tahu malu itu.
"Ngapain lo datang ke rumah gue?" geram Affandra pada sosok di hadapannya.
Lintang memasukkan tangannya ke dalam saku celana, mengangkat kedua bahunya sejenak kemudian menjawab, "Lo nggak tuli, Fa. Gue tadi bilang gue mampir ke sini. Santai aja, kita bukan pertama kali ketemu, bahkan dengan Acha pun gue udah beberapa kali ketemu."
"Berengsek, sialan! Pergi dari sini, berhenti muncul di sekitar bini gue." Affandra geram dengan kalimat terakhir Lintang. Jadi, istrinya sudah bertemu dengan bajingan ini? Sesuatu hal yang paling tidak ia ingini terjadi.
Lintang tergelak mendengar umpatan Affandra, berdecak terang-terangan Lintang menggeleng samar. Menelisik penampilan sang sahabat lama.
"Affandra ... Affandra. Lo kayaknya belum tahu, seberapa seringnya gue ketemu dengan perempuan yang lo sebut bini itu. Jangan berbesar kepala karena bisa miliki Achala. Pertanyaannya masih sama, apakah Achala benar-benar cinta lo? Tahu, kan? Gimana cintanya dia dulu ke gue. Dan gue ke sini cuma mau nagih janji aja."
Ucapan intimidasi dari Lintang memukul logika Affandra telak. Pria itu tersenyum getir, ia tidak mengerti apa maksud dari semua ini. Berbalik meninggalkan Lintang, menutup gerbang rumahnya dengan kekuatan emosi di dada. Suara dentuman keras itu tak Affandra hiraukan. Menuntut penjelasan dari Achala adalah perihal paling penting sekarang.
Tanjung Enim, 28 Oktober 2022
RinBee 🐝
Mana kemarin yang nungguin bab ini publish?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top